Metode Ijtihad Dalam Hukum Islam: Bayani, Istislahi, & Ta’lili

MAKALAH
METODE IJTIHAD DALAM HUKUM ISLAM:
IJTIHAD BAYANI, IJTIHAD ISTISLAHI, DAN IJTIHAD TA’LILI
  


Oleh:
Rajibullah

PENDAHULUAN
            Perkembangan hukum dalam prosesnya dibagi menjadi empat periode yaitu periode Nabi, periode Sahabat, periode ijtihad serta kemajuan dan periode taklid serta kemundurannya. Seperti diketahui bahwa dimasa Nabi umumnya penyelesaian kasus-kasus hukum pada waktu itu diselesaikan oleh nabi melalui wahyu Ilahi.  Dalam kasus yang lain ketika nabi menghadapi berbagai persoalan ummat yang muncul ketika itu, nabi tidak mendapatkan wahyu sedangkan persoalan tersebut harus segera diselesaikan, maka ketika itu nabi menyelesaikannya dengan jalan berijtihad. Ijtihad yang diturunkan nabi, diturunkan kepada generasi-generasi selanjutnya melalui sunah atau tradisi Nabi.  
          Ketika rasul meninggal persoalan umat tidaklah berhenti tetapi terus berkembang sehingga muncullah  ijtihad baik bagi kalangan Sahabat, Tabi’in, Tabi’ Tabi’in dan generasi seterusnya sampai kepada ulama-ulama akhir zaman yang disebut dengan ulama kontemporer. Karna itu ijtihad adalah merupakan solusi yang paling efektif dan baik untuk dapat menyelesaikan permasalahan ummat. Dalam perkembangan selanjutnya metode ijtihad terus berkembang sehingga  dikenal metode Ijtihad intiqa’i dan ijtihad insya’i. Disamping metode ijtihad, bentuk-bentuk  ijtihadpun mengalami perkembangan  hal ini dilakukan dengan tujuan untuk dapat menyelesaikan persolan ummat sesuai dengan sunnah Allah dan rasulnya, demi untuk menjaga kenyamanan dan kedamaian dalam beribadah dan bermuamalah.
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN IJTIHAD
           Secara bahasa,  ijtihad اجتهاد berasal dari akar kata  jahada. Bentuk kata masdharnya terdiri dari dua bentuk yang berbeda artinya antara lain :
a. Jahdun dengan arti kesungguhan atau sepenuh hati  atau serius. Seperti dalam Al-Qur’an surat An- An’am ayat 109.
وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ...
Artinya :Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan
b. Jahdun dengan arti kesungguhan atau kemampuan yang didalamnya terkandung arti sulit, berat dan susah.[[1]] Seperti dalam Al-Qur’an surat An- Taubah ayat 79
وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ ....
Artinya : dan mereka (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka..
           Menurut Al-Amidi yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili (1978: 480), ijtihad   ialah : 
إستفرغ الوسع في طلب الظن بشيء من الأحكام الشرعية بحيث يحسي من نفس العجز عن المزيد فيه
Artinya: Mencurahkan segala kemampuan untuk menentukan sesuatu yang Zhanni dari hukum-hukum syara’ dalam batas sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usaha itu.[[2]]
Menurut al-Imam al-Syaukani Ijtihad  adalah :
بذل الوسع في نيل الحكم شرعي عملي بطريق الإستنباط
Artinya: Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syar’i yang bersifat amali melalui cara istinbath.[[3]]
 Sedangkan al-Gazali mendepenisikan ijtihad adalah :
بذل المجتهد وسعه في طلب العلم بأحكام الشرعية
Artinya: pengarahan segala kemampuan seorang mujtahid dalam memperoleh hukum-hukum syar’i.[[4]]
Muhammad Abu Zahrah, mengartikan bahwa ijtihad ialah pencurahan segenap kemampuan untuk sampai kepada suatu tujuan atau perbuatan.
       Dari uraian tersebut dapat diuraikan bahwasanya ijtihad memiliki garis besar seperti berikut :
Ijtihad, kegiatan, Pengarahan daya pikir sekuat-kuatnya, Pelakunya Ahli fiqih yang memenuhi persyaratan, Lapangannya, Suatu masalah yang tidak terdapat nash  dalam Al-Qur’an,Tujuannya Mendapat/menemukan hukum tentang suatu masalah, Sifat HukumnyaZanny, bukan qhat’i (dugaan kuat, bukan kepastian).Sistem/kaedah menurut jalan pikiran, logika dan metode tertentu dan teratur dalam ilmu ushul fiqh, dibantu dengan qowa’idul ahkam, al-qowaidul fiqhiyah (kaedah-kaedah fiqih dan sebagainya).

