Model Penelitian Gerakan Keagamaan: “GERAKAN AHMADIYAH DI INDONESIA” (Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain)

.
MODEL PENELITIAN GERAKAN KEAGAMAAN:
“GERAKAN AHMADIYAH DI INDONESIA”
(Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain)
  


Oleh:
Imam Satria


A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Timbulnya kembali kesadaran umat islam untuk memikirkan agamanya setelah ratusan tahun mengalami kemunduran yaitu pada saat pengaruh Eropa di dunia Islam semakin luas[1] . Di saat itulah muncul pemikiran-pemikiran baru dengan gerakan-gerakan yang diharapkan akan membawa umat Islam kepada kejayaan dan kemajuan kembali. Di Mesir misalnya muncul Djmaludin Al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan Lain-lain, di Arab muncul Muhammad bin abdul Wahab, sementara di India dan Pakistan Syeh Waliyullah, Syeh Abdul Aziz, Sayid Ahmad Khan, Sayid Ahmad Ali, Muhammad Iqbal, dan sebagainya[2]. Sebagaimana pemikir Islam lainnya, Mirza Ghulam Ahmad berusaha memperbaiki keadaan umat islam India melalui perubahan pola pikir dalam memahami agama Islam yang disesuaikan dengan perubahan zaman. Ditengah-tengah kondisi umat Islam seperti itu, Ahmadiyah lahir.Kelahiran Ahmadiyah juga berorientasi pada pembaharuan pemikiran.
Ahmadiyah sebagai aliran dan gerakan yang bermula dari India memang meyakini beberapa doktrin yang berbeda dengan mayoritas umat Islam di Indonesia, baik NU, Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad, maupun kelompok lainnya. Munculnya gerakan keagamaan Ahmadiyah  di India pada akhir abad ke-19 dengan latar belakang kemunduran umat Islam India di bidang agama, politik, ekonomi, sosial, dan bidang kehidupan lainnya, terutama setelah pecahnya revolusi India tahun 1857 yang berakhir dengan kemenangan Inggris sehingga India dijadikan sebagai salah satu koloni Inggris yang terpenting di Asia.[3]
           Dalam kaitannya dengan gerakan-gerakan Islam di India, gerakan Ahmadiyah termasuk dalam gerakan teologi, tetapi adapula yang memasukkannya dalam gerakan gerakan intelektual walaupun aspek intelektual Ahmadiyah hanya merupakan unsur  yang tidak begitu dominan di dunia Islam. Gerakan ini menekankan aspek-aspek ideologis-eskatologis karena gerakan ini bersifat mahdiistik dengan keyakinan bahwa al-mahdi dipandang sebagai “Hakim peng-Ishlah” atau sebagai “juru damai”. Menurut keyakinannya, al- Mahdi mempunyai tugas untuk mempersatukan kembali perpecahan umat Islam, baik di bidang akidah maupun Syari’ah.Ahmadiyah berharap umat Islam bersatu kembali seperti zaman Nabi Muhammad Saw.Lebih dari itu, al-Mahdi juga diyakini bertujuan mempersatukan kembali semua agama, terutama agama Nasrani dan Hindu, agar melebur kedalam Islam[4].
Pemikiran-pemikiran baru yang ternyata membawa kebangkitan dan kemajuan umat Islam itu akhirnya berpengaruh dan masuk pula ke Indonesia.Keadaan umat Islam Indonesia pada waktu itu tidak jauh berbeda. Sejak pertengahan dasawarsa 1920-an saat itu gaung pembaharuan Islam di Indonesia mulai disuarakan oleh beberapa tokoh Islam dengan organisasi dan pemikiran-pemikiran yang disesuaikan dengan kondisi umat Islam Indonesia[5]. Dalam konteks keindonesiaan, Ahmadiyah sebagai organisasi keagamaan dapat digolongkan ke dalam aliran pemikiran dan gerakan.Ahmadiyah masuk ke Indonesia mulai abad ke-20 seiring dengan mulai maraknya paham kebangsaan sejak perempat awal abad ke-20.Ahmadiyah di Indonesia sampai saat ini tetap eksis walaupun pendukungnya tidak sebanyak Muhammadiyah atau Nahdatul Ulama.
Melalui kajian secara komprehensif akan terlihat factor-faktor yang menyebapkan Ahmadiyah di Indonesia tidak dapat berkembang dengan baik. Disamping itu, juga akan dikaji factor-faktor yang membuat Ahmadiyah dapat tumbuh di Indonesia walaupun dengan perkembangan yang tidak menggembirakan.
Lebih lanjut, tuisan ini akan membahas lebih mendalam bagaimana gerakan Ahmadiyah di Indonesia.

B.     RUMUSAN MASALAH
Mengapa gerakan Ahmadiyah di Idonesia tidak dapat berkembang dengan baik seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah khususnya pada tahun 1920-1942?

C.    KAJIAN PUSTAKA
1.      Penelitian yang dilakukan oleh Pratina , Ikhtiyarini (2012) dengan judul Eksistensi Jemaah Ahmadiyah Indonesia (Jai) Di Yogyakarta Pasca Skb 3 Menteri Tahun 2008 Tentang Ahmadiya[6]. Penelitian ini merupakan sebuah Tesis. Penelitian ini bertujuanuntuk mengetahui eksistensi Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Yogyakarta pasca dikeluarkannya SKB 3 Menteri tahun 2008 tentang Ahmadiyah, dan interaksinya dengan masyarakat. JAI adalah gerakan Islam yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad yang secara singkat ajarannya sedikit berbeda dengan Islam pada umumnya, seperti tafsir istilah nabi. Keberadaan JAI menimbulkan kontroversi dalam masyarakat muslim, sehingga akhirnya pemerintah mengeluarkan SKB 3 Menteri tahun 2008 tentang Ahmadiyah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode indepth interview (wawancara mendalam. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi yang dilakukan secara partisipan, wawancara, dokumentasi, dan studi pustaka. Teknik validitas data dilakukan dengan teknik triangulasi sumber dan metode. Teknik analisis data menggunakan model analisis interaktif Miles dan Huberman yang meliputi pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian ini menyatakan, bahwa (1) eksistensi atau keberadaan JAI di Indonesia sudah ada sejak tahun 1926 dan telah mempunyai badan hukum yang sah. Sedangkan eksistensi JAI Yogyakarta pasca dikeluarkannya SKB 3 Menteri tahun 2008 tentang Ahmadiyah adalah stagnan tak ada perubahan yang signifikan. Strategi bertahan yang diterapkan dalam menjaga eksistensi tersebut adalah dengan mengoptimalisasikan system organisasi dalam JAI. Sistem tersebut terbagi dalam dua lajur, yang pertama lajur manajemen yang mengatur jalannya berbagai kegiatan dalam JAI. Kedua, lajur kemubalighan yang berperan dalam penguatan keimanan agar tetap terjaga dalam JAI. (2) Interaksi yang berlangsung di antara penganut JAI dengan masyarakat masih kurang, karena mereka hanya melakukan kegiatan bersama pada saat momen-momen tertentu saja. Masyarakat sekitar juga cenderung tak terlalu memperdulikan keberadaan JAI.
2.      Penelitian yang dilakukan oleh Ihrom (2010) dengan judul Kesetaraan Gender Dalam Pandangan Tokoh Ahmadiyah (Studi Pemikiran Maulana Muhammad Ali & Basyiruddin Mahmud Ahmad[7]. Penelitian ini merupakan sebuah Tesis. Tesis ini mengkaji, menelaah dan menilai pemikiran dua orang tokoh Ahmadiyah, baik Ahmadiyah Lahore maupun Ahmadiyah Qodian tentang tema perempuan dengan menggunakan perspektif kesetaraan gender. Pemikiran keduanya diteliti melalui karyanya, baik dalam bentuk buku-buku maupun tafsir keduanya..Penelitian ini bersifat kepustakaan murni dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologis. Adapun metode analisis yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah deduktif komparatif. Akhirnya, penelitian ini berkesimpulan, Pertama, karena kedewasaan janda memiliki kebebasan menentukan pasangan hidupnya sendiri, sedangkan untuk gadis keduanya berbeda pandangan, Muhammad Ali memberikan kebebasan kepada gadis meskipun dalam hal malu dan kurang pengalaman, wali boleh memberikan pertimbangan dan Basyiruddin melihat gadis tunduk kepada wali. Kedua, poligami tidak dilarang, namun Muhammad Ali lebih ketat dengan ketentuan poligami daripada Basyiruddin. Ketiga, tidak terdapat perbedaan pemikiran antara keduanya, karena lakilaki menerima ijab maka ia memiliki hak menjatuhkan cerai, namun laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam menuntut perceraian. Keempat, Muhammad Ali dan Basyiruddin melihat kreteria kafaah sebagai sesuatu yang mungkin untuk dijadikan pertimbangan dalam pernikahan. Namun untuk kreteria aqidah, bagi Basyiruddin pernikahan bersifat indogami, sedangkan Muhammad Ali pernikahan bersifat exsogami. Kelima, keduanya mengakui adanya perbedaan persaksian dalam hal mu’amalah, formula 1:2 bagi Muhammad Ali hanya karena pengalaman dan pengetahuan perempuan yang kurang, sedangkan Basyiruddin melihatnya sebagai bentuk antisipasi dari kondisi salah dan lupa perempuan. keenam, baik Muhammad Ali maupun Basyiruddin tidak melarang perempuan mengambil peran publik, namun dari segi persyaratan Muhammad Ali lebih longgar daripada Basyiruddin. Dengan pemahaman kesetaraan gender secara proporsional bukan pemahaman kesetaraan gender yang sama rata, maka terungkap bahwa pemikiran kedua tokoh Ahmadiyah tersebut relevan dengan wacana kesetaran gender yang sedang berkembang. Pemikiran kesetaraan gender yang proporsional menistakan pemikiran yang diskriminatif, apologetis, bias dan misoginis terhadap perempuan.

D.    METODOLOGI PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam  penelitiangerakan keagamaaan yang dilakukan oleh Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain dalam bukunya Gerakan Ahmadiyah di Indonesia adalah pendekatan sejarah. Pendekatan sejarah yang digunakan bertumpu pada empat kegiatan pokok meliputi (1) Heuristik, kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau, (2) Kritik (sejarah), menyelidiki apakah jejak-jejak tersebut asli, baik bentuk maupun isinya, (3) Interpelasi, menetapkan saling hubungan antarfakta yang diperoleh, (4) Penyajian, menyampaikan sintesis yang diperoleh dalam satu bentuk kisah sejarah.[8]

