PEMIKIRAN KUHN DAN
PLURALISME PARADIGMA
Oleh:
Imam Hadi kusuma
Ervi Wilandari Indah
Putri
Nur Endah
Kusumaningrum
Dosen
Pengampu:
Prof. Dr. Achmad Dardiri
A.
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dapat
terjadi diantaranya disebabkan adanya ketidakpercayaan ilmuwan terhadap
teori-teori tertentu. Asumsinya, ilmu pengetahuan dapat terbentuk karena
dibangun atau diisi atas kumpulan beberapa teori. Hal itu berimplikasi bahwa
adanya proses pengembangan ilmu pengetahuan. Pengembangan ilmu pengetahuan
tersebut terjadi karena adanya proses pengembangan teori-teori yang sudah ada.
Tentunya sebuah teori itu dibangun berdasarkan dari hasil proses penelitian
ilmiah. Dengan demikian pengembangan ilmu pengetahuan harus dilakukan secara
komprehensif. Tidak hanya didasarkan pada salah satu aspek keilmuan atau metode
tertentu saja. Tidak hanya ilmu alam saja, tetapi ilmu-ilmu sosialpun turut
mewarnai dan mendominasi suatu teori tersebut.
Pemikiran Kuhn merupakan pemberontakan terhadap
paradigma positivisme (seperti yang dilakukan juga oleh Karl Raimund Popper.
Paul Feyerabend, atau Stephen Toulmin). Gagasan Kuhn sangat radikal dan memberi
sumbangan pemikiran dan pengaruh yang sangat besar bagi post-positivisme dan
epistimologi postmodern dengan pluralisme paradigma ilmiahnya. Seorang Ilmuwan,
menurut Kuhn harus ahli dalam bidangnya, kalau tidak maka tidak akan berhasil
memecahkan teka-teki yang dihadapinya. Ilmuwan harus jelas melihat “jaringan”
antara konseptual teoritis maupun metodologis, yang semuanya merupakan
pertautan yang dibutuhkan untuk pemecahan teka-teki untuk program riset ilmu
pengetahuan. Dalam makalah ini akan membahas perihal pemikiran Kuhn serta
pluralisme paradigma dalam ilmu pengetahuan sosial-budaya.
B.
BIOGRAFI KUHN
Thomas Samuel Kuhn lahir pada 18 Juli 1922 di
Cincinnati Ohio dan meninggal 17 Juni
1996 di Cambridge, Massachusetts USA. Kuhn menyelesaikan studi doktornya dalam
ilmu pasti-alam di Harvard dan University of California di Barkeley. Pada tahun
1964 -1979 Kuhn mengajar pada Universitas Princenton, dan dari tahun 1979 –
1991 ia bertugas di Massachusetts Institute of Technology. Karyanya yang paling
terkenal adalah The Structure of Scientific Tradition and Change (1977).
C.
PEMIKIRAN KUHN
1.
PENTINGNYA PEMEHAMAN SEJARAH ILMU PENGETAHUAN DAN
PENOLAKAN ATAS POSITIVISME DAN PEMIKIRAN POPPER
Karya Kuhn
“The Structure of Scientific Revolution” dianggap karya monumental mengenai
perkembangan sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan dengan mengemukakan konsep
paradigma sebagai konsep sentral. Karya ini ditulis Kuhn ketika ia hampir
menyelesaikan disertasinya di bidang fisika teoritis. Keterlibatannya dengan
kuliah eksperimental mengenai ilmu fisika pada akhirnya membawanya pada
kekaguman dan kesimpulan bahwa teori dan praktik ilmiah yang telah usang
“sesungguhnya secara radikal telah merobohkan sebagian konsepsi dasarnya
tentang sifat ilmu pengetahuan dan alasan keberhasilannya yang istimewa.
Kuhn sempat
menelaah bidang-bidang yang jauh dari spesialisnya seperti psikologi (khususnya
eksperimen piaget. Psikologi Gestalt), serta pengaruh bahasa terhadap
pernyataan ilmiah (khususnya berkaitan teori B. L. Whorf dan Wittgenstein yang
menolak bahasa sebagai cermin realitas).
