Kajian Filosofis
Tentang Fitrah Manusia
Disusun Oleh:
Hermansyah
NIM: 17913027
Dosen
Pengampu Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam:
Prof.
Dr.
H.
Maragustam, MA
A. Latar
Belakang
Manusia adalah makhluk
terbaik yang diciptakan Allah di alam ini. Struktur manusia terdiri atas unsur
jasmaniah (fisiologis) dan rohaniah (psikologis). Dalam struktur jasmaniah dan
rohaniah itu, Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang memiliki
kecenderungan berkembang. Dalam pandangan Islam kemampuan dasar atau
pembawaan itu disebut fitrah. Kata ini mengandung sejumlah pengertian ditinjau
dari berbagai sudut pandang oleh para pemikir muslim. Sebagian mereka
mengartikan fitrah sebagai potensi beragama yang dibawa manusia semenjak di
dalam rahim ketika mengikat perjanjian dengan Tuhan, sebagian lainnya
mengartikan sebagai kemampuan-kemampuan jasmaniah dan
rohaniah. Walaupun demikian perbedaan tersebut menuju kepada satu
tujuan yaitu menciptakan seorang muslim yang mampu mengemban tugas dan
fungsinya sebagai ‘abd maupun sebagai khalifah di muka bumi. Selanjutnya
makalah ini mencoba menguraikan pokok-pokok penting berkenaan dengan fitrah
manusia.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apakah
pengertian atau hakikat dari fitrah manusia?
2.
Bagaimanakah
konsep dari aliran pendidikan islam dalam perspektif fitrah (fatalis,
netral, positif, dualis)?
3.
Bagaimanakah implikasi
pengembangan fitrah manusia?
C. Pembahasan
1.
Hakikat Fitrah
Manusia
Dalam dimensi
pendidikan, keutamaan dan keunggulan manusia dibanding dengan makhluk Allah
lainnya terangkum dalam kata fitrah. Secara bahasa, kata fitrah
berasal dari kata fathara ( فطر ) yang berarti menjadikan. Kata
tersebut berasal dari akar kata al-fathr ( الفطر ) yang berarti belahan atau pecahan.
Selanjutnya bila makna kata fitrah dikaitkan pada manusia dapat dipahami dengan
merujuk firman Allah surat al-Ruum ayat 30 sebagai berikut:
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus
kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui".
Secara umum, para
pemikir muslim cenderung memaknainya sebagai potensi manusia untuk beragama
(tauhid ila Allah). Fitrah diartikan sebagai kemampuan dasar untuk
berkembang dalam pola dasar keislaman (fitrah islamiah) karena faktor kelemahan
diri manusia sebagai ciptaan tuhan yang berkecenderungan asli untuk berserah
diri kepada kekuatan-Nya.[1] Di
pihak lain, ada juga yang memaknai fitrah sebagai iman bawaan yang telah
diberikan Allah sejak manusia dalam alam rahim. Pendapat ini merujuk pada QS.
al-A’raf, 7: 172 di bawah ini:
“Dan ingatlah ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka seraya berfirman bukankah Aku ini Tuhanmu?
Mereka menjawab: betul engkau Tuhan kami, kamu menjadi saksi. Kami melakukan yang
demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan sesungguhnya kami (Bani
Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap hal ini (Keesaan Tuhan)”.
Secara lebih
komprehensif, Muhammad bin Asyur, seperti dikutip Quraish Shihab mendefinisikan
fitrah sebagai berikut: “Fitrah (makhluk) adalah bentuk lain dari sistem yang
diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Sedangkan fitrah yang berkaitan
dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan
dengan kemampuan jasmani dan akalnya”.[2]
Dalam batasan ini
terlihat term fitrah diartikan sebagai potensi jasmaniah dan akal yang
diberikan Allah kepada manusia. Dengan potensi tersebut, manusia mampu
melaksanakan “amanat” yang dibebankan oleh Allah kepadanya.
Berdasarkan uraian di
atas dapat dipahami bahwa fitrah merupakan semua bentuk potensi yang telah
dianugerahkan oleh Allah kepada manusia semenjak proses penciptaannya di alam
rahim guna kelangsungan hidupnya di atas dunia serta menjalankan tugas dan
fungsinya sebagai makhluk terbaik yang diciptakan oleh Allah SWT.
Dari definisi para ahli
tentang fitrah manusia, secara eksplisit pada hakekatnya saling melengkapi
antara satu batasan dengan batasan yang lainnya. Pengertian yang lebih luas
dari fitrah, yaitu pada pengertian potensi dasar yang dimiliki oleh setiap
manusia. Namun demikian, potensi tersebut hanya merupakan embrio yang masih
bersifat pasif dari semua kemampuan manusia. Ia memerlukan penempaan lebih
lanjut dari lingkungannya baik insani maupun non insani sehingga ia
mampu berkembang. Artinya, untuk mengaktifkan dan mengaktualkan potensi
tersebut, manusia memerlukan bantuan orang lain dan hidayah Tuhannya. Tanpa
adanya bantuan untuk mengaktifkan potensi itu, manusia tidak akan dapat
menjalankan dan melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai wakil Allah SWT di
muka bumi.