B. DASAR-DASAR IJTIHAD
       Adapun yang menjadi dasar ijtihad ialah :
Al-Qur’an
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُول..
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil  amri  di antara  kamu.  Kemudian  jika  kamu   berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Qs. An-nisa : 59).[[5]]
فَاعْتَبِرُوا يَاأُولِي الْأَبْصَارِ.......
  Artinya : Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan”. (QS. Al-Hasyr (59) : 2) [[6]]
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Artinya : Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.
Sunnah/Hadits
Adapun sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya adalah  hadits ‘Amr bin al-‘Ash yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad bersabda:
إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران، وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر
Artinya: apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian benar maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala.(HR. Bukhari dan Muslim,dari Ammar bin al-‘As)[[7]].
 Hadits Rasulullah saw riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi
ولما بعث النبي معاذ بن جبل إلى اليمن قاضيا، قال له: (كيف تقضي إذا عرض لك قضاء؟) قال: أقضي بكتاب الله تعالى، قال: فإن لم تجد ؟ قال: فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، قال: فإن لم تجد؟ قال: أجتهد رأيي ولا آلو، قال معاذ: فضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم في صدري وقال: الحمد لله الذي وفق رسول رسول الله لما يرضي رسول الله
Artinya: Ketika Nabi mengutus Sahabat Muadz bin Jabal ke Yaman sebagai hakim Nabi bertanya: Bagaimana cara kamu menghukumi suatu masalah hukum? Muadz menjawab: Saya akan putuskan dengan Quran. Nabi bertanya: Apabila tidak kamu temukan dalam Quran? Muadz menjawab: Dengan sunnah Rasulullah. Nabi bertanya: Kalau tidak kamu temukan? Muadz menjawab: Saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan tidak akan melihat ke lainnya. Muadz berkata: Lalu Nabi memukul dadaku dan bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi pertolongan pada utusannya Rasulullah karena Nabi menyukai sikap Muadz.( HR. Abu Dawud)[[8]]
         Ketika Amr bin As bertugas sebagai pimpinan pasukan dalam suatu peperangan, disuatu malam Amr bermimpi dan mengeluarkan sperma. Ketika akan melaksanakan sholat subuh, ia hanya bertayamun, karena udara sangat dingin dan khawatir terhadap kesehatan tubuhnya apabila terkena air. Hal tersebut disampaikan kepada Nabi Muhammad dan ternyata Nabi Muhammad saw tidak mengingkari sebagai hasil ijtuhad. Secara logika dapat ditetapkan sebagai dasar adanya dan pentingnya ijtihad.[[9]]
C.HUKUM MELAKSANAKAN IJTIHAD
Setiap muslim pada dasarnya diharuskan untuk berijtihad pada semua bidang hukum dan syari’ah, asalkan dia mempunyai kriteria dan syarat sebagai seorang mujtahid. Para ulama’ membagi hukum untuk melakukan ijtihad dengan lima  bagian, yaitu :
            1. Wajib ain, yaitu bagi seorang yang faqih yang mereka yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang terjadi, sedangkan hanya dia seorang faqih yang dapat melakukan ijtihad  dan ia khawatir peristiwa itu lenyap tanpa ada kepastian hukumnya, maka hukum berijtihad baginya adalah wajib ain[[10]]
2. Wajib Kifayah, yaitu bagi mereka yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa, sedangkan hanya dia seorang faqih yang dapat melakukan ijtihad, yang tidak dikhawatirkan peristiwa tersebut akan lenyap. atau  selain dia masih terdapat faqih-faqih lainnya yang mampu berijtihad. Maka apabila ada seorang faqih saja yang berijtihad maka faqih yang lainnya bebas dari kewajiban berijtihad. Akan tetapi jika tidak ada seorang faqihpun yang berijtihad maka faqih semuanya yang ada disitu semuanya berdosa karena telah meninggalkan  kewajiban kifayah.
            3. Sunnah, yaitu apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang belum atau tidak terjadi. Tetapi umat menghendaki ketetapan hukumnya, untuk mengantisipasinya. Artinya tidak berdosa seorang faqih tersebut meninggalkan ijtihad, akan tetapi bila dia berijtihad maka dia mendapatkan pahala.[[11]]
            4. Mubah, yaitu apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang belum atau sudah  terjadi dalam kenyataan. Tetapi kasus tersebut belum diatur secara jelas dalam nas al-Qur’an dan hadits. Sedangkan orang yang  faqih tersebut ada bebrapa orang, maka ia dibolehkan dalam berijtihad.