Penelusuran bidang-bidang ilmiah itu secara tidak sengaja menarik perhatian
Kuhn untuk mendalami sejarah ilmu pengetahuan. Dari hasil penelusuran itu, ia
menekankan pentingnya pemahaman tentang sejarah ilmu pengetahuan sebagai titik
tolak bagi semua riset dan pemahaman ilmiah.
Pemikiran
Thomas Kuhn dalam buku “The Structure of Scientific Revolution” (1962)
juga mengkritik pandangan positivisme
dan falsifikasi Popper. Menurut
Thomas Kuhn Positivisme memandang perkembangan ilmu pengetahuan bersifat
kumulatif. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan mengalami perkembangan terus sebagai
akumulasi yang terjadi sebagai akibat riset para ilmuwan sepanjang sejarah dan
perkembangannya. Positivisme juga memvonis kriteria ilmiah dan tidak ilmiahnya
satu teori atau proposisi melalui prinsip verifikasi. Sedangkan Popper
cenderung untuk tidak sepakat dengan prinsip verifikasi dan menggantinya dengan
falsifikasi, maksudnya dapat dibuktikan salahnya suatu teori, proposisi atau
hipotesis. Menurut Popper, perkembangan ilmiah diawali dengan pengajuan
hipotesis yang kemudian dilanjutkan dengan upaya pembuktian salahnya hipotesis
tersebut. Maka sebuah teori ketika telah terbukti kesalahannya, secara otomatis
langsung menggugurkan teori sebelumnya. Tetapi jika tidak menemukan kesalahan
hipotesis lagi, maka hipotesis berubah menjadi tesis (teori) yang diterima
sebagai sebuah kebenaran, tetapi sifatnya tentatif. Maksudnya, kebenaran teori
diterima sampai diketemukan kesalahan teori itu ketika diuji oleh ilmuwan lain.
Pandangan
Popper tersebut ditolak Kuhn karena dianggap tidak sesuai fakta. Secara tegas
Kuhn mengemukakan bahwa perubahan ilmu
pengetahuan tidak mungkin terjadi karena upaya empiris melalui proses
falsifikasi suatu teori, melainkan terjadi melalui satu perubahan yang sangat
mendasar yang disebut sebagai revolusi ilmiah. Thomas Kuhn juga tidak sepakat
dengan pandangan positivisme bahwa perkembangan ilmu pengetahuan berdasarkan
cara kumulatif dan evolusioner. Dalam hal ini, Thomas Kuhn
berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dapat berkembang melalui cara revolusi
ilmiah, sedangkan revolusi ilmiah terjadi lewat perubahan paradigma. Berdasarkan
temuan tersebut, istilah paradigma dan revolusi ilmiah akhirnya menjadi
karakteristik yang melekat pada corak pemikiran Thomas Kuhn.
2.
REVOLUSI ILMIAH
Revolusi
ilmiah adalah perubahan yang drastis yang terjadi dalam tahapan perkembangan
ilmu pengetahuan. Perubahan paradigma itu bisa terjadi secara sebagian atau
keseluruhan oleh paradigma baru. Namun yang jelas, adalah pergantian paradigma
ilmiah akan mengakibatkan munculnya perbedaan yang sangat mendasar antara
paradigma lama dengan paradigma baru (yang menggantikannya). Dengan demikian
jelas perkembangan ilmu pengetahuan terjadi melalui lompatan-lompatan yang
radikal dan revolusioner dengan pergantian paradigma. Berikut skema revolusi
ilmiah Kuhn :
Untuk memahami revolusi ilmiah Kuhn, kita dapat memahaminya seperti ini: Dalam sejarah ilmu alam misalnya, periode pra ilmiah dapat kita lihat sebelum muncul dalam sejarah ilmu alam misalnya, periode pra ilmiah dapat kita lihat sebelum munculnya gagasan filsafat alam dari filsuf yunani. Sebelum muncul filsuf yunani, penjelasan tentang segala sesuatu dijelaskan oleh mitos-mitos (mitologi). Filsuf Yunani kemudian memberikan penjelasan rasional (spekulatif) tentang fenomena alam, asal mula alam, dan kehidupan masyarakat. Aristoteles lantas mulai mengemukakan istilah fisika (yang dibedakan dengan metafisika atau realitas yang tidak terindera) dan ia mengemukakan metode deduktif dan induktif yang mulai digunakan sebagai metode filsafat. Pemikiran aristoteles kemudian telah menghasilkan satu paradigma ilmiah (geosentris) yang dijadikan sebagai model untuk perkembangan dan penjelesan filsafat alam (nama fisika) selama seribu tahun lebih.
