MAKALAH USHUL FIQIH
MAQASHID AL-SYARIAH AL-SYATIBI
DosenPengampu:
Dr. M. Roy Purwanto, MA
Disusun Oleh :
Hermansyah
A.
Pendahuluan
Perlu
diketahui bahwa syariah tidak menciptakan hukum-hukumnya dengan kebetulan,
tetapi dengan hukum-hukum itu bertujuan untuk mewujudkan maksud-maksud yang
umum. Kita tidak dapat memahami nash-nash yang hakiki kecuali mengetahui apa
yang dimaksud oleh syara’ dalam menciptakan nash-nash itu. petunjuk-petunjuk
lafadz dan ibaratnya terhadap makna sebenarnya, kadang-kadang menerima beberapa
makna yang ditarjihkan yang salah satu maknanya adalah mengetahui maksud
syara’.
Kaidah-kaidah
pembentukan hukum Islam ini, oleh ulama ushul diambil berdasarkan penelitian
terhadap hukum-hukum syara’, illat-illatnya dan hikmah (filsafat)
pembentukannya diantara nash-nash itu pula ada yang menetapkan dasar-dasar
pembentukan hukum secara umum, dan pokok-pokok pembentukannya secara
keseluruhan seperti juga halnya wajib memelihara dasar-dasar dan pokok–pokok
itu dalam mengistimbath hukum dari nash-nashnya, maka wajib pula memelihara
dasar-dasar dan pokok-pokok itu dalam hal yang tidak ada nashnya, supaya
pembentukan hukum itu dapat merealisasikan apa yang menjadi tujuan pembentukan
hukum itu, dan dapat mengantarkan kepada merealisasikan kemaslahatan manusia
serta menegakkan keadilan diantara mereka.
Dalam
makalah ini nanti akan dibahas berbagai macam hal yang berhubungan dengan
Maqasid al-Syariah, baik mengenai pengertian, macam-macam dan tingkatan dari
Maqasid al-Syariah.
B.
Rumusan Masalah
Dari
berbagai uraian yang telah dijelaskan dalam pendahuluan, penulis tertarik untuk
mengangkat beberapa permasalahan dalam makalah ini, yaitu :
1. Apakah pengertian dari Maqasid
al-Syariah itu?
2. Apa sajakah macam-macam dari Maqasid
al-Syariah?
C.
Pembahasan
1. Pengertian Maqasid al-Syariah
Secara
lughawi maqasid al syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan syari’ah.
Maqasid adalah bentuk jama’ dari maqsud yang berarti kesengajaan atau tujuan.[1]
Syari’ah secara bahasa berarti المواضع تحدر الى الماء yang berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju air ini
dapat dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan.[2]Dalam
karyanya al-Muwafaqat, al-Syatibi mempergunakan kata yang berbeda-beda
berkaitan dengan maqasid al-syari’ah. Kata-kata itu ialah maqasid al-syari’ah,[3]
al-maqasid al-syar’iyyah fi al-syari’ah,[4]dan
maqasid min syar’i al-hukm.[5]
Menurut
al-Syatibi sebagai yang dikutip dari ungkapannya sendiri:
“ Sesungguhnya syariat itu bertujuan untuk
mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.”
Dalam
ungkapan yang lain dikatakan oleh al-Syatibi
“Hukum-hukum disyari’atkan untuk kemaslahatan
hamba."
Jadi,
maqashid merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan sesuatu. Terdapat
berbagai pendefinisian telah dilontarkan oleh ulama usul fiqh tentang istilah
maqasid. Ulama klasik tidak pernah mengemukakan definisi yang spesifik terhadap
maqasid, malah al-Syatibi yang terkenal sebagai pelopor ilmu maqasid[8]
pun tidak pernah memberikan definisi tertentu kepadanya. Namun ini tidak
bermakna mereka mengabaikan maqasid syara' di dalam hukum-hukum syara'.
Berbagai tanggapan terhadap maqasid dapat dilihat di dalam karya-karya mereka.
Kita akan dapati tanggapan ulama klasik yang pelbagai inilah yang menjadi unsur
di dalam definisi-definisi yang dikemukakan oleh ulama mutakhir selepas mereka.
Apa yang pasti ialah nilai-nilai maqasid syara' itu terkandung di dalam setiap
ijtihad dan hukum-hukum yang dikeluarkan oleh mereka. Ini karena nilai-nilai
maqasid syara' itu sendiri memang telah terkandung di dalam al-Quran dan
al-Sunnah.[9]
Ada
yang menganggap maqasid ialah maslahah itu sendiri, sama dengan menarik
maslahah atau menolak mafsadah.Ibn al-Qayyim menegaskan bahwa syariah itu
berasaskan kepada hikmah-hikmah dan maslahah-maslahah untuk manusia di dunia
atau di akhirat.Perubahan hukum yang berlaku berdasarkan perubahan zaman dan
tempat adalah untuk menjamin syariah dapat mendatangkan kemaslahatan kepada
manusia.[10]
Sementara Al-Izz bin Abdul Salam juga berpendapat sedemikian apabila beliau
mengatakan "Syariat itu semuanya maslahah, menolak kejahatan atau menarik
kebaikan…".[11]Ada juga
yang memahami maqasid sebagai lima prinsip Islam yang asas yaitu menjaga agama,
jiwa, akal , keturunan dan harta. Di satu sudut yang lain, ada juga ulama
klasik yang menganggap maqasid itu sebagai logika pensyariatan sesuatu hukum.[12]
Kesimpulannya
maqasid syariah ialah "matlamat-matlamat yang ingin dicapai oleh syariat
demi kepentingan umat manusia". Para ulama telah menulis tentang
maksud-maksud syara’, beberapa maslahah dan sebab-sebab yang menjadi dasar
syariah telah menentukan bahwa maksud-maksud tersebut dibagi dalam dua golongan
sebagai berikut:
a) Golongan Ibadah, yaitu membahas
masalah-masalah Ta’abbud yang berhubungan langsung antara manusia dan
khaliqnya, yang satu persatu nya telah dijelaskan oleh syara’.
b) Golongan Muamalah Dunyawiyah, yaitu
kembali pada maslahah-maslahah dunia, atau seperti yang ditegaskan oleh Al Izz
Ibnu Abdis Salam sebagai berikut:
“Segala
macam hukum yang membebani kita semuanya, kembali kepada maslahah di dalam
dunia kita, ataupun dalam akhirat. Allah tidak memerlukan ibadah kita itu.
Tidak memberi manfaat kepada Allah taatnya orang yang taat, sebagaimana tidak
memberi mudarat kepada Allah maksiatnya orang yang durhaka”.
Akal
dapat mengetahui maksud syara’ terhadap segala hukum muamalah, yaitu
berdasarkan pada upaya untuk mendatangkan manfaat bagi manusia dan menolak
mafsadat dari mereka. Segala manfaat ialah mubah dan segala hal mafsadat ialah
haram. Namun ada beberapa ulama, diantaranya, Daud Azh – Zhahiri tidak
membedakan antara ibadah dengan muamalah.[13]
2. Macam-Macam Maqasid al-Syariah
Beberapa
ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari mensyari’atkan hukum
menjadi tiga kelompok, yaitu:
a) Syariat yang berhubungan dengan hal-hal
yang bersifat kebutuhan primer manusia (Maqashid al- Dharuriyat)
Hal-hal
yang bersifat kebutuhan primer manusia seperti yang telah kami uraikan adalah
bertitik tolak kepada lima perkara, yaitu: Agama, jiwa, akal, kehormatan
(nasab), dan harta. Islam telah mensyariatkan bagi masing-masing lima perkara
itu, hukum yang menjamin realisasinya dan pemeliharaannya. lantaran dua jaminan
hukum ini, terpenuhilah bagi manusia kebutuhan primernya.
1)
Agama
Agama
merupakan persatuan akidah, ibadah, hukum, dan undang-undang yang telah
disyariatkan oleh Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya
(hubungan vertikal), dan hubungan antara sesama manusia (hubungan horizontal).
agama Islam juga merupakan nikmat Allah yang tertinggi dan sempurna seperti
yang dinyatakan dalam Al-Qur’an surat al-Maidah : 3
”pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam
itu jadi agama bagimu”.
Beragama
merupakan kekhususan bagi manusia, merupakan kebutuhan utama yang harus
dipenuhi karena agama lah yang dapat menyentuh nurani manusia. seperti perintah
Allah agar kita tetap berusaha menegakkan agama, seperti firman-Nya dalam surat
Asy-syura : 13.
Artinya
:Diatelahmensyari'atkanbagikamutentang agama apa yang
telahdiwasiatkan-NyakepadaNuhdanapa yang telah Kami wahyukankepadamudanapa yang
telah Kami wasiatkankepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama
danjanganlahkamuberpecahbelahtentangnya. Amatberatbagi orang-orang musyrik agama yang
kamuserumerekakepadanya.Allah menarikkepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nyadanmemberipetunjukkepada (agama)-Nya orang yang kembali
(kepada-Nya).
Agama
Islam juga harus dipelihara dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung
jawab yang hendak meruska akidahnya, ibadah-ibadah akhlaknya,atau yang akan
mencampur adukkan kebenaran ajaran islam dengan berbagai paham dan aliran yang
batil. walau begitu, agama islam memberi perlindungan dan kebebasan bagi
penganut agama lain untuk meyakini dan melaksanakan ibadah menurut agama yang
diyakininya, orang-orang islam tidak memaksa seseorