Model Penelitian Gerakan Keagamaan: “GERAKAN AHMADIYAH DI INDONESIA” (Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain)
.
MODEL
PENELITIAN GERAKAN KEAGAMAAN:
“GERAKAN AHMADIYAH DI INDONESIA”
(Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain)
Oleh:
Imam Satria
A. LATAR
BELAKANG MASALAH
Timbulnya kembali kesadaran umat islam untuk memikirkan agamanya
setelah ratusan tahun mengalami kemunduran yaitu pada saat pengaruh Eropa di
dunia Islam semakin luas[1] . Di saat itulah muncul
pemikiran-pemikiran baru dengan gerakan-gerakan yang diharapkan akan membawa
umat Islam kepada kejayaan dan kemajuan kembali. Di Mesir misalnya muncul
Djmaludin Al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan Lain-lain, di Arab muncul
Muhammad bin abdul Wahab, sementara di India dan Pakistan Syeh Waliyullah, Syeh
Abdul Aziz, Sayid Ahmad Khan, Sayid Ahmad Ali, Muhammad Iqbal, dan sebagainya[2]. Sebagaimana pemikir Islam
lainnya, Mirza Ghulam Ahmad berusaha memperbaiki keadaan umat islam India
melalui perubahan pola pikir dalam memahami agama Islam yang disesuaikan dengan
perubahan zaman. Ditengah-tengah kondisi umat Islam seperti itu, Ahmadiyah
lahir.Kelahiran Ahmadiyah juga berorientasi pada pembaharuan pemikiran.
Ahmadiyah sebagai aliran dan gerakan yang bermula dari India memang
meyakini beberapa doktrin yang berbeda dengan mayoritas umat Islam di
Indonesia, baik NU, Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad, maupun kelompok lainnya.
Munculnya gerakan keagamaan Ahmadiyah di
India pada akhir abad ke-19 dengan latar belakang kemunduran umat Islam India
di bidang agama, politik, ekonomi, sosial, dan bidang kehidupan lainnya,
terutama setelah pecahnya revolusi India tahun 1857 yang berakhir dengan
kemenangan Inggris sehingga India dijadikan sebagai salah satu koloni Inggris
yang terpenting di Asia.[3]
Dalam kaitannya dengan
gerakan-gerakan Islam di India, gerakan Ahmadiyah termasuk dalam gerakan
teologi, tetapi adapula yang memasukkannya dalam gerakan gerakan intelektual
walaupun aspek intelektual Ahmadiyah hanya merupakan unsur yang tidak begitu dominan di dunia Islam.
Gerakan ini menekankan aspek-aspek ideologis-eskatologis karena gerakan ini
bersifat mahdiistik dengan keyakinan bahwa al-mahdi dipandang sebagai “Hakim
peng-Ishlah” atau sebagai “juru damai”. Menurut keyakinannya, al- Mahdi
mempunyai tugas untuk mempersatukan kembali perpecahan umat Islam, baik di
bidang akidah maupun Syari’ah.Ahmadiyah berharap umat Islam bersatu kembali
seperti zaman Nabi Muhammad Saw.Lebih dari itu, al-Mahdi juga diyakini
bertujuan mempersatukan kembali semua agama, terutama agama Nasrani dan Hindu,
agar melebur kedalam Islam[4].
Pemikiran-pemikiran baru yang ternyata membawa kebangkitan dan
kemajuan umat Islam itu akhirnya berpengaruh dan masuk pula ke
Indonesia.Keadaan umat Islam Indonesia pada waktu itu tidak jauh berbeda. Sejak
pertengahan dasawarsa 1920-an saat itu gaung pembaharuan Islam di Indonesia
mulai disuarakan oleh beberapa tokoh Islam dengan organisasi dan
pemikiran-pemikiran yang disesuaikan dengan kondisi umat Islam Indonesia[5]. Dalam konteks
keindonesiaan, Ahmadiyah sebagai organisasi keagamaan dapat digolongkan ke
dalam aliran pemikiran dan gerakan.Ahmadiyah masuk ke Indonesia mulai abad
ke-20 seiring dengan mulai maraknya paham kebangsaan sejak perempat awal abad
ke-20.Ahmadiyah di Indonesia sampai saat ini tetap eksis walaupun pendukungnya
tidak sebanyak Muhammadiyah atau Nahdatul Ulama.
Melalui kajian secara komprehensif akan terlihat factor-faktor yang
menyebapkan Ahmadiyah di Indonesia tidak dapat berkembang dengan baik.
Disamping itu, juga akan dikaji factor-faktor yang membuat Ahmadiyah dapat
tumbuh di Indonesia walaupun dengan perkembangan yang tidak menggembirakan.
Lebih
lanjut, tuisan ini akan membahas lebih mendalam bagaimana gerakan Ahmadiyah di
Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
Mengapa
gerakan Ahmadiyah di Idonesia tidak dapat berkembang dengan baik seperti
Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah khususnya pada tahun 1920-1942?
C.
KAJIAN PUSTAKA
1.
Penelitian yang
dilakukan oleh Pratina , Ikhtiyarini (2012) dengan judul Eksistensi
Jemaah Ahmadiyah Indonesia (Jai) Di Yogyakarta Pasca Skb 3 Menteri Tahun 2008
Tentang Ahmadiya[6]. Penelitian
ini merupakan sebuah Tesis. Penelitian ini bertujuanuntuk mengetahui eksistensi Jemaah Ahmadiyah Indonesia
(JAI) di Yogyakarta pasca dikeluarkannya SKB 3 Menteri tahun 2008 tentang
Ahmadiyah, dan interaksinya dengan masyarakat. JAI adalah gerakan Islam yang
didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad yang secara singkat ajarannya sedikit berbeda
dengan Islam pada umumnya, seperti tafsir istilah nabi. Keberadaan JAI
menimbulkan kontroversi dalam masyarakat muslim, sehingga akhirnya pemerintah
mengeluarkan SKB 3 Menteri tahun 2008 tentang Ahmadiyah. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif
dengan metode indepth interview (wawancara
mendalam. Teknik pengumpulan data
yang digunakan adalah observasi yang dilakukan secara partisipan, wawancara,
dokumentasi, dan studi pustaka. Teknik
validitas data dilakukan dengan teknik triangulasi sumber dan metode. Teknik analisis data menggunakan model
analisis interaktif Miles dan Huberman yang meliputi pengumpulan data, reduksi
data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian ini menyatakan, bahwa (1) eksistensi atau
keberadaan JAI di Indonesia sudah ada sejak tahun 1926 dan telah mempunyai
badan hukum yang sah. Sedangkan eksistensi JAI Yogyakarta pasca dikeluarkannya
SKB 3 Menteri tahun 2008 tentang Ahmadiyah adalah stagnan tak ada perubahan
yang signifikan. Strategi bertahan yang diterapkan dalam menjaga eksistensi
tersebut adalah dengan mengoptimalisasikan system organisasi dalam JAI. Sistem
tersebut terbagi dalam dua lajur, yang pertama lajur manajemen yang mengatur
jalannya berbagai kegiatan dalam JAI. Kedua, lajur kemubalighan yang berperan
dalam penguatan keimanan agar tetap terjaga dalam JAI. (2) Interaksi yang
berlangsung di antara penganut JAI dengan masyarakat masih kurang, karena
mereka hanya melakukan kegiatan bersama pada saat momen-momen tertentu saja.
Masyarakat sekitar juga cenderung tak terlalu memperdulikan keberadaan JAI.
2.
Penelitian yang dilakukan oleh Ihrom
(2010) dengan judul Kesetaraan Gender Dalam Pandangan Tokoh Ahmadiyah (Studi
Pemikiran Maulana Muhammad Ali & Basyiruddin Mahmud Ahmad[7].
Penelitian ini merupakan sebuah
Tesis. Tesis ini mengkaji, menelaah dan menilai pemikiran dua orang
tokoh Ahmadiyah, baik Ahmadiyah Lahore maupun Ahmadiyah Qodian tentang tema
perempuan dengan menggunakan perspektif kesetaraan gender. Pemikiran keduanya
diteliti melalui karyanya, baik dalam bentuk buku-buku maupun tafsir keduanya..Penelitian ini bersifat kepustakaan murni
dengan menggunakan metode deskriptif
analitis. Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologis. Adapun metode
analisis yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah deduktif
komparatif. Akhirnya, penelitian ini berkesimpulan,
Pertama, karena kedewasaan janda memiliki kebebasan menentukan pasangan
hidupnya sendiri, sedangkan untuk gadis keduanya berbeda pandangan, Muhammad
Ali memberikan kebebasan kepada gadis meskipun dalam hal malu dan kurang
pengalaman, wali boleh memberikan pertimbangan dan Basyiruddin melihat gadis
tunduk kepada wali. Kedua, poligami tidak dilarang, namun Muhammad Ali lebih
ketat dengan ketentuan poligami daripada Basyiruddin. Ketiga, tidak terdapat
perbedaan pemikiran antara keduanya, karena lakilaki menerima ijab maka ia
memiliki hak menjatuhkan cerai, namun laki-laki dan perempuan memiliki hak yang
sama dalam menuntut perceraian. Keempat, Muhammad Ali dan Basyiruddin melihat
kreteria kafaah sebagai sesuatu yang mungkin untuk dijadikan pertimbangan dalam
pernikahan. Namun untuk kreteria aqidah, bagi Basyiruddin pernikahan bersifat
indogami, sedangkan Muhammad Ali pernikahan bersifat exsogami. Kelima, keduanya
mengakui adanya perbedaan persaksian dalam hal mu’amalah, formula 1:2 bagi
Muhammad Ali hanya karena pengalaman dan pengetahuan perempuan yang kurang,
sedangkan Basyiruddin melihatnya sebagai bentuk antisipasi dari kondisi salah
dan lupa perempuan. keenam, baik Muhammad Ali maupun Basyiruddin tidak melarang
perempuan mengambil peran publik, namun dari segi persyaratan Muhammad Ali
lebih longgar daripada Basyiruddin. Dengan pemahaman kesetaraan gender secara
proporsional bukan pemahaman kesetaraan gender yang sama rata, maka terungkap
bahwa pemikiran kedua tokoh Ahmadiyah tersebut relevan dengan wacana kesetaran
gender yang sedang berkembang. Pemikiran kesetaraan gender yang proporsional
menistakan pemikiran yang diskriminatif, apologetis, bias dan misoginis
terhadap perempuan.
D.
METODOLOGI PENELITIAN
Pendekatan
yang digunakan dalam penelitiangerakan
keagamaaan yang dilakukan oleh Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain dalam bukunya
Gerakan Ahmadiyah di Indonesia adalah pendekatan sejarah. Pendekatan sejarah
yang digunakan bertumpu pada empat kegiatan pokok meliputi (1) Heuristik,
kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau, (2) Kritik (sejarah), menyelidiki
apakah jejak-jejak tersebut asli, baik bentuk maupun isinya, (3) Interpelasi,
menetapkan saling hubungan antarfakta yang diperoleh, (4) Penyajian,
menyampaikan sintesis yang diperoleh dalam satu bentuk kisah sejarah.[8]
E.
PEMBAHASAN
1.
Awal Pergerakan
Keagamaan di India
India yang berpenduduk mayoritas Hindu
dan Buda pernah dikuasai sebelas dinasti islam, yaitu dinasti Ghaznawiyah
(997-1186 M.) sampai dinasti Mughal (1526-1605 M.). akan tetapi di India juga sering terjadi
persaingan dan peperangan untuk merebut kekuasaan sehingga india senantiasa
menghadapi perebutan kekuasaan sehingga India senantiasa menghadapi perubahan
penguasa. Kerajaan Mughal adalah salah satu kerajaan besar sekaligus adikuasa
di dunia islam yang menguasai anak benua India pada awal abad ke-17. Namun
kejayaan kerajaan Mughal mengalami kemunduran ketika wilayah kerajaan Mughal
berhasil dipukul oleh raja-raja India. Hal ini diperparah dengan umat islam di
india yang terbawa dalam persaingan dan pertentangan yang keras antar mazhab,
dan golongan islam yang mereka anut
Di samping itu, di kalangan umat Islam
pun banyak yang tidak menghiraukan akhlak yang diajarkan Islam.Sesudah India
menjadi koloni Inggris, tampaknya sikap umat Islam yang masih sangat
tradisional dan fatalistis desertai dengan semangat antipasti dan fanatisme
keagamaan yang berlebihan dalam menghadapi tradisi barat menjadikan mereka
semakin terisolasi.Keadaan India ini semakin buruk terutama sesudah terjadinya
pemberontakan Munity di tahun 1875.