Kemudian muncul pandangan dan pola baru dari Copernicus. Copernicus mengemukakan gagasannya melalui bukunya De Revolutionibus Orbium Coelestium (1543). Gagasan ini yang menggantikan teori geosentris yang menyatakan bahwa bumi sebagai pusat sistem tata surya dengan teori heliosentris yang menyatakan bahwa bukan bumi akan tetapi mataharilah sebagai pusat sistem tata surya kita. Penolakan dan serangan langsung terhadap pandangan Copernicus muncul dari tokoh-tokoh gereja dan lembaga-lembaga astronomi yang mendukung teori (paradigma lama). Salah satu argumen yang paling menentang teori Copernicus adalah argumen yang disebut dengan “argumen menara”. Argumennya adalah sebagai berikut,” Apabila bumi berputar pada porosnya, sebagaimana dikemukakan Copernicus, maka batu yang dijatuhkan semestinya berada jauh dari menara karena gerak bumi semestinya sudah bergerak sangat jauh dari posisinya semula. Namun kenyataannya batu jatuh dekat dengan menara. Berdasarkan ini mereka menolak teori bahwa bumi berputar dan ini berarti teori Copernicus salah. Lagi pula bumi bergerak dengan kecepatan tinggi, tentu saja benda-benda, rumah, manusia yang ada di permukaannya akan terlempar ke luar permukaan bumi. Ilmuwan besar Tycho Brahe, Keppler, Newton akhirnya memperkuat penerimaan ahli astronomi terhadap paradigma heliosentris ini. Akhirnya teori Copernicus dijadikan paradigma baru untuk memahami alam menggantikan paradigma sebelumnya.
Untuk memahami revolusi ilmiah Kuhn, kita dapat memahaminya seperti ini: Dalam sejarah ilmu alam misalnya, periode pra ilmiah dapat kita lihat sebelum muncul dalam sejarah ilmu alam misalnya, periode pra ilmiah dapat kita lihat sebelum munculnya gagasan filsafat alam dari filsuf yunani. Sebelum muncul filsuf yunani, penjelasan tentang segala sesuatu dijelaskan oleh mitos-mitos (mitologi). Filsuf Yunani kemudian memberikan penjelasan rasional (spekulatif) tentang fenomena alam, asal mula alam, dan kehidupan masyarakat. Aristoteles lantas mulai mengemukakan istilah fisika (yang dibedakan dengan metafisika atau realitas yang tidak terindera) dan ia mengemukakan metode deduktif dan induktif yang mulai digunakan sebagai metode filsafat. Pemikiran aristoteles kemudian telah menghasilkan satu paradigma ilmiah (geosentris) yang dijadikan sebagai model untuk perkembangan dan penjelesan filsafat alam (nama fisika) selama seribu tahun lebih.
Kemudian muncul pandangan dan pola baru dari Copernicus. Copernicus mengemukakan gagasannya melalui bukunya De Revolutionibus Orbium Coelestium (1543). Gagasan ini yang menggantikan teori geosentris yang menyatakan bahwa bumi sebagai pusat sistem tata surya dengan teori heliosentris yang menyatakan bahwa bukan bumi akan tetapi mataharilah sebagai pusat sistem tata surya kita. Penolakan dan serangan langsung terhadap pandangan Copernicus muncul dari tokoh-tokoh gereja dan lembaga-lembaga astronomi yang mendukung teori (paradigma lama). Salah satu argumen yang paling menentang teori Copernicus adalah argumen yang disebut dengan “argumen menara”. Argumennya adalah sebagai berikut,” Apabila bumi berputar pada porosnya, sebagaimana dikemukakan Copernicus, maka batu yang dijatuhkan semestinya berada jauh dari menara karena gerak bumi semestinya sudah bergerak sangat jauh dari posisinya semula. Namun kenyataannya batu jatuh dekat dengan menara. Berdasarkan ini mereka menolak teori bahwa bumi berputar dan ini berarti teori Copernicus salah. Lagi pula bumi bergerak dengan kecepatan tinggi, tentu saja benda-benda, rumah, manusia yang ada di permukaannya akan terlempar ke luar permukaan bumi. Ilmuwan besar Tycho Brahe, Keppler, Newton akhirnya memperkuat penerimaan ahli astronomi terhadap paradigma heliosentris ini. Akhirnya teori Copernicus dijadikan paradigma baru untuk memahami alam menggantikan paradigma sebelumnya.
