Oleh:
Muhammad
Anas
Hermansyah
Rajibullah
Zairina
Qonita Muna
Dosen
Pengampu:
Prof.
Achmad Dardiri
A. Latar Belakang
Abad ke-19 merupakan abad yang
dipengaruhi oleh filsafat positivisme dan pengaruhnya sangat terasa di bidang
ilmu pengetahuan. Di dalam sejarah filsafat Barat, orang sering menyatakan
bahwa abad ke-19 merupakan ‘Abad Positivisme’. Suatu abad yang ditandai oleh
peranan yang sangat menentukan dari pikiran-pikiran ilmiah atau ilmu
pengetahuan modern. Kebenaran atau kenyataan filsafati dinilai dan diukur
menurut nilai positivistiknya. Perhatian orang kepada filsafat ditekankan
kepada segi-segi praktis tingkah laku dan perbuatan manusia. Orang tidak lagi
memandang penting tentang “dunia yang astrak”.
Positivisme lahir atau dirintis oleh
August Comte (1798-1857) yang dianggap sebagai Bapak Ilmu Sosiologi Barat. Ia
menampilkan ajarannya yang terkenal yang disebut hukum tiga tahap (law of three
stages). Sejarah umat manusia, baik secara individu maupun secara keseluruhan
telah berkembang menurut tiga tahap, yaitu: Tahap teologi atau fiktif, Tahap
metafisik atau abstrak, dan Tahap positif atau ilmiah atau real. Maka dari itu dalam makalah ini kami membahas apa itu
Positivisme, Positivisme Logis dan juga Siklus Empiris.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa itu positivisme?
2.
Apa itu positivisme logis?
3.
Apa itu siklus empiris?
4.
Apa hubungan positivisme logis, rasionalisme kritis, dan teori kritis?
5. Bagaimana Wittgenstein I dan
Wittgenstein II?
6.
Bagaimana pendapat analitis kritis atas positivisme dan positifisme
logis?
C. Pembahasan
1.
Positivisme
a.
Pengertian Positivisme
Positivisme merupakan suatu
aliran filsafat yang
menyatakan ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan yang benar dan menolak spekulasi dari
suatu filosofis atau metafisik. Dapat pula
dikatakan positivisme ialah “aliran yang bependirian bahwa filsafat itu
hendaknya semata-mata mengenai dan berpangkal
pada peristiwa-peristiwa positif”[1] Jadi,
dapat dikatakan titik tolak pemikirannya, apa yang telah diketahui adalah yang
faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya, karena positif adalah
dalam artian segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas
pengalaman-pengalaman objektif bukannya metafisika[2] yang
merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hal-hal yg nonfisik atau
tidak kelihatan.[3] Aliran
ini menurut Atang Abdul Hakim mirip dengan aliran empirisme, namun tidak
menyetujui pendapat John Locke yang masih mengakui pentingnya jiwa dalam
mengolah apa yang ditangkap indra. Bagi positivisme hakikat sesuatu adalah
benar-benar pengalaman indra, tidak ada campur tangan yang bersifat batiniah[4]
Jadi, Positivisme adalah suatu aliran
filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang
benar dan menolak aktivitas yang berkenaan dengan metafisik. Positivisme tidak
mengenal adanya spekulasi, semua harus didasarkan pada data empiris. Karena
aliran ini lahir sebagai penyeimbang pertentangan yang terjadi antara aliran
empirisme dan aliran rasionalisme. Aliran positivisme ini lahir berusaha
menyempurnakan aliran empirisme dan rasionalisme, dengan cara memasukkan
perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran.[5]
Istilah Positivisme pertama kali digunakan
oleh Saint Simon (sekitar 1825). Prinsip filosofik tentang positivisme
dikembangkan pertama kali oleh seorang filosof berkebangsaan Inggris yang
bernama Francis Bacon yang hidup di sekitar abad ke-17. Ia berkeyakinan bahwa
tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak
boleh menarik kesimpulan dengan logika murni maka dari itu harus melakukan
observasi atas hukum alam.
Barulah pada paruh kedua abad ke-19
muncullah Auguste Comte
(1798-1857), seorang filsuf sosial berkebangsaan Perancis, yang
dilahirkan di Mont pellier pada tahun 1798 dari keluarga pegawai negeri yang beragama Katolik.
Comte menggunakan istilah ini kemudian mematoknya secara sebagai tahapan paling
akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat dalam karya utamanya yang
berjudul Course de Philosophie Phositive, Kursus tentang Filsafat
Positif (1830-1842), yang diterbitkan dalam enam jilid. Melalui tulisan dan
pemikirannya ini, Comte bermaksud memberi peringatan kepada para ilmuwan akan
perkembangan penting yang terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia
beralih dari fase teologis, menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif.
