PEMIKIRAN IBNU SINA
TENTANG PENDIDIKAN
DAN RELEVANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN MASA KINI
Oleh:
Mohammad Khotibul Umam
NIM: 17913033
Dosen Pengampu Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam:
Prof. Dr. H. Maragustam
Siregar, MA
A.
Pendahuluan
Konsep pendidikan Islam yang saat ini sampai
kepada kita tidak pernah lepas dari konsep pendidikan yang terlahir dari para
filosof, ulama dan tokoh muslim terdahulu. Ada banyak tokoh pendidikan Islam
yang menyumbangkan pemikirannya terhadap dunia pendidikan Islam,[1] namun dalam makalah ini
hanya akan difokuskan pada pemikiran Ibnu Sina. Karena dengan berbagai pengalaman
yang menemani perjalanan hidupnya, sosok Ibnu Sina ternyata mampu menghadirkan pandangan
cerdas bagi pemikiran pendidikan Islam saat ini, meski tak dapat dipungkiri
bahwa beliau – di mata dunia – lebih dikenal sebagai seorang dokter dengan
karya terbesarnya, yaitu Kitab al-Syifa’ dan Qanun fi al-Thibb.
Barangkali pemikiran Ibnu Sina boleh dianggap
sebagai produk sejarah, akan tetapi ide-idenya yang bersifat religius-rasional
dan berorientasi pada aplikasi praktis itu nampaknya masih sangat relevan untuk
dikaji. Ibnu Sina merupakan salah satu tokoh muslim yang dipandang memiliki
perhatian serius dalam kaitannya dengan masalah ummat, termasuk di dalamnya
adalah masalah pendidikan. Berangkat dari paradigma Islam sebagai dasar
pijakan, gagasan Ibnu Sina dipandang memiliki relevansi dari segi konteks
pemikiran dengan kebutuhan umat Islam di Indonesia. Oleh karena itu, penulisan
makalah ini memiliki titik fokus pada upaya mengkaji pemikiran dari tokoh
tersebut, terutama yang berkenaan dengan pendidikan Islam.
B.
Pembahasan
1.
Sekilas Riwayat Hidup Ibnu
Sina
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu ‘Ali
al-Husain ibn Abdullah ibn al-Hasan ibn ‘Ali ibn Sina al-Hakim, atau biasa
dikenal Avicienna.[2] Beliau
lahir pada tahun 370 H/980 M di Kharmeisan berdekatan dengan Bukhara dan
berbangsa Balkha (ahli Balkha), sekarang Uzbekistan, ibu kota Samani, sebuah
kota peninggalan dari dinasti Persia di Asia Tengah dan Kharasan. Ibnu Sina
wafat pada tahun 428 H/1037 M. Ibunya bernama Astarah, berasal dari Asfhana
yang termasuk wilayah Afghanistan,[3]
sedangkan ayahnya bernama Abdullah, seorang sarjana terhormat penganut Syi’ah
Isma’iliyyah, dan merupakan ilmuwan dari kota Balkh Kharasan, suatu kota
termasyhur dari kekuasaan Samani yang sekarang merupakan Provinsi Balkh di
Afghanistan.
Semasa kecil, Ibnu Sina memulai pendidikannya
pada usia lima tahun di kota kelahirannya, yaitu Bukhara. Pengetahuan yang
pertama kali ia pelajari adalah membaca Al-Qur’an. Setelah itu ia mempelajari
ilmu-ilmu agama Islam seperti tafsir, fiqih, ushuluddin, dan lain-lain. Berkat
ketekunan dan kecerdasannya, ia berhasil menghafal Al-Qur’an dan mengusai
berbagai cabang ilmu keislaman pada usia yang belum genap 10 tahun. Sehingga
dari situ Ibnu Sina dianggap sebagai manusia yang luar biasa. Bahkan Ibnu Sina pernah
menceritakan jika dirinya hafal kitab metafisika Aristoteles di luar kepala, ia
membaca sebanyak 40 kali sampai hafal semua kata dalam kitab itu, namun tak
sedikitpun makna yang dapat ia pahami. Pemahaman yang menyeluruh baru diperoleh
setelah Ibnu Sina membeli Kitab karangan al-Farabi mengenai tujuan metafisika
Aristoteles. Kenyataan ini membuat Ibnu Sina mengakui kedudukan al-Farabi
sebagai guru kedua.[4]
Di samping itu, Ibnu Sina juga mempelajari
ilmu kedokteran sejak usia 16 tahun secara otodidak, hingga ia menjadi seorang
dokter yang termasyhur pada zamannya. Hal ini didukung oleh kesungguhannya dalam
melakukan penelitian dan praktek pengobatan. Berkenaan dengan ini, ada sebagian
yang mengatakan bahwa Ibnu Sina mempelajari kedokteran dari Ali Abi Sahl
al-Masity dan Abi Manshur al-Hasan ibn Nuh al-Qamary. Selain itu upaya
memperdalam berbagai cabang ilmu pengetahuan juga diperoleh Ibnu Sina ketika ia
diberi kesempatan untuk memanfaatkan perpustakaan milik Nuh bin Mansyur yang
pada saat itu menjadi Sultan di Bukhara. Dengan cara demikian, ilmu kedokteran
yang ditekuni Ibnu Sina mengalami perkembangan yang signifikan karena didukung oleh
keluasan teori dan praktik.[5]
Sebagai pemikir yang inovatif dan kreatif,
Ibnu Sina dikenal sebagai sosok ulama’ yang produktif dalam melahirkan karya
tulis. Karya-karyanya Ibnu Sina tergolong cukup banyak, bahkan hampir meliputi
seluruh cabang ilmu pengetahuan seperti ilmu kedokteran, filsafat, ilmu jiwa,
fisika, logika, politik dan sastra Arab. Ibnu Sina menulis sebanyak 450
risalah. Dari sekian banyak karya itu, karya Ibnu Sina yang paling terkenal
adalah Kitab al-Syifa’ (Kitab Penyembuhan) dan buku Qanun fi al-Thibb
(Undang-undang Kedokteran). Selain itu ada beberapa karya populer yang membuat
nama Ibnu Sina dikenal dalam kancah ilmu pengetahuan, terutama di dunia Barat.
Berikut ini adalah daftar karya ilmiah Ibnu Sina yang terkemuka:
a.
Sirat al-Syaykh al-Rais
(The Life of Ibn Sina), suntingan dan terjemahan dari WE. Gohlman, Albany, NY: State University
of New York Press, 1974.
b.
Al-Isharat wa-‘l-tanbihat
(Remarks and Admonitions), ed. S. Dunya, Cairo, 1960.
c.
Al-Qanun fi Al-Thibb (The Canon of
Medicine), ed. I. a-Qashsh, Cairo, 1987.
d.
Risalah fi Sirr al-Qadar
(Essay on The Scret of Destiny), terjemahan G. Hourani in Reason and
Tradition in Islamic Ethics, Cambridge: Cambridge University Press, 1985.
e.
Danishnama-i ‘ala’i (The
Book of Scientific Konowledge), suntingan dan terjemahan. P. Morewedge, The Metaphysics of Acicenna,
London: Routledge and Kegan Paul, 1973.
f.
Kitab al-Shifa’ (The Book
of Healing), Naskah telah diterbitkan di Kairo, 1952-83, yang asli di bawah pengawasan
I. Madkou.
g.
Kitab al-Najat (The Book
of Salvation), terjemahan. F. Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation
of Kitab al-Najat, Book II, Chapter VI with Historical-philosophical Notes and
Textual Improvements on the Cairo Edition, Oxford: Oxford University Press,
1952. (The Psychology of al-Shifa’.)
h.
Hayy ibn Yaqdhan sebuah mitos Persia yang
didasarkan pada kisah Ibnu Sina dan selanjutnya ditulis oleh Ibnu Thufail ada
abad ke-12.[6]
Uraian di atas
menunjukkan bahwa Ibnu Sina adalah seorang ulama yang berpengetahuan luas dalam
berbagai ilmu termasuk ilmu falsafah, walaupun ia lebih terkenal dalam bidang
kedokteran. Dalam dunia intelektual, nama Ibnu Sina menjadi populer, bahkan
perhatian dunia terhadapnya tidak hanya mencuat dari kalangan Islam, tetapi
juga di kalangan Barat melalui dua karyanya yang berjudul Kitab al-Syifa’ dan
Qanun fi al-Thibb.