3.
PARADIGMA
Pemikiran oleh thomas kuhn yang mana kuhn
mengatakan “paradigma adalah pandangan dasar tentang pokok bahasan ilmu yang
mendefinisikan apa yang harus di teliti dan apa yang harus di bahas, pertanyaan
apa yang di munculkan, bagai mana merumuskan pertanyaan dan aturan apa yang
harus diikuti dalam menginterprestasikan jawabannya.” Paradigma disini adalah
konsesus terluas dalam dunia ilmiah yang berfungsi membedakan satu komunitas
ilmiah dengan komunitas lain. Contoh umum yang dberikan oleh kuhn adalah
praktek ilmiah dan aktual yang diterima dari paradigma kuhn antara lain: hukum
teori dan aplikasi dan instrumen di terima secara bersama hingga ini menjadi
sumber dan tradisi yang mantap dalam riset-riset ilmiah kuhn. Paradigma disini
diartikan sebagai “pola”, ”model”, ”skema” dan pemahaman tertentu tentang realitas yang dikaji. Kuhn
menggunakan dalam tiga tipe: Paradigma metafiisik, Paradigma sosiologis, dan Paradigma
konstruk.
Paradigma metafisik merupakan konsensus terluas dalam bidang ilmu yang
membantu membatasi bidang scope dari bidang ilmu sehingga mampu mengarahkan
ilmuwan dalam melakukan penelitiannya. Paradigma metafisik ini mengandung
keyakinan, nilai-nilai, serta teknik dan metode yang di gunakan oleh komunitas
ilmuwan tertentu. Paradigma metafisik memerankan beberapa fungsi antara lain:
a. Untuk menentukan masalah ontologi
(realitas, objek) yang menjadi fokus atau objek kajian ilmiah dari komunitas
ilmuwan tertentu.
b. Membantu komunitas ilmuwan tertentu
bagaimana mereka bagaimana mereka menemukan realitas atau objek (problem
ontologi) yang menjadi pusat perhatian.
c. Membantu ilmuwan untuk menentukan teori
dan penjelasan tentang objek yang di teliti.
Paradigma
sosial disebutkan bahwa paradigma sosial berkaitan tentang kebiasaan-kebiasaan,
keputusan-keputuasan dan aturan yang di terima serta hasilnya juga di terima
secara umum. Kemudian oleh beberapa para ahli hal ini di jadikan contoh
penelitian dan beberapa pendukung paradigma tersebut. Paradigma konstruk adalah
konsep yang paling sempit dari ketiga paradigma yang dikemukakan Mastermen.
4.
PRINSIP KETIDAKSEPADANAN DAN KRITERIA ILMU NON ILMU
Pada prinsip ini kuhn menerima
pluralitas paradigma, dimana paradigma pluralitas ini memiliki aturan dan
keriteria kebenarannya masing masing. Sehingga keriteria paradigma (dalam teori
kebenaran) tentunya tidak dapat di paksakan untuk menilai paradigma yang lain, aturan yang ada dan kriteria tersebut tidak
sepadan dengan paradigma yang lain. Kuhn dianggap sebagai post-positivisme,
akan tetapi disini kuhn lebih tertarik menentukan keriteria satu teori dianggap
lebih baik dari teori yang lain. Antara lain adalah :
1. Accuracy yang mana disini diungkapkan
bahwa adanya “tuntutan agar teori ilmiah harus akurat dalam domain penelitian.
2. Consistency disini diungkapkan bahwa
adanya “tuntutan agar suatu teori secara internal konsisten begitu pula dengan
teori pada paradigma yang sama.
3. Scope yang mana ini lebih mengacu pada “
tuntutan teori yang mana teori tersebut mampu menjelskan secara lebih luas dari
sekedar yang dikemukakan.
4. Simplicity dikatakan bahwa teori harus
jelas dan tidak berbelit-belit.