Pada fase teologis (tahapan agama dan ketuhanan) diyakini adanya kuasa-kuasa
adikodrati yang mengatur semua gerak dan fungsi yang mengatur alam ini. Zaman
ini dibagi menjadi tiga periode: animisme, politeisme dan monoteisme. Pada
tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang
kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan. Selanjutnya pada zaman metafisis
(tahapan filsafat), kuasa adikodrati tersebut telah digantikan oleh konsep-konsep
abstrak, seperti ‘kodrat’ dan ‘penyebab’.Pada fase ini manusia menjelaskan
fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas,
substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi. Dan akhirnya pada masa positif
(tahap positivisme) manusia telah membatasi diri pada fakta yang tersaji dan
menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas dasar observasi dan kemampuan
rasio. Pada tahap ini manusia menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan
filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap
fenomena-fenomena.[6]
Positivisme memuat nilai-nilai dasar yang
diambil dari tradisi ilmu alam, yang menempatkan fenomena yang dikaji sebagai
objek yang dapat dikontrol, digeneralisasi sehingga gejala ke depan bisa
diramalkan. Yang mana positivisme menganggap ilmu-ilmu alam adalah satu-satunya
ilmu pengetahuan yang secara universal adalah valid. Jadi, ajaran di dalam
filsafat positivisme dapat dipaparkan sebagai berikut:[7]
1) Positivisme bertolak dari pandangan bahwa
filsafat positivisme hanya mendasarkan pada kenyataan (realita, fakta) dan
bukti terlebih dahulu.
2) Positivisme
tidak akan bersifat metafisik, dan tidak menjelaskan tentang esensi
3) Positivisme
tidak lagi menjelaskan gejala-gejala alam sebagai ide abstrak. Gejala-gejala
alam diterangkan berbasis hubungan sebab-akibat dan dari itu kemudian
didapatkan dalil-dalil atau hukum-hukum yang tidak tergantung dari ruang dan
waktu.
4) Positivisme
menempatkan fenomena yang dikaji sebagai objek yang dapat digeneralisasi
sehingga kedepan dapat diramalkan (diprediksi).
5) Positivisme
menyakini bahwa suatu realitas (gejala) dapat direduksi menjadi unsur-unsur
yang saling terkait membentuk sistem yang dapat diamati.
Konsep positivisme adalah penelitian dengan
metode kuantitatif yang bersifat obyektif, dan juga Hipotetik. Di dalam konsep
tersebut terdapat beberapa kelemahan yaitu sebagai berikut:
1) Analisis
biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai akar
terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini
dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian fisik-biologik.
2) Akibat
dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji kebenarannya,
maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang nantinya tidak percaya
kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal yang demikian itu
didalam ajaran Agama adalah benar kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini
ditandai pada saat paham positivistik berkembang pada abad ke 19, jumlah orang
yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat.
3) Manusia
akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa
bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal itu
dinafikkan.
4) Hanya
berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan
pengetahuan yang valid.
5) Positivisme
pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang nampak yang dapat
dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung kepada panca
indera. Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan
tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja,
padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.
6) Hukum
tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi yang
optimis, tetapi juga terkesan lincah, seakan setiap tahapan sejarah evolusi
merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudian
bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai masyarakat positivistic.[8]
2.
Positivisme Logis (Filsafat Analitis) dan Lingkaran
Wina
a.
Tokoh Positivisme Logis (Filsafat Analisis) dan Pemikirannya
Positivisme logis mempercayai bahwa “objek-objek
fisik” atau data inderawi sebagai pola-pola dan data-data yang konstan,
sehingga pernyataan ilmiah yang kemudian menjadi titik tolak filsafat analitis
(positivisme logis), ketika menyatakan verifikasi sebagai kriteria ilmiah dan
non-ilmiah. Filsafat analitis menganggap bahwa permasalahan filsafat dapat
diselesaikan melalui penggunaan bahasa yang ketat. Dengan menggunakan logika
dan analisis bahasa. Logika dan analisis bahasa gunanya untuk menghindarkan
penggunaan bahasa yang abstrak, ambigu, samar, kacau, atau bahasa yang semu. Banyak
sekali tokoh filsafat analitik antara lain Gottlob Frege, G.E. Moore, Bertrand
Russel, Wittgenstein.
b.
Lingkaran Wina
Lingkaran Wina adalah cikal bakal positivisme logis, yang
terkemuka pada abad ke-20. Lingkaran Wina terbentuk dari sekelompok filsuf dan
ilmuan radika di Wina atas ajakan Moritz Schlick.
Pada tahun 1929 Carnap, Hans Hahn, dan Otto Neurath
menerbitkan sebuah manifesto yang berjudul “Wissenscaftliche
Welt-auffassung: der Wiener Kreis” (Pandangan dunia ilmiah kelompok Wina).
Pandangan dunia ilmiah kelompok Wina inilah kemudian diikuti banyak ahli dan
ilmuan, sehingga menjadi kekuatan yang dominan dalam filsafat ilmu pengetahuan.
Di tengah-tengah cara pandang bangsa Eropa pada saat itu, Lingkaran Wina dan
positivisme logis berdiri pada barisan terdepan dan menghadapi pandangan lain
yang juga ingin membangun Eropa yakni berdasarkan landasan teologi dan
metafisik.
c.
