PEMIKIRAN KUHN DAN PLURALISME PARADIGMA


PEMIKIRAN KUHN DAN PLURALISME PARADIGMA




Oleh:
Imam Hadi kusuma
Annisa Intan
Ervi Wilandari Indah Putri
Nur Endah Kusumaningrum


Dosen Pengampu:

Prof. Dr. Achmad Dardiri

A.    PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dapat terjadi diantaranya disebabkan adanya ketidakpercayaan ilmuwan terhadap teori-teori tertentu. Asumsinya, ilmu pengetahuan dapat terbentuk karena dibangun atau diisi atas kumpulan beberapa teori. Hal itu berimplikasi bahwa adanya proses pengembangan ilmu pengetahuan. Pengembangan ilmu pengetahuan tersebut terjadi karena adanya proses pengembangan teori-teori yang sudah ada. Tentunya sebuah teori itu dibangun berdasarkan dari hasil proses penelitian ilmiah. Dengan demikian pengembangan ilmu pengetahuan harus dilakukan secara komprehensif. Tidak hanya didasarkan pada salah satu aspek keilmuan atau metode tertentu saja. Tidak hanya ilmu alam saja, tetapi ilmu-ilmu sosialpun turut mewarnai dan mendominasi suatu teori tersebut.
Pemikiran Kuhn merupakan pemberontakan terhadap paradigma positivisme (seperti yang dilakukan juga oleh Karl Raimund Popper. Paul Feyerabend, atau Stephen Toulmin). Gagasan Kuhn sangat radikal dan memberi sumbangan pemikiran dan pengaruh yang sangat besar bagi post-positivisme dan epistimologi postmodern dengan pluralisme paradigma ilmiahnya. Seorang Ilmuwan, menurut Kuhn harus ahli dalam bidangnya, kalau tidak maka tidak akan berhasil memecahkan teka-teki yang dihadapinya. Ilmuwan harus jelas melihat “jaringan” antara konseptual teoritis maupun metodologis, yang semuanya merupakan pertautan yang dibutuhkan untuk pemecahan teka-teki untuk program riset ilmu pengetahuan. Dalam makalah ini akan membahas perihal pemikiran Kuhn serta pluralisme paradigma dalam ilmu pengetahuan sosial-budaya.

B.     BIOGRAFI KUHN
Thomas Samuel Kuhn lahir pada 18 Juli 1922 di Cincinnati Ohio dan meninggal  17 Juni 1996 di Cambridge, Massachusetts USA. Kuhn menyelesaikan studi doktornya dalam ilmu pasti-alam di Harvard dan University of California di Barkeley. Pada tahun 1964 -1979 Kuhn mengajar pada Universitas Princenton, dan dari tahun 1979 – 1991 ia bertugas di Massachusetts Institute of Technology. Karyanya yang paling terkenal adalah The Structure of Scientific Tradition and Change (1977).