Rujukan di atas
memberikan pengertian, bahwa lingkungan sebagai faktor eksternal, ikut
mempengaruhi dinamika dan arah pertumbuhan fitrah seorang anak. Semakin baik
pembinaan fitrah yang dimiliki manusia, maka akan semakin baiklah
kepribadiannya. Demikian pula sebaliknya, bila pembinaan fitrah yang dimiliki
tidak pada fitrah-Nya, maka manusia akan tergelincir dari tujuan hidupnya.
2.
Konsep Aliran
Pendidikan Islam dalam Perspektif Fitrah
Pehahaman terhadap konsep fitrah dapat dibedakan
menjadi empat aliran, yaitu aliran fatalis-pasif, netral-pasif, positif-aktif
dan dualis-aktif.
a.
Fatalis-pasif
Pandangan pertama yaitu
fatalis pasif dengan tokoh Ibn Mubarok, Syekh Abdul Qadir Jailani dan
Al-Azhari. Mereka mempercayai bahwa setiap individu, melalui ketetapan Allah
adalah baik atau jahat secara asal, baik terjadi secara semuanya atau sebagian
sesuai rencana Tuhan.[3] Setiap
individu telah terikat dengan ketetapan Allah, sehingga faktor-faktor eksternal
seperti pendidikan dan lingkungan tidak memiliki pengaruh terhadap penentuan
nasib dan pembentukan kepribadian. Karena segala yang dimiliki oleh manusia
telah ditentukan terlebih dahulu oleh Allah sebelum manusia itu lahir ke
dunia. Lingkungan dan pendidikan tidak memiliki pengaruh apapun
terhadap pembentukan kepribadian manusia. Adanya pendidikan atau tidak sama
sekali tidak ada pengaruhnya tehadap baik-buruknya manusia. Manusia menjadi
pintar atau bodoh, iman atau kufur adalah berdasarkan takdir Allah. Seorang
individu terikat oleh kehendak Allah untuk menjalani ‘cetak biru’ kehidupannya
yang telah ditetapkan baginya sebelumnya.
Dasar yang digunakan
oleh tokoh-tokoh ini adalah hadis Nabi SAW dari Abdullah Ibnu mas’ud berkata,
Rasulullah bersabda tentang firman Allah “dan ingatlah ketika tuhanmu
mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka” bahwa ketika Allah
mengeluarkan Adam dari surga dan sebelum turun dari langit, Allah mengusap
sulbi Adam sebelah kanan dengan sekali ucapan, lalu mengeluarkan darinya
keturunan yang berwarna putih seperti mutiara dan seperti dzur (keturunan).
Allah berfirman kepada mereka, “Masuklah ke dalam surga dengan
nikmay-Ku”. Lalu allah mengusap sulbi Adam yang sebelah kiri dengan sekali
usapan, lalu mengeluarkan anak keturunannya yang berwarna hitam dengan bentuk
dzur. Allah berfirman, “Masukklah ke dalam neraka dan aku tidak
peduli”. Yang demikian itulah maksud Allah tentang golongan kanan dan
kiri. Kemudian Allah mengambil kesaksian terhadap mereka dengan
berfirman, “ bukankah Aku ini Tuhan kalian?” mereka menjawab “betul,
Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi”.
b.
Netral-pasif
Tokoh dari aliran ini
yaitu Ibnu Abd al-Barr. Penganut pandangan ini berpendapat bahwa anak terlahir
dalam keadaan suci, suatu keadaan kosong sebagaimana adanyan, tanpa kesadaran
akan iman atau kufur.[4] Mereka
semua terlahir dalam keadaan utuh dan sempurna, tapi kosong dari suatu esensi
yang baik atau jahat. Ini sama dengan teori John Lock “Tabularasa” yang
menyatakan bahwa manusia itu terlahir seperti kertas putih tanpa ada sedikitpun
goresan. Manusia akan mengetahui mana yang benar dan salah, baik dan jahat,
indah dan buruk itu dari lingkunagan eksternal. Manusia berpotensi menjadi
baik bila rangtuanya mengajarkan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan, sebaliknya
manusia akan menjadi buruk ketika orangtuanya mengabaikan nilai-nilai kebenaran
dan justru mengajarkan keburukan dan kejahatan.