Perkembangan Masyarakat Menurut Positivisme Logis
Kaum positivisme logis berpendapat bahwa pembangunan
masyarakat perlu ditangani secara ilmiah. Karena itulah masalah metodologi
menjadi penting sebagai prinsip bagi pengembangan individu atau masyarakat yang
diidamkan. Kemudian dikembangkanlah apa yang disebut dengan “The spirit of a
scientific conception of the world”, yakni semangat dunia ilmiah yang
berorientasi pada ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu pasti yang telah mencapai
tingkat perkembangan yang tinggi dan keberhasilan yang dikagumi.[9]
Untuk itu positivisme logis sangat memerlukan kesatuan ilmu pengetahuan.
d.
Pemikiran yang Mempengaruhi Positivisme Logis
Dua arah
pemikiran yang mempengaruhi positivism logis yaitu:
1)
Empirsme dan Positivisme
Di sini
pada pada prinsipnya adalah bahwa pengalaman (observasi) dijadikan sebagai
satu-satunya sumber yang terpercaya bagi ilmu pengetahuan.
2)
Logika Simbolik dan Analisis Bahasa
Aliran
positivisme logis sangat menonjol dalam pandangan dan sikapnya bahwa hanya ada
satu bentuk ilmu pengetahuan, yaitu yang didasarkan atas pengalaman dan dapat
dikemukakan dalam bahasa logis dan matematis. Logka bahasa ini dapat digunakan
untuk mengemukakan pernyataan secara ketat dan bebas dari kekacauan bahasa
sehari-hari dan bahasa metafisika. Tokoh positivisme logis sangat dipengaruhi
oleh pemikiran Russell, yang sangat mendewakan logika dan penggunaan bahasa
yang verifikatif.
e.
Ciri Filsafat Analitik dan Pokok-Pokok Pemikirannya
Ciri khas filsafat analitik adalah kebenciannya pada metafisika. Dalam
hal ini logika bahasa digunakan untuk membersihkan pernyataan ilmiah dari
pernyataan teologi dan metafisika.
Hunnex merumuskan pokok-pokok pemikiran positivisme logis (filsafat
analitik), khususnya mengenai bahasa yang ideal sebagai berikut:[10]
1)
Filsafat merupakan analysis logis terhadap konsep dan pernyataan ilmu
pengetahuan.
2)
Pemikiran seseorang dapat diuji melalui bahasa, selama pemikiran itu
diungkapkan melalui bahasa. Hanya bahasa yang sempurna, bersifat universal, dan
logislah yang disebut sebagai bahasa ilmiah.
3)
Bahasa sehari-hari menyesatkan, karena itu bahasa sehari-hari harus
direduksi (diterjemahkan) ke bahasa artifisial atau bahasa ideal/formal.
4)
Tugas utama filsafat adalah memperbaiki bahasa dengan menjadikan bentuk
gramatika dan sintaksisnya sesuai dengan fungsi logika aktualnya.
5)
Metafisika didasarkan pada kepercayaan entitas non-empirs dan re;asi
internal ditolak (tidak dapat diverifikasi). Realitas yang dapat diterima
adalah realitas dan relasi eksternal, dapat diobservasi dan atau merupakan
entitas empiris.
6)
Definisi haruslah dibuat operasional. Menurut Bridgman, “Sesuatu yang
tidak bermakna itu tidak dapat diobservasi dan diukur.”.
f.
Prinsip Verifikasi dan Makna Verifikasi
Menurut Alfred Jules Ayer, bahwa bahasa (proposisi)
hanya bermakna (benar) jika dapat diverifikasi atau dianalisis secara empiris.
Dia membedakan verifikasi ketat dan verifikasi lunak. Verifikasi ketat adalah
verifikasi yang dilakukan dengan menghadapkan pernyataan dengan fakta secara
langsung. Sedangkan verifikasi lunak adalah adanya kemungkinan untuk
memverifikasi pernyataan di masa depan, yang dimungkinkan karena perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Adapun makna
verifikasi adalah:[11]
1)
Satu proposisi hanya berarti bila proposisi itu dapat dibuktikan benar
salahnya.
2)
Ada bentuk-bentuk kebenaran logis dan bentuk-bentuk kebenaran factual.
Kebenaran
logis merupakan kebenaran yang berada pada akal budi manusia, yang terdapat
kesesuaian antara akal budi dan kenyataan. Sedangakan kebenaran factual yaitu
kebenaran tentang ada tidaknya secara factual di dunia nyata. Pada prinsipnya,
kebenaran factual itu harus bisa diuji berdasarkan pengamatan inderawi.
Kebenaran factual itu bersifat nisbi. Selama belum ada alternative yang
menggugurkannya.
3)
Kebenaran factual hanya dapat dibuktikan melalui pengalaman
(verifikasi).
Kaum positivisme logis
mengklaim bahwa tidak ada kebenaran selain kedua kebenaran tersebut.
3.
Siklus Empiris
Istilah siklus empiris ini dikenalkan
oleh Walter L. Wallace adalah proses penelitian yang termuat pada lima komponen
informasi dan enam komponen metodologis.