Akibat pemberontakan ini, pihak Inggris
menjadi lebih curiga dan bersikap reaksioner terhadap umat Islam.Inggris
berkeyakinan bahwa umat Islamlah yang menjadi biang keladi pemberontakan dan
harus bertanggungjawab.Selain itu, umat islam dituduh ingin mengembalikan
hak-hak kemaharajaan Mughal. Dengan ini inggris menganggap sikap oposisi umat
Islam adalah didororng semngat nasionalisme yang menyala-nyala, yang tentu saja
berbahaya bagi kepentingan colonial inggris.Adapun kaum hindu dapat
menyembunyikan sikap itu sehingga mereka dapat diajak bekerja sama dengan
pemerintah Inggris. Dengan demikian, posisi kaum Hindu jauh lebih baik
dibandingkan dengan posisi umat Islam. Selain itu, mereka semakin tenggelam
dalam keterbelakangan da perselisihan dengan sesame muslim karena masalah khilafiyah.[9]
Perkembangan situasi dan kondisi umat
Islam di India sangat menyedihkan, teruutama pada abad ke-18 M, ketika dinasti
Mughal memasuki zaman kemunduran.Umat Islam dengan pemikirannya yang statis,
sedangkan sikapnya dan perilakunya kenservativ. Dalam situasi seperti itu, timbullah
keinginan untuk mengangkat kembali kejayaan umat islam di india seperti di era
kejayaan Mughal dengan munculnya banyak gerakan yang dipelopori oleh para
pemikir dan pemimpin muslim India. Gerakan tersebut ada yang bersifat politik
dan intelektual.Dalam gerakan
intelektual ada tiga tokoh utama India, yaitu Sayyid Ahmad Khan, Sayyid Amir
Ali, dan Muhammad Iqbal yang dianggap berperan dalam gerakan ini, meskipun
sebenarnya Syah Walyullah dan beberapa yang lain, seperti Mirza Ghulam Ahmad
dengan Ahmadiyahnya tidak bisa dikesampingkan begitu saja.
Ahamadiyah sebagai gerakan keagamaan juga
merupakan salah satu dari gerakan pembaru dalam Islam. Ide pembaruan itu muncul
setelah Mirza Ghulam hmad melihat kemunduran umat Muslim disatu pihak, serta
gencarnya serangan kaum Arya Samaj dan Kaum Misionaris Kristen terhadap Islam
di pihak lain. Oleh karena itu, ia merasa terpanggil utnuk mengadakan takan
pembaruan dalam masyarakat. pada awal kegiatannya ia diterima oleh masyarakat
luas termasuk dari kalangan masyarakat islam ortodoks. Akan tetapi, sesudah
Mirza Ghulam Ahmad menyatakan menerima wahyu dan telah diangkat oleh Tuhan
sebagai al-Masih dan al-Mahdi, masyarakat berbalik dan memusuhinya.
2. Gambaran Umum
Gerakan Ahmadiyah
Mirza
Ghulam Ahmad, lahir pada Jum’at 13 Februari 1835 M, di Qadian India.Ayahnya
bernama Mirza Ghulam Murtada.Mirza Ghulam Ahmad adalah keturunan haji Barlas,
raja kawasan Qesh yang merupakan paman mir Tughlak temur. Tatkala a,ir temur
menyerang qesh, haji barlas sekeluarga terpaksa melarikan diri ke Khorasan dan
Samarkand dan menetap disana . akan tetapi, pada abad ke-16 M. seorang
jeturunan Haji barlas bernama Mirza hadi baig-keturunan dinasti Mughal-
-beserta 200 orang pengikutnya meninggalkan tumpah darahnya, Samarkand, dan
pindah ke daerah Gusdaspur di Punjab, sekitar kawasan sungai bias. Disana ia
mendirikan sebuah perkampungan bernama Islampur. Hadi baig inilah yang
menjadikan kota Qadian sebagai tempat lahirnya pendiri gerakan Ahmadiyah karena
family Mirza Ghulam Murtadha masih keturunan Haji barlas. Atas dasar itulah di
depan nama keturunan keluarga ini terdapat sebutan mirza.[10].
Pada
tahun 1888 Mirza Ahmad secara terang-terangan menyatakan diri mendapatkan
perintah Tuhan melalui Ilham ilahi untuk menerima bai’at dari para pengikutnya.
Wahyu berbahasa Arab yang artinya :
“jika sudah kamu putuskan dalam hatimu maka bertawakallah pada
Allah: dan buatlah bahtera di bawah tilikan kami dan wahyu Kami. Orang-orang
yang melakukan bai’at dengan engkau, mereka sebenarnya melakukan bai’at enganAllah.
Tangan Tuhan berada di atas tangan mereka”
Dari
perintah tuhan diatas menurut Mirza Ahmad dia disuruh untuk melakukan du hal
yang pertama dalah menerima bai’at dari para pengikutnya, yang kedua adalah dia
membuat bahtera. Adapaun membuat bahtera menurut Ahmadiyah Lahore sudah
dilakukan oleh Ahmad Mirza dengan membuat organisasi Ahmadiyah itu sendiri,
jadi menurut Ahmadiyah Lahore tahun 1888 dianggap sebagai taun berdirinya
Ahmadiyah.
Pada
tahun 1890 Mirza Ghulam Ahmad kembali menerima wahyu yang menyatakan bahwa
dirinya sebagai al-masih dan menegaskan bahwa Nabi Isa a.s. telah wafat. Pada
taun ini ahmad mirza juga di baiat oleh para pengikutnya di kota Ludhiana. Kota
ini merupakan salah satu tempat sekolah atas
bagi misionaris tertua di india dan tempat para tokoh Islam.
