Disusun
Oleh:
Muslimatush Sholehah
Dosen
Pengampu Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam:
Prof.
Dr. H. Maragustam, MA.
A.
Latar Belakang
Dalam
kajian filsafat pendidikan Islam, ada beberapa tokoh muslim yang sangat berjasa
dalam pengembangan/pembaharuan pemikiran pendidikan Islam, khususnya dari para
filosof Muslim, seperti al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, Ikhwan al-Shafa,
dan lain sebagainya. Ikhwan al-Shafa adalah salah satu organisasi yang
didirikan oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari para filosof. Sebagai
perkumpulan atau organisasi yang bersifat rahasia, Ikhwan al-Shafa menfokuskan
perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Organisasi ini juga mengajarkan
tentang dasar-dasar Islam yang didasarkan oleh persaudaraan Islamiyah (ukhuwah
Islamiyah), yaitu sikap yang memandang iman seseorang muslim tidak akan
sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.[1]
Para
filsuf tersebut mengemukakan konsep-konsep pendidikan baru di zaman selanjutnya,
konsep-konsep pendidikan itu menjadi landasan dasar pengembangan pendidikan.
Pendidikan dipilih menjadi sarana untuk memperbaiki moral bangsa penting kita
konsep secara sistematis dan struktur, baik dari segi tujuan pendidikan,
pendidikan, maupun peserta didiknya. Karena diharapkan, pendidikan mampu
menciptkan insan yang lebih baik dalam akhlak maupun kecerdasan intelektualnya.
Seperti yang kita ketahui bahwa salah satu tujuan dari pendidikan adalah
memanusiakan manusia, yang artinya bahwa mengembangkan kemampuan manusia secara
optimal sehingga mampu melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan
perspektifnya.
Salah
satu pandangan konsep pendidikan adalah konsep pendidikan menurut Ikhwan
al-Shafa, hal ini menjadi penting karena Ikhwan al-Shafa menitik beratkan
tujuan pendidikan itu untuk pengenalan diri. Selain itu, Ikhwan al-Shafa juga
mengedepankan kepentingan sosial diatas kepentingan pribadi. Hal ini dapat
menimbulkan nilai-nilai baik pada peserta didik, jika nilai ini terus
dikembangkan, maka peserta didik akan menjadi orang yang bermanfaat, dan tentu
pernaikan-perbaikan sosial yang dilakukan di masyarakat sksn mudah di capai.
Untuk lebih jelasnya filsafat dan konsep pendidikan Ikhwan al-Shafa akan
dibahas dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi dari Ikhwan al-Shafa?
2. Bagaimana pemikiran
tentang konsep pendidikan menurut Ikhwan al-Shafa?
3. Bagaimana ciri-ciri
modern/global pemikiran Ikhwan al-Shafa?
4. Untuk mengetahui
implikasi pemikiran pendidikan Ikhwan al-Shafa di era global
C.
Pembahasan
1. Biografi Ikhwan al-Shafa
Ikhwan al-Shafa
adalah sebuah perkumpulan para mujtahidin yang bergerak dalam bidang filsafat
dan ilmu pengetahuan. Sesuai dengan
namanya, Ikhwan Al Safa berarti persaudaraan yang suci dan bersih. Maka atas
utama perkumpulan ini adalah persaudaraan yang dilakukan secara tulus dan
ikhlas, kesekawanan yang suci, dalam menuju Ridlo Ilahi. Perkumpulan ini berkembang
pada abad kedua Hijriah di kota Bashrah, Irak. Ikhwan al-Shafa merupakan para
perkumpulan para mujtahidin dalam bidang filsafat yang banyak memfokuskan
perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan.
Organisasi
ini mengajarkan tentang dasar-dasar agama islam yang didasarkan pada
persaudaraan islamiyah (ukhuwwah
islamiyyah), yaitu suatu sikap yang memandang iman seorang muslim tidak
akan sempurna kecuali jika ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya
sendiri. Sebagai sebuah organisai ia memiliki semangat dakwah dan tablik yang
amat militan dan kepedulian yang tinggi terhadap orang lain.[2]
Semua anggota perkumpulan ini wajib menjadi guru dan mubaligh terhadap orang
lain yang terdapat di masyarakat.[3]
Disinilah letak relevansinya berbicara Ikhwan al-Safa dengan pendidikan.
Informasi lain menyebutkan bahwa
organisai ini didasarkan oleh kelompok masyarakat yang terdiri dari para
filosof. Organisasi yang mereka dirikan bersifat rahasia dan memiliki misi
politis. Namun bersamaan dengan itu pula ada yang menyatakan bahwa organisasi
ini lebih bercorak kebatinan. Mereka sangat mengutamakan pendidikan dan
pengajaran yang berkenaan dengan pembentukan pribadi, jiwa, dan akidah.[4]
Diantara anggotanya yang dapat
diketahui nama-nama mereka adalah sebanyak lima orang, yaitu:[5]
a.
Abu Sulaiman
Muhammad Ibnu Masyar al-Basti atau dikenal dengan nama al-Maqdisy
b.
Abu Hasan
Ali Ibnu Harun al-Zanjany
c.
Abu Ahmad
al-Mahrajani
d.
Al-Qufy
e.
Zaid Ibnu
Rifa’ah
Secara umum
yang melatar belakangi kemunculan Ihwan al-Shafa yaitu keprihatinan terhadap
pelaksanaan ajaran Islam yang telah tercemar oleh ajaran-ajaran diluar Islam,
serta untuk membangkitkan kembali rasa cinta kepada ilmu pengetahuan dikalangan
umat Islam. Aktivitas Ikhwan al-Shafa difokuskan untuk mempelajari filsafat,
baik filsafat Yunani, Persia, dan lainnya yang kemudia dipadukan dengan ajaran
Islam, sehingga menjadi satu ikhtisar dan mazhab filsafat sendiri. Dari hasil
pembahasannya, Ikhwan al-Shafa menyusun sebuah buku yang terdiri dari sebuah
risalah yang berjudul “Raisail Ikhwan
al-Shafa wa al-Kullah al-Wafa” yang berjumlah 52 rasail didalamnya.[6]
Kitab ini terdiri atas empat jilid
yang berisikan ikhtisar tentang ppengetahuan yang ada ketika itu mencangkup semua
objek studi manusia, seperti:[7]
1)
14 risalah
tentang matematika yang mencangkup: geometri, astronomi, musik, geografi,
teori, dan praktek seni logika.
2)
17 risalah
tentang fisika dan ilmu alam, meliputi: geneologi, minerologi, botani, hidup
dan matinya alam, senang dan sakitnya alam, keterbatasan manusia dan kemampuan
kesadaran.
3)
10 risalah
tentang ilmu jiwa meliputi metafisika mahzab Pytagoreanisme dan kebangkitan
alam.
4)
11 risalah
tentang ilmu-ilmu ketuhanan, mencangkup kepercayaan dan keyakinan hubungan alam
dengan Tuhan, keyakinan Ikhwan al-Shafa, kenabian dan keadaanya, tindakan
rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan Tuhan, magic dan jimat.
2.
Konsep Pendidikan Ihwan al-Shafa
Menurut Ikhwan al-Shafa, aktivitas
pendidikan dimulai sejak sebelum kelahiran. Sebab, kondisi dari bayi dan
perkembangannya sudah dipengaruhi oleh keadaan kehamilam dan kesehatan sang ibu
yang hamil. Dengan demikian, perhatian pendidikan harus sudah diberikan sejak
masa janin dalam rahim.[8] Dalam
sejarah Islam, kelompok ini tampil eksklusif dalam gerakan reformatif
pendidikannya, karena itu mereka adalah ta'limiyyun (pengajaran) dalam
melangsungkan kegiatan keilmuannya organisasi ini memandang pendidikan dengan
pandangan yang bersifat rasional dan empiric, atau perpaduan antara pandangan yang
bersifat intelektual dan faktual. Mereka memandang ilmu sebagai gambaran dari sesuatu
yang diketahui dari alam ini. Dengan kata lain yang dihasilan dari pemikiran
manusia itu terjadi karena mendapat bahan informasi yang dikirim oleh panca indera.[9]
Menurut Ikhwan al Safa, hakekat
manusia adalah terletak pada jiwanya, sementara jasad merupakan penjara bagi
jiwa, oleh karena itu kelompok ini membuat perumpamaan bagi orang yang belum
dididik dengan ilmu aqidah, ibarat kertas putih bersih, belum ternoda apapun
juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki
bekas yang tidak akan dihilangkan.[10]
a. Cara mendapat ilmu
Ketika
lahiri jiwa tidak memiliki pengetahuan sedikitpun, proses perolehan pengetahuan
manusia digambarkan Ikhwan al Safa secara dramatis dilakukan melalui
perlimpahan. Proses perlimpahan itu bermula dari jiwa universal kepada jiwa
manusia setelah terlebih dahulu melalui proses imanasi, secara berproses
manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Menurut Ikhwan
al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
1) Dengan
pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang
perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui
hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2) Dengan akal prima atau berpikir murni.
Akal murni juga harus dibantu oleh indera.
3) Melalui
inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-Shafa.
Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari
guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru
mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain, dan
para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir.[11] Konsep
Imam ini disinyalir bahwa Ikhwan al-Shafa mengabdopsi konsep imam dalam
pemahaman Syi’ah, yang lebih menekankan pada sikap eksklusif dalam memilih imam
dari kelompoknya sendiri.[12]
Pada bagian lain Ikhwan berpendapat
bahwa pada dasarnya semua ilmu itu harus diusahakan (muktasabah) bukan dari pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian
dapat diperoleh dengan menggunakan panca indra. Sesuatu yang terlukis dalam
pemikiran itu bukanlah sesuatu yang hekekatnya telah ada dalam pemikiran,
melainkan lukisan tersebut merupakan pantulan yang terjadi karena adanya
kiriman dari panca indra. Jadi bukan karena ide dari alam pikiran.
Dengan panca indra itulah manusia dapat mengetahui sesuatu pandangan seperti
dihasilkan melalui penafsiran terhadap ayat An Nahl 16:78
والله اخرجكم
من بطون امهاتكم لاتعلمون شيأ وجعل لكم السمع والابصار والافئدة لعلكم تشكرون.