Lima komponen informasi yaitu:
a.
Hipotesa
Jawaban sementara terhadap
masalah yang masih bersifat praduga karena masih harus dibuktikan kebenarannya.
Hipotesis ilmiah mencoba mengutarakan jawaban sementara terhadap masalah yang
kan diteliti
b.
Pengujian Hipotesa
c.
Keputusan untuk menerima atau menolak hipotesa
d.
Generalisasi empiris
Generalisasi
empiris berarti tesis, hukum, atau hipotesis berdasarkan pengamatan terhadap
kenyataan tertentu dan spesifik
e.
Logika penarikan kesimpulan.
Adapun enam metodologis yaitu:
1.Pengamatan 2.Pengukuran, ringkasan sampel dan perkiraan parameter
3.Pembentukan konsep, pembentukan proposisi, dan penyusunan proposisi 4.Teori
5.Deduksi logis 6. Penjabaran
insturmentasi, pembentukan skala, penentuan sampel.[12]
Sifat model penelitian ini mencerminka
kerumitan, seni, vitalitas, kemampuan intuitif dan kreatif dalam suatu kegiatan
ilmiah dalam ilmu social dan humaniora. Objektivitas, sistematika dan
rasionalitas hasil penelitian ditentukan oleh proses penelitian yang tercermin
dalam lima kompomen informasi dan enam komponen metodologis tersebut di atas.
4.
Positivisme Logis, Rasionalisme Kritis, dan Teori
Kritis
Secara
umum pengertian positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu
alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas
yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua
didasarkan pada data empiris.[13]
Istilah
positivisme logis merujuk pada pengertian-pengertian : empirisme ilmiah,
neopositivisme, dan empirisme logis. Akan tetapi lebih lazim dengan sebutan “
neopositivisme atau positivisme logis”[14]
Positivisme
Logis atau neo-positivisme merupakan Aliran pemikiran yang membatasi pikiran
pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis
definisi dan relasi antara istilah-istilah. Menurut Alwasilah
(2008: 28), positivisme logis menggunakan teknik analisis untuk mencapai dua
tujuan, yaitu (1) menghilangkan atau menolak metafisika, dan (2) demi
penjelasan bahasa ilmiah dan bukan untuk menganalisis pernyataan-pernyataan
fakta ilmiah.
Aliran
filsafat neopositivisme ini dikembangakan secara khusus oleh kelompok yang
menamakan dirinya dengan Wiener Kries. Tokohnya terdiri dari ahli sains,
matematika dan orang-orang yang bertugas dalam bidang logika simbolik dan
metode ilmiah. Dengan demikian corak dan metode yang dikembangkan oleh kelompok
ini dapat diraba secara jelas dan umum. Corak pemikirannya yang utama yang
bersifat positif, pasti dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Positivisme
logis lahir hampir bersamaan waktunya dengan munculnya rasionalisme kritis dari
karl raimund popper (1906-1994) dan teori kritis dari mazhab farnkfurt. Pada
sekitar tahun 1960, faham ini berkembang pesat dan berpengaruh pada dunia
ilmiah, namun pada tahun ini juga muncul cara pandang yang berbeda dari rasionalieme
kritis dan teori kritis sehingga perbedaan ini mendapat perhatian lebih
dikalangan ilmuan.
Perkembangan
ini dipengaruhi oleh teori fisika Einstein dan pemikiran tokoh fisika kuantum
(Bohr, Erwin Schrodinger) yang teori-teori mereka bertentangan dengan gagasan
positivisme logis yang pandangannya dipengaruhi oleh fisika Newtonian. Karl
Raimund Popper kemudian memunculkan pemikiran yang menolak pandangan
positivisme ilmiah itu, terutama pada ilmu pengetahuan sosial-budaya.[15]
Wittgenstein misalnya mengatakan: Alle
phulosophie istsprachkritik setiap filsafat adalah atas bahasa (Tractatus
logico Philosophicus 40031). Wittgenstein seorang filsul paling berpengaruh
pada abad ke-20 dia memiliki kontribusi yang besar dalam filsafat bahasa,
filsafat mateatika dan logika. Wittgenstein terutama dikenal karena paham
filsafatnya semasa hidupnya berubah dan menjadi berbeda secara total sehingga
kadangkala orang menyebutnya sebagai Wittgenstein I dan Wittgenstein II.
Pemikirannya yang dia ungkapkan dalam sebuah hasil karya buku Philosophical
Investigation (1953) yang merubah pemikirannya yang pertama dalam bukunya yaitu
Tractatus Logico Philosophicus (1912)
5. Wittgenstein I dan Wittgenstein II
Ludwig
Wittgenstein dilahirkan di Wina
(Austria) pada tanggal 26 April 1989. Ayahnya berasal dari keluarga Yahudi yang
telah memeluk agama Kristen Protestan dan ibunya beragama Katolik. Pada tahun
1906 Wittgenstein mulai belajar di suatu Sekolah Teknik di Berlin. Ia
melanjutkan studi teknik di manchester (Ingrish) pada tahun 1908. Disana Ia
mendapatkan riset dalam bidang teknik Pesawat terbang, khususnya mesi jet dan
baling –baling. Dalam hal teknik baling – baling perlu banyak membutuhkan
pengetahuan tentang matematika, perhatiannya semakin tertarik oleh matematika
dan filsafat matematika.