5. Fruitfulnees memiliki ketentuan dari
“segi kemanfaatan atau kemampuan sebuah teori baru dalam mengidentifikasi
fenomena baru yang belum di ketahui oleh fenomena lama tersebut.
D.
PERGESERAN PERALIHAN PARADIGMA
Pergeseran
paradigma awal sebagai contoh adalah paradigma aristoteles dan ptolemeus yang
mengungkap bahwa bumi merupakan pusat alam semesta, setelah itu muncullah
pendapat baru dari copernicus, bukan bumi yang menjadi pusat alam semesta, di
ungkapkan lah bahwa matahari lah yang menjadi pusat alam semesta. Pergeseran
ini memuliki beberapa unsur dan pengertian :
1.
Muncul
cara pikir baru mengenai masalah-masalah baru.
2.
Dimana
dalam paradigma ini ada prinsip asumsi
yang dihadirkan. Akan tetapi tidak kita kenal dan sadari.
3.
Paradigma
baru tidak dapat kita terapkan kecuali meninggalkan paradigma lama.
4. Paradigma baru akan selalu dihadapi dan
ditanggapi dengan sebuah kecurigaan dan permusuhan.
E.
PARADIGMA DALAM SOSIOLOGI
Dalam sosiologi, George Ritzer membagi tiga paradigma
yaitu :
1.
Paradigma fakta social
paradigma
ini dipengaruhi oleh positivism Auguste Comte yang mendasarkan sosiolgi pada
fakta social yang terobservasi. unsur-unsur atau ciri paradigm fakta social
adalah :
a. eksemplar : model yang menjadi contoh penelitian fakta social adalah
karya emile Durkheim
b. realitas social yang jadi fokus perhatian : fakta social, struktur
social, dan institusi social yang berskala besar. perhatian ditujukan pada
fakta social serta efeknya individu dan tindakannya
c.
metode kuesionare, wawancara dan perbandingan sejarah
d. teori : ada beberapa teori yang berkembang berdasarkan paradigm ini :
fungsional-struktural, teori konflik, teori sistem, dan teori sosiolgi makro
2.
paradigma definisi social
unsur
atau ciri paradigm definisi social antaralain :
a.
eksemplar : model yang menjadi contohnya adalah max weber tentang
tindakan social
b.
realitas yang menjadi fokus perhatian : cara actor social mendefinisikan
situasi social mereka dan efek dari definisi itu terhadap tindakan individu dan
interaksi antar mereka. setiap tindakan memliki tujuan, memiliki makna dan
dimensi makna (psikis) itu yang ingin dicari
c.
metode : metode observasi sebagai metode andalannya, meskipun
dimungkinkan menggunakan metode wawancara.
d.
teori : paradigm ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran filasafat
eksistensialisme, teori masuk dalam paradigna ini antara lain : teori tindakan,
interarksionisme simbolis, fenemenologi, etnometodologi, etnofrafi dan fraounde
theory
3.
paradigm perilaku
social
paradigm
ini adalah penerapan positivism (auguste comte) pada ilmu social. unsur-unsur
atau ciri paradigm prilaku social antara lain :
a.
eksemplar : model penelitiannya psikologi empiris eksperimental dan
psikologi behaviorisme
b.
fokus perhatiannya : tingkah laku yang teramati tanpa mempertimbangkan
makananya
c.
metode ekperimen terkontrol
d.
teori : behaviorisme psikologi dan teori pertukaran
F.
ASUMSI-ASUMSI (ONTOLOGIS, EPISTIMOLOGIS DAN
METODOLOGIS) PARADIGMA.
Setiap
paradigma memiliki pandangan dunia dan metodologi tertentu. Berikut skema
pandangan dunia berpengaruh dalam menentukan fenomena dilihat dari teori,
metode atau teknik, serta penelitian yang dipilih.
1.
PARADIGMA POSITIVISME
Paradigma ini menerapkan epistemologi
dualis, dimana subjek harus benar-benar dipisahkan dari objek dan teori (teori
harus universal dan objektif). Jadi, adanya keyakinan bahwa objek yang ada
diluar kita, sama yang ada dipikiran kita dan sama dengan bahasa (teori) yang
digunakan untuk menjelaskannya. Apabila dilihat dari pandangan post modernis,
tidak ada kesamaan dan kesejajaran antara bahasa dengan realitas, serta menolak
anggapan ilmuwan tidak terlibat dalam mengonstruksi ilmu dalam melihat realitas.