2.
Pemikiran Ibnu Sina
Tentang Pendidikan
Seperti yang diketahui bersama bahwa pendidikan
merupakan sarana utama untuk mempertahankan unsur-unsur pembeda dari makhluk
lain, yaitu “karamah” yang dianugerahkan Allah kepada manusia (Q.S
Al-Isra’:70).[7]
Pandangan ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak akan pernah lepas dari kajian tentang
hakikat manusia. Menurut Maragustam, pentingnya membidik manusia sebagai
sentral segala konsep pendidikan dikarenakan manusia itu adalah unsur vital
dalam setiap usaha pendidikan. Bahwa selain dipandang sebagai subjek, manusia
juga dipandang sebagai objek dalam pendidikan.[8]
Pandangan seseorang terhadap manusia akan
berpengaruh terhadap konsep-konsep pendidikan yang ia kemukakan. Demikian
halnya Ibnu Sina, ia juga memiliki pandangan tentang hakikat manusia, khususnya
tentang konsep jiwanya. Menurut Ibnu Sina, jiwa manusia yang disebut al-nafs
al-nathiqat mempunyai dua daya, yaitu: 1) Daya praktis (al-‘amilah),
ini hubungannya dengan jasad. Daya praktis ini disebut juga al-aql al-‘amali
(akal atau intelegensia praktis), yaitu daya jiwa insani yang memiliki
kekuasaan atas badan manusia, dengan jiwa inilah manusia mampu melaksanakan
perbuatan-perbuatan yang mengandung pertimbangan dan pemikiran yang membedakan
dirinya dengan binatang; 2) Daya teoritis (al-‘alimah), ini hubungannya
dengan hal-hal yang abstrak. Daya teoritis ini disebut juga al-aql
al-nazhari (akal intelegensia teoritis), yaitu daya jiwa yang berfungsi untuk
menemukan konsep umum yang ditimbulkan dari materi. Perkembangan intelegensia di
sini dipengaruhi oleh adanya proses interaksi dengan lingkungannya baik melalui
proses belajar mengajar atau pengalaman-pengalaman.
Untuk meningkatkan kualitas jiwa dan akal
manusia, menurut Ibnu Sina, diperlukan latihan-latihan berupa penelitian dan
pendidikan, karena sifat seseorang bergantung pada jiwa yang berpengaruh pada
dirinya. Jika jiwa manusia telah mempunyai kesempurnaan sebelum berpisah dengan
badan, maka ia akan memperoleh kesenangan abadi di akhirat. Sebaliknya, jika ia
berpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna akibat terengaruh hawa nafsu,
maka ia akan sengsara di akhirat.[9]
Pandangan seperti ini membawa implikasi kepada konsepnya Ibnu Sina tentang
pendidikan yang mengutamakan pendidikan jiwa.
a.
Tujuan Pendidikan
Ibnu Sina menjelaskan bahwa tujuan pendidikan
memiliki tiga fungsi, yaitu: 1) tujuan itu menentukan haluan bagi proses
pendidikan; 2) tujuan itu bukan hanya menentukan haluan yang dituju tetapi juga
sekaligus memberi rangsangan; 3) tujun itu adalah nilai, dan jika dipandang
bernilai, dan jika diinginkan, tentulah akan mendorong pelajar mengeluarkan
tenaga yang diperlukan untuk mencapainya. Berangkat dari pandangan ini, tujuan
pendidikan menurut Ibnu Sina adalah pendidikan harus diarahkan pada
pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya
yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti.
Selain itu pendidikan juga harus diarahkan
pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di masyarakat secara
bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai
dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya. Khusus
mengenai pendidikan jasmani, Ibnu Sina berpendapat hendaklah tujuan pendidikan
tidak melupakan pembinaan fisik dan segala sesuatu yang berkaitan dengan
olahraga dan menjaga kebersihan. Sedangkan dalam kaitannya dengan keterampilan
ditujukan pada pendidikan bidang perkayuan, penyablonan, dll, sehingga akan
muncul tenaga-tenaga pekerja profesional yang mampu mengerjakan pekerjaan
secara profesional.