E.     PEMBAHASAN
1.      Awal Pergerakan Keagamaan di India
India yang berpenduduk mayoritas Hindu dan Buda pernah dikuasai sebelas dinasti islam, yaitu dinasti Ghaznawiyah (997-1186 M.) sampai dinasti Mughal (1526-1605 M.).  akan tetapi di India juga sering terjadi persaingan dan peperangan untuk merebut kekuasaan sehingga india senantiasa menghadapi perebutan kekuasaan sehingga India senantiasa menghadapi perubahan penguasa. Kerajaan Mughal adalah salah satu kerajaan besar sekaligus adikuasa di dunia islam yang menguasai anak benua India pada awal abad ke-17. Namun kejayaan kerajaan Mughal mengalami kemunduran ketika wilayah kerajaan Mughal berhasil dipukul oleh raja-raja India. Hal ini diperparah dengan umat islam di india yang terbawa dalam persaingan dan pertentangan yang keras antar mazhab, dan golongan islam yang mereka anut
Di samping itu, di kalangan umat Islam pun banyak yang tidak menghiraukan akhlak yang diajarkan Islam.Sesudah India menjadi koloni Inggris, tampaknya sikap umat Islam yang masih sangat tradisional dan fatalistis desertai dengan semangat antipasti dan fanatisme keagamaan yang berlebihan dalam menghadapi tradisi barat menjadikan mereka semakin terisolasi.Keadaan India ini semakin buruk terutama sesudah terjadinya pemberontakan Munity di tahun 1875.
Akibat pemberontakan ini, pihak Inggris menjadi lebih curiga dan bersikap reaksioner terhadap umat Islam.Inggris berkeyakinan bahwa umat Islamlah yang menjadi biang keladi pemberontakan dan harus bertanggungjawab.Selain itu, umat islam dituduh ingin mengembalikan hak-hak kemaharajaan Mughal. Dengan ini inggris menganggap sikap oposisi umat Islam adalah didororng semngat nasionalisme yang menyala-nyala, yang tentu saja berbahaya bagi kepentingan colonial inggris.Adapun kaum hindu dapat menyembunyikan sikap itu sehingga mereka dapat diajak bekerja sama dengan pemerintah Inggris. Dengan demikian, posisi kaum Hindu jauh lebih baik dibandingkan dengan posisi umat Islam. Selain itu, mereka semakin tenggelam dalam keterbelakangan da perselisihan dengan sesame muslim karena masalah khilafiyah.[9]
Perkembangan situasi dan kondisi umat Islam di India sangat menyedihkan, teruutama pada abad ke-18 M, ketika dinasti Mughal memasuki zaman kemunduran.Umat Islam dengan pemikirannya yang statis, sedangkan sikapnya dan perilakunya kenservativ. Dalam situasi seperti itu, timbullah keinginan untuk mengangkat kembali kejayaan umat islam di india seperti di era kejayaan Mughal dengan munculnya banyak gerakan yang dipelopori oleh para pemikir dan pemimpin muslim India. Gerakan tersebut ada yang bersifat politik dan intelektual.Dalam gerakan intelektual ada tiga tokoh utama India, yaitu Sayyid Ahmad Khan, Sayyid Amir Ali, dan Muhammad Iqbal yang dianggap berperan dalam gerakan ini, meskipun sebenarnya Syah Walyullah dan beberapa yang lain, seperti Mirza Ghulam Ahmad dengan Ahmadiyahnya tidak bisa dikesampingkan begitu saja.
Ahamadiyah sebagai gerakan keagamaan juga merupakan salah satu dari gerakan pembaru dalam Islam. Ide pembaruan itu muncul setelah Mirza Ghulam hmad melihat kemunduran umat Muslim disatu pihak, serta gencarnya serangan kaum Arya Samaj dan Kaum Misionaris Kristen terhadap Islam di pihak lain. Oleh karena itu, ia merasa terpanggil utnuk mengadakan takan pembaruan dalam masyarakat. pada awal kegiatannya ia diterima oleh masyarakat luas termasuk dari kalangan masyarakat islam ortodoks. Akan tetapi, sesudah Mirza Ghulam Ahmad menyatakan menerima wahyu dan telah diangkat oleh Tuhan sebagai al-Masih dan al-Mahdi, masyarakat berbalik dan memusuhinya.

2. Gambaran Umum Gerakan Ahmadiyah
Mirza Ghulam Ahmad, lahir pada Jum’at 13 Februari 1835 M, di Qadian India.Ayahnya bernama Mirza Ghulam Murtada.Mirza Ghulam Ahmad adalah keturunan haji Barlas, raja kawasan Qesh yang merupakan paman mir Tughlak temur. Tatkala a,ir temur menyerang qesh, haji barlas sekeluarga terpaksa melarikan diri ke Khorasan dan Samarkand dan menetap disana . akan tetapi, pada abad ke-16 M. seorang jeturunan Haji barlas bernama Mirza hadi baig-keturunan dinasti Mughal- -beserta 200 orang pengikutnya meninggalkan tumpah darahnya, Samarkand, dan pindah ke daerah Gusdaspur di Punjab, sekitar kawasan sungai bias. Disana ia mendirikan sebuah perkampungan bernama Islampur. Hadi baig inilah yang menjadikan kota Qadian sebagai tempat lahirnya pendiri gerakan Ahmadiyah karena family Mirza Ghulam Murtadha masih keturunan Haji barlas. Atas dasar itulah di depan nama keturunan keluarga ini terdapat sebutan mirza.[10].
Pada tahun 1888 Mirza Ahmad secara terang-terangan menyatakan diri mendapatkan perintah Tuhan melalui Ilham ilahi untuk menerima bai’at dari para pengikutnya. Wahyu berbahasa Arab yang artinya :
“jika sudah kamu putuskan dalam hatimu maka bertawakallah pada Allah: dan buatlah bahtera di bawah tilikan kami dan wahyu Kami. Orang-orang yang melakukan bai’at dengan engkau, mereka sebenarnya melakukan bai’at enganAllah. Tangan Tuhan berada di atas tangan mereka”

Dari perintah tuhan diatas menurut Mirza Ahmad dia disuruh untuk melakukan du hal yang pertama dalah menerima bai’at dari para pengikutnya, yang kedua adalah dia membuat bahtera. Adapaun membuat bahtera menurut Ahmadiyah Lahore sudah dilakukan oleh Ahmad Mirza dengan membuat organisasi Ahmadiyah itu sendiri, jadi menurut Ahmadiyah Lahore tahun 1888 dianggap sebagai taun berdirinya Ahmadiyah.
Pada tahun 1890 Mirza Ghulam Ahmad kembali menerima wahyu yang menyatakan bahwa dirinya sebagai al-masih dan menegaskan bahwa Nabi Isa a.s. telah wafat. Pada taun ini ahmad mirza juga di baiat oleh para pengikutnya di kota Ludhiana. Kota ini merupakan salah satu tempat sekolah atas  bagi misionaris tertua di india dan tempat para tokoh Islam.
Sejak menerima wahyu, Mirza Ghulam Akhmad menyatakan bahwa dirinya sebagai al-MAsih yang dijanjikan sekaligus sebagai al-mahdi.Akan tetapi, hal itu baru diumumkan pada awal tahun 1891. Menurut Ahmadiyah Qadian, setalah diadakan pemba’iatan tahun 1889 Mirza Ghulam Ahmad mengorganisasi para pengikutnya menjadi suatu paham baru yang merupakan bagian dari gerakan baru islam dengan nama gerakan Ahmadiyah.[11]Tahun dianggap sebagai tahun berdirinya Ahmadiyah Qadian.
Pada tahun 1914 secara riil ahmadiyah terpecah menjadi du golongan. Pertama golongan ahmadiyah Qadiani yang ajarannya mencela tuduhan muslim lain sebagai kafir. Golongan yang berkeyakinan bahwa kenabian tetap terbuka sesudah rasulullah SAW.Golongan ini berpendapat bahwa Mirza ghulam Ahmad bukan hannya sebagai mujaddid tetapi juga sebagai nabi yang harus dipatuhi.[12]
Golongan kedua adalah golongan ahmadiyah Lahore yang disebut dengan Ahmadiyah Anjum Isha’at Islam. Golongan ini berkeyakinan bahwa pintu kenabian setelah nabi Muhammad saw. Telah tertutup.Dengan demikian, Mirza Ghulam Akhmad bukanlah seorang nabi, melinkan seorang mujadidi, selin sebagai al-Masih dan Al-Mahdi.[13]

Ahmadiyah sendiri masuk ke Indonesia tahun 1926 yang dibawa oleh Rahmat  Ali.  Pada  tahun  1926,  Jemaah  Ahmadiyah  resmi  berdiri  sebagai organisasi  di  Padang,  dalam  masa  pemerintahan  Gubernur  Jenderal  Andries Cornelis  Dirk  de  Graeff  (1926-1931).  Rahmat  Ali  pun  pindah  ke  Batavia, ibukota  Hindia  Belanda.  Langkah  ini  membuat  perkembangan  Ahmadiyah makin  cepat.  Rahmat Ali  banyak  membaiat  orang  Sunda  masuk Ahmadiyah. Ahmadiyah  melewati  masa-masa  pemerintahan  pemerintahan  tiga  gubernur jenderal lagi maupun zaman Jepang.

3. Karakteristik Ahmadiyah
Dalam kaitanya dengan gerakan-gerakan Islam di india, Smith memasukkan mirza Ghulam Ahmad dengan gerakan Ahmadiyahnya dalam gerakan teologi. Aakan tetapi. Gibb cebderung mamasukkan sejalur dengan usaha yang dilakukan dalam gerakan intelektual, walaupun hanya merupakan satu unsur yang begitu penting di dunia islam india dan hanya sedikit artinya sebagai pembawa tafsiran-tafsiran tentang Islam yang bersifat liberal.[14]
Corak pemikiran Mirza Ghulam Ahmad yang liberal dan  khas ini merupakan refeksi dari sikapnya membela Islam dan umat Islam India dari serangan pemeluk Hindu, misionaris Kristen, dan peradaban Barat yang semakin merusak masyarakat muslim. Semenjak awal Mirza Ghulam Ahmad harus berhadapan dengan gerakan Arya Samaj ysng berusaha mempertahankan kepercayaan lama dengan menekankan gagasan kembali kepada Weda.[15]
4. Doktrin Ahmadiyah
Dikalangan Ahmadiyah terdapat banyak doktrin yang menjadi dasar keyakinan para pengikutnya.Akan tetapi dalam bukunya, Prof. Dr.Iskandar Zulkarnain hanya membahas tujuh doktrin Ahmadiyah yakni tentang Al-mahdi, al-Masih, mujaddid, kenabian, wahyu, khalifah, dan ijtihad.Berikut adalah uraiannya.
a.  Masalah al-Mahdi dan al-Masih
Doktrin al-Mahdi dan al-Masih adalah ajaran pokok Ahmadiyah Lahore maupun Qadian, ajaran ini sama sekali tidak ada perbedaan, dan justru ajaran ini berbeda dengan pandangan kaum Sunni. Menurut Ahmadiyah, doktrin tentang al-Mahdi tidak dapat dipisahkan dari masalah kedatangan Isa al-Masih di akhir zaman. Hal itu karena al-Mahdi dan al-Masih adalah satu tokoh, satu pribadi yang kedatangannya telah dijanjikan Tuhan.Iaditugaskan Tuhan untuk membunuh Dajjal dan mematahkan tiang salib, yakni mematahkan argument-argumen agama nasrani dengan dalil-dalil atau bukti-bukti yang meyakinkan serta menunjukkan kepada para pemeluknya tentang kebenaran Islam.[16]
Pandangan Ahmadiyah tentang al-Mahdi dan al-Masih sebagai seorang tokoh, satu pribadi dan satu ajaran tersebut tidak berbeda antara Ahmadiyah Qadian maupun Lahore. Perbedaanya justru dengan pandangan umum yang dikenal umat Islam bahwa al-Mahdi dan al-Masih merupakan dua figure yang berbeda, yaitu imam Mahdi dan Nabi Isa a.s. imam Mahdi adalah tokoh laki-laki keturunan Ahlul Bait yang akan muncul di akhir zaman dan akan menegakkan agama serta keadilan untuk diikuti oleh umat Islam dan akan membantu Isa Al-Masih a.s yang akan turun ke dunia untuk membunuh Dajjal. [17]
Al-Mahdi secara harfiah berarti orang yang telah diberi petunjuk (the guide one). Oleh karena petunjuk dari Tuhan makaarti kata tersebut enjadi “seorag yang diberi petunjuk oleh Tuhan” dengan cara menakjubkan dan sangat pribadi. Dari situ dapat dikatakan bahwa orang yang disebut Mahdi adalah orang yang benar-benar telah mendapat bimbingan dari Tuhan. Bagi Ahmadiyah, al-Mahdi dipahami sebagai seorang yang diutus oleh Tuhan sebagai mujaddid (pembaru) bagi Amadiyah Lahore dan sebagai nabi buruzi bagi ahmadiyah Qadian yang kedatangannya telah dijanjikan oleh Allah sendiri, Dialah Mirza Ghulam Ahmad.[18]
b.       Masalah Mujaddid (Pembaru)
Menurut Ahmadiyah Lahore, istilah pembaruan yang biasa disebut mujaddid mempunyai pengertian mngembalikan umat Islam kepada pangkal kebenaran Islam. Caranya dengan melenyapkan kesesatan-kesesatan yang menyerbu umat Islam, dan memancakan penerangan baru tentang kebenaran Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman.[19]
Adapun pebaruan yang dilakukan Mirza Ghulam Ahmad antara lain:
a)        Masalah kematian Nabi Isa a.s
Menurut Mirza Ghulam Ahmad, Nabi Isa a.s adalah manusia biasa yang meninggal secara wajar dan dikubur di Srinagar, Kasymir. Nabi Isa a.s tidak meninggal di atas tiang salib sebagaimana yang menjadi kepercayaaan di kalangan umat Kristiani bahwa Nabi Isa meninggal diatas tiang Salib. Dasar yang dipakai Mirza Ghulam Ahmad anytara lain firman Allah surat al-maidah ayat 117, surat Ali Imran ayat 143 dan 54, serta surat ash-shaff ayat 6 dengan meninggalnya Isa al-masih maka mirza Ghulam Ahmad adalah al-masih dan al-mahdi yang dijanjikan Allah.[20]