Prinsip dari pandangan
ini adalah bahwa mana yang lebih dominan dan intensif mempengaruhi manusia, hal
itulah yang akan membentuk kepribadiaanya, apakah ia cerdas atau bodoh, kreatif
atau jumud, dan lain sebagainya.[5]
Menurut pandangan netral, kebaikan yang
akan mengarah pada iman atau keburukan yang akan mengarah pada kufur itu hanya
akan berwujud ketika anak tersebut telah mencapai pada kedewasaan. Karena setelah
anak mencapai kedewasaan, seseorang akan memiliki rasa tanggung jawab atas
perbuatannya.
Dasar argumen aliran kedua ini adalah
Q.S an-Nahl, 16; 78.
c.
Positif-aktif
Tokoh dari aliran ini
yaitu Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziah, Muhammad Ali Ash-Shabuni, Mufti
Muhammad Syafi’i, Ismail Rajial-Faruqi, Mohamad Asad, Syah Waliyullah. Penganut
aliran ini berpendapat bahwa bawaan dasar atau sifat manusia sejak lahir adalah
baik, sedangkan kejahatan bersifat aksidental.[6] Semua
anak lahir dalam keadaan fitrah, yaitu dalam keadaan kebajikan, dan lingkungan
sosial itulah yang menyebabkan individu menyimpang dari keadaan ini.
Ibnu taimiyah
memberikan tanggapan atas pandangan Ibnu Abd al-Barr dan mengaskan bahwa fitrah
bukanlah semata-mata sebagai potensi pasif yang harus dibentuk dari luar,
tetapi merupakan sumber yang mampu membangkitkan dirinya sendiri yang ada dalam
individu tersebut. Ash-Shabuni berpendapat bahwa kebaikan dan kesucian menyatu
dalam diri manusia, sedangkan kejahatan itu bersifat aksidental. Secara alamiah
manusia cenderung pada kebaikan dan kesucian. Tetapi lingkungan sosial terutama
orangtua, bisa merusak fitrah anak. Al-faruqi menilai bahwa pengetahuan dan
kepatuhan bawaan kepada Allah bersifat alamiah, sementara kedurhakaan tidak
bersifat alamiah.[7]
Implikasi pengembangannya
bahwa pendidikan dapat dijadikan sebagai solusi dari pengaruh lingkungan
yang buruk itu dan memperkuat eksistensi fitrah manusia sebagai khalifah.
Dasar argumen pandangan ini adalah Q.S
ar-ruum, 30: 30 dan Q.S al-A’raaf, 7: 172.
d.
Dualis-aktif
Tokoh dari aliran ini
adalah Sayyid Quthb, al-Jamaly dan ‘Ali shari’ati. Aliran ini berpendapat bahwa
manusia diciptakan membawa suatu sifat dasar yang bersifat ganda. Disatu sisi
mengarah pada kebaikan dan disisi yang lain cenderung pada kejahatan. Menurut
Quthb, dua unsur pembentuk esensial dari struktur manusia secara menyeluruh,
yaitu ruh dan tanah, mengakibatkan kebaikan dan kejahatan sebagai suatu
kecenderungan yang setara pada manusia, yaitu kecenderungan mengikuti tuhan
atau kecenderungan untuk tersesat.[8]
Manusia merupakan
makhluk berdimensi ganda, dengan sifat dasar ganda yang keduanya saling
berlawanan. Al-jamaly mengatakan bahwa fitrah adalah kemampuan-kemampuan dasar
dan kecenderungan-kecenderungan yang murni bagi setiap individu yang kemudian
saling mempengaruhi dengan lingkungan sehingga tumbuh dan berkembang menjadi
lebih baik atau lebih buruk.
Implikasi pengembangannya
bahwa pendidikan bisa memperbaiki manusia dan menumbuh kembangkan potensi
baik dalam diri manusia.
Dasar argumen aliran ini adalah QS.
Al-Hijr, 15: 28, QS. Al-Balad, 90: 10 dan QS. al-Syams, 91: 7-10
3.
Implikasi
Pengembangan Fitrah Manusia
Dalam rangka
mengembangkan fitrah (potensi) manusia, baik potensi jasmani maupun rohani,
secara efektif dapat dilakukan melalui pendidikan. Hal ini berarti bahwa
pendidikan merupakan cara yang efektif untuk mengembangkan fitrah manusia
tersebut. Dengan proses pendidikan, manusia mampu membentuk kepribadiannya,
mentransfer kebudayaannya dari suatu komunitas kepada komunitas lainnya,
mengetahui nilai baik dan buruk, dan lain sebagainya.