            5. Haram, yaitu apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang telah ada hukumnya dan telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang sharih, dan qath’i. atau bila seorang yang melakukan ijtihad tersebut belum mencapai tingkat faqih. Karena ijtihad tidak boleh dilakukan bila telah ada dalil yang sharih dan qath’i, sedangkan dia tidak punya kemampuan dalam berijtihad[[12]]
D. RUANG LINGKUP IJTIHAD
          Berkaitan dengan ruang lingkup ijtihad para ulama ushul sepakat bahwasanya ijtihad ini hanya terjadi pada ayat-ayat yang bersifat zhanniyah, karena sebagian dari materi-materi hukum dalam Al-Qur’an dan Sunah, sudah terbentuk diktum yang odentik, yakni tidak mengandung pengertian lain, atau sudah diberi interpretasi otentik oleh sunah itu sendiri. Di samping itu, juga ada sebagian diantaranya yang sudah memperoleh kesepakatan bulat serta diberlakukan secara umum dan mengikat semua pihak atau berdasarkan ijma’.
          Peraturan hukum Islam seperti kewajiban shalat, zakat, puasa, haji, berbakti kepada orang tua, mengasihi orang miskin, serta menyantuni anak yatim dan larangan berzina, mencuri, membunuh tanpa hak dan lain-lain, adalah termasuk kategori hukum Islam yang sudah diketahui oleh umum dan bersifat mengikat semua pihak, serta tidak memerlukan interpretasi lain lagi. Pengertiannya sudah begitu jelas dan otentik dalam teori maupun praktek. Jenis peraturan tersebut disebut dengan mujma’’alaih wa ma’lum min al-din bi al–dharrah dan bersifat qath’iyyah. Hal ini diketahui secara terus menerus sejak dari masa Rasulullah SAW hingga saat ini. Pengetahuan yang demikian memang sudah meyakinkan dan tidak perlu lagi interpretasi. Hal demikian tidak perlu lagi diijtihadkan, sebagaimana disebutkan oleh ulama ushul dengan kaidah yang berbunyi:
“Tidak diperkenankan berijtihad ketika sudah ada ketetapan nash”.
 Salah satu contoh suatu nash yang sudah tegas syarih lagi qath’i wurud dan qath’i dalalahnya ialah seperti firman Allah S.W.T:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَة.....
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing keduanya seratus kali” (Q.S.24. An-Nur 2).                     
E. BENTUK-BENTUK CARA BERIJTIHAD
        Ada  tiga bentuk ijtihad, yaitu: Ijtihad intiqa’i, ijtihad insya’i dan ijtihadMuqorin
1.      Ijtihad intiqa’i adalah ijtihad yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk memilih pendapat para ahli fikih terdahulu mengenai masalah-masalah tertentu, sebagai mana tertulis dalam kitab fikih, kemudian menyeleksi mana yang lebih kuat dalilnya dan lebih relevan dengan kondisi kita sekarang[[13]]
Kemungkinan besar pendapat para ahli fiqih terdahulu mengenai masalah yang dipecahkan itu berbeda-beda, dalam hal ini para ulama bertugas untuk mempertimbangkan dan menyeleksi dalil-dalil yang mereka pergunakan, kemudian memberikan pendapatnya mengenai suatu permasalahan yang dianggapnya lebih kuat dan lebih dapat diterima. Mereka itu terdiri dari ahli tarjih dalam klasifikasi mujtahid yang dikemukan oleh ahli ushul fiqih pada umumnya.
 Sebagai contoh dapat dilihat dalam masalah talak atau perceraian. Menurut mayoritas ulama fiqih terdahulu termasuk mazhab yang empat, bahwatalak yang yang dinyatakan jatuh apabila diucapkan oleh suami dalam keadaan sadar dan atas kehendak sendiri  tampa harus bergantung pada adanya saksi[[14]]. Akan tetapi menurut pendapat kalangan fiqih Syiah, talak baru dianggap terjadi kalau disaksikan oleh dua orang saksi yang adil. Agaknya pada masa sekarang ini pendapat Syiah ini mungkin lebih dapat diterima.
Di Indonesia, berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, talak baru dianggap terjadi kalau dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama. Sekirannya talak di syaratkan adanya saksi sesuai pendapat Syiah, suami dimungkinkan untuk dapat berpikir dengan baik,  sebelum menjatuhkan talak, dengan demikian suami tidak menjatuhkan talak kapan dan dimanapun ia berada.   Karena itu  dalam melaksanakan ijtihad intiqa’i diperlukan analisis yang cermat dengan memperhatikan faktor sosial budaya, kemajuan iptek  yang sesuai dengan perkembangan zaman. Diperlukan kajian terhadap dalil-dalil yangdigunakan oleh ahli fiqih terdahulu dan juga relevansinya dimasa sekarang[[15]]
2.      Ijtihad insya’i usaha untuk menetapkan kesimpulan hukum mengenai peristiwa-peristiwa baru yang belum diselesaikan oleh para ahli fikih terdahulu[[16]]
 Dalam ijtihad ini diperlakukan pemahaman yang menyeluruh terhadap kasus-kasus baru yang akan ditetapkan hukumnya. Jadi dalam menghadapi persoalan yang sama sekali baru diperlukan pengetahuan mengenai masalah yang sedang dibahas, tampa mengetahui kasus yang baru tersebut maka kemungkinan besar hasil ijtihadnya akan membawa kepada kekeliruan.