b)        Masalah wahyu
Keberadaan wahyu tidak hanya terbatas sampai pada Nabi Muhammad Saw. Setelah Nabi Muhammad Saw meninggal wahyu Tuhan masih akan tetap turun, dan bahkan sampai hari akhir. Wahyu tidak hanya diperuntukkan bagi para nabi dan rasul saja, tetapi juga untuk manusia, binatang, bahkan benda mati.[21]
c)        Masalah kenabian
Menurut pandangan Ahmadiyah Lahore, nabi Muhammad adalah nabi yang terakhir, setelah nabi Muhammad meninggal tidak akan ada lagi nabi, baik nabi lama maupun nabi baru, adapun Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang mujaddid abad ke-14 bukan seorang nabi. Sedangkan Ahmadiyah Qadian, berpendapat bahwa stelah nabi Muhammad meninggal, masih tetap akan muncul nabi-nabi lain sampai hari akhir. Menurut Ahmadiyah Qadian, nabi-nabi yang muncul setelah nabi ,uhammad diebut sebagai nabi buruzzi, yaitu nabi yang tidak membawa syari’at.[22]
d)       Masalah khilafat
Menurut Ahmadiyah Lahore, setelah Khulafa’ur Rasyidun sudah tidak akan ada lagi khalifah, yang ada adalah mujaddid. Sementara menurut Ahmadiyah Qadia, semua nabi adalah khalifah Allah, termasuk Mirza Ghulam Ahmad. Menurut mereka, setelah Al-Khulafa’ur Rasyidun masih akan tetap muncul khalifah, yakni khalifah rohani, khalifah yang muncul setelah meninggalnya Mirza Ghulam Ahmad disebut dengan Khalifatul Masih.[23]
e)        Masalah Jihad
Jihad tidak diartikan sama dengan perang, melainkan diartikan menyebarkan Islam dengan pena dan lisan (jihad kabir) dan memerangi hawa nafsu (jihad akbar). Dalam kaitannya dengan pemerintahan, Ahmadiyah berpandangan bahwa umat Islam harus setia dan taat meski terhadap pemerintah penjajah.[24]
c.        Masalah Kenabian
Terkait dengan masalah kenabian, di kalangan Ahmadiyah terdapat perbedaan pandangan antara Ahmadiyah Qadian dan Lahore.Begitupun antara Ahmadiyah dengan kaum muslimimin pada umumnya. Ahmadiyah Qadian memunculkan tiga klasifikasi terkait dengan masalah kenabian:
1.        Nabi Shahib asy-Syaria’ah dan Mustaqil. Nabi asy-Syari’ah adalah nabi pembawa syari’at (hukum-hukum) untuk manusia. Sementara nabi Mustaqil adalah hamba Allah yang menjadi nabi dengan tidak mengikuti nabi sebelumnya, seperti Nabi Musa a.s; beliau menjadi Nabi bukan atas dasar mengikuti nabi atau syari’at sebelumnya.
2.        Nabi Mustaqil Ghair at-Tasyri’I, yakni hamba Tuhan yang menjadi nabi dengan tidakmengikuti nabi sebelumnya, hanya saja ia tidak membawa syari’at baru. Dengan artian bahwa ia ditugaskan oleh Allah untuk menjalankan syari’at yang dibawa oleh nabi sebelumnya. Para Nabi yang tergolong dalam Nabi Mustaqil Ghair at-Tasry”I adalah Nabi Harun, Daud, Sulaiman, Yahya, dan Nabi Isa a.s.
3.        Nabi Zhilli Ghair at-Tasyri’i, yakni hamba Tuhan yang mendapat anugrah dari Allah menjadi nabi semata-mata karena hasil kepatuhan kepada nabi sebelumnya dan juga arena mengikuti syari’atnya. Hamba Tuhan yang masuk ke dalam golongan nabi Zhili Ghairat-Tasry’I adalah Mirza Ghulam Ahmad yang mengikuti syari’at Nabi Muhmmad Saw.[25]
d.       Masalah Wahyu
Wahyu merupakan salah satu ajaran pokok Ahmadiyah dan tidak dapat dipisahkan dengan kemahdiahan Ahmadiyah.Menurut pengakuannya sendiri, al-Mahdi Ahmadiyah tidak dapat dipisahkan dengan al-Masih karena al-Mahdi dan al-Masih adalah satu tokoh dan satu pribadi.Wahyu Allah tidak hanya turun kepada Nabi dan utusan Allah saja, tetapi dikaruaniakan juga kepada semua umat manusia, dan bahkan dikaruniakan kepada semua ciptaan-Nya, termasuk barang-barang yang tidak bernyawa.[26]
Ahmadiyah Qadian mempercayai bahwa bukan hanya wahyu yang akan datang terus-menerus setelah Nabi Muhammad Saw., melainkan nabipun juga akan berlangsung terus-menerus. Dari paham kewahyuan yang dijabarkan Ahmadiyah, timbul anggapan bahwa Mirza Ghulam Ahmad yang diangkat Tuhan sebagai al-Masih dan al-Mahdi,  melalui ilham yang diterimanya, dipandang sebagai seorang nabi dari versi Qadiani. Secara implisit, versi Lahore pun juga mengakuinya, hanya saja terma yang mereka pakai adalah nabi lughawi, bukan Haqiqi.[27]
Dengan demikian, pemahaman tentang wahyu di kalangan Ahmadiyah baik Lahore maupun Qadian tidak terdapat perbedaan. Kalaupun ada perbedaan, maka hanya dalam penggunaan terma-terma, sedangkan secara substansial adalah sama.[28]