Meskipun ia lebih menekankan pada
kekuatan akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi menurutnya panca indra
dan akal memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sesuai sampai pada pengetahuan
tentang esensi Tuhan. Oleh karena itu diperlukan pendekatan inisiasi yaitu
bimbingan/otoritas ajaran agama.
Oleh karena itu Ikhwan al Safa
menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah (harta
tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme. Plato
mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide yang dapat mengetahui
segala sesuatu yang ada. Karena itu untuk dapat mendapatkan ilmu pengetahuan
seseorang harus berhubungan dengan alam ide. Aliran idealisme inilah yang
ditentang oleh Ikhwan al Safa.[13]
Aliran Ikhwan al Safa lebih dekat
dengan aliran John Locke yang bersifat empirisme. Aliran ini menilai bahwa awal
pengetahuan terjadi karena panca indra berinteraksi dengan alam nyata. Begitu
juga dengan cara mendapatkan ilmu itu harus diusahakan dengan cara membiasakan
berpegang pada pembiasaan dan perenungan. Hal inilah yang dapat memperkuat daya
ingatan dan kedalaman ilmu seseorang.[14]
b. Tipe ideal guru
Nilai seorang guru
bergantung pada caranya menyampaikan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu mereka
mensyariatkan agar guru memiliki syarat-syarat yang sesuai dengan sikap dan
pandangan politik Ikhwan al-Shafa serta sesuai pula dengan tujuan penyiaran
dakwahnya. Keberhasilan siswa tergantung pada kepada guru yang cerdas, baik
akhlaknya, lurus tabi’atnya, bersih hatinya, menyukai ilmu, bertugas mencari
kebenaran, dan tidak bersifat fanatisme terhadap suatu aliran.[15]
Syarat-syarat
guru demikian hanya muncul dari orang-orang yang berada dalam organisasinya.
Berkenaan dengan ini mereka memiliki aturan tentang jenjang seorang guru yang
oleh istilah mereka dikenal dengan nama ashhab
al-namus. Mereka itu adalah mua’allim,
ustadz dan mu’addib. Guru ashhab
al-namus adalah malaikat, dan
guru malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa universal adalah akal
aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai guru dari sesuatu. Guru, ustadz atau mu’addib dalam hal ini berada pada posisi ketiga. Dalam pola
klasifikasi lain tentang jenjang dakwah kelompok Ikhwan al-Shafa, terbagi
menjadi:[16]
1)
Al-Abrar al-Ruhama’ (yang baik pengasih), yaitu anggota
kelompok yang berusia 15 tahun-an. Mereka mempunyai karakteristik jernih jiwa,
murah hati, manis kata dan cepat paham.
2)
Al-Akhyar al-Ruhama’ (yang terpilih-mulia), yaitu
anggota kelompok yang berusia 30 tahun-an. Mereka bercirirkan concern terhadap
ikhwah, murah hati, lembut, santun dan peduli pada ikhwah.
3)
Al-Fudlala’ al-kiram (yang mulia-terhormat), yaitu
anggota kelompok yang berusia 40 tahun-an. Bercirikan otoritatif, direktif, dan
pemersatu atas pertentangan yang ada dengan cara bijak, santun,dan
rekonstruktif,
4)
Al-Balighun Malakutallahi (yang telah mencapai malakut
Allah), yaitu kelompok yang berusia 50 tahun-an. Bercirikan kepasrahan total,
keteguhan jiwa, dan penyaksian kebenaran.
Ikhwan al-Shafa membagi sumber pengetahuan
menjadi empat dimensi:
a) Kitab suci yang diturunkan, misal Taurat, Injil, dan
Al-Qur’an.
b) Kitab-kitab yang disusun oleh para hukama’
(orang-orang bijak) dan filosof, baik beruppa Matematika, fisika-kealaman,
Sastra dan filsafat.
c) Alam, yakni bentuk empiris (phenoumenon) segala yang sesuatu sebagaimana adanya.
d) Perenungan alam semesta dan tata aturan kosmiknya,
atau sering disebut sebagai noumenon,
ragam dan macamnya, serta kaitan fungsionalnya dengan kenyataan empiris (phenoumenon).
Keistemewaan Pemikiran Ikhwan al Safa dalam Etos Keilmuan
Bahwa Ikhwan
al Safa di dalam etos keilmuannya tidak membatasi diri hanya pada satu sumber,
melainkan dari berbagai pandangan yang luas dan menyeluruh tentang
sumber-sumber pengetahuan. Selain itu keistimewaan yang paling menonjol, bahwa
mereka menolak fanatisme dan berpegang pada kebebasan berfikir kritis untuk
mencari kebenaran, sehingga mereka mampu untuk mempengaruhi generasinya untuk
memahami keragaman dan perbedaan pemikiran, serta pluraritas aliran pemikiran
dalam pengembangan dinameka keilmuan dan akselerasi derap langkah kemajuan
intelektual sosialnya melalui sistem pendidikan yang efektif.[17]
Kelompok ini mampu memerankan fungsi strategis dalam
sejarah gerakan pemikiran Islam, dan memberikan pengaruh yang positif serta
Para sejarawan kontemporer pun mengakui kontribusi besar yang telah diberikan
kelompok ini dalam memacu perkembangan pemikiran Islam, yaitu berupa:[18]
a. Totalitas kelompok Ikhwan al-Shafa dalam
mengabdi untuk kehidupan intelektual di abad ke-empat hijriah, hingga merekalah
yang paling fasih berbicara tentang masalah ini.
b. Perintisan program penyusunan karya
ensiklopedia pemikiran keislaman, yaitu dengan risalah-risalah populer mereka.
c. Pencerdasan dan pencerahan masyarakat
luas melalui program pengajaran aneka ragam ilmu dan filsafat.
3.
Ciri-Ciri Modern/Global Pemikiran Ikhwan Al-Shafa
a. Al-Tawfiq
Dan Al-Talfiq
Pemikiran
al-tawfiq (rekonsiliasi) Ikhwan al-Shafa terlihat pada tujuan pokok bidang
keagamaan yang hendak dicapainya, yakni merekosiliasikan atau menyelaraskan
antara agama dan filsafat dan antara agama-agama yang ada. Usaha ini terlihat
dari ungkapan mereka bahwa syariah telah dikotori bermacam-macam kejahilan dan
dilumuri berbagai kesesatan, satu-satunya jalan membersihkannya adalah dengan filsafat.[19]
Ikhwan
al-Shafa berusaha memadukan filsafat dengan agama dengan menurunkan metafisika
dan ilmu pengertian dari puncak spekulatif murni yang tidak dapat dijangkau
secara aktif-praktis. Dengan demikian, harus dimunculkan satu tingkat
kepercayaan yang menengahi tingkat kepercayaan yang telah ada, tingkat yang
cocok bagi orang-orang pilihan dan bagi orang kebanyakan yaitu tinggkat
kepercayaan yang cocok bagi keduanya, yang berakar pada akal, dipotong oleh
kitab suci, dan dapat diterima oleh semua kelompok pencari kebenaran.[20]
Disamping itu Ikhwan al-Shafa juga
memadukan agama-agama yang berkembang pada waktu itu dengan berasaskan
filsafat, seperti Islam, Kristen, Majusi, Yahudi dan lain karena, menurut
mereka tujuan agama adalah sama yaitu mendekatkan diri kepada Tuhan.[21]
b. Metafisika
Adapun
mengenai ketuhanan, Ikhwan al-Shafa melandasi pemikiran kepada bagian. Menurut
mereka, ilmu bilangan adalah lidah yang mempercayakan tentang tauhid, al-tanzih, dan meniadakan sifat dan tasybih, serta dapat menolak sikap orang
yang mengingkari keesaan Tuhan. Dengan kata lain, pengetahuan tentang angka
membawa kepada pengakuan tentang keesaan Tuhan, karena apabila angka satu
rusak, maka rusaklah semuanya. Selanjutnya mereka katakan, angka satu belum
angka dua dan dalam angka dua terkandung pengertian kesatuan. Dengan istilah
lain, angka satu adalah angka pemula dan ia lebih dahulu dari angka dua atau
angka lainnya. Karena itu keutamaan terletak pada yang dahulu, yakni angka
satu. Sedangkan angka dua dan lainnya terjadi kemudian. Karena itu terbuktilah
bahwa lainya bahwa yang Esa (Tuhan) lebih dahulu dari lainnya seperti dahulunya
angka satu dari angka yang lain.[22]
Ikhwan
al-Shafa juga melakukan al-tanzih,
meniadakan sifat dan tasybih kepada Tuhan. Tuhan adalah pencipta segala yang
ada dengan cara al-faidh (emanasi)
dan memberi bentuk tanpa waktu dan tempat, cukup dengan firman-Nya kun fa kana. Maka adalah segala yang
dikendaki-Nya. Ia berada pada segala sesuatu tanpa berbaur dan bercampur,
seperti adanya angka satu dalam tiap-tiap bilangan. Sebagaimana bilangan satu
tidak dapat dibagi dan tidak serupa deng an bilangan lain. Demikian pula Tuhan
tidak ada menyamai dan menyerupai-Nya. Tetapi, ia jadikan fitrah manusia untuk
dapat mengenal-Nya tanpa belajar.[23]
Tentang ilmu Tuhan, Ikhwan al-Shafa beranggapan bahwa seluruh pengetahuan (al-ma’lumat) berada dalam ilmu Tuhan
sebagaimana beradanya seluruh bilangan dalam satu. Berbeda dengan ilmu para
pemikir, ilmu Tuhan dari zat-Nya sebagaimana bilangan yang banyak dari bilangan
yang satu yang merupakan seluruh bilangan. Demikian pula ilmu Tuhan terhadap
segala sesuatu yang ada.[24]
Berkaitan
dengan penciptaan alam, pemikiran Ihwan al-Shafa merupakan perpaduan antara
pendapay Aristoteles, Plotinus dan Mutakallimin. Bagi Ikhwan al-Shafa, Tuhan
adalah pencipta dan mutlak Esa. Dengan kemauannya sendiri Tuhan menciptakan
Akal Pertama atau Akal Aktif (al-‘aql
al-fa’al) secara emanasi. Kemudian, Allah menciptakan materi pertama (al-hayula al-ula).n demikian, jika Allah
kadim, lengkap dan sempurna, maka akal pertama ini juga demikian halnya. Pada
Akal Pertama ini lengkap segala potensi yang akan muncul pada wujud berikutnya.
Sementara jiwa terciptanya secara emanasi dengan perantaran akal, maka jiwa
kadim dan lengkap, tetapi tidak sempurna. Dengan demikian juga halnya materi
pertama karena terciptanya secara emanasi dengan perantaran jiwa, maka Materi
Pertama adalah kadim, dan tidak lengkap, dan tidak sempurna.
Jadi, berhubungan
dengan alam materi secara langsung, sehingga kemurnian tauhid dapat pelihara
dengan sebaik-baiknya. Lengkapnya rangkaian proses emanasi adalah:
Allah maha
pencipta dan dari-Nya timbullah:[25]
1) Akal Pertama atau Akal Aktif (al-Aql wa al-Fa’al)
2) Jiwa Universal (al-nafs
al-kulliyah)
3) Materi Pertama (al-hayula
al-ula)
4) Potensi Jiwa Universal (al-thabi’ah al-fa’ilah)
5) Materi Absolut atau Materi Kedua (al-jism al-muthlaq)
6) Alam Planet-planet (‘alam al-falak)
7) Materi gabungan yang terdiri dari mineral,
tumbuh-tumbuhan dan hewan.
Kedelapan mahiyah diatas bersama zat Allah yang
mutlak, semournalah jumlah bilangan menjadi sembilan. Angka sembilan ini
membentuk substnsi organik pada tubuh manusia yaitu tulang, sumsum, daging,
urat saraf, kulit, rambut dan kuku.[26]
Segala sesuatu di alam ini adakalnya
berupa materi, bentuk, jauhar atau aradh.
Jauhar yang pertama adalah materi dan bentuk. Sedangkan aradh yang pertama adalah tempat, gerak dan zaman.
Salah
satu pemikiran Ikhwan al-Shafa yang mengagumkan adalah rentetan emanasi ke
delapan. Mereka telah mendahului Charles Darwin (1809-1882 M) tentang rangkaina
kejadian alam secara evolusi. Menurut mereka, alam mineral, alam
tumbuh-tumbuhan, alam hewan merupakan satu rentetan yang sambung menyambung.
Obyek-obyek fisik tersusun atas empat unsur yang menimbulkan, melalui
perantaran empat kualitas utama, onyek-obyek gabungan di dunia ini, yaitu
meneral tumbuh-tumbuhan dan hewan. Jadi, tingkatan penciptaan yang paling
rendah adalah meneral dan paling tinggi mencapai puncaknya pada manusia sebagai
khalifoah Allah di muka bumi, yang merupakan tapal batas antara urutan malaikat
dan hewan.[27]
Menurut
Ikwan al-Shafa, yang dalam hal ini dipengaruhi oleh kaum stoik, tubuh manusia
merupakan munuatur alam sementara sebagai keseluruhan (ikosmos).[28]
Tentang logika, Ikhwan al-Shafa mengajukan konsep alur
berpikir yang lurus, yaitu urutan berpikir sistematis: (1) analisis (al-tahlil), untuk mengetahui obyek inderawi
secara rinci, (2) definitif (al-had)
untuk mengetahui hakikat species (naw’) dan (3) deduktif (al-burhan), untuk mengetahui henus (al-jins).[29]
c.
Jiwa Manusia
Jiwa manusia bersumber dari jiwa universal. Dalam
perkembangannya jiwa manusia banyak dipengaruhi materi yang mengitarinya. Agar
jiwa tidak kecewa dalam perkembangannya, jiwa dibatu oleh akal yang merupakan
daya bagi jiwa untuk berkembang.[30]
Pengetahuan
diperoleh melalui proses berpikir. Anak-anak pada mulanya seperti kertas putih
bersih dan belum ada coretan. Lembaran pytih tersebut akan tertulis dengan
adanya tanggapan panca indera yang menyalurkannya ke otak bagian depan yang
memiliki daya imajinasi (al-quwwat al-mutakhayyilat). Dari sini meningkat ke
daya berpikir (al-quwwat al-mufakkirat) yang terdapat pada otak bagian tengah.
Pda tingkat ini manusia sanggip membedakan antara benar dan salah, antara baik
dan buruk. Setelah itu, disalurkan ke daya ingatan (al-quwwat al-hafizhat) yang
terdapat pada otak bagian belakang. Pada tingkat ini seseorang telah sanggup
menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh daya berpikir. Tingkatan terakhr
adalah daya berbicara (al-quwwat al-nathiqat), yaitu kemampuanmengungkapkan
pikiran dan ingatan lewat bahasa tulis kepada pembaca.[31]
d.
Moral
Adapun tentang moral, Ikhwan al-Shafa bersifat
rasionalitas. Untuk itu suatu tindakan harus berlangsung bebas merdeka. Dalam
mencapai tingkat moral dimaksud, seseorang harus melepaskan diri dari
ketergantungan materi. Harus memupuk rasa cinta untuk bisa sampai kepada
ekstase. Percaya tanpa usaha, mengetahui tanpa berbuat adalah sia-sia.[32]
Kesabaran
dan ketabahan, kelembutan dan kehalusan kasih kasayang, keadilan, rasa syukur,
mengutakan kebajikan, gemar berkorban untuk orang lain kesemuanya harus menjadi
karakteristik pribadi. Sebaliknya, hahasa kasar, kemunafikan, penipuan,
kedzaliman, dan kepalsuan harus dikiks habis hingga timbul kesucian perasaan,
cinta terhadap sesaman manusia, dan keramahan terhadap alam.[33]
Jiwa
yang telah dibersihkan akan mampu bentuk-bentuk cahaya sepiritual dan
entitas-entitas yang bercahaya. Semakin suci jiwa, maka semakin dapat memahami
makna dasae yang tersembunyi dalam kitab suci dan kesesuaianya dengan
pengetahuan rasional dalam filsafat. Sebaliknya, selama jiwa terperosok dalam
daya pikat keinginan-keinginan dan kesenangan-kesenangannya, ia tidak dapat
mengetahui makna kitab suci dan tidak bisa merenungkan apa yang ada di
dalamnya. Demikian juga setelah peristiwa kematian, dia tidak akan bisa
terbebas dari beban-bebanya dan tidak bisa masuk syurga dan dia akan dimasukkan
ke dalam neraka. Itu adalah akibat dari kekufuran, kesalahan, kebodohan dan
kebutaan terhadap makna dasar kitab suci.
e.
Bilangan
Tujuan Ikhwan al-Shafa membicarakan bilangan untuk
mendemonstrasikan bagaimana sifat bilangan itu bila diterapka dalam sesuatu,
sehingga siapa saja yang mendalami bilangan dengan segala hukum-hukumnya,
sifat-sifat dasarnya, jenis-jenisnya akan memahami jumlah macam-macam benda.[34]
4. Implikasi Dan Relevansi Pemikiran Pendidikan Ikhwan
Al- Shafa Di Era Global
Ada beberapa implikasi dari pemikiran pendidikan Ikwan
al-Shafa di era global, diantaranya sebagai konsekuensi formulasi relasi
komplementar dari konsepsi Ikhwan al-Shafa tentang manusia, pengetahuan,
ilmu/program kurikuler dan belajar, maka mereka membangun teori pendidikan yang
komprehensif, sempurna dan gradual.[35]
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat
diperoleh dengan tiga cara, yaitu: indera, akal untuk berpikir murni dan
inisiasi.[36]
Melalui panca indera yang dengannya manusia dapat memperoleh pengetahuan
tentang perubahan-perubahan yang dapat ditangkap oleh indera. Dengan akal prima
atau berpikir murni yang dibantu dengan indera, sebagai alat untuk memahami dan
menggambarkan sesuatu agar seseorang mencapai hakikat yang menuntunya beriman,
akal yang dapat menangkap hal-hal abstrak, akal sebagai dorongan moral dan
untuk mengambil pelajaran/hikmah.[37]
Melalui inisiasi yang berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ihwan al-Shafa,
yakni melalui cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung
dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya.[38]
Dalam artian bahwa manusia dapat belajar pengetahuan melalui apapun, termasuk
melalui alam. Dengan begitu akan membuat seseorang akan mengenal sumber dari
segala sumber ilmu, yakni Allah swt.
Secara tersirat bahwa dalam konsep manusia (peserta
didik) Ihkwan al- Shafa secara halus menguatkan pengakuan mereka tentang ragam
potensi psikomotorik, kognitif, dan efektif pada masing-masing individu.[39] Hal
ini tentu releva dengan pendidikan yang ada pada zaman sekarang ini yang dalam
pembelajaran dikelas sangat mengutamakan ketiga ranah tersebut dalam setiap
aspek yang diajarkan didalam kelas, tidak terkecuali penilaian dan evaluasi
dalam pembelajaran yang bersifat autentik yang mencangkup ketiga ranah
tersebut.
Pandangan Ikwan al-Shafa menempatkan fungsi-fungsi
spiritual yang bersifat efektif pada hirarki paling atas dan mulia dibanding
dengan fungsi-fungsi lainnya.[40] Hal
ini bisa dikatakan bahwa Ikhwan al-Shafa sangat mengedepankan religiousitas dan
akhlak seseorang sebagai bagian dari tujuan pendidikan. Selain itu, tujuan
luhur kependidikan yaitu pengenalan diri.
[41]Melalui
pengenalan seseorang terhadap dirinya sendiri maka ia akan dapat mengenal
Tuhannya.
Busyairi Madjidi
menjelaskan bahwa beberapa contoh pokok pikiran mereka mengenai pendidikan dan
pengajaran masih relevan dengan pendidikan dan pengajaran dengan pendidikan
modern sekarang. Diantaranya ialah tujuan, kurikulum, dan metode pendidikan.[42]
a.
Mengenai tujuan pendidikan Ikhwan al-Shafa melihat bahwa tujuan pendidikan
haruslah dikaitkan dengan keagamaan. Tiap ilmu, kata mereka merupakan
malapetaka bagi pemiliknya bila ilmu itu tidak ditujukan kepada keridhoan Allah
dan kepada akhirat.