Dengan adanya pendidikan jasmani itu diharapkan
seorang anak didik akan terbina pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya.
Sedangkan dengan pendidikan budi pekerti diharapkan seorang anak didik memiliki
kebiasaan bersopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari dan sehat jiwanya.
Dengan pendidikan kesenian seorang anak diharapkan dapat mempertajam
perasaannya dan meningkat daya khayalan. Begitu pula pendidikan keterampilan
diharapkan bakat dan minat anak didik dapat berkembangan secara optimal.
Khusus mengenai tujuan pendidikan untuk
membentuk manusia yang berkepribadian akhlak mulia, Ibnu Sina juga mengemukakan
bahwa ukuran akhlak mulia tersebut dijabarkan secara luas yang meliputi aspek
kehidupan manusia, seperti aspek pribadi, sosial dan spiritual. Ketiganya harus
berfungsi secara integral dan komperehensif. Pembentukan akhlak mulia ini juga
bertujuan untuk mencapai kebahagiaan (sa’adah). Kebahagiaan menurut Ibnu
Sina dapat diperoleh manusia secara bertahap. Dari tujuan pendidikan yang
berkenaan dengan budi pekerti, kesenian, dan perlunya keterampilan sesuai
dengan bakat dan minat tentu erat kaitannya dengan perkembangan jiwa seseorang.
Hal ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan yang bersifat spiritual mendapat
penekanan yang lebih.[10]
b.
Kurikulum Pendidikan
Menurut Ibnu Sina, ada beberapa ilmu yang
perlu dipelajari dan dikuasai oleh anak didik berdasarkan tingkat perkambangan usianya,
yaitu sebagai berikut:
1)
Usia 3-5 tahun, pada usia
ini anak didik perlu diberi mata pelajaran olahraga, budi pekerti, kesenian,
seni suara, dan kebersihan dengan penekanan aspek afektif dan pendidikan
akhlak.
2)
Usia 6-14 tahun.
Kurikulum untuk anak usia ini mencakup pelajaran membaca dan menghafal
al-Qur’an, pelajaran agama, pelajaran olahraga dan pelajaran sya’ir dengan
penekanan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
3)
Usia 14 tahun ke atas.
Pada usia ini mata pelajaran yang perlu diberikan kepada anak berbeda dengan
usia sebelumnya. Mata pelajaran diberikan kepada anak didasarkan atas bakat dan
minatnya anak, sehingga anak diarahkan untuk menguasai suatu bidang ilmu
tertentu, atau spesialisasi bidang keilmuan.
Di samping itu
Ibnu Sina membagi mata pelajaran ke dalam kelompok ilmu yang bersifat teoritis
dan praktis. Ilmu yang bersifat teoritis meliputi ilmu tabi’i (kedokteran,
astrologi, ilmu firasat, ilmu tafsir mimpi, ilmu kimia), ilmu matematika dan
ilmu ketuhanan (mencakup ilmu tentang cara-cara turunnya wahyu, hakikat jiwa
pembawa wahyu, mu’jizat, ilham, ilmu tentang kekelan ruh, dsb). Sedangkan ilmu
yang bersifat praktis meliputi ilmu akhlak, ilmu pengurusan rumah
tangga, ilmu politik terutama dalam kehidupan bermasyarakat yang menginginkan
tegaknya keadilan dengan menetakan undang-undang dan syari’at. Adapun konsep
kurikulum yang ditawarkan Ibnu Sina memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1)
Dalam penyusunan
kurikulum hendaklah memertimbangkan aspek psikologis anak.
2)
Kurikulum yang diterapkan
harus mampu mengembangkan potensi anak secara otimal dan harus seimbang antara
jasmani, intelektual dan akhlaknya.
3)
Kurikulum yang disusun
harus berlandaskan keada ajaran dasar dalam Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah,
sehingga anak didik akan memiliki iman, ilmu dan amal secara integral.
4)
Kurikulum yang ditawarkan
adalah kurikulum berbasis akhlak yang diperoleh melalui pendidikan seni dan
syair.[11]
c.