Sebagai contoh dalam kasus pencangkokan jaringan atau organ tubuh manusia. Guna menetapkan hukumnya maka perlu didengar lebih dahulu pendapat para ahli dalam bidang kedokteran, khususnya ahli bedah, setelah diketahui secara jelas perihal pencangkokan tersebut kemudian baru dimulai dibahas dalam disiplin ilmu agama  Islam, untuk kemudian diambil kesimpulannya.[[17]] Dalam Ijtihad Insya’i ini diperlukan pemahaman tentang metode  penetapan hukum diantara metode tersebut adalah qiyas, istihsan, maslahat mursalat, dan saddu al-zari’at.     
3.      Ijtihad Muqorin (Komperatif)  adalah menggabungkan kedua bentuk ijtihad diatas ( intiqa’i dan Insya’i ) dengan demikian disamping untuk menguatkan atau mengkompromikan beberapa pendapat, juga diupayakan adanya pendapat baru sebagai jalan keluar yang lebih sesuai dengan tuntunan zaman. [[18]]
Pada dasarnya, hasil ijtihad yang dihasilkan oleh ulama terdahulu merupakan karya agung yang masih utuh, bukanlah menjadi patokan mutlak, melainkan masih memerlukan ijtihad baru. Karena itu diperlukan kemampuan mengutak-atik, mengkaji ulang hasil sebuah ijthad tersebut, dengan jalan menggabungkan kedua bentuk ijtihad tersebut diatas.
F. METODE-METODE IJTIHAD
Menurut Dawalibi, membagi ijtihad menjadi tiga bagian yang sebagiannya sesuai dengan pendapat al-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqot, yaitu :
A.    Ijtihad Al-Bayani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam nash namun sifatnya masih zhonni baik dari segi penetapannya maupun dari segi penunjukannya.[[19]]
Metode ijtihad bayani upaya penemuan hukum melalui kajian kebahasaan (semantik). Konsentrasi metode ini lebih berkutat pada sekitar penggalian pengertian makna teks: kapan suatu lafaz diartikan secara majaz, bagaimana memilih salah satu arti dari lafaz musytarak (ambigu), mana ayat yang umum dan mana pula ayat yang khusus, kapan suatu perintah dianggap wajib dan kapan pula sunat, kapan laragan itu haram dan kapan pula makruh dan seterusnya.
Ijtihad ini hanya memberikan penjelasan hukum yang pasti dari dalil nas tersebut. Umpanya menetapkan keharusan ber’iddah tiga kali suci terhadap isteri yang dicerai dalam keadaan tidak hamil dan pernah dicampuri.berdasarkan firman Alalh surat al-Baqarah ayat 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ....
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'
Dalam ayat ini memang dijelaskanbatas waktu iddah adalah  tiga kali quru’ namun tiga kali quru’ tersebut bisa berarti suci atau haid. Ijtihad menetapkan tiga kali quru’ dengan memahami petunjuk/Qarinah yang ada disebut  ijtihad bayani
B.     Ijtihad Ta’lili/Al-Qiyasi, yaitu ijtihad untuk menggali dan menetapkan hukum terdapat permasalahan yang tidak terdapat dalam Al Quran dan sunnah dengan menggunakan metode qiyas.  Dalam ijtihad qiyasi ini hukumnya memang tidaktersurat tetapi tersirat dalam dalil yang ada. Untuk mencari hukum tersebut diperlukan ijtihad qiyasi. Contoh hukum memukul kedua orang tua yang diqiaskan dengan mengatakan ucapan “akh.”
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا.
Artinya: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan “akh” (Q.S al-Isra’: 23)
‘illatnya ialah menyakiti hati kedua orang tua, diqiyaskan kepada hukum memukul orang tua? Dari kedua peristiwa itu nyatalah bahwa hati orang tua lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan “ah” yang diucapkan anaknya kepadanya.
C.     Ijtihad Isthislahi, Menurut Muhammad Salam Madkur Ijtihad Istishlahi adalah pengorbanan kemampuan untuk sampai kepada hukum syara’ (Islam) dengan menggunakan pendekatan  kaidah-kaidah  umum (kulliyah), yaitu   mengenaimasalah yang mungkin digunakan pendekatan kaidah-kaidah umum tersebut, dan tidak ada nash yang khusus atau dukungan ijma’ terhadap masalah itu. Selain itu, tidak mungkin pula diterapkan metode qiyas atau metode istihsan terhadap masalah itu. Ijtihad ini, pada dasarnya merujuk kepada kaidah jalb al-mashlahah wa daf’ al-mafsadah (menarik kemaslahatan dan menolak kemafsadatan), sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan untuk kaidah-kaidah syara’.[[20]]
Dalam metode ini, ayat-ayat umum dikumpulkan guna menciptakan beberapa prinsip umum yang digunakan untuk melindungi atau mendatangkan kemaslahatan. Prinsip-prinsip tersebut disusun menjadi tiga tingkatan yaitu: daruriyat (kebutuhan esensial), hajiyat (kebutuhan primer),tahsiniyyah (kebutuhan kemewahan). Prinsip umum ini ditujukan kepada persoalan yang ingin diselesaikan. Misalnya tranplantasi organ tubuh, bayi tabung dan hal-hal lain yang tidak dijelaskan oleh nash.