Pada
tahun 1912 ia masuk universitas Cambridge dan memahami filsafat dibawah
pimpinan Russell. ia juga seorang matematikakus dari Cambridge. Ludwig Wittgenstein
dikenal luas sebagai tokoh filsafat bahasa yang mengalami dua masa pergeseran
filosofis, sehingga sering disebut sebagai Wittgenstein I dan Wittgenstein II.
Jika pada masa Wittgenstein I, yang ditandai dengan karyanya Tractacus
Logico-Philosophicus, Wittgenstein begitu ketat memaparkan apa yang
diistilahkan sebagai “bahasa logika”, yang mengidealisasikan keharusan
kesesuaian (uniformitas) logis antara struktur bahasa dengan stuktur realitas,
agar bahasa dan maknanya dapat dipahami secara logis, maka pada Wittgenstein
II, yang ditandai dengan karyanya Philosphical Investigations, Wittgenstein
“seolah” membantah pemikirannya sendiri dengan menyatakan bahwa setiap kata
dalam bahasa bisa memiliki keragaman (poliformitas) makna sesuai dengan
keragaman konteks yang mendasari penggunaan kata tersebut. Inilah yang dikenal
luas dengan filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy) yang berpuncak
pada istilah “tata permainan bahasa” (language game).
a. Pemikiran Filosofis Wittgenstein
1)
Periode
pertama : Tractatus logico-philosophicus
Salah
satu uraiannya yang merupakan unsur yang sangat fundamental bahkan merupakan
suatu dasar ontologis Tractus adalah konsepnya tentang realitas dunia yang
dilukiskan melalui bahasa. Tractatus hanya terdiri dari 75 halaman saja.
Pemikiran ini melukiskan tentang hakikat dunia, dan karena hakikat dunia
dilukiskan melalui bahasa, maka teori ini juga mendeskripsikan tentang hakikat
bahasa. Dunia adalah suatu realitas sebagaimana kita lihat dan kita alami.
Dunia itu adalah keseluruhan dari fakta-fakta. Fakta di sini berarti suatu
keberadaan peristiwa, bagaimana objek-objek terhubung satu sama lain yang
terjadi dalam ruang dan waktu tertentu. Dalam hubungan dengan dunia, fakta yang
kompleks tersusun atas satuan terkecil yaitu fakta atomik. Totalitas dari fakta
atomik itu adalah suatu dunia. Realitas dunia fakta tersebut diwakili melalui
bahasa.
Dalam
pendahuluan bukunya Wittgenstein sendiri menyingkatkan usahanya dengan berkata: The whole sense
of the book might be summed up in the following words: what can be said at all
can be said clearly, and what we cannot talk about we must pass over in silence.
Jadi buku ini berbicara tentang bahasa, atau lebih tepat lagi bila dikatakan
buku ini berbicara tentang logika bahasa. Salah satu unsur yang penting sekali
dalam uraiannya adalah apa yang disebut picture theory atau teori gambar.
Wittgenstein berpendapat bahwa bahasa mengambarkan realitas dan makna itu tidak
lain daripada pengambaran suatu keadaan factual dalam realitas melalui bahasa.
Pada
zaman Wittgenstein, penggunaan logika bahasa dalam menjelaskan suatu konsep
filsafat menimbulkan kekaburan makna, bahkan banyak ungkapan menjadi tidak
bermakna apa-apa. Karenanya, Wittgenstein berfikir bahwa hanya ada satu
kemungkinan cara untuk mengatasi kebingungan bahasa tersebut yaitu melalui
proposisi dan proposisi harus merupakan suatu gambar dan perwakilan dari suatu
realitas fakta. Dalam menjelaskan prinsip teori gambar, Wittgenstein
menjelaskan bahwa proposisi adalah gambaran realitas. Sebuah gambar hanya
memiliki ciri sebagaimana yang dimiliki oleh proposisi. Ia mewakili beberapa
situasi yang dilukiskan melebihi dirinya sendiri dan tidak seorang pun perlu
menjeskan tentang apa yang digambarkan.
Suatu
proposisi adalah gambar bukan dalam arti kiasan melainkan secara harafiah.