Sejak
menerima wahyu, Mirza Ghulam Akhmad menyatakan bahwa dirinya sebagai al-MAsih
yang dijanjikan sekaligus sebagai al-mahdi.Akan tetapi, hal itu baru diumumkan
pada awal tahun 1891. Menurut Ahmadiyah Qadian, setalah diadakan pemba’iatan
tahun 1889 Mirza Ghulam Ahmad mengorganisasi para pengikutnya menjadi suatu
paham baru yang merupakan bagian dari gerakan baru islam dengan nama gerakan
Ahmadiyah.[11]Tahun
dianggap sebagai tahun berdirinya Ahmadiyah Qadian.
Pada
tahun 1914 secara riil ahmadiyah terpecah menjadi du golongan. Pertama golongan
ahmadiyah Qadiani yang ajarannya mencela tuduhan muslim lain sebagai kafir.
Golongan yang berkeyakinan bahwa kenabian tetap terbuka sesudah rasulullah SAW.Golongan
ini berpendapat bahwa Mirza ghulam Ahmad bukan hannya sebagai mujaddid tetapi
juga sebagai nabi yang harus dipatuhi.[12]
Golongan
kedua adalah golongan ahmadiyah Lahore yang disebut dengan Ahmadiyah Anjum
Isha’at Islam. Golongan ini berkeyakinan bahwa pintu kenabian setelah nabi
Muhammad saw. Telah tertutup.Dengan demikian, Mirza Ghulam Akhmad bukanlah
seorang nabi, melinkan seorang mujadidi, selin sebagai al-Masih dan Al-Mahdi.[13]
Ahmadiyah
sendiri masuk ke Indonesia tahun 1926 yang dibawa oleh Rahmat Ali.
Pada tahun 1926,
Jemaah Ahmadiyah resmi
berdiri sebagai organisasi di
Padang, dalam masa
pemerintahan Gubernur Jenderal
Andries Cornelis Dirk de
Graeff (1926-1931). Rahmat
Ali pun pindah
ke Batavia, ibukota Hindia
Belanda. Langkah ini membuat
perkembangan Ahmadiyah makin cepat.
Rahmat Ali banyak membaiat
orang Sunda masuk Ahmadiyah. Ahmadiyah melewati
masa-masa pemerintahan pemerintahan
tiga gubernur jenderal lagi
maupun zaman Jepang.
3. Karakteristik
Ahmadiyah
Dalam kaitanya
dengan gerakan-gerakan Islam di india, Smith memasukkan mirza Ghulam Ahmad
dengan gerakan Ahmadiyahnya dalam gerakan teologi. Aakan tetapi. Gibb cebderung
mamasukkan sejalur dengan usaha yang dilakukan dalam gerakan intelektual,
walaupun hanya merupakan satu unsur yang begitu penting di dunia islam india
dan hanya sedikit artinya sebagai pembawa tafsiran-tafsiran tentang Islam yang
bersifat liberal.[14]
Corak pemikiran
Mirza Ghulam Ahmad yang liberal dan khas
ini merupakan refeksi dari sikapnya membela Islam dan umat Islam India dari
serangan pemeluk Hindu, misionaris Kristen, dan peradaban Barat yang semakin
merusak masyarakat muslim. Semenjak awal Mirza Ghulam Ahmad harus berhadapan
dengan gerakan Arya Samaj ysng berusaha mempertahankan kepercayaan lama dengan
menekankan gagasan kembali kepada Weda.[15]
4. Doktrin Ahmadiyah
Dikalangan
Ahmadiyah terdapat banyak doktrin yang menjadi dasar keyakinan para
pengikutnya.Akan tetapi dalam bukunya, Prof. Dr.Iskandar Zulkarnain hanya membahas
tujuh doktrin Ahmadiyah yakni tentang Al-mahdi, al-Masih, mujaddid, kenabian, wahyu, khalifah, dan ijtihad.Berikut adalah
uraiannya.
a. Masalah al-Mahdi dan al-Masih
Doktrin
al-Mahdi dan al-Masih adalah ajaran pokok Ahmadiyah Lahore maupun Qadian, ajaran
ini sama sekali tidak ada perbedaan, dan justru ajaran ini berbeda dengan
pandangan kaum Sunni. Menurut Ahmadiyah, doktrin tentang al-Mahdi tidak dapat
dipisahkan dari masalah kedatangan Isa al-Masih di akhir zaman. Hal itu karena al-Mahdi dan al-Masih adalah satu tokoh, satu pribadi yang kedatangannya telah
dijanjikan Tuhan.Iaditugaskan Tuhan untuk membunuh Dajjal dan mematahkan tiang
salib, yakni mematahkan argument-argumen agama nasrani dengan dalil-dalil atau
bukti-bukti yang meyakinkan serta menunjukkan kepada para pemeluknya tentang
kebenaran Islam.[16]
Pandangan Ahmadiyah tentang al-Mahdi dan al-Masih sebagai seorang tokoh, satu pribadi dan satu ajaran
tersebut tidak berbeda antara Ahmadiyah Qadian maupun Lahore. Perbedaanya
justru dengan pandangan umum yang dikenal umat Islam bahwa al-Mahdi dan
al-Masih merupakan dua figure yang berbeda, yaitu imam Mahdi dan Nabi Isa a.s.
imam Mahdi adalah tokoh laki-laki keturunan Ahlul Bait yang akan muncul di
akhir zaman dan akan menegakkan agama serta keadilan untuk diikuti oleh umat
Islam dan akan membantu Isa Al-Masih a.s yang akan turun ke dunia untuk
membunuh Dajjal. [17]
Al-Mahdi
secara harfiah berarti orang yang telah diberi petunjuk (the guide one). Oleh karena petunjuk dari Tuhan makaarti kata
tersebut enjadi “seorag yang diberi petunjuk oleh Tuhan” dengan cara
menakjubkan dan sangat pribadi. Dari situ dapat dikatakan bahwa orang yang
disebut Mahdi adalah orang yang benar-benar telah mendapat bimbingan dari
Tuhan. Bagi Ahmadiyah, al-Mahdi dipahami sebagai seorang yang diutus oleh Tuhan
sebagai mujaddid (pembaru) bagi
Amadiyah Lahore dan sebagai nabi buruzi
bagi ahmadiyah Qadian yang kedatangannya telah dijanjikan oleh Allah sendiri,
Dialah Mirza Ghulam Ahmad.[18]
b. Masalah Mujaddid (Pembaru)
Menurut
Ahmadiyah Lahore, istilah pembaruan yang biasa disebut mujaddid mempunyai pengertian mngembalikan umat Islam kepada
pangkal kebenaran Islam. Caranya dengan melenyapkan kesesatan-kesesatan yang
menyerbu umat Islam, dan memancakan penerangan baru tentang kebenaran Islam
yang sesuai dengan tuntutan zaman.[19]
Adapun pebaruan yang dilakukan Mirza Ghulam Ahmad antara lain:
a)
Masalah kematian Nabi Isa a.s
Menurut Mirza Ghulam
Ahmad, Nabi Isa a.s adalah manusia biasa yang meninggal secara wajar dan
dikubur di Srinagar, Kasymir. Nabi Isa a.s tidak meninggal di atas tiang salib
sebagaimana yang menjadi kepercayaaan di kalangan umat Kristiani bahwa Nabi Isa
meninggal diatas tiang Salib. Dasar yang dipakai Mirza Ghulam Ahmad anytara
lain firman Allah surat al-maidah ayat 117, surat Ali Imran ayat 143 dan 54,
serta surat ash-shaff ayat 6 dengan meninggalnya Isa al-masih maka mirza Ghulam
Ahmad adalah al-masih dan al-mahdi yang dijanjikan Allah.[20]
b)
Masalah wahyu
Keberadaan wahyu
tidak hanya terbatas sampai pada Nabi Muhammad Saw. Setelah Nabi Muhammad Saw
meninggal wahyu Tuhan masih akan tetap turun, dan bahkan sampai hari akhir.
Wahyu tidak hanya diperuntukkan bagi para nabi dan rasul saja, tetapi juga
untuk manusia, binatang, bahkan benda mati.[21]
c)
Masalah kenabian
Menurut pandangan
Ahmadiyah Lahore, nabi Muhammad adalah nabi yang terakhir, setelah nabi
Muhammad meninggal tidak akan ada lagi nabi, baik nabi lama maupun nabi baru,
adapun Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang mujaddid abad ke-14 bukan seorang
nabi. Sedangkan Ahmadiyah Qadian, berpendapat bahwa stelah nabi Muhammad
meninggal, masih tetap akan muncul nabi-nabi lain sampai hari akhir. Menurut
Ahmadiyah Qadian, nabi-nabi yang muncul setelah nabi ,uhammad diebut sebagai
nabi buruzzi, yaitu nabi yang tidak
membawa syari’at.[22]
d)
Masalah khilafat
Menurut Ahmadiyah
Lahore, setelah Khulafa’ur Rasyidun
sudah tidak akan ada lagi khalifah, yang ada adalah mujaddid. Sementara menurut
Ahmadiyah Qadia, semua nabi adalah khalifah Allah, termasuk Mirza Ghulam Ahmad.
Menurut mereka, setelah Al-Khulafa’ur
Rasyidun masih akan tetap muncul khalifah, yakni khalifah rohani, khalifah
yang muncul setelah meninggalnya Mirza Ghulam Ahmad disebut dengan Khalifatul
Masih.[23]
e)
Masalah Jihad
Jihad tidak
diartikan sama dengan perang, melainkan diartikan menyebarkan Islam dengan pena
dan lisan (jihad kabir) dan memerangi hawa nafsu (jihad akbar). Dalam kaitannya
dengan pemerintahan, Ahmadiyah berpandangan bahwa umat Islam harus setia dan
taat meski terhadap pemerintah penjajah.[24]
c.
Masalah Kenabian
Terkait
dengan masalah kenabian, di kalangan Ahmadiyah terdapat perbedaan pandangan
antara Ahmadiyah Qadian dan Lahore.Begitupun antara Ahmadiyah dengan kaum
muslimimin pada umumnya. Ahmadiyah Qadian memunculkan tiga klasifikasi terkait
dengan masalah kenabian:
1.
Nabi Shahib
asy-Syaria’ah dan Mustaqil. Nabi asy-Syari’ah adalah nabi pembawa
syari’at (hukum-hukum) untuk manusia. Sementara nabi Mustaqil adalah hamba Allah yang menjadi nabi dengan tidak
mengikuti nabi sebelumnya, seperti Nabi Musa a.s; beliau menjadi Nabi bukan
atas dasar mengikuti nabi atau syari’at sebelumnya.
2.
Nabi Mustaqil
Ghair at-Tasyri’I, yakni hamba Tuhan yang menjadi nabi dengan tidakmengikuti
nabi sebelumnya, hanya saja ia tidak membawa syari’at baru. Dengan artian bahwa
ia ditugaskan oleh Allah untuk menjalankan syari’at yang dibawa oleh nabi
sebelumnya. Para Nabi yang tergolong dalam Nabi Mustaqil Ghair at-Tasry”I
adalah Nabi Harun, Daud, Sulaiman, Yahya, dan Nabi Isa a.s.
3.
Nabi Zhilli
Ghair at-Tasyri’i, yakni hamba Tuhan yang mendapat anugrah dari Allah
menjadi nabi semata-mata karena hasil kepatuhan kepada nabi sebelumnya dan juga
arena mengikuti syari’atnya. Hamba Tuhan yang masuk ke dalam golongan nabi
Zhili Ghairat-Tasry’I adalah Mirza Ghulam Ahmad yang mengikuti syari’at Nabi
Muhmmad Saw.[25]
d. Masalah Wahyu
Wahyu
merupakan salah satu ajaran pokok Ahmadiyah dan tidak dapat dipisahkan dengan
kemahdiahan Ahmadiyah.Menurut pengakuannya sendiri, al-Mahdi Ahmadiyah tidak
dapat dipisahkan dengan al-Masih
karena al-Mahdi dan al-Masih adalah
satu tokoh dan satu pribadi.Wahyu Allah tidak hanya turun kepada Nabi dan
utusan Allah saja, tetapi dikaruaniakan juga kepada semua umat manusia, dan bahkan
dikaruniakan kepada semua ciptaan-Nya, termasuk barang-barang yang tidak
bernyawa.[26]
Ahmadiyah
Qadian mempercayai bahwa bukan hanya wahyu yang akan datang terus-menerus
setelah Nabi Muhammad Saw., melainkan nabipun juga akan berlangsung
terus-menerus. Dari paham kewahyuan yang dijabarkan Ahmadiyah, timbul anggapan
bahwa Mirza Ghulam Ahmad yang diangkat Tuhan sebagai al-Masih dan al-Mahdi, melalui ilham yang diterimanya, dipandang
sebagai seorang nabi dari versi Qadiani. Secara implisit, versi Lahore pun juga
mengakuinya, hanya saja terma yang mereka pakai adalah nabi lughawi, bukan Haqiqi.[27]
Dengan demikian, pemahaman tentang wahyu di
kalangan Ahmadiyah baik Lahore maupun Qadian tidak terdapat perbedaan. Kalaupun
ada perbedaan, maka hanya dalam penggunaan terma-terma, sedangkan secara
substansial adalah sama.[28]
e. Masalah Khalifah
Pada
umumnya, pemahaman kaum muslimin tentang khalifah terepresantisakan di dalam
tafsir Departemen Agama RI, yakni seseorang yang dijadikan pengganti dari yang
ain atau seseorang yang diberi kewenangan untuk bertindak dan berbuat sesuai
dengan ketentuan-ketentuan dari yang member wewenang.Sesudah Rasulullah Saw
meninggal, para pengganti beliau disebut khalifah, yakni sebagai kepala Negara
dan sekaligus pemimpin agama.