e.      Masalah Khalifah
Pada umumnya, pemahaman kaum muslimin tentang khalifah terepresantisakan di dalam tafsir Departemen Agama RI, yakni seseorang yang dijadikan pengganti dari yang ain atau seseorang yang diberi kewenangan untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan ketentuan-ketentuan dari yang member wewenang.Sesudah Rasulullah Saw meninggal, para pengganti beliau disebut khalifah, yakni sebagai kepala Negara dan sekaligus pemimpin agama.
Adapun khalifah menurut pandangan kaum muslimin secara umum tidaklah menggantikan kedudukan Rasulullah Saw, sebagai penerima “wahyu”, kecuali hanya sebagai pemimpin Negara dan penggerak akah Islam ke segenap penjuru dunia. Wahyu penutup hanya diberikan kepada nabi Muhammad Saw, dan penggantinya tidak menerima wahyu. Khalifah juga tidak diartikan sebagai mujaddid sebagaimana pandangan Ahmadiyah Lahore, apalagi mujaddid yang kehadirannya karena diutus langsung oleh Tuhan melalui wahyu yang ia terima. Di sinilah letak perbedaan prinsip antara pandangan Ahmadiyah Qadian dan Lahore dengan pandangan kaum muslimin secara umum.
f.       Masalah Jihad
Terdapat persamaan dan perbedaan pandangan antara Ahmadiyah dan ulama-ulama di luar Ahmadiyah.Misalnya pembedaan antara jihad dengan qital.Jihad memiliki makna yang lebih luas dari pada Qital.Sedangkan perbedaanya, jika pada awalnya Ahmadiyah memahami bahwa di dalam jihad bisa, terkandung makna qital yang disebutnya sebagai jihad ashghar. Akan tetapi sekarang ini abad ke-20, Ahmadiyah menganggap tidak ada lagi jihad ashghar, yang ada hanya jihad akbar atau dengan lisan. Sementara menurut pandangan kaum muslimin secara umum, jihad tetap dipahami dalam bentuk jihad akbar, jihad kabir, dan jihad ashghar (mengikuti istilah yang dipakai Ahmadiyah) tetapi mereka tidak sependapat kalau jihad identik dengan qital atau perang.

6. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia
Mangenai masuknya gerakan Ahmadiyah di Indonesia tidaklah sama antara Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Qadian. Ahmadiyah Lahore masuk ke Indonesia sebenarnya hanya kebetulan saja, yakni ketika Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad,yang semula ingin berdakwah ke negeri Cina. Setibanya di Singapura mereka mendengar bahwa kristenisasi di Indonesia cukup kuat, lalu keduanya mengubah haluan ke Indonesia.Kedatangan mereka bukanlah atas permintaan siapa pun.[29]
Sementara itu, masuknya Ahmadiyah Qadian ke Indonesia bermula karena adanya permintaan dari pemuda-pemuda Indonesia yang sedang studi di Qadian, yaitu Abu Bakar Ayyub, Zaini Dahlan, Ahmad Nuruddin, dan kawan-kawan lain yang mayoritas dari Sumatera Barat. Selanjutnya Khalifah II, Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad menugaskan Maulana Rahmat Ali untuk datang ke Indonesia. Dengan demikian , Maulana Rahmat Ali adalah pembawa paham Ahmadiyah Qadian ke Indonesia bersama pemuda-pemuda dari Indonesia yang belajar di Qadian. Oleh karena itu, Maulana Rahmat Ali dipandang sebagai perintis Ahmadiyah Qadian di Indonesia yang dalam perkembangannya menjadi sebuha organisasi dengan nama Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Selain Ahmadiyah Qadian, ternyata di Indonesia juga berkembang paham Ahmadiyah Lahore. Ahmadiyah Lahore sudah lebih dulu dikenal di Jawa tepatnya di Yogyakarta pada tahun 1924, setahun lebih awal disbanding Ahmadiyah Qadian yang dikenal di Sumatra atau dua belas tahun setelah Muhammaduyah berdiri.Informasi mengenai latar belakang kedatangan Ahmadiyah Lahore di Indonesia di Jawa tidak sejelas informasi kedatangan Ahmadiyah Qadian di Sumatra. Kedatangan dua orang mubaligh dari Hindustan, Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baig, tidak begitu jelas siapa yang mengundangnya, jika memang ada yang mengundang. Selain itu, tidak ada informasi dari pelajar Indonesia yang sedang belajar di Lahore, Punjab, tentang kedatangan kedua mubaligh tersebut ke Jawa. Ahmadiyah Lahore masuk ke Indonesia sebenarnya hanya kebetulan saja, yakni ketika Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad,yang semula ingin berdakwah ke negeri Cina. Setibanya di Singapura mereka mendengar bahwa kristenisasi di Indonesia cukup kuat, lalu keduanya mengubah haluan ke Indonesia.Kedatangan mereka bukanlah atas permintaan siapa pun.
Gerakan Ahmadiyah di Indonesia khususnya Ahmadiyah Lahore di pandang lebih dekat dengan golongan sunnia karena meyakinibahwa nabi Muhammad Saw adalah nabi terakhir, dan sesudah Nabi Muhammad Saw tidak ada nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru. Kedudukan Mirza Ghulam Ahmad bagi mereka hanyal sebagai pembaru. Literature-literatur keagamaan mereka yang bercorak rasional, meskipun secara kelembagaan tidak mendapat respon, namun secara individual telah memberikan pengaruh kepada umat Islam Indonesia, dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemikiran islam, khususnya di kalangan cendekiawan muslim yang berpendidikan barat.
Dalam sejarah, Ahmadiyah masuk di Indonesia pada tahun 1924 sebagaimana dikemukakan G.F. Pijper, tetapi sudah dikenal sejak tahun 1920 ketika Kwaja Kamaluddin L.L.B., datang ke Surabaya untuk kepentingan berobat. Dia adalah tokoh dan mubaligh Ahmadiyah yang membawa misi Islam di London, serta redaktur surat kabar Islamic review.
Sebagai gerakan dakwah, Ahmadiyah menitikberatkan aspek spiritual Islam yang bersifat mahdiisti, yaitu adanya suatu kenyataan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah al Mahdi yang mengemban misi melenyapkan kegelapan, dan menciptakan perdamaian di dunia. Disamping itu, gerakan Ahmadiyah menempatkan diri sebagai gerakan pembaharuan yang bertujuan mengembalikan umat Islam pada pangkal kebenaran Islam, berdasarkan Al Quran, hadist, dan menyebarkannya menurut ajaran Mirza Ghulam Ahmad berdasarkan wahyu yang diterimanya.