Wittgenstein berkeyakinan bahwa semua ucapan kita mengandung satu atau leboh
proposisi elementer, artinya proposisi yang tidak dapat dianalisis lagi. Suatu
proposisi elementer menunjuk pada suatu state of affairs dalam realitas. Suatu
proposisi elementer terdiri dari
nama-nama. Tetapi nama-nama tersendiri tidak mempunyai makna. Hanya
proposisi yang mempunyai makna. Kalau Wittgenstein mengatakan bahwa dalam suatu
proposisi elementer digambarkan suatu duduk perkara (state of affairs) dalam
realitas, maksudnya adalah bahwa unsur-unsur dalam proposisi dan unsur-unsur
realitas sepadan satu sama lain. Dengan
kata lain, strukutur proposisi sesuai dengan struktur yang terdapat dalam
realitas. Misal: peta kota dengan kota itu sendiri. Pada taraf yang
berbeda-beda pola-pola hubungan antara unsur-unsur tersebut secara formal sama
biarpun secara material sama sekali berlainan. Hanya dengan teori gambarlah,
menurut Wittgenstein, realitas dunia dapat dikatakan. Hanya dengan teori ini
pula dapat diterangkan bahwa bahasa kita bermakna. Proposisi-proposisi dalam
tautologi bukanlah proposisi sejati karena tidak mengungkapkan suatu pikiran,
tidak mengatakan sesuatu, sebab tidak merupakan suatu picture (gambar) dari
sesuatu. Tetapi proposisi ini bukan tidak bermakna.
Salah
satu konsekuensi yang harus ditarik dari “teori gambar ” Wittgenstein
ialahbahwa proposisi-proposisi metafisis tidak bermakna. Oleh karena itu
wittgenstein dapat dianggap seorang filsul yang berorientasi anti metafisis.
Tentu saja menolak metafisika bukan hal yang baru dalam sejarah filsafat. Menurut dia, filsafat bukan merupakan suatu
ajaran, melainkan suatu aktivitas. Tugas filsafat adalah menjelaskan kepada
orang apa yang dapat dikatakan dan apa yang tidak dapat dikatakan. Metafisika
melampaui batas-batas bahasa karena metafisika mau mengatakan apa yang tidak
dapat dikatakan. Misalnya, subjek, kematian, Allah, dan bahasa itu sendiri.
Tetapi Wittgenstein berpendapat juga
bahwa memang ada hal-hal yang tidak dapat dikatakan. There are,
indeed, things that cannot be put into words. They make themselves manifest.
They are what is mystical.
Pandangan empat pokok yakni:
a) Karena bahasa merupakan gambar dunia,
subyet yang mengunakan bahasa, tidak termasuk dunia. Seperti mata tidak dapat
diarahkan kepada dirinya sendiri, demikian juga subject yang mengunakan bahasa
tidak dapat mengarahkan bahasa kepada dirinya sendiri.
b) Tidak mungkin juga berbicara tentang
kematiannya sendiri, karena kematian tidak merupakan suatu kejadian yang dapat
digolongkan antara kejadian-kejadian lain. Kematian seakan-akan memagari dunia,
tetapi kita tidak termasuk di dalamnya. Kematian merupakan batas dunia dan
karenanya tidak dapat dibicarakan sebagai suatu unsur dunia.
c) Juga Allah tidak dapat dipandang sebagai
sesuatu dalam dunia. Idak dapat dikatakan pula bahwa Allah menyatakan diri
dalam dunia. Wittgenstein bermaksud bahwa tidak pernah suatu kejadian dalam
dunia dapat dipandang sebagai”campur tangan” Allah. Sebab kalau demikian, Allah
bekerja sebagai sesuatu dalam dunia. Akibatnya kita tidak dapat bicara tentang
Allah dengan cara yang bermakna.
d) Yang paling paradoksal ialah pendapat
witthenstein bahwa bahasa tidak bisa bicara tentang dirinya sendiri. Bahas mencerminkan dunia, tetapi suatu cermin tidak
bisa memantulkan dirinya sendiri. Bahasa tidak dapat melukiskan secara langsung
apa itu bahasa. Oleh karena itu, Wittgenstein berkesimpulan bahwa orang yang
mengerti Tractatus akan mengakui bahwa ucapan-ucapan didalamnya tidak bermakna.
Wittgenstein
menggunakan metafora dan analogi untuk menjelaskan apa yang sebenarnya tidak
dapat dikatakan.
2) Periode kedua: Philosophical
investigations
Dari
buku-buku yang diterbitkan sesudah meningalnya, adalah satu-satunya karya yang
dimaksudkan Wittgenstein sendiri untuk diterbitkan. Tetapi hanya bagian pertama
buknya (dan itu memang bagian yang palinga luas) diselesaikan dengan
wittgenstein sendiri, namun bagian bagian terakhir di bantu oleh kedua orang
muridnya yang bernama G. Anscombe dan
R.Rhees. philosophical investigations terdiri dari banyak fasal pendek, seluruh
bagian pertama dibagi atas 693 nomor. Tampaknya philosophical investigations
merupakan sebuah karyanya yang pertama Tractatus. Dalam philosophical
investigation ia melihat
terutama tiga hal yang dulu diandaikan begitu saja dalam dalam teori pertama, yaitu:
a) Bahwa bahasa dipakai hanyauntuk satu
tujuan saja, yakni menetapkan states of affairs (keadaan dalam faktual).
b) Bahwa kalimat-kalimat mendapat maknanya
dengan stu cara saja,yakni menggambarkan satu keadaan fctual, dan
c) Bahwa setiap jenis bahasa dapat dirumuskan
dalam bahasa logika yang sempurna, biarpun pada pandangan pertama barangkali
sukar untuk dilihat.