Metode Pendidikan
Dengan pertimbangan psikologis anak, Ibnu Sina
berpendapat bahwa suatu materi pelajaran tertentu tidak akan dapat dijelaskan
kepada bermacam-macam anak didik dengan satu cara saja, melainkan harus dicapai
dengan berbagai cara sesuai dengan perkembangannya. Penyampaian materi
pelajaran pada anak menurutnya harus disesuaikan dengan sifat dari materi
pelajaran tersebut, sehingga antara metode dengan materi yang diajarkan tidak
kehilangan daya relevansinya. Metode yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain
metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi, magang, penugasan
dan hukuman (targhib dan tarhib). Adapun penjelasannya sebagai
berikut:
1)
Metode talqin
digunakan untuk mengajarkan membaca al-Qur’an. Dimulai dengan memperdengarkan
bacaan al-Qur’an kepada anak didik, sebagian demi sebagian. Setelah itu anak
tersebut diminta untuk mendengarkan dan mengulangi bacaan tersebut
perlahan-lahan dan dilakukan berulang-ulang, hingga akhirnya ia hafal.
2)
Metode demonstrasi
digunakan dalam pembelajaran yang bersifat praktik, seperti mengajarkan caranya
menulis. Guru memberikan contoh tulisan huruf hijaiyyah di depan anak didik, kemudian
guru meminta mereka untuk mendengarkan ucapan huruf hijaiyyah sesuai dengan
makhrajnya, dan dilanjutkan dengan mendemonstrasikan cara menulisnya.
3)
Metode pembiasaan dan
keteladanan digunakan untuk mengajarkan akhlak. Metode ini menjadi lebih efektif apabila
disesuaikan dengan tingkat perkembangan jiwa anak didik. Ibnu Sina mengakui
adanya pengaruh “mengikuti/meniru” atau contoh teladan dalam proses pendidikan
di kalangan anak pada usia dini terhadap kehidupan mereka, karena secara
naluriyah anak mempunyai kecenderungan untuk mengikuti dan meniru segala yang
dilihat, dirasakan, dan yang didengarnya.
4)
Metode diskusi digunakan
dengan cara penyajian pelajaran di mana anak didik dihadapkan kepada suatu
masalah yang dapat berupa pertanyaan yang bersifat problematis untuk dibahas
dan dipecahkan bersama. Ibnu Sina menggunakan metode ini untuk mengajarkan
pengetahuan yang bersifat rasional dan teoritis.
5)
Metode magang digunakan
untuk menggabungkan teori dan praktik. Metode ini memiliki manfaat ganda, yaitu
membuat anak didik menjadi mahir dalam suatu bidang ilmu, juga akan mendatangkan
keahlian dalam bekerja.
6)
Metode penugasan
digunakan dengan cara guru memberikan tugas tertentu agar anak didik melakukan
kegiatan belajar. Dalam hubungan ini, Ibnu Sina biasanya menyusun sejumlah
modul atau naskah kemudian menyampaikannya kepada anak didik untuk
dipelajarinya.
7)
Metode targhib dan
tarhib. Dalam pendidikan modern, metode targhib dikenal dengan
istilah reward yang berarti ganjaran, hadiah atau penghargaan sebagai
motivasi yang baik. Namun dalam keadaan terpaksa, metode tarhib atau
hukuman dapat dilakukan dengan cara memberi peringatan secara halus dan
hati-hati.[12]
Dari beberapa
metode yang diuraikan di atas terdapat empat ciri-ciri penting yang hingga
sekarang masih banyak digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini menujukkan
bahwa pemikiran Ibnu Sina dalam bidang metode pengajaran masih relevan dengan
tuntutan zaman. Adapun ciri-ciri itu antara lain:
1)
Pemilihan dan penerapan
metode harus disesuaikan dengan karakteristik mata pelajaran.
2)
Metode yang diterapkan
harus mempertimbangkan kondisi psikologis anak, termasuk bakat dan minatnya.
3)
Metode yang diterapkan
tidak kaku, tetapi dapat berubah sesuai kondisi dan kebutuhan anak didik.
4)
Ketepatan dalam memilih dan
menerapkan metode sangat menentukan keberhasilan pembelajaran.
d.