7. Daerah Penyebaran
Semenjak perintisannya sampai tumbuh dan berkembangnya, pada periode awal baik Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Qadian masih sangat terbatas daerah penyebarannya. Di Sumatera misalnya hanya di beberapa kota, seperti Tapaktuan (Aceh), Padang, Bukittinggi (Sumatera Barat), Palembang, Lahat, dan Lubuk Linggau (Sumatera Selatan). Di Jawa juga hanya beberapa kota seperti Bandung, Bogor, Garut (Jawa Barat), Purwokerto, Wonosobo, Surakarta (Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur), juga Jakarta (Batavia).

8. Faktor-Faktor Penunjang dan Penghambat  Pertumbuhan Gerakan Ahmadiyah Di Indonesia
a.       Factor penunjnag perkembangan
1)      Pendekatan Rasional pada Islam
Pemikiran-pemikiran keagamaan yang diajarkan Ahmadiyah menawarkan pilihan yang lebih luas dan membuka wawasan baru dalam memahami islam dengan lebih rasional. Semngat melawan kristenisasi dan peradaban Barat yang menyertainnya ditiupkan dengan penuh semngat dan diterima dengan hangat oleh pendengar dan pembaca artikelnya d beberapa mass media yang berbahasa Indonesia dan belanda.[30]
2)      Militansi tokoh Ahmadiyah
Tokoh Ahmadiyah yang militant adalah Wali Ahmad Big.Ia merupakan tokoh Ahmadiyah aliran Lahore yang dating ke Indonesia untuk kepentingan penyebaran paham Ahmadiyah.[31]

3)      Penerbitan dan penerjemahan buku Ahmadiyah [32]
4)      Sikap pemerintah yang netral
Gerakan Ahmadiyah sendiri sebagai gerakan keagamaan yang masuk ke Indonesia tahun 1924, pandangannya tentang jihad dinilai tidak bertentangan dengan kebijakan pemerintah colonial belanda. Menurut Ahmadiyah , jihad dalam bentuk perang sudah tidak sesui lagi. Oleh karena itu doktrin yang dimunculkan adalah Ahmadiyah harus taat dan setia kepada pemerintah tempat mereka berada.[33]
b.      Factor Penghambat Perkembangan
1)      Kontroversi Bidang teologi
Pandangan Ahmadiyah dalam bidang teologi yang sama sekaligus menjadi doktrin Ahmdiyah ternyata masih sulit diterima mayoritas umat islam Indonesia di Sumatra maupun dijawa. Bahkan selalu mendatangkan perdebatan yang tidak pernah selsai. Dengan demikian doktrin-doktrin teologis seperti masalah kenabian, wahyu, Al-Masih dan Al-mahdi yang dipandang kontroversial dengan pemahaman mayoritas umat islam dapat menjadi salah satu factor penghambat perkembangan Ahmdiyah di Indonesia.[34]
2)      Kelonggaran Organisasi[35]
3)      Masuknya Muhammad Sabitun Ke PKI
Kebebsan berpartai di kalangan Ahmadiyah dimanfaatkan oleh sebagian anggotanya untuk terjun dalam partai politik walaupun tujuan pokoknya bukan untuk kepentingan politik, melinkan untuk kepentingan dakwah.
F.      Kontribusi keilmuan
Tulisan  mengenai  Ahmadiyah  dari  kalangan  non-Ahmadi  yang  secara  khusus membahas  mengenai  Ahmadiyah  sangat  terbatas.  Barangkali  desertasi  Prof.  Dr. Iskandar  Zulkarnaen  berjudul  ‘Gerakan Ahmadiyah  di  Indonesia’  merupakan  salah satu referensi yang terlengkap. Dam bisa dicadikan sebagai sumber rujukan tentang gerakan Ahmadiyah di Indonesia Khususnya tahun 1920-1942.
Melalui kajian ini, mengungkap secara objektif Ahmadiyah sebagai pemikiran dan gerakan dalam konteks perkembangan gerakan Islam secara keseluruhan.Kajian ini juga mendeskripsikan proses-proses kenyataan Ahmadiyah sebagai pemikiran dan gerakan, sekaligus memperkenalkan Ahmadiyah dalam kancah perdebatan ilmiah bukan lagi sekedar perdebatan wacana. Dalam konteks itu, karya ini telah memberikan kontribusi bagi pengembangan sejarah pemikiran dan gerakan keislaman diIndonesia dan inilah buku pertama dalam bahasa Indonesia yang secara lengkap membahas gerakan Ahmadiyah di Indonesia terutama dari sudut pandang sejarah.