C.    PEMIKIRAN KUHN
1.      PENTINGNYA PEMEHAMAN SEJARAH ILMU PENGETAHUAN DAN PENOLAKAN ATAS POSITIVISME DAN PEMIKIRAN POPPER
Karya Kuhn “The Structure of Scientific Revolution” dianggap karya monumental mengenai perkembangan sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan dengan mengemukakan konsep paradigma sebagai konsep sentral. Karya ini ditulis Kuhn ketika ia hampir menyelesaikan disertasinya di bidang fisika teoritis. Keterlibatannya dengan kuliah eksperimental mengenai ilmu fisika pada akhirnya membawanya pada kekaguman dan kesimpulan bahwa teori dan praktik ilmiah yang telah usang “sesungguhnya secara radikal telah merobohkan sebagian konsepsi dasarnya tentang sifat ilmu pengetahuan dan alasan keberhasilannya yang istimewa.
Kuhn sempat menelaah bidang-bidang yang jauh dari spesialisnya seperti psikologi (khususnya eksperimen piaget. Psikologi Gestalt), serta pengaruh bahasa terhadap pernyataan ilmiah (khususnya berkaitan teori B. L. Whorf dan Wittgenstein yang menolak bahasa  sebagai cermin realitas). Penelusuran bidang-bidang ilmiah itu secara tidak sengaja menarik perhatian Kuhn untuk mendalami sejarah ilmu pengetahuan. Dari hasil penelusuran itu, ia menekankan pentingnya pemahaman tentang sejarah ilmu pengetahuan sebagai titik tolak bagi semua riset dan pemahaman ilmiah.
Pemikiran Thomas Kuhn dalam buku “The Structure of Scientific Revolution” (1962) juga mengkritik pandangan positivisme dan falsifikasi Popper. Menurut Thomas Kuhn Positivisme memandang perkembangan ilmu pengetahuan bersifat kumulatif. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan mengalami perkembangan terus sebagai akumulasi yang terjadi sebagai akibat riset para ilmuwan sepanjang sejarah dan perkembangannya. Positivisme juga memvonis kriteria ilmiah dan tidak ilmiahnya satu teori atau proposisi melalui prinsip verifikasi. Sedangkan Popper cenderung untuk tidak sepakat dengan prinsip verifikasi dan menggantinya dengan falsifikasi, maksudnya dapat dibuktikan salahnya suatu teori, proposisi atau hipotesis. Menurut Popper, perkembangan ilmiah diawali dengan pengajuan hipotesis yang kemudian dilanjutkan dengan upaya pembuktian salahnya hipotesis tersebut. Maka sebuah teori ketika telah terbukti kesalahannya, secara otomatis langsung menggugurkan teori sebelumnya. Tetapi jika tidak menemukan kesalahan hipotesis lagi, maka hipotesis berubah menjadi tesis (teori) yang diterima sebagai sebuah kebenaran, tetapi sifatnya tentatif. Maksudnya, kebenaran teori diterima sampai diketemukan kesalahan teori itu ketika diuji oleh ilmuwan lain.
Pandangan Popper tersebut ditolak Kuhn karena dianggap tidak sesuai fakta. Secara tegas Kuhn mengemukakan bahwa perubahan ilmu pengetahuan tidak mungkin terjadi karena upaya empiris melalui proses falsifikasi suatu teori, melainkan terjadi melalui satu perubahan yang sangat mendasar yang disebut sebagai revolusi ilmiah. Thomas Kuhn juga tidak sepakat dengan pandangan positivisme bahwa perkembangan ilmu pengetahuan berdasarkan cara kumulatif dan evolusioner. Dalam hal ini, Thomas Kuhn berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dapat berkembang melalui cara revolusi ilmiah, sedangkan revolusi ilmiah terjadi lewat perubahan paradigma. Berdasarkan temuan tersebut, istilah paradigma dan revolusi ilmiah akhirnya menjadi karakteristik yang melekat pada corak pemikiran Thomas Kuhn.

2.      REVOLUSI ILMIAH
Revolusi ilmiah adalah perubahan yang drastis yang terjadi dalam tahapan perkembangan ilmu pengetahuan. Perubahan paradigma itu bisa terjadi secara sebagian atau keseluruhan oleh paradigma baru. Namun yang jelas, adalah pergantian paradigma ilmiah akan mengakibatkan munculnya perbedaan yang sangat mendasar antara paradigma lama dengan paradigma baru (yang menggantikannya). Dengan demikian jelas perkembangan ilmu pengetahuan terjadi melalui lompatan-lompatan yang radikal dan revolusioner dengan pergantian paradigma. Berikut skema revolusi ilmiah Kuhn :
Untuk memahami revolusi ilmiah Kuhn, kita dapat memahaminya seperti ini: Dalam sejarah ilmu alam misalnya, periode pra ilmiah dapat kita lihat sebelum muncul dalam sejarah ilmu alam misalnya, periode pra ilmiah dapat kita lihat sebelum munculnya gagasan filsafat alam dari filsuf yunani. Sebelum muncul filsuf yunani, penjelasan tentang segala sesuatu dijelaskan oleh mitos-mitos (mitologi). Filsuf Yunani kemudian memberikan penjelasan rasional (spekulatif) tentang fenomena alam, asal mula alam, dan kehidupan masyarakat. Aristoteles lantas mulai mengemukakan istilah fisika (yang dibedakan dengan metafisika atau realitas yang tidak terindera) dan ia mengemukakan metode deduktif dan induktif yang mulai digunakan sebagai metode filsafat. Pemikiran aristoteles kemudian telah menghasilkan satu paradigma ilmiah (geosentris) yang dijadikan sebagai model untuk perkembangan dan penjelesan filsafat alam (nama fisika) selama seribu tahun lebih.
Kemudian muncul pandangan dan pola baru dari Copernicus. Copernicus mengemukakan gagasannya melalui bukunya De Revolutionibus Orbium Coelestium (1543). Gagasan ini yang menggantikan teori geosentris yang menyatakan bahwa bumi sebagai pusat sistem tata surya dengan teori heliosentris yang menyatakan bahwa bukan bumi akan tetapi mataharilah sebagai pusat sistem tata surya kita. Penolakan dan serangan langsung terhadap pandangan Copernicus muncul dari tokoh-tokoh gereja dan lembaga-lembaga astronomi yang mendukung teori (paradigma lama). Salah satu argumen yang paling menentang teori Copernicus adalah argumen yang disebut dengan “argumen menara”. Argumennya adalah sebagai berikut,” Apabila bumi berputar pada porosnya, sebagaimana dikemukakan Copernicus, maka batu yang dijatuhkan semestinya berada jauh dari menara karena gerak bumi semestinya sudah bergerak sangat jauh dari posisinya semula. Namun kenyataannya batu jatuh dekat dengan menara. Berdasarkan ini mereka menolak teori bahwa bumi berputar dan ini berarti teori Copernicus salah. Lagi pula bumi bergerak dengan kecepatan tinggi, tentu saja benda-benda, rumah, manusia yang ada di permukaannya akan terlempar ke luar permukaan bumi. Ilmuwan besar Tycho Brahe, Keppler, Newton akhirnya memperkuat penerimaan ahli astronomi terhadap paradigma heliosentris ini. Akhirnya teori Copernicus dijadikan paradigma baru untuk memahami alam menggantikan paradigma sebelumnya.

3.      PARADIGMA
Pemikiran oleh thomas kuhn yang mana kuhn mengatakan “paradigma adalah pandangan dasar tentang pokok bahasan ilmu yang mendefinisikan apa yang harus di teliti dan apa yang harus di bahas, pertanyaan apa yang di munculkan, bagai mana merumuskan pertanyaan dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterprestasikan jawabannya.” Paradigma disini adalah konsesus terluas dalam dunia ilmiah yang berfungsi membedakan satu komunitas ilmiah dengan komunitas lain. Contoh umum yang dberikan oleh kuhn adalah praktek ilmiah dan aktual yang diterima dari paradigma kuhn antara lain: hukum teori dan aplikasi dan instrumen di terima secara bersama hingga ini menjadi sumber dan tradisi yang mantap dalam riset-riset ilmiah kuhn. Paradigma disini diartikan sebagai “pola”, ”model”, ”skema” dan pemahaman tertentu tentang realitas yang dikaji. Kuhn menggunakan dalam tiga tipe: Paradigma metafiisik, Paradigma sosiologis, dan Paradigma konstruk.
Paradigma metafisik merupakan konsensus terluas dalam bidang ilmu yang membantu membatasi bidang scope dari bidang ilmu sehingga mampu mengarahkan ilmuwan dalam melakukan penelitiannya. Paradigma metafisik ini mengandung keyakinan, nilai-nilai, serta teknik dan metode yang di gunakan oleh komunitas ilmuwan tertentu. Paradigma metafisik memerankan beberapa fungsi antara lain:
a.       Untuk menentukan masalah ontologi (realitas, objek) yang menjadi fokus atau objek kajian ilmiah dari komunitas ilmuwan tertentu.
b.      Membantu komunitas ilmuwan tertentu bagaimana mereka bagaimana mereka menemukan realitas atau objek (problem ontologi) yang menjadi pusat perhatian.
c.       Membantu ilmuwan untuk menentukan teori dan penjelasan tentang objek yang di teliti.
Paradigma sosial disebutkan bahwa paradigma sosial berkaitan tentang kebiasaan-kebiasaan, keputusan-keputuasan dan aturan yang di terima serta hasilnya juga di terima secara umum. Kemudian oleh beberapa para ahli hal ini di jadikan contoh penelitian dan beberapa pendukung paradigma tersebut. Paradigma konstruk adalah konsep yang paling sempit dari ketiga paradigma yang dikemukakan Mastermen.