Merujuk kepada makna manusia yang
ditunjukkan oleh Allah dalam al-Quran, secara teknis upaya pengembangan fitrah
manusia dapat dilakukan dengan cara memformat interaksi pendidikan yang proporsional
dan ideal. Dalam hal ini setidaknya ada dua pendekatan yang dapat digunakan,
yaitu:
Pertama, pendekatan
perkata. Ketika Allah menggunakan terma al-basyar dalam menunjuk manusia
sebagai makhluk biologis, maka interaksi pendidikan yang ditawarkan harus pula
mampu menyentuh perkembangan potensi biologis (fisik) peserta didik. Ketika
Allah menggunakan terma al-insan, maka interaksi pendidikan harus pula mampu
mengembangkan aspek fisik dan psikis peserta didik. Demikian pula ketika Allah
menggunakan terma al-nas, maka interaksi pendidikan harus pula mampu menyentuh
aspek kehidupan sosial peserta didik. Ketiga terma tersebut harus
diformulasikan secara integral dan harmonis dalam setiap interaksi pendidikan
yang ditawarkan.
Kedua, pendekatan
makna substansial. Ketika Allah menunjuk ketiga terma tersebut dalam memaknai
manusia, Allah SWT secara implisit telah melakukan serangkaian interaksi
edukatif pada manusia secara proporsional. Allah telah memberikan kelebihan
pada manusia dengan berbagai potensinya yang bersifat dinamis, di samping
berbagai kelemahan dan keterbatasan manusia dalam menjalankan kehidupannya di
muka bumi. Dengan berbagai potensi tersebut, manusia lebih unggul dan sempurna
sesuai dengan tujuan penciptaannya, dibanding dengan makhluk Allah yang lain.
Di sisi lain, manusia bisa juga menjadi makhluk yang paling hina, tatkala
seluruh potensi tersebut tak mampu diaktualkan dan diarahkan secara maksimal,
sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Dalam posisi ini, Allah
telah memberikan kebebasan pada manusia untuk mengembangkan seluruh potensi
yang dimilikinya secara maksimal. Hanya saja, jika mereka ingin tetap dalam
keridhaan-Nya, maka mereka dituntut untuk mempergunakan seluruh potensinya
tersebut sesuai dengan batas-batas kapasitas kebebasan yang diberikan padanya.
Untuk itu, Allah memberikan rambu-rambu dan berbagai konsekuensi atas aktivitas
yang dilakukan manusia.
D. PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dalam struktur
jasmaniah dan rohaniah manusia, Allah memberikan seperangkat
kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkembang. Dalam pandangan
Islam kemampuan dasar atau pembawaan itu disebut fitrah. Pehahaman
terhadap konsep fitrah itu terdapat empat aliran yang memiliki pandangan
berbeda-beda dalam memahami fitrah, yaitu aliran fatalis-pasif, netral-pasif,
positif-aktif dan dualis-aktif.
Dalam perspektif
filsafat pendidikan Islam, manusia dipandang sebagai makhluk yang menyimpan
multipotensi, baik yang bersifat jasadiah (fisik) maupun rohaniah (psikis).
Menurut aliran fatalis, segala potensi yang ada pada manusia telah menjadi
ketetapan Allah dan tidak dapat dirubah sedikitpun. Namun bagi
aliran yang lain, keseluruhan potensi tersebut tidak dapat
berkembang dengan sendirinya. Oleh karena itu, ia membutuhkan sarana
yang efektif untuk mengembangkannya sehingga dapat memberikan manfaat terhadap
dirinya dan juga lingkungan sekitarnya. Sarana tersebut adalah proses
pendidikan yang juga mesti ditujukan untuk mengoptimalkan segenap potensi
manusia tersebut dalam sebuah interaksi pembelajaran dengan tetap berpegang
pada nilai-nilai Ilahiah. Upaya pengembangan fitrah merupakan sesuatu yang
mutlak harus dilakukan. Jika tidak, maka keunggulan dan kelebihan manusia yang
diberikan oleh Allah SWT tidak akan berarti apa-apa dibandingkan dengan makhluk
lainnya di bumi. Potensi yang tidak teroptimalkan akan menghalangi manusia
untuk melakukan tugas dan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah di muka
bumi. Ironisnya lagi bahkan manusia itu dapat terjerumus ke dalam
jurangkesesatan yang hina.
DaftarPustaka
Arifin, M. 1994. Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Maragustam.
2010. Mencetak Pembelajar Menjadi
Insan Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam). Yogyakarta: Nuha
Litera
Nashori, Fuad. 2003. Potensi-Potensi
Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
http:// hakikat-fitrah-manusia.html
http://vienatafrikhasari.blogspot.com/2012/01/microsoftinternetexplorer4-0-2.html
[5]Maragustam, Mencetak
Pembelajar Menjadi Insan Paripurna (Falsafah Pendidikan
Islam), (Yogyakarta: Nuha Litera, 2010), hlm. 94
Komentar
Posting Komentar