G. PEMBAGIAN  IJTIHAD
Ada beberapa pendapat ahli ushul mengenai pembagian ijtihad di antaranya yaitu : Menurut Mahdi Fadhl membagi ijtihad menjadi dua bagian:
1)      Ijtihad mutlak, yaitu ijtihad yang melengkapi semua masalah hukum, tidak memilah-milahnya dalam bentuk bagian-bagian masalah hukum tertentu. Atau biasa di sebut dengan ijtihad paripurna. Ulama yang mempunyai kemampuan dalam hal ini disebut mujtahid mutlaq, yaitu seorang faqih yang mempunyai kemampuan ijtihad meng-istinbath-kan seluruh bidang hukum dari dalil-dalilnya; atau mempunyai kemampuan meng-istinbath-kan hukum dari sumber-sumber hukum yang diakui secara syar’i dan ‘aqli.
2)      Ijtihad juz-i. karia ijtihad seperti ini adalah kajian mendalam tentang bagian tertentu dari hukum dan tidak mendalam bagian yang lain. Pelaku (muhtahid)-nya disebut mujtahid juz-i, yaitu faqih yang mempunyai kemampuan mengistinbathkan sebagian tertentu dari hukum syara’ dari sumbernya yang muktabar tanpa kemampuan mengistinbathkan semua hukum.
Imam mujtahid yang empat (Maliki, Syafi’I,Hambali dan Ahmad) termasuk kepada bagian pertama(mujtahid mutlaq) dan kebanyakan mujtahid lainnya termasuk bagian yang kedua(mujtahid juz-i)[[21]]    
H. BEBERAPA POLA IJTIHAD
a)    Ijma’ ialah kesepakatan hukum yang diambil dari fatwa atau musyawarah para Ulama tentang suatu perkara yang tidak ditemukan hukumnya didalam Al qur'an ataupun hadis . Tetapi rujukannya pasti ada didalam Al-qur’an dan hadis. ijma’ pada masa sekarang itu diambil dari keputusan-keputusan ulama islam seperti MUI. Contohnya hukum mengkonsumsi ganja atau sabu-sabu adalah haram, karena dapat memabukkan dan berbahaya bagi tubuh serta merusak pikiran.  
b)      Qiyas adalah menyamakan yaitu menetapkan suatu hukum dalam suatu perkara baru yang belum pernah ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan seperti sebab, manfaat, bahaya atau  berbagai aspek dalam perkara sebelumnya sehingga dihukumi sama. Contohnya seperti pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan “ah” kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan dan menghina, sedangkan memukul orang tua tidak disebutkan. Jadi diqiyaskan oleh para ulama bahwa hukum memukul dan memarahi orang tua sama dengan hukum mengatakan Ah yaitu sama-sama menyakiti hati orang tua dan sama-sama berdosa.
c)      Maslahah mursalah ialah suatu cara menetapkan hukum  berdasarkan atas pertimbangan kegunaan dan manfaatnya.  Contohnya: di dalam Al Quran ataupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
d)     Saddu adzari’ah  adalah memutuskan suatu perkara yang mubah makruh atau haram demi kepentingan umat.
e)      istishab adalah  tindakan dalam menetapkan suatu ketetapan sampai ada alasan yang mengubahnya. Contohnya:  seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu ataupun belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang/yakin kepada keadaan sebelum ia berwudhu’,  sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
f)       Uruf  yaitu suatu tindakan dalam menentukan suatu perkara berdasarkan adat istiadat yang berlaku dimasayarakat dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis. Contohnya : dalam hal jual beli. sipembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang ia beli dengan tidak mengadakan ijab Kabul, karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.
g)      Istihsan yaitu suatu tindakan dengan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya, disebabkan adanya suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Contohnya: didalam syara’, kita dilarang untuk mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syara’ memberikan rukhsah yaitu kemudahan atau keringanan, bahwa jual beli diperbolehkan dengan sistem pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
Metode Ijtihad Empat Imam Mazhab
Di samping empat rujukan (al-Qur’an, sunah, ijma’ dan Qiyas) yang disepakati secara prinsip, diantara ulama mujtahid ada yang menggunakan cara-cara lain secara tersendiri yang antara seorang mujtahid dengan yang lainnya belum tentu sama. Ide dan cara yang digunakan oleh seorang mujtahid diluar empat rujukan diatas ada yang diikuti oleh mujtahid lain dan banyak pula mujtahid lain yang menolaknya. Perbedaan dalam segi yang disebutkan diatas menyebabkan hasil ijtihad temuan setiap mujtahid pun terdapat perbedaan dan masing-masing diikuti oleh orang-orang yang menganggapnya benar.
Dalam beberapa literature ushul fiqh, dirumuskan mengenai metode ijtihad yang ditempuh oleh empat imam madzhab, yaitu:
v  Metode ijtihad Imam Abu Hanifah adalah dengan mencarinya dalam al-Qur’an dan sunah dengan caranya yang ketat dan hati-hati, pendapat shahabat, qiyas dalam pengunaanya yang luas, istihsan. Tidak disebutkannya ijma’ dalam rumusan itu bukan berarti Abu Hanifah menolak ijma’ tetapi menggunakan ijma’ Sahabat yang tergambar dalam ucapannya diatas.
v  Metode ijtihad Imam Malik adalah dengan menggunakan langkah sebagai berikut: Al-Quran, sunah, amalan ahli Madinah, mashlahat mursalah, qiyas, dan saddu dzari’ah. Amalan ahli Madinah disini berarti ijma’ dalam arti yang umum.
v  Metode ijtihad Imam Syafii adalah dengan menggali al-Quran, sunah yang shahih, meskipun lewat periwayatan perseorangan  (ahad),  ijma’ seluruh mujtahid umat Islam dan qiyas. al-Quran dan sunah dijadikannya satu level sedangkan ijma’ sahabat lebih kuat dari pada ijma’ ulama dalam artian umum. Langkah terakhir yang dilakukan adalah istishab.
v  Metode ijtihad Ahmad bin Hanbal adalah mula-mula mencarinya dalam al-Qur’an dan sunah, kemudian dalam fatwa shahabat, kemudian memilih diantara fatwa sahabat bila diantara fatwa tersebut terdapat beda pendapat, selanjutnya mengambil hadits mursal dan hadits yang tingkatnya diperkirakan lemah, baru terakhir menempuh jalan qiyas.
I. LANGKAH-LANGKAH DALAM MELAKSAKAN IJTIHAD
Tentang langkah yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid adalah berdasarkan hadits yang populer tentang dialog Nabi dengan Muadz bin Jabal ketika diutus Nabi ke Yaman untuk menjadi Hakim, hal ini merupakan dasar dari ijtihad. Langkah Muadz bin Jabal dalam menghadapi suatu masalah hukum adalah pertama, mencari dalam al-Quran. Kedua, jika tidak ditemukan dalam al-Quran, ia mencarinya dalam sunah Nabi. Ketiga, bila dalam sunah tidak ditemukan, maka ia menggunakan akal (ro’yu).
        Kronologis langkah yang dilakukan oleh Muadz bin Jabal itu diikuti pula oleh ulama yang datang sesudahnya, termasuk imam madzhab yang populer. Namun mereka berbeda dalam memahami al-Qur’an, sunah, dan kadar penggunaan akal dalam menetapkan hukum. perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan dalam menetapkan hukum fiqh.
Di bawah ini akan diuraikan langkah-langkah yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam istimbath hukum.
a.       Langkah pertama yang harus dilakukan mujtahid adalah merujuk pada al-Qur’an. bila menemukan dalil atau petunjuk yang umum dan dzahir, maka si mujtahid harus mencari penjelasannya, baik dalam bentuk lafadz khas yang akan mentakhsiskan, lafadz muqoyyad yang menjelaskan kemutlakannya, qorinah (petunjuk) yang akan menjelaskan maksudnya.[[22]]
b.      Kalau tidak ditemukan dalam hukumnya dalam al-Quran, mujtahid melangkah ke tahap berikutnya yaitu merujuk kepada sunah Nabi. Mula-mula mujtahid mencarinya dari sunah yang mutawatir, kemudian dari sunah yang tingkat keshahihannya berada di bawah mutawatir.  Bila tidak ditemukan dari yang tersurat dalam hadits, mujtahid mencarinya dari apa yang tersirat di balik lafadz itu.
c.       Langkah selanjutnya, mujtahid mencarinya dari pendapat ijma sahabat. Bila dari sini ia menemukan hukum, maka ia menetapkan hukum menurut apa yang telah disepakati oleh para sahabat tersebut. Kesepakatan ulama tersebut dinamai ijma’.
d.      Bila tidak ada kesepakatan ulama sahabat tentang hukum yang dicarinya, maka mujtahid menggunakan segenap kemampuan daya dan ilmunya untuk menggali dan menemukan hukum Allah yang ia yakini pasti ada, kemudian merumuskannya dalam formulasi hukum yang disebut fiqih.[[23]]
Meskipun secara prinsip ulama mujtahid sependapat dalam penggunaan empat sumber diatas yaitu al-Qur’an, sunah, ijma’ dan qiyas, namun dalam penempatan urutan penggunaannya terdapat perbedaan pendapat. Misalnya dalam hal apakah ijma’ harus didahulukan atas hadits ahad atau sebaliknya dan apakah ijma’ didahulukan dari pada qiyas atau sebaliknya.