Konsep Guru
Guru memiliki peran sangat penting dalam
pendidikan. Dalam hubungan ini, Ibnu Sina mengatakan bahwa guru yang baik
adalah guru yang berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak,
cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan
main-main di hadapan anak didik, serta sopan santun. Lebih lanjut, seorang guru
sebaiknya dari kaum pria yang terhormat dan menonjol budi pekertinya, telaten
dalam membimbing anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan
anak-anak, dan tidak keras hati.
Ibnu sina juga menekankan agar seorang guru
tidak hanya mengajarkan dari segi teoritis saja kepada anak didiknya, melainkan
juga melatih segi keterampilan, mengubah budi pekerti dan kebebasannya dalam berfikir.
Seorang guru harus mengutamakan kepentingan ummat daripada kepentingan diri
sendiri, menjauhkan diri dari meniru sifat raja dan orang-orang yang berakhlak
rendah, dan mengetahui etika dalam majelis ilmu.[13]
Uraian di atas menunjukkan bahwa seorang guru
harus memiliki kompetensi keilmuan yang bagus, berkepribadian mulia dan
kharismatik sehingga dihormati dan menjadi idola bagi anak didiknya. Hal ini
penting, karena dengan kompetensi itu tentulah anak didik akan menyukainya, dan
ilmu yang diajarkan guru mudah diterima oleh anak didik. Di samping itu, seorang
guru dapat mencerdaskan anak didiknya dengan berbagai pengetahuan yang
diajarkannya, dan dengan akhlak seorang guru dapat membina mental dan akhlak
anak didik.
3.
Relevansi Pemikiran Ibnu
Sina Terhadap Pendidikan Masa Kini
Barangkali ada benarnya jika
Ibnu Sina dikatakan sebagai produk sejarah. Bahwa suatu pemikiran sebagai produk
masyarakat yang telah lalu, tentu akan jauh berbeda dengan situasi sosial
dimana pendidikan harus berperan di dalamnya, seperti pada konteks pendidikan kekinian. Begitu juga Ibnu Sina, konsep pendidikannya merupakan
aplikasi dan responsi dari jawaban atas permasalahan sosial kemasyarakatan pada
zamannya.
Akan tetapi jika dicermati
dengan seksama, maka format pemikiran Ibnu Sina tentang pendidikan akan tampak
jelas, bahwa ia menggandrungi konsep pendidikan Islam dalam wujudnya yang humanis,
seperti keterkaitan antara materi pelajaran dengan pertimbangan dalam menerapkan
suatu metode pengajaran. Dengan kata lain, pendidikan hendaknya menggunakan strategi
dan metode yang sesuai dengan tingkat perkembangan psikologis anak didik. Subtansi
ide semacam inilah yang perlu dipertahankan dan dikembangkan lebih lanjut pada
sistem pendidikan Islam dewasa ini.
Di samping itu, pemikiran Ibnu
Sina tentang pendidikan juga mengacu pada tiga aspek potensi (fitrah)
peserta didik, yaitu jiwa (al-qalb), jasad (al-jism), dan akal (al-‘aql).
Dari ketiga aspek potensi tersebut – tanpa mengesampingkan aspek akal/rasio – Ibnu
Sina tampak lebih cenderung menekankan pada aspek pendidikan jiwa (al-qalb)
atau sisi afektif dan akhlaq al-karimah.[14] Penekanan Ibnu Sina terhadap sisi afektif ini bukan
berarti ia menafikan sisi lain seperti kognitif dan psikomotorik. Setidaknya
penekanan tersebut dapat dipahami bahwa Ibnu Sina menyadari betul arti keterbatasan
inderawi manusia, terutama akal/rasionya.
Bahkan sejarah pemikiran
manusia membuktikan keterbatasan akal. Pada abad pertengahan filsafat Yunani
(umumnya) dan filsafat Aristoteles (khususnya) dapat dikatakan pudar. Umar Amir
Hoesin menjelaskan bahwa kepudaran tersebut disebabkan antara lain karena
analisis-analisis dengan akal itu belum tentu dapat menjawab semua pertanyaan dan
mengumpulkan kebenaran yang sesungguhnya. Pikiran manusia (kognitif) tidak
mampu menjangkau wilayah non-rasional.[15]
Intuisilah (afektif) yang mampu memahami kebenaran secara kaffah.