Dalam
karyannya yang kedua Wittgenstein melahirkan adanya teori makna dalam pengunaan
makna (meaning is use) dan permainan bahasa (language game). Makna dalam pengunaan
(Meaning is Use). Bagi Wittgenstein, sebuah tanda menjadi hidup atau menjadi
bermakna justru dalam pengunaanya. Makna kalimat adalah tergantung pengunaanya
dalam bahasa sedangkan makna bahasa adalah tergantung pengunaanya dalam hidup.
Oleh krena itu Wittgenstein menyarankan agar pemahaman terhadap bahasa harus
dianalisis berdasarkan pengunaanya dalam kontek-kontek tertentu (mening is
use). Bahasa
(language Games). Untuk menjelaskan lebih lanjut bahwa bahasa dipakai dengan
berbagai macam cara dalam Philosophical Investigations Wittgenstein
meperkenalkan istilah language games
(permainan-permainan bahasa). Ada permainan yang memakai bola atau kartu atuapun alat yang lain.
Sebagaimana terdapat banyak permainan, demikian juga terdapat banyak “permainan
bahasa” arti kata-kata hanya bisa dipahami dalam kerangka acuan language games hendak mengatakan kepada kita
bahwa kita harus melihat, membaca dan memahami suatu bahasa dalam konteksnya
masing-masing.[16]
6. Analisis Kritis atas Positivisme dan Positivisme
Logis
Tujuan
positivisme adalah menghancurkan filsafat dan metafisika kecuali filsafat yang
dapat menjadi fundasi bagi ilmu pengetahuan objektif-universal (absolut).
Positivesme logis umpaanya membatasi bahasa ilmiah hanya pada bahasa faktual dan
pernyataan logis-matematis. Tapi anehnya. Kreteria tentang batas-batas bahasa
yang dikemukakan oleh tokoh positivisme logis itu sebetulnya bukan didasarkan
juga atas verifikasi empiris, tetapi berupa nilai-nilai yang diterima begitu
saja oleh pendukung positivisme logis itu. Positivisme Logis berpendapat bahwa
landasan dasar yang digunakan oleh Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan
dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip tentang teori tentang makna yang
dapat dibuktikan seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat
dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian
teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya: ada
burung berwarna hitam) atau dalam bentuk universal negatif (misalnya: tidak
semua burung berwarna hitam) mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun
masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif
(misalnya: tidak ada burung yang berwarna hitam) atau universal positif
(misalnya: semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin
dibuktikan.[17]
Sementara
itu positivisme adalah suatu bentuk “realisme ontologis” yang percaya bahwa
kenyataan yang ada ‘di luar sana” digerakkan oleh hukum-hukum alam dan tujuan
ilmu untuk menemukan hukum hukum itu. Fenomene dan hukum itu dapat diketahui
‘apa adanya’ terlepas dari kehadiran/keterlibatan subjek yang meneliti. Syarat
utama untuk menemukan teori yang objektif-universal itu adalah ilmuwan harus
melakukan penelitian sesuai dengan prosedur metodologi yang benar.
Jika
diperhatikan, pandangan positivisme ini ditegakkan diatas kepercayaan
epistemologi dualistik, dimana antara subjek dengan objek dapat dipisahkan
secara ketat. Objek yang diketahui bebeda dengan subek yang mengetahui dan
tidak saling mempengaruhi antara keduanya. Posisi peniliti, dengan demikian
bersifat pasif, artinya subjek memikirkan dan mengetahui namun tidak berperan
menciptakan ataru mengonstruksi objek tertentu. Dengan cara itu, maka
nilai-nilai dan bias sibjektivitas diasumsikan dapat diamin, tidak merembes dan
memengaruhi hasil penelitian. Sementara itu, hasil penelitian dianggap bernilai
universal dan absolut.[18]
Dalam
filsafat kontemporer pandangan positivisme ini dianggap pandangan yang berbau
fundasionalisme. Yaitu pandangan yang menyatakan bahwa ada fundasi yang
terpercara untuk mencapai pengetahuan yang benar dan objektif. Richard Rorty
(1980) menyatakan bahwa ( rasionalisme, empirisme, kritisisme kant) positivisme
adalah bentuk fundasionelisme epistemoligis, karena peraya bahwa dengan
menghunakan metode dan logika yang ketat, kebenaran ilmu pengetahuan
yangobjektif-universal dan final dapat dicapai. Dengan kata lain, dalam
pandangan positivisme teori dianggap sebagai representasi atau mencerminkan
raalitas.
Karl
Popper, dengan teorinya, juga bersikap kritis terhadap tesis-tesis dasar
positivism logis, serta menunjukkan pentingnya perannya proses falsifikasi
didalam perumusan dan perubahan suatu teori.