KESIMPULAN
Dari uraian yang telah dikemukakan ini, dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa Ijthad adalah : pengarahan daya pikir yang sekuat-kuatnya, yang dilakukan oleh ahli fiqih, yang mempunyai kemampuan mengggali hukum-hukum syara’ yang  tidak terdapat dalam al-Qur’an hadis. Hukum melaksanakan ijtihad ada 5 yaitu wajib ain’, Fardu kifayah, sunat, mubah dan haram. Hukum ini tergantung kepada pelaku ijtihad tersebut dan hukum yang diijtihadkan. 
Bentuk-bentuk Ijtihad tersebut antara lain dalam bentuk ijtihad intiqa’i, yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk memilih pendapat para ahli terdahulu mengenai masalah tertentu kemudian diseleksi mana dalil yang kuat yang relevan dengan perkembangan zaman. Bentuk lain dalam berijtihad adalah melalui ijtihad
insya’i yaitu usaha menetapkan kesimpulan hukum mengenai peristiwa-peristiwa yang baru yang belum diselesaikan oleh para ahli fiqih terdahulu, sedangkan bentuk lain adalah melalui ijtihad komperatif  yaitu penggabungan antara ijtihad intiqa’i dan ijtihad insya’i.
Metode-metode ijtihad yaitu ijtihad bayani, ijtihad qiyasi[ta’lili] dan ijtihad isthilahi. Sedangkan langkah-langkah  berijtihad adalah pertama mereka merujuk kepada al-Qur’an, jika ditemukan dalam al-Qur’an mujtahid merujuk kepada sunnah, jika tidak ditemukan dalam sunnah mujtahid merujuk kepada sahabat, bila tidak ada kesepakatan dari para sahabat maka seorang mujtahid harus menggunakan daya  dan ilmunya  untuk melakukan ijtihad untuk merumuskan sebuah hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Al-qur’an Al-karim
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih , PT. Logos Wacana Ilmu, Ciputat Jakarta, jilid 2, 1997
Al-Amidi, al-Ihkam fi usul al-ahkam, Dar. Al-Fikri, 1981
Al- Syaukani , al-Irsyad al-fuhul, Dar al-Kutub al-il-miyyah, Bairut, 1994
Al- Gazali, al-mustasfa mim ilmi al- Usul, Kairo, Sayyid al-Husain
H. Achmad Marbaie, SH., MS., Hukum Islam Fakultas Hukum UNEJ,
Yusuf Qardawi, al-ijtihad fi al-Syariat al- Islamiyyah ma’a nazharatin tahliliyyat fi al- Ijtihad al-Mu’atsir, Kuwait, , Dar al-Qalam, 1985
Sayyid Sabiq, Fiqhul al-Sunnat, Bairut, Dar al-Fikr, jilid II,
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad majlis tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing House, Jakarta 1995
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Usul Fiqih, Pekalongan : STAIN Press, 2005
Zuhri, Saifudin, Ushul Fiqh: Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Umar  Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an,  Penamadani, Jakarta, 2013
Purwanto, Muhammad Roy, Dekontruksi Teori Hukum Islam, Kritik Terhadap Konsep Maslahah Najmuddin Al-thufi, Yogyakarta; Kaukaba, 2014
Muchtar, Kamal, Ushul fiqh Jilid II, Yogyakarta; Dana Bhakti Wakaf,1995