Manusia yang hatinya bersih (qalbun salim) akan selalu siap menerima
pengetahuan dari Tuhan. Intuisi
(sisi afektif) adalah essensi manusia, sebab ia yang mengendalikan seluruh
fungsi organ dan psikis manusia yang kemudian melahirkan gerak psikomotorik. Bahkan Rasulullah juga memberikan penekanan pada sisi afektif pendidikan melalui
hadis “ala wahiya al-qalbu”, yaitu: ingat! ia adalah hati.[16]
Dengan preferensi itu,
maka pendidikan Islam harus berorientasi pada kecerdasan jiwa anak didik. Salah
satu diantaranya yang terpenting adalah perlunya pendidikan penyucian jiwa. Hal
ini sangatlah beralasan, karena ketika kita
meninjau ayat Q.S Al-Baqarah: 151,[17]
maka yang paling pertama dilakukan dalam proses pembelajaran justru adalah upaya
penataan diri (tazkiyah), baru diikuti proses ta’lim al-kitab
(proses pengajaran kitab atau materi) dan disusul dengan ta’lim
(belajar) terhadap sesuatu yang belum diketahui anak didik. Bertolak dari pemahaman ini, maka
dapat dipastikan bahwa keteraturan jiwa (kesiapan psikologis) anak didik dalam proses belajar-mengajar
menjadi
titik pangkal bagi pengembangan potensinya baik dari aspek intelektual,
emosional, maupun spiritual. Tegasnya, pendidikan yang berorientasi kepada jiwa dapat
mencerdaskan anak didik sekaligus membentuk kepribadian yang berakhlak mulia.
Profil anak didik seperti ini sangat dibutuhkan dalam konteks kekinian.
Apalagi dalam konteks
pendidikan Islam di Indonesia, akhlak menjadi sesuatu yang sangat prioritas.
Bahkan akhlak mulia menjadi salah satu indikator penting dalam rumusan tujuan
Pendidikan Nasional (pasal 3 UU Sisdiknas Tahun 2003).[18]
Oleh karena itu, perhatian tokoh dan praktisi pendidikan sangat dibutuhkan
untuk membangun karakter bangsa ke arah yang lebih terhormat.
C.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa Ibnu Sina meskipun lebih dikenal sebagai seorang yang ahli
dalam bidang ilmu kedokteran, namun beliau juga merupakan salah satu tokoh
muslim yang dipandang memiliki perhatian serius dalam kaitannya dengan masalah
ummat, termasuk di dalamnya adalah masalah pendidikan. Beliau dilahirkan dalam
lingkungan masyarakat yang menganut paham Syi’ah Ismailiyyah, akan tetapi
beliau mengembangkan pemikiran dengan caranya sendiri untuk mencari suatu
kebenaran. Dengan sangat rasional Ibnu Sina juga mampu menghadirkan ide-ide
yang cemerlang dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, tak terkecuali ilmu
tentang pendidikan.
Pandangan Ibnu Sina tentang pendidikan dapat
dilihat melalui gagasannya yang apik tentang tujuan, kurikulum, metode dan
konsep guru. Pada dasarnya pandangan Ibnu Sina tersebut masih sangat aktual dan
relevan dengan perkembangan pendidikan modern sekarang ini. Relevansinya
terletak pada upaya mempersiapkan anak didik agar dapat hidup di masyarakat secara
bersama-sama dengan melakukan pekerjaan yang sesuai dengan bakat, kesiapan,
keenderungan dan potensi yang dimilikinya, tanpa mengabaikan unsur akhlak al-karimah
sebagai ciri-ciri dasarnya anak didik.
Al-Nawawi, Imam Yahya bin Syaraf al-Din, Matan
al-Arba’in al-Nawawiyah, Surabaya: Penerbit al-Miftah.
Assegaf, Abd. Rachman, Aliran Pemikiran Pendidikan
Islam: Hadharah Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern, Jakarta: Rajawali
Pers, 2013.
Iqbal, Abu Muhammad, Pemikiran Pendidikan Islam:
Gagasan-gagasan Besar Para Ilmuwan Muslim, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju
Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global, Yogyakarta: Kurnia Kalam
Semestas, 2014.
Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam:
Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 2000.
_______, Ilmu
Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, Jakarta: Rajawali Pers,
2010.
Qamar, Mujamil, Epistemologi
Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, Jakarta:
Erlangga, 2005.
MAKALAH PRAREVISI
[1] Sejumlah ulama yang memiliki perhatian dalam bidang pendidikan antara lain
Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu, Rusyd, Ibnu Sahnun, Al-Qabisi,
Ibnu Jamaah dan Ibnu Taimiyah. Mereka selain mencurahkan waktu, tenaga dan
pemikirannya untuk mengajar, juga untuk menulis sejumlah buku yang didalamnya
terdapat uraian tentang pendidikan dan pengajaran, etika guru, dsb. Uraian
lebih lanjut dapat dibaca dalam Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan
Pendekatan Multidisipliner, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 89.
[2] Penyebutan nama Ibnu Sina menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan para
ahli sejarah. Sebagian ada yang mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari
bahasa Latin, Aven Sina, dan sebagian ada yang mengatakan nama itu dari
kata al-shin yang dalam bahasa Arab berarti China. Selain itu ada pula
yang menghubungkan nama Ibnu Sina atau Avicenna dengan tempat kelahirannya,
yaitu Afshana. Lihat Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan
Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo,
2000), hlm. 59.
[3] Ada yang menyebutkan bahwa ibunya sebagai orang yang berkebangsaan Persia,
karena pada abad ke-10 M wilyah Afghanistan termasuk daerah Persia. Lihat Abu
Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam: Gagasan-gagasan Besar Para
Ilmuwan Muslim, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 2.
[4] Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam: Hadharah
Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 78-79.
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي
الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى
كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلا
Artinya: “Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami
angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang
baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
[8] Sebagai subjek, manusia menentukan corak dan arah pendidikan. Sedangkan
sebagai objek, manusia menjadi fokus perhatian segala teori dan praktik
pendidikan. Ulasan lebih lanjut dapat dibaca dalam Maragustam, Filsafat Pendidikan
Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global, (Yogyakarta:
Kurnia Kalam Semestas, 2014), hlm. 61.
[9] Ibnu Sina membedakan antara jiwa dan jasad. Kesatuan antara keduanya
bersifat accident, hancurnya jasad tidak membawa pada hancurnya ruh
(jiwa). Akan tetapi jiwa yang kekal adalah jiwa insaniyah di mana kelak
akan mendapat pembalasan di akhirat. Bagi Ibnu Sina, jiwa memiliki kedudukan
sangat penting dari pada jasad. Lihat Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran
Pendidikan Islam ..., hlm. 6.
[14] Menurut Ibnu Sina, akhlak dapat membawa kesehatan psikologis dan fisik
anak-anak. Lihat Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam ...,
hlm. 97.
[15] Misalnya Aristoteles mengatakan
bahwa baik itu adalah yang bagi
semua orang dikatakan baik. Tetapi
Aristoteles tidak berhasil menerangkan alasan; mengapa sesuatu yang telah
dikatakan baik itu dapat dianggap tidak baik oleh orang lain. Ternyata,
Aristoteles sebagai filosof Yunani yang paling mengandalkan potensi akal
(kognitif) itu tidak menyadari, bahwa ada unsur relativitas pada akal pikiran
manusia. Ulasan lebih lanjut dapat dibaca dalam Mujamil Qamar, Epistemologi
Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, (Jakarta:
Erlangga, 2005), hlm. 67.
...”أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَھِيَ الْقَلْبُ “ روَاهُ الْبُخَرِىّ وَمُسْلِمٌ
Dikutip dari Imam Yahya bin Syaraf
al-Din al-Nawawi, Matan
al-Arba’in al-Nawawiyah,
(Surabaya: Penerbit al-Miftah), hlm. 10.
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا
وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا
لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
Artinya: “Sebagaimana (kami telah menyempurnakan
nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang
membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan
kepadamu Al kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum
kamu ketahui.”
[18] “Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Komentar
Posting Komentar