Yang lebih signifikan lagi, ada beberapa pendapat, seperti yang dirumuskan
oleh Thomas Kuhn, yang melihat bahwa teori-teori ilmu pengetahuan selalu sudah
berada didalam sebuah pandangan dunia tertentu.
Oleh sebab itu, perubahan radikal di dalam lmu pengetahuan hanya dapat
terjadi, jika seluruh pandangan dunia yang ada ternyata sudah tidak lagi
memadai, dan diganti yang lain.[19]
D. Kesimpulan
Positivisme merupakan salah satu aliran
filsafat ilmu pengetahuan yang memandang bahwa suatu pernyataan seorang ilmuwan
dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan apabila dapat dibuktikan secara
empiris. Tokohnya yang paling popular adalah Augus Comte (1798-1857)
Ajaran
utama dari positivism diantaranya:
1. Di dalam alam terdapat hukum-hukum yang
dapat diketahui,
2. Penyebab adanya benda-benda dalam alam
tidak diketahui,
3. Setiap pernyataan yang secara prinsip
tidak dapat dikembalikan pada fakta tidak mempunyai arti nyata dan tidak masuk
akal,
4. Hanya hubungan fakta-fakta saja yang
dapat diketahui,
5. Perkembangan intelektual merupakan sebab
utama perubahan sosial.
Dalam perkembangannya positivisme mengalami
perombakan pada beberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama
Positivisme Logis. Istilah lain untuk Positivisme logis adalah empirisme logis,
empirisme rasional, dan juga neo-positivisme.
Paradigma positivisme banyak
mempengaruhi dunia ilmu pengetahuan yang di satu sisi paham ini memicu kemajuan
industri dan teknologi namun di sisi lain ia memiliki kelemahan-kelemahan dan
mendapatkan kritikan dari para filsuf dan ilmuwan baru pada tahun 1960-an
seperti Karl R. popper, dan lainnya.
Positivisme logis bertolak dari data empiris, yaitu
data yang diperoleh dari pengalaman dan pengamatan. Positivisme logis
menganggap adanya hubungan dalam hukum-hukum logis. Hingga akhirnya timbul
sebuah system tautologis. System tautologis merupakan pernyataan majemuk yang
nilai kebenarannya selalu benar. Positivisme logis menekankan pada bahasa. Hal
ini karena bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh
proses berpikir ilmiah. Dimana bahasa merupakan alat berpikir dan komunikasi.
Anshari, Endang Saifuddin. 1987. Ilmu Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu.
Asep, Hidayat. 2009. Filsafat Bahasa. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Asmoro, Achmadi. 2012. Filsafat
Umum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Lubis Yusuf Akhyar, Filsafat
Ilmu dan Metodologis Posmodernis, bogor, AkaDemikA, 2004.
Lubis, Yusuf. 2014. Filsafat
Ilmu Klasik hingga Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers. 2014.
Praja, Juhaya
S. 2003. AliranAliran Filsafat dan Etika
Prenada. Jakarta: Media.
Samekto, Adji. 2012. Menggugat
Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum
Doktrinal. Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 1 Januari 2012.
Soegiono dan Tamsil Muis. 2012. Filsafat Pendidikan. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Susanto. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta:
Bumi Aksara.
Ricky Rengkung. Kritik ideologi terhadap cara berpikir
positivisme atau scientisme diakses di
https://dosen.perbanas.id/kritik-ideologi-terhadap-cara-berpikir-positivisme-atau-scientisme-oleh-ricky-rengkung/
pada tanggal 17 Juli 2018 pukul 20:30 WIB.
http://kaylaazzrt.blogspot.co.id/2013/01/tugas-makalah-konsep-pikiraliran_1401.html diakses pada tanggal 18 Juli 2018,
pukul 17.00 WIB.
http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/03/31/positivisme-dan-perkembangannya/, diakses pada tanggal 18 Juli 2018, Pukul 20.00 WIB.
Afid Burhanuddin.
pemikiran-wittgenstein diakses dari https://afidburhanuddin.wordpress.com/2013/09/21/pemikiran-wittgenstein/ , pada tanggal 18 Juli 2018 pukul 22.15 WIB
[3] Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
[7] Adji
Samekto, Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum
Doktrinal, (Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 1 Januari 2012), hlm.
6-7.
[8] http://kaylaazzrt.blogspot.co.id/2013/01/tugas-makalah-konsep-pikiraliran_1401.html diakses pada tanggal 18 Juli 2018, pukul 17.00 WIB.
[13] http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/03/31/positivisme-dan-perkembangannya/, diakses
pada tanggal 18 Juli 2018, Pukul 20.00 WIB.
[15] Yusuf
Lubis, Filsafat Ilmu Klasik hingga Kontemporer,
(Jakarta: Rajawali Pers. 2014), hlm. 156.
[17] Ricky Rengkung. Kritik ideologi
terhadap cara berpikir positivisme atau scientisme diakses di
https://dosen.perbanas.id/kritik-ideologi-terhadap-cara-berpikir-positivisme-atau-scientisme-oleh-ricky-rengkung/
pada tanggal 17 Juli 2018 pukul 20:30
Komentar
Posting Komentar