Dalam
hal ini Ikhwan al-Syafa mengklasifikasikan ilmu pengetahuan (aqliyah) kepada 3
(tiga) kategori, yaitu: matematika, fisika,dan metafisika. Ketiga klasifikasi
tersebut berada pada kedudukan yang sama, yaitu sama bertujuan menghantar
peserta didik mencapai dunia dan akhirat.[43]
b. Kurikulum pendidikan tingkat akademis
mereka berpendapat agar dalam kurikulum tersebut mencangkup logika, filsafat,
ilmu jiwa, pengkajian kitab agama samawi, kenabian, ilmu syariat dan ilmu-ilmu
pasti. Namun yang lebih diberi perbatian adalah ilmu keagamaan yang merupakan
tujuan akhir dan pendidikan (M. Athiyah al-Abrasyi, 1975).
c. Mengenai metode pengajaran Ikhwan
al-Shafa mengemukakan prinsip: “hal yang konkrit kepada abstrak” berkata dalam
Rasailnya: “Seharusnya orang yang akan mempelajari dasar-dasar segala yang ada
(maujudat), ialah agar mengetahui
dasar-dasar menurut hakekatnya yaitu agar mempelajari segala yang konkrit dan
dapat diraba. Dengan demikian akan terbuka pikirannya dan menjadi kuat untuk
mempelajari yang abstrak.
d. Perbedaan bakat individu dan
sebab-sebabnya
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa
anak-anak didik, dapat menerima suatu kepandaian bila sesuai dengan pembawaan mereka
masing-masing. Sementara ada orang yang berbakat pada satu macam kepandaian
atau beberapa macam kepandaian. Mereka dengan gampang menerima kepandaian itu
sampai mencapai prestasi yang tinggi. Dalam waktu yang singkat sudah dapat
diketahui dari pekerjaan mereka, bahwa mereka betul-betul berbakat. Tapi ada
juga orang yang memerlukan dorongan yang besar dan upaya yang keras untuk
mengejar suatu kepandaian, karena tak sesuai dengan bakat pembawaannya, dan
tidak ada bintang yang membawa bekal pada hari kelahirannya lalu gagal. Dalam
pada itu terdapat pula sebagian orang yang sama sekali tidak mempelajari kepandaian,
dia kosong dari berbagai macam kepandaian. Hal ini disebabkan pada waktu
kelahirannya tidak ada bintang di buruj yang menyambutnya dan
membekalinya dengan suatu bakat. Sekiranya pada waktu kelahirannya terdapat
salah satu dari tiga bintang yang menyambutnya tentuulah dia punya bekal
kepandaian yang akan dipelajarinya. Ketiga bintang itu ialah Mirrich (Mars),
kejora (Venus) dan Uthaarid (Mercury). Setiap macam kepandaian memerlukan gerak
kelincahan dan ketekunan (rajin) dan kecerdasan. Bintang Mars mempunyai
gerak/lincah, bintang kejora (Zahrah)
mempunyai sifat-sifat rajin (ketekunan) dan bintang Mercury mempunya
kepintaran. Adapun empat benda di langit lainnya, tidaklah memberi suatu
kepandaian profesional, tapi pekerjaan pada umumnya yang cocok baginya. Empat
benda langit itu ialah matahari, bintang Zuhal (saturnus), bintang Musytari
(Yupiter) dan bulan. [44]
Bila hari kelahiran disambut
Matahari dia tidak punya kepandaian karena sombongnya, seperti halnya anak-anak
para raja. Bila kelahiranya disambut oleh Yupiter, dia tidak akan belajar
kepandaian dan tidak pula tahu karena zuhud
dan wara’, dia sudah rela dan ikhlas
menerima sedikit saja dari kebutuhan duniawi, dan perhatiannya yang besar pada
kepentingan akhirat. Seperti halnya
nabi-nabi dan orang-orang mengikuti jejaknya. Bila lahirnya disambut oleh
Bintang Saturnus, maka dia tidak bekerja dan tidak belajar karena malas, dan tabiatnya yang berat untuk bergerak. Dia
sudah merasa senang dengan kehinaan dan kemiskinan, seperti halnya orang yang
minta-minta. Bila hari kelahiranya disambut oleh bulan yang berada di buruj
(gugusan bintang) maka dia tidak akan bekerja karena rendah dan lembeknya
tabiatnya dan lemah pikirannya. Seperti halnya kaum wanita dan sebagian
laki-laki yang menyerupai wanita.[45]
Kesimpulan
Ikhwan
al-Shafa adalah sebuah perkumpulan para mujtahidin dalam bidang filsafat yang
bergerak dalam lapangan ilmu pengetahuan. Perkumpulan ini dibentuk di kota
Bashrah Irak sekitar tahun 340/941 olah Zayd Ibn Rifa'ah dan berkemb ang pada
abad ke dua Hijriah. Ikhwan al-Shafa merupakan para perkumpulan para mujtahidin
dalam bidang filsafat yang banyak memfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah
dan pendidikan.
Menurut
Ikhwan al-Shafa, aktivitas pendidikan dimulai sejak sebelum kelahiran. Sebab, kondisi
dari bayi dan perkembangannya sudah dipengaruhi oleh keadaan kehamilam dan
kesehatan sang ibu yang hamul. Dengan demikian, perhatian pendidikan harus
sudah diberikan sejak masa janin dalam rahim.[46] Dalam
sejarah Islam, kelompok ini tampil eksklusif dalam gerakan reformatif
pendidikannya, karena itu mereka adalah ta'limiyyun (pengajaran) dalam
melangsungkan kegiatan keilmuannya organisasi ini memandang pendidikan dengan
pandangan yang bersifat rasional dan empiric, atau perpaduan antara pandangan
yang bersifat intelektual dan faktual. Mereka memandang ilmu sebagai gambaran
dari sesuatu yang diketahui dari alam ini. Dengan kata lain yang dihasilan dari
pemikiran manusia itu terjadi karena mendapat bahan informasi yang dikirim oleh
panca indera.