Adapun
khalifah menurut pandangan kaum muslimin secara umum tidaklah menggantikan
kedudukan Rasulullah Saw, sebagai penerima “wahyu”, kecuali hanya sebagai
pemimpin Negara dan penggerak akah Islam ke segenap penjuru dunia. Wahyu
penutup hanya diberikan kepada nabi Muhammad Saw, dan penggantinya tidak
menerima wahyu. Khalifah juga tidak diartikan sebagai mujaddid sebagaimana
pandangan Ahmadiyah Lahore, apalagi mujaddid
yang kehadirannya karena diutus langsung oleh Tuhan melalui wahyu yang ia
terima. Di sinilah letak perbedaan prinsip antara pandangan Ahmadiyah Qadian
dan Lahore dengan pandangan kaum muslimin secara umum.
f. Masalah Jihad
Terdapat
persamaan dan perbedaan pandangan antara Ahmadiyah dan ulama-ulama di luar
Ahmadiyah.Misalnya pembedaan antara jihad dengan qital.Jihad memiliki makna
yang lebih luas dari pada Qital.Sedangkan
perbedaanya, jika pada awalnya Ahmadiyah memahami bahwa di dalam jihad bisa,
terkandung makna qital yang
disebutnya sebagai jihad ashghar. Akan tetapi sekarang ini abad ke-20,
Ahmadiyah menganggap tidak ada lagi jihad ashghar,
yang ada hanya jihad akbar atau dengan lisan. Sementara menurut pandangan kaum
muslimin secara umum, jihad tetap dipahami dalam bentuk jihad akbar, jihad kabir, dan jihad ashghar
(mengikuti istilah yang dipakai Ahmadiyah) tetapi mereka tidak sependapat kalau
jihad identik dengan qital atau
perang.
6. Gerakan Ahmadiyah
di Indonesia
Mangenai
masuknya gerakan Ahmadiyah di Indonesia tidaklah sama antara Ahmadiyah Lahore
dan Ahmadiyah Qadian. Ahmadiyah Lahore masuk ke Indonesia sebenarnya hanya
kebetulan saja, yakni ketika Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad,yang
semula ingin berdakwah ke negeri Cina. Setibanya di Singapura mereka mendengar
bahwa kristenisasi di Indonesia cukup kuat, lalu keduanya mengubah haluan ke
Indonesia.Kedatangan mereka bukanlah atas permintaan siapa pun.[29]
Sementara
itu, masuknya Ahmadiyah Qadian ke Indonesia bermula karena adanya permintaan
dari pemuda-pemuda Indonesia yang sedang studi di Qadian, yaitu Abu Bakar
Ayyub, Zaini Dahlan, Ahmad Nuruddin, dan kawan-kawan lain yang mayoritas dari
Sumatera Barat. Selanjutnya Khalifah II, Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad
menugaskan Maulana Rahmat Ali untuk datang ke Indonesia. Dengan demikian ,
Maulana Rahmat Ali adalah pembawa paham Ahmadiyah Qadian ke Indonesia bersama
pemuda-pemuda dari Indonesia yang belajar di Qadian. Oleh karena itu, Maulana
Rahmat Ali dipandang sebagai perintis Ahmadiyah Qadian di Indonesia yang dalam
perkembangannya menjadi sebuha organisasi dengan nama Jemaat Ahmadiyah
Indonesia.
Selain
Ahmadiyah Qadian, ternyata di Indonesia juga berkembang paham Ahmadiyah Lahore.
Ahmadiyah Lahore sudah lebih dulu dikenal di Jawa tepatnya di Yogyakarta pada
tahun 1924, setahun lebih awal disbanding Ahmadiyah Qadian yang dikenal di
Sumatra atau dua belas tahun setelah Muhammaduyah berdiri.Informasi mengenai
latar belakang kedatangan Ahmadiyah Lahore di Indonesia di Jawa tidak sejelas
informasi kedatangan Ahmadiyah Qadian di Sumatra. Kedatangan dua orang mubaligh
dari Hindustan, Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baig, tidak begitu jelas
siapa yang mengundangnya, jika memang ada yang mengundang. Selain itu, tidak
ada informasi dari pelajar Indonesia yang sedang belajar di Lahore, Punjab,
tentang kedatangan kedua mubaligh tersebut ke Jawa. Ahmadiyah Lahore masuk ke
Indonesia sebenarnya hanya kebetulan saja, yakni ketika Mirza Wali Ahmad Baig
dan Maulana Ahmad,yang semula ingin berdakwah ke negeri Cina. Setibanya di
Singapura mereka mendengar bahwa kristenisasi di Indonesia cukup kuat, lalu
keduanya mengubah haluan ke Indonesia.Kedatangan mereka bukanlah atas
permintaan siapa pun.
Gerakan
Ahmadiyah di Indonesia khususnya Ahmadiyah Lahore di pandang lebih dekat dengan
golongan sunnia karena meyakinibahwa nabi Muhammad Saw adalah nabi terakhir,
dan sesudah Nabi Muhammad Saw tidak ada nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi
baru. Kedudukan Mirza Ghulam Ahmad bagi mereka hanyal sebagai pembaru.