*) Makalah Prarevisi

[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih , PT. Logos Wacana Ilmu, Ciputat Jakarta, jilid 2, 1997, h. 223


[2]Al-Amidi, al-Ihkam fi usul al-ahkam, Dar. Al-Fikri, 1981 Juz III, hlm. 204

[3]Al- Syaukani , al-Irsyad al-fuhul, Dar al-Kutub al-il-miyyah, Bairut, 1994
[4]Al- Syaukani , al-Irsyad al-fuhul, Dar al-Kutub al-il-miyyah, Bairut, 1994

[5] Departemen Agama RI,  Al-Qur’an dan terjemahannya, Jakarta : CV. Pustaka Agung Harapan hlm.114
[6]Ibid, hlm.796

[7] Imam al-Bukhari, Matan al-Bukhari Masykul bi Hasyiyah as-Sindi, Syirkah al-Ma’arif, Bandung Juz IV, hlm. 268
[8] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, vol. III, h.330 Hadits No. 3594
[9] Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an, Penamadani, Jakarta, 2013  hlm.258
[10] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih ,hlm.228
[11] Ibid.  hlm. 229.
[12]Ibid. hlm. 229.

[13] Yusuf Qardawi, al-ijtihad fi al-Syariat al- Islamiyyah ma’a nazharatin tahliliyyat fi al- Ijtihad al-Mu’atsir, Kuwait, , Dar al-Qalam, 1985, hlm.115
[14] Pendapat mayoritas ahli fiqih ini berikut dalilnya dapat dilihat dalam buku Fiqhul al-Sunnat, Sayyid Sabiq, Bairut, Dar al-Fikr, jilid II, hlm.220
[15] Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad majlis tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing House, Jakarta 1995, hlm.34
[16] Yusuf Qardawi, al-ijtihad fi al-Syariat al- Islamiyyah ma’a nazharatin tahliliyyat fi al- Ijtihad al-Mu’atsir, , hlm.126

[17]Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad majlis tarjih Muhammadiyah, hlm.35
[18]Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an, hlm. 387
[19]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, jilid 2 hlm.267.

[20]Ade Dedi Rohayana, Ilmu Usul Fiqih, (Pekalongan : STAIN Press, 2005) hlm.201

[21]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: kencana, 2009), hlm. 284
[22]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, hlm. 283
[23]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, hlm. 283

Komentar

  1. terima kasih atas artikelnnya yang sangat berguna
    salam chris febriyana zamri https://www.atmaluhur.ac.id

    BalasHapus

Posting Komentar