Pandangan Ikwan al-Shafa menempatkan fungsi-fungsi
spiritual yang bersifat efektif pada hirarki paling atas dan mulia dibanding
dengan fungsi-fungsi lainnya.[47] Hal
ini bisa dikatakan bahwa Ikhwan al-Shafa sangat mengedepankan religiousitas dan
akhlak seseorang sebagai bagian dari tujuan pendidikan. Selain itu, tujuan
luhur kependidikan yaitu pengenalan diri.
[48]Melalui
pengenalan seseorang terhadap dirinya sendiri maka ia akan dapat mengenal
Tuhannya.
DAFTAR PUSTAKA
Maragustam, Filsafat
Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global, kurnia
kalam semesta, Yogyakarta 2016.
Abuddin Nata, MA. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta,
Logos Wacana Ilmu.2005.
Hasyim Nasution, Filsafat
Islam, Jakarta; Gaya Media,2005.
M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam:
Perspektif Sosiologis-Filosofis, Yogyakarta 2002.
Sirajudin Zar, Filsafat
Islam: Filosof Dan Filsafatnya,.Hlm 152
http://fuadmukti.blogspot.com/2016/01/pendidikan-islam-dalam-pandangan-ikhwan_65.html?view=mosaic dikutip pada hari selasa 11-09-2018 pukul 14.21WIB
Harefa Andrias, Menjadi Manusia Pembelajar On Becoming A
Learner: Pemberdayaan Diri, Transformasi Organisasi Dan Masyarakat Lewat Proses
Pembelajaran, Kompas, Jakarta 2000.
Ramayulis, Pendidikan
Pendidikan Islam: Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam, Kalam Mulia,
Jakartta, 2015.
MAKALAH PRAREVISI
[2] Ahmad
Fu’ad Al-Ahwani, Al-Tarbiyah Fi Al-Islam, Hlm 227. Dalam Filsafat Pendidikan Islam, H. Abuddin Nata, 2005. Hlm 231
[3] H.M.
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam,
Hlm 92-93. Dalam Filsafat Pendidikan
Islam, H. Abuddin Nata, 2005. Hlm 231.
[5] Maragustam,
Filsafat Pendidikan Islam: Menuju
Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global, 2014. Hlm 161.
[8] M.
Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori
Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis, Yogyakarta 2002. Hlm 168
[12] Konsep Imamiyah (dalam
Syiah) gelar Khalifah (Ketua Negara) diubah menjadi Imam. Imam hanya boleh dilantik oleh Rasulullah s.aw. dan
kaum Muslimin tidak berhak memilih Khalifah atau Imam. Rasulullah s.a.w. telah
mewasiatkan Sayidina Ali untuk mengantinya sebagai Imam setelah Rasulullah
wafat. Sebagai waris Nabi, Sayidina Ali terus menerima wahyu dari Allah swt.
Sayidina Ali pula tidak mati dan seperti Nabi Isa s.a.w. beliau di bawa
kelangit. Yang mati adalah gantinya. Seperti Nabi Isa a.s. juga, Sayidina Ali
akan diutuskan lagi kepada manusia sebagai Imam Mahdi untuk menghapuskan
kezaliman dan kesesatan manusia. Sementara menunggu Sayidina Ali muncul kembali
di dunia, roh beliau sebagai Imam Syi’ah yang pertama berpindah-pindah dari
jasad beliau kepada jasad 11 orang Imam (ada firqah Syi’ah menerima hanya 7
Imam). Imam yang ke-12 ( atau 7) bernama
Muhammad bin Hasan al Mahdi dipercayai tidak mati tapi ghaib (konsep Imam
Ghaib). Sayidinna Ali dipercayai akan muncul kembali ke dunia dalam jasad Imam
yang ke-12, Imam Mahdi yang ghaib itu. Ini dipanggil I’tiqad Ar-Rajah oleh
orang Syi’ah. (www.mindarakyat2.tripod.com. Diunduh hari rabu , 12-09-2018
pukul 11.03 wib.
[14] Ahmad
Fu’ad al-Ahnawi, Op. Cit., Hlm
227-228 dalam Dr. H.
Abuddin Nata, MA. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta, Logos
Wacana Ilmu.2005. Hlm 234.
[16] M.
Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori
Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis, Yogyakarta 2002. Hlm
147-148.
[17] M.
Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif
Sosiologis-Filosofis. Hlm 148-149
Hlm
164
[37] Maragustam,
Filsafat Pendidikan Islam: Menuju
Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global, 2014. Hlm 71-72
[39] M.
Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif
Sosiologis-Filosofis. Hlm 156
[42] Maragustam,
Filsafat
Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global, 2016.
Hlm 164
[44] Maragustam,
Filsafat
Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global, 2016.
Hlm 165
[46] M.
Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori
Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis, Yogyakarta 2002. Hlm 168
[48] M.
Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif
Sosiologis-Filosofis. Hlm 152
Komentar
Posting Komentar