2.
PARADIGMA POST- POSITIVISME
Pemikiran ilmuwan yang berlatar belakang
fisika dan matematika yang mengkritik paradigma positivisme dengan argumen yang
berbeda serta dengan sejumlah asumsi post- positivisme (ontologis,
epistemologis, metodologis) adapun asumsi ini dilihat juga sebagai pembeda dan
kritikan post- positivisme terhadap positivisme.
3.
PARADIGMA TEORI KRITIS
Paradigma ini berdasarkan pimikiran
tokoh Mazhab Frankfur dengan ditandai oleh sikap kritis terhadap aspek
kehidupan sosial- budaya dan intelektual dengan tujuan untuk menyingkap secara
akurat kondisi masyarakat dan ilmu penegetahuan modern. Dalam dunia ilmiah,
teori kritis menghasilkan paradigma baru yang memiliki asumsi dan ciri sebagai
berikut: asumsi ontologis, epistemologis, dan metodologis. Asumsi ini sama
dengan post-positivisme tetapi dengan makna yang berbeda.
4.
PARADIGMA KONSTRUKTIVIS
Pada abad ke 20, paradigma ini menjadi
penting dalam dunia akademis. Dalam bentuk radikal, konstruktivisme berpendapat
bahwa semua aktivitas manusia adalah praktik sosial kontingen yang maknanya
diskontruksi dalam pasang surut interaksi sosial. Paradigma ini memberi ruang
terbuka bagi kajian gender, postkolonial, ensitas, seni, bahasa dan kajian
budaya loka; (multikultural). Dalam paradigma ini memiliki asumsi yang sama
dengan post- positivisme dan teori kritis, tetapi dengan makna yang berbeda.
Dari
keempat paradigma diatas, disederhanakan menjadi tiga paradigma: positivisme,
teori kritis, dan konstruktivis (postmodern) lantaran post-positivisme dapat
dilihat sebagai kritikan pada positivisme ilmiah.
G.
POSTMODERNISME : PLURALITAS PARADIGMA (KEBENARAN)
Francois
Lyotard beliau adalah tokoh postmodenisme, dalam menganalisis perubahan dalam
ilmu penegetahuan sebagai akibat perkembangan teknologi baru atau teknologi
informasi. Perkembangan teknologi informasi disini telah mengubah cara pandang
kita tentang ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang disebut dengan
postmodernisme. Menurut Lyotard ilmu pengetahuan memiliki bentuk kesatuan
”unity” yang didasarkan pada metanarasi (metanarrative, grand narrative) yang
menjadi pedoman sekaligus memberi legitimasi dalam berbagai penelitian. Adapun
postmodernisme menolak grand narrative dan bisa dilihat sebagai bentuk
pembebasan dari anarkhisme metodologi sekaligus pengembangan pluralitas bentuk
kehidupan dan pengetahuan.
Bila
prinsip postmodernisme ini diterima, maka penjelasan ilmuan tentang realitas
yang dianggap merupakan cermin
transaparan dalam memantulkan realitas seperti pandangan positivisme tidak
dapat lagi diterima. Yang artinya, tidak ada metode yang memberi jaminan
kebenaran final. Kebenaran teori diakui hanya bersifat tentatif dan bukan
bersifat absolut dan universal. Adapun tugas seorang filsuf dalam pluralitas
budaya bukan lagi meentukan “ini yang benar dan itu yang salah”, melainkan
sebagai moderator yang mengatur lalulintas pemikiran (dialog) ditengah
keanekaragamannya. Dengan maksud lain, sikap yang tepat adalah mulai berpikir
bahwa dalam dunia ilmiah ada kebenaran yang beraneka ragam. Dan sekarang bnayak
metode yang sering digunakan dalam ilmu sosial budaya, yaitu: paradigma
interpretatif dsn konstruktivis dengan
metode hermeneutika dan fenomenologi serta variannya seperti analisis wacana,
analisis narasi, storytelling, semiotika, dekonstruksi, etnomedologi, dan
lainnya.
Referensi:
Yusuf
Lubis, Akhyar, 2014, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta: Rajawali Press,
Komentar
Posting Komentar