KESIMPULAN
Gerakan Ahmadiyah lahir di India pada tahun 1888.Pendirinya adalah Mirza Ghulam Ahmad kelahiran tahun 1835 di Qadian, Punjab, India, dan meninggal tahun 1908 di Lahore.Lahirnya gerakan ini tidak hanya disebabkan oleh faktor eksternal saja, tetapi juga karena adanya faktor internal. Factor internal yang dimaksud disini adalah sikap umat Islam yang tradisional dan fatalistis yang membuat mereka statis sehingga umat Islam mengalami kemunduran dalam banyak bidang, termasuk bidang keagamaan.
Mangenai masuknya gerakan Ahmadiyah di Indonesia tidaklah sama antara Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Qadian. Ahmadiyah Lahore masuk ke Indonesia sebenarnya hanya kebetulan saja, yakni ketika Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad,yang semula ingin berdakwah ke negeri Cina. Setibanya di Singapura mereka mendengar bahwa kristenisasi di Indonesia cukup kuat, lalu keduanya mengubah haluan ke Indonesia.Kedatangan mereka bukanlah atas permintaan siapa pun.
Sementara itu, masuknya Ahmadiyah Qadian ke Indonesia bermula karena adanya permintaan dari pemuda-pemuda Indonesia yang sedang studi di Qadian, yaitu Abu Bakar Ayyub, Zaini Dahlan, Ahmad Nuruddin, dan kawan-kawan lain yang mayoritas dari Sumatera Barat. Selanjutnya Khalifah II, Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad menugaskan Maulana Rahmat Ali untuk datang ke Indonesia.
Dalam sejarah, Ahmadiyah masuk di Indonesia pada tahun 1924 sebagaimana dikemukakan G.F. Pijper, tetapi sudah dikenal sejak tahun 1920 ketika Kwaja Kamaluddin L.L.B., datang ke Surabaya untuk kepentingan berobat. Dia adalah tokoh dan mubaligh Ahmadiyah yang membawa misi Islam di London, serta redaktur surat kabar Islamic review.
Sebagai gerakan dakwah, Ahmadiyah menitikberatkan aspek spiritual Islam yang bersifat mahdiisti, yaitu adanya suatu kenyataan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah al Mahdi yang mengemban misi melenyapkan kegelapan, dan menciptakan perdamaian di dunia. Disamping itu, gerakan Ahmadiyah menempatkan diri sebagai gerakan pembaharuan yang bertujuan mengembalikan umat Islam pada pangkal kebenaran Islam, berdasarkan Al Quran, hadist, dan menyebarkannya menurut ajaran Mirza Ghulam Ahmad berdasarkan wahyu yang diterimanya.
Selama 22 tahun (1920-1942) Ahmadiyah Lahore hanya berkembang disebagian wilayah pulau Jawa.Selain di Yogyakarta yang memang sejak awal menjadi pusat kegiatan, Ahmadiyah juga berkembang di Purwokerto, Wonosobo, dan Surabaya.Di kota-kota tersebut berdiri cabang-cabang Ahmadiyah, khusus Ahmadiyah cabang Purwokerto penyebarannya meliputi daerah Banyumas dan Purbalingga.
Sementara itu daerah penyebaran Ahmadiyah Qadian meliputi daerah Pulau Jawa dan Sumatera.Untuk Sumatera meliputi daerah Tapaktuan (Aceh), Padang, Bukittinggi (Sumatera Barat), Palembang, Lahat, dan Lubuk Linggau (Sumatera Selatan). Sedangkan di Pulau Jawa meliputi daerah Bandung, Bogor, Garut (Jawa Barat), Purwokerto, Wonosobo, Surakarta (Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur), juga Jakarta (Batavia).
Terbatasnya pertumbuhan dan perkembangan daerah penyebaran serta sedikitnya jumlah anggota menunjukkan bahwa Ahmadiyah di Indonesia merupakan organisasi keagamaan yang kurang mendapat pendukung, dan merupakan organisasi yang kurang berkembang.Hal ini terjadi karena sajak kehadirannya di Indonesia sudah mendapat tantangan dari mayoritas umat Islam di Indonesia, terutama para ulama dan organisasi keagamaan.



G.    Daftar Pustaka
Azra , Azyumardi ,“Pengantar”, dalam Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah Di Indonesia, Yogyakarta:LKIS,2011.

Ihrom, 2010.Kesetaraan Gender Dlam Pandangan Tokoh Ahmadiyah (Studi Pemikiran Maulana Muhammad Ali & Basyiruddin Mahmud Ahmad). diakses melalui http://digilib.uin-suka.ac.id/6992/ pada 10/12/2014

Nasution, Harun, Pembaruan Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Pratina, Ikhtiyarini, 2012. Eksistensi Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Di Yogyakarta Pasca SKB 3 Mentri Tahun 2008 Tentang Ahmadiyah. Di akses melalui http://eprints.uny.ac.id/8715/ pada 10/12/2014

Zulkarnain, Iskandar, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Yogyakarta:LKis Printing Cemerlang, 2011



*) Makalah Prarevisi

[1] Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm.11.
[2]Ibid, hlm.160-195.             
[3] Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, (Yogyakarta:LKis Printing Cemerlang, 2011). Hlm. 1.
[4] Azyumardi Azra ,“Pengantar”, dalam Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah Di Indonesia, (Yogyakarta:LKIS,2011), hal.ix.
[5] Amrullah Lubis, Strategi Dakwah Gerakan Ahmadiyah Indonesia. Skripsi (Yogyakarta: Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006),hal.3.
[6] Pratina Ikhtiyarini, 2012. Eksistensi Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Di Yogyakarta Pasca SKB 3 Mentri Tahun 2008 Tentang Ahmadiyah. Di akses melalui http://eprints.uny.ac.id/8715/ pada 10/16/2017
[7]Ihrom, 2010.Kesetaraan Gender Dlam Pandangan Tokoh Ahmadiyah (Studi Pemikiran Maulana Muhammad Ali & Basyiruddin Mahmud Ahmad). diakses melalui http://digilib.uin-suka.ac.id/6992/ pada 10/16/2017
[8]Ibid., hlm. 15.
[9]Ibid., hlm. 51.
[10]Ibid., hlm. 60.
[11]Ibid., hlm. 65.
[12]Ibid., hlm. 73.
[13]Ibid.,.
[14]Ibid., hlm. 75.
[15]Ibid., hlm. 77.
[16]Ibid., hlm. 84.
[17]Ibid., hlm. 92.
[18]Ibid., hlm. 93.
[19]Ibid., hlm. 95.
[20]Ibid., hlm. 101.
[21]Ibid.
[22]Ibid.
[23]Ibid., hlm. 102.
[24]Ibid.
[25]Ibid., hlm. 105.
[26]Ibid., hlm. 114.
[27]Ibid., hlm. 117.
[28]Ibid.
[30]Ibid., hlm. 252.
[31]Ibid., hlm. 257.
[32]Ibid., hlm. 258.
[33]Ibid., hlm. 260.
[34]Ibid., hlm. 263.
[35]Ibid.

Komentar