4.      PRINSIP KETIDAKSEPADANAN DAN KRITERIA ILMU NON ILMU
Pada prinsip ini kuhn menerima pluralitas paradigma, dimana paradigma pluralitas ini memiliki aturan dan keriteria kebenarannya masing masing. Sehingga keriteria paradigma (dalam teori kebenaran) tentunya tidak dapat di paksakan untuk menilai paradigma yang lain,   aturan yang ada dan kriteria tersebut tidak sepadan dengan paradigma yang lain. Kuhn dianggap sebagai post-positivisme, akan tetapi disini kuhn lebih tertarik menentukan keriteria satu teori dianggap lebih baik dari teori yang lain. Antara lain adalah :
1.      Accuracy yang mana disini diungkapkan bahwa adanya “tuntutan agar teori ilmiah harus akurat dalam domain penelitian.
2.      Consistency disini diungkapkan bahwa adanya “tuntutan agar suatu teori secara internal konsisten begitu pula dengan teori pada paradigma yang sama.
3.      Scope yang mana ini lebih mengacu pada “ tuntutan teori yang mana teori tersebut mampu menjelskan secara lebih luas dari sekedar yang dikemukakan.
4.      Simplicity dikatakan bahwa teori harus jelas dan tidak berbelit-belit.
5.      Fruitfulnees memiliki ketentuan dari “segi kemanfaatan atau kemampuan sebuah teori baru dalam mengidentifikasi fenomena baru yang belum di ketahui oleh fenomena lama tersebut.

D.    PERGESERAN PERALIHAN PARADIGMA
Pergeseran paradigma awal sebagai contoh adalah paradigma aristoteles dan ptolemeus yang mengungkap bahwa bumi merupakan pusat alam semesta, setelah itu muncullah pendapat baru dari copernicus, bukan bumi yang menjadi pusat alam semesta, di ungkapkan lah bahwa matahari lah yang menjadi pusat alam semesta. Pergeseran ini memuliki beberapa unsur dan pengertian :
1.         Muncul cara pikir baru mengenai masalah-masalah baru.
2.         Dimana dalam paradigma ini ada prinsip asumsi  yang dihadirkan. Akan tetapi tidak kita kenal dan sadari.
3.         Paradigma baru tidak dapat kita terapkan kecuali meninggalkan paradigma lama.
4.      Paradigma baru akan selalu dihadapi dan ditanggapi dengan sebuah kecurigaan dan permusuhan.

E.    PARADIGMA DALAM SOSIOLOGI
Dalam sosiologi, George Ritzer membagi tiga paradigma yaitu :
1.      Paradigma fakta social
paradigma ini dipengaruhi oleh positivism Auguste Comte yang mendasarkan sosiolgi pada fakta social yang terobservasi. unsur-unsur atau ciri paradigm fakta social adalah :
a.  eksemplar : model yang menjadi contoh penelitian fakta social adalah karya emile Durkheim
b.  realitas social yang jadi fokus perhatian : fakta social, struktur social, dan institusi social yang berskala besar. perhatian ditujukan pada fakta social serta efeknya individu dan tindakannya
c.       metode kuesionare, wawancara dan perbandingan sejarah
d.   teori : ada beberapa teori yang berkembang berdasarkan paradigm ini : fungsional-struktural, teori konflik, teori sistem, dan teori sosiolgi makro
2.      paradigma definisi social
unsur atau ciri paradigm definisi social antaralain :
a.       eksemplar : model yang menjadi contohnya adalah max weber tentang tindakan social
b.      realitas yang menjadi fokus perhatian : cara actor social mendefinisikan situasi social mereka dan efek dari definisi itu terhadap tindakan individu dan interaksi antar mereka. setiap tindakan memliki tujuan, memiliki makna dan dimensi makna (psikis) itu yang ingin dicari
c.       metode : metode observasi sebagai metode andalannya, meskipun dimungkinkan menggunakan metode wawancara.
d.      teori : paradigm ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran filasafat eksistensialisme, teori masuk dalam paradigna ini antara lain : teori tindakan, interarksionisme simbolis, fenemenologi, etnometodologi, etnofrafi dan fraounde theory
3.      paradigm perilaku social
paradigm ini adalah penerapan positivism (auguste comte) pada ilmu social. unsur-unsur atau ciri paradigm prilaku social antara lain :
a.       eksemplar : model penelitiannya psikologi empiris eksperimental dan psikologi behaviorisme
b.      fokus perhatiannya : tingkah laku yang teramati tanpa mempertimbangkan makananya
c.       metode ekperimen terkontrol
d.      teori : behaviorisme psikologi dan teori pertukaran

F.     ASUMSI-ASUMSI (ONTOLOGIS, EPISTIMOLOGIS DAN METODOLOGIS) PARADIGMA.
Setiap paradigma memiliki pandangan dunia dan metodologi tertentu. Berikut skema pandangan dunia berpengaruh dalam menentukan fenomena dilihat dari teori, metode atau teknik, serta penelitian yang dipilih.

1.      PARADIGMA POSITIVISME
Paradigma ini menerapkan epistemologi dualis, dimana subjek harus benar-benar dipisahkan dari objek dan teori (teori harus universal dan objektif). Jadi, adanya keyakinan bahwa objek yang ada diluar kita, sama yang ada dipikiran kita dan sama dengan bahasa (teori) yang digunakan untuk menjelaskannya. Apabila dilihat dari pandangan post modernis, tidak ada kesamaan dan kesejajaran antara bahasa dengan realitas, serta menolak anggapan ilmuwan tidak terlibat dalam mengonstruksi ilmu dalam melihat realitas.

2.      PARADIGMA POST- POSITIVISME
Pemikiran ilmuwan yang berlatar belakang fisika dan matematika yang mengkritik paradigma positivisme dengan argumen yang berbeda serta dengan sejumlah asumsi post- positivisme (ontologis, epistemologis, metodologis) adapun asumsi ini dilihat juga sebagai pembeda dan kritikan post- positivisme terhadap positivisme.

3.      PARADIGMA TEORI KRITIS
Paradigma ini berdasarkan pimikiran tokoh Mazhab Frankfur dengan ditandai oleh sikap kritis terhadap aspek kehidupan sosial- budaya dan intelektual dengan tujuan untuk menyingkap secara akurat kondisi masyarakat dan ilmu penegetahuan modern. Dalam dunia ilmiah, teori kritis menghasilkan paradigma baru yang memiliki asumsi dan ciri sebagai berikut: asumsi ontologis, epistemologis, dan metodologis. Asumsi ini sama dengan post-positivisme tetapi dengan makna yang berbeda.

4.      PARADIGMA KONSTRUKTIVIS
Pada abad ke 20, paradigma ini menjadi penting dalam dunia akademis. Dalam bentuk radikal, konstruktivisme berpendapat bahwa semua aktivitas manusia adalah praktik sosial kontingen yang maknanya diskontruksi dalam pasang surut interaksi sosial. Paradigma ini memberi ruang terbuka bagi kajian gender, postkolonial, ensitas, seni, bahasa dan kajian budaya loka; (multikultural). Dalam paradigma ini memiliki asumsi yang sama dengan post- positivisme dan teori kritis, tetapi dengan makna yang berbeda.
Dari keempat paradigma diatas, disederhanakan menjadi tiga paradigma: positivisme, teori kritis, dan konstruktivis (postmodern) lantaran post-positivisme dapat dilihat sebagai kritikan pada positivisme ilmiah.

G.    POSTMODERNISME : PLURALITAS PARADIGMA (KEBENARAN)
Francois Lyotard beliau adalah tokoh postmodenisme, dalam menganalisis perubahan dalam ilmu penegetahuan sebagai akibat perkembangan teknologi baru atau teknologi informasi. Perkembangan teknologi informasi disini telah mengubah cara pandang kita tentang ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang disebut dengan postmodernisme. Menurut Lyotard ilmu pengetahuan memiliki bentuk kesatuan ”unity” yang didasarkan pada metanarasi (metanarrative, grand narrative) yang menjadi pedoman sekaligus memberi legitimasi dalam berbagai penelitian. Adapun postmodernisme menolak grand narrative dan bisa dilihat sebagai bentuk pembebasan dari anarkhisme metodologi sekaligus pengembangan pluralitas bentuk kehidupan dan pengetahuan.
Bila prinsip postmodernisme ini diterima, maka penjelasan ilmuan tentang realitas yang dianggap  merupakan cermin transaparan dalam memantulkan realitas seperti pandangan positivisme tidak dapat lagi diterima. Yang artinya, tidak ada metode yang memberi jaminan kebenaran final. Kebenaran teori diakui hanya bersifat tentatif dan bukan bersifat absolut dan universal. Adapun tugas seorang filsuf dalam pluralitas budaya bukan lagi meentukan “ini yang benar dan itu yang salah”, melainkan sebagai moderator yang mengatur lalulintas pemikiran (dialog) ditengah keanekaragamannya. Dengan maksud lain, sikap yang tepat adalah mulai berpikir bahwa dalam dunia ilmiah ada kebenaran yang beraneka ragam. Dan sekarang bnayak metode yang sering digunakan dalam ilmu sosial budaya, yaitu: paradigma interpretatif  dsn konstruktivis dengan metode hermeneutika dan fenomenologi serta variannya seperti analisis wacana, analisis narasi, storytelling, semiotika, dekonstruksi, etnomedologi, dan lainnya.

Referensi:
Yusuf Lubis, Akhyar, 2014,  Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta: Rajawali Press,



Komentar