Literature-literatur keagamaan mereka yang bercorak rasional, meskipun secara
kelembagaan tidak mendapat respon, namun secara individual telah memberikan
pengaruh kepada umat Islam Indonesia, dan merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari pemikiran islam, khususnya di kalangan cendekiawan muslim yang
berpendidikan barat.
Dalam sejarah,
Ahmadiyah masuk di Indonesia pada tahun 1924 sebagaimana dikemukakan G.F.
Pijper, tetapi sudah dikenal sejak tahun 1920 ketika Kwaja Kamaluddin L.L.B.,
datang ke Surabaya untuk kepentingan berobat. Dia adalah tokoh dan mubaligh
Ahmadiyah yang membawa misi Islam di London, serta redaktur surat kabar Islamic
review.
Sebagai gerakan dakwah, Ahmadiyah
menitikberatkan aspek spiritual Islam yang bersifat mahdiisti, yaitu adanya
suatu kenyataan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah al Mahdi yang mengemban misi
melenyapkan kegelapan, dan menciptakan perdamaian di dunia. Disamping itu,
gerakan Ahmadiyah menempatkan diri sebagai gerakan pembaharuan yang bertujuan
mengembalikan umat Islam pada pangkal kebenaran Islam, berdasarkan Al Quran,
hadist, dan menyebarkannya menurut ajaran Mirza Ghulam Ahmad berdasarkan wahyu
yang diterimanya.
7. Daerah Penyebaran
Semenjak perintisannya sampai tumbuh dan
berkembangnya, pada periode awal baik Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Qadian
masih sangat terbatas daerah penyebarannya. Di Sumatera misalnya hanya di
beberapa kota, seperti Tapaktuan (Aceh), Padang, Bukittinggi (Sumatera Barat),
Palembang, Lahat, dan Lubuk Linggau (Sumatera Selatan). Di Jawa juga hanya
beberapa kota seperti Bandung, Bogor, Garut (Jawa Barat), Purwokerto, Wonosobo,
Surakarta (Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur), juga Jakarta (Batavia).
8. Faktor-Faktor Penunjang
dan Penghambat Pertumbuhan Gerakan
Ahmadiyah Di Indonesia
a.
Factor penunjnag perkembangan
1)
Pendekatan Rasional pada Islam
Pemikiran-pemikiran
keagamaan yang diajarkan Ahmadiyah menawarkan pilihan yang lebih luas dan
membuka wawasan baru dalam memahami islam dengan lebih rasional. Semngat
melawan kristenisasi dan peradaban Barat yang menyertainnya ditiupkan dengan
penuh semngat dan diterima dengan hangat oleh pendengar dan pembaca artikelnya
d beberapa mass media yang berbahasa Indonesia dan belanda.[30]
2)
Militansi tokoh Ahmadiyah
Tokoh Ahmadiyah yang
militant adalah Wali Ahmad Big.Ia merupakan tokoh Ahmadiyah aliran Lahore yang
dating ke Indonesia untuk kepentingan penyebaran paham Ahmadiyah.[31]
3)
Penerbitan dan penerjemahan buku
Ahmadiyah [32]
4)
Sikap pemerintah yang netral
Gerakan Ahmadiyah
sendiri sebagai gerakan keagamaan yang masuk ke Indonesia tahun 1924,
pandangannya tentang jihad dinilai tidak bertentangan dengan kebijakan
pemerintah colonial belanda. Menurut Ahmadiyah , jihad dalam bentuk perang
sudah tidak sesui lagi. Oleh karena itu doktrin yang dimunculkan adalah
Ahmadiyah harus taat dan setia kepada pemerintah tempat mereka berada.[33]
b.
Factor Penghambat Perkembangan
1) Kontroversi Bidang
teologi
Pandangan Ahmadiyah
dalam bidang teologi yang sama sekaligus menjadi doktrin Ahmdiyah ternyata
masih sulit diterima mayoritas umat islam Indonesia di Sumatra maupun dijawa.
Bahkan selalu mendatangkan perdebatan yang tidak pernah selsai. Dengan demikian
doktrin-doktrin teologis seperti masalah kenabian, wahyu, Al-Masih dan Al-mahdi
yang dipandang kontroversial dengan pemahaman mayoritas umat islam dapat
menjadi salah satu factor penghambat perkembangan Ahmdiyah di Indonesia.[34]
2) Kelonggaran
Organisasi[35]
3) Masuknya Muhammad
Sabitun Ke PKI
Kebebsan berpartai
di kalangan Ahmadiyah dimanfaatkan oleh sebagian anggotanya untuk terjun dalam
partai politik walaupun tujuan pokoknya bukan untuk kepentingan politik,
melinkan untuk kepentingan dakwah.
F.
Kontribusi keilmuan
Tulisan mengenai
Ahmadiyah dari kalangan
non-Ahmadi yang secara
khusus membahas mengenai Ahmadiyah
sangat terbatas. Barangkali
desertasi Prof. Dr. Iskandar
Zulkarnaen berjudul ‘Gerakan Ahmadiyah di
Indonesia’ merupakan salah satu referensi yang terlengkap. Dam
bisa dicadikan sebagai sumber rujukan tentang gerakan Ahmadiyah di Indonesia
Khususnya tahun 1920-1942.
Melalui
kajian ini, mengungkap secara objektif Ahmadiyah sebagai pemikiran dan gerakan
dalam konteks perkembangan gerakan Islam secara keseluruhan.Kajian ini juga
mendeskripsikan proses-proses kenyataan Ahmadiyah sebagai pemikiran dan
gerakan, sekaligus memperkenalkan Ahmadiyah dalam kancah perdebatan ilmiah bukan
lagi sekedar perdebatan wacana. Dalam konteks itu, karya ini telah memberikan
kontribusi bagi pengembangan sejarah pemikiran dan gerakan keislaman
diIndonesia dan inilah buku pertama dalam bahasa Indonesia yang secara lengkap
membahas gerakan Ahmadiyah di Indonesia terutama dari sudut pandang sejarah.
KESIMPULAN
Gerakan Ahmadiyah lahir di India pada
tahun 1888.Pendirinya adalah Mirza Ghulam Ahmad kelahiran tahun 1835 di Qadian,
Punjab, India, dan meninggal tahun 1908 di Lahore.Lahirnya gerakan ini tidak
hanya disebabkan oleh faktor eksternal saja, tetapi juga karena adanya faktor
internal. Factor internal yang dimaksud disini adalah sikap umat Islam yang
tradisional dan fatalistis yang membuat mereka statis sehingga umat Islam
mengalami kemunduran dalam banyak bidang, termasuk bidang keagamaan.
Mangenai masuknya gerakan Ahmadiyah di
Indonesia tidaklah sama antara Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Qadian. Ahmadiyah
Lahore masuk ke Indonesia sebenarnya hanya kebetulan saja, yakni ketika Mirza
Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad,yang semula ingin berdakwah ke negeri Cina.
Setibanya di Singapura mereka mendengar bahwa kristenisasi di Indonesia cukup
kuat, lalu keduanya mengubah haluan ke Indonesia.Kedatangan mereka bukanlah
atas permintaan siapa pun.
Sementara itu, masuknya Ahmadiyah Qadian
ke Indonesia bermula karena adanya permintaan dari pemuda-pemuda Indonesia yang
sedang studi di Qadian, yaitu Abu Bakar Ayyub, Zaini Dahlan, Ahmad Nuruddin,
dan kawan-kawan lain yang mayoritas dari Sumatera Barat. Selanjutnya Khalifah
II, Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad menugaskan Maulana Rahmat Ali untuk datang
ke Indonesia.
Dalam sejarah, Ahmadiyah masuk di
Indonesia pada tahun 1924 sebagaimana dikemukakan G.F. Pijper, tetapi sudah
dikenal sejak tahun 1920 ketika Kwaja Kamaluddin L.L.B., datang ke Surabaya
untuk kepentingan berobat. Dia adalah tokoh dan mubaligh Ahmadiyah yang membawa
misi Islam di London, serta redaktur surat kabar Islamic review.
Sebagai gerakan dakwah, Ahmadiyah
menitikberatkan aspek spiritual Islam yang bersifat mahdiisti, yaitu adanya
suatu kenyataan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah al Mahdi yang mengemban misi
melenyapkan kegelapan, dan menciptakan perdamaian di dunia. Disamping itu,
gerakan Ahmadiyah menempatkan diri sebagai gerakan pembaharuan yang bertujuan
mengembalikan umat Islam pada pangkal kebenaran Islam, berdasarkan Al Quran,
hadist, dan menyebarkannya menurut ajaran Mirza Ghulam Ahmad berdasarkan wahyu
yang diterimanya.
Selama 22 tahun (1920-1942) Ahmadiyah
Lahore hanya berkembang disebagian wilayah pulau Jawa.Selain di Yogyakarta yang
memang sejak awal menjadi pusat kegiatan, Ahmadiyah juga berkembang di
Purwokerto, Wonosobo, dan Surabaya.Di kota-kota tersebut berdiri cabang-cabang
Ahmadiyah, khusus Ahmadiyah cabang Purwokerto penyebarannya meliputi daerah
Banyumas dan Purbalingga.
Sementara itu daerah penyebaran Ahmadiyah
Qadian meliputi daerah Pulau Jawa dan Sumatera.Untuk Sumatera meliputi daerah
Tapaktuan (Aceh), Padang, Bukittinggi (Sumatera Barat), Palembang, Lahat, dan
Lubuk Linggau (Sumatera Selatan). Sedangkan di Pulau Jawa meliputi daerah
Bandung, Bogor, Garut (Jawa Barat), Purwokerto, Wonosobo, Surakarta (Jawa
Tengah), Surabaya (Jawa Timur), juga Jakarta (Batavia).
Terbatasnya pertumbuhan dan perkembangan
daerah penyebaran serta sedikitnya jumlah anggota menunjukkan bahwa Ahmadiyah
di Indonesia merupakan organisasi keagamaan yang kurang mendapat pendukung, dan
merupakan organisasi yang kurang berkembang.Hal ini terjadi karena sajak
kehadirannya di Indonesia sudah mendapat tantangan dari mayoritas umat Islam di
Indonesia, terutama para ulama dan organisasi keagamaan.
G. Daftar Pustaka
Azra , Azyumardi ,“Pengantar”, dalam
Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah Di
Indonesia, Yogyakarta:LKIS,2011.
Ihrom, 2010.Kesetaraan Gender Dlam Pandangan Tokoh Ahmadiyah (Studi Pemikiran
Maulana Muhammad Ali & Basyiruddin Mahmud Ahmad). diakses melalui http://digilib.uin-suka.ac.id/6992/ pada 10/12/2014
Nasution,
Harun, Pembaruan Dalam Islam.
Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Pratina, Ikhtiyarini, 2012. Eksistensi
Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Di Yogyakarta Pasca SKB 3 Mentri Tahun 2008
Tentang Ahmadiyah. Di akses melalui http://eprints.uny.ac.id/8715/ pada 10/12/2014
Zulkarnain, Iskandar, Gerakan
Ahmadiyah di Indonesia. Yogyakarta:LKis Printing Cemerlang, 2011
*) Makalah Prarevisi
[1]
Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm.11.
[2]Ibid,
hlm.160-195.
[3]
Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di
Indonesia, (Yogyakarta:LKis Printing Cemerlang, 2011). Hlm. 1.
[4]
Azyumardi Azra ,“Pengantar”, dalam Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah Di Indonesia, (Yogyakarta:LKIS,2011), hal.ix.
[5]
Amrullah Lubis, Strategi Dakwah Gerakan Ahmadiyah Indonesia. Skripsi (Yogyakarta: Fakultas Dakwah UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006),hal.3.
[6]
Pratina Ikhtiyarini, 2012. Eksistensi
Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Di Yogyakarta Pasca SKB 3 Mentri Tahun 2008
Tentang Ahmadiyah. Di akses melalui http://eprints.uny.ac.id/8715/
pada 10/16/2017
[7]Ihrom,
2010.Kesetaraan Gender Dlam Pandangan
Tokoh Ahmadiyah (Studi Pemikiran Maulana Muhammad Ali & Basyiruddin Mahmud
Ahmad). diakses melalui http://digilib.uin-suka.ac.id/6992/ pada 10/16/2017
Komentar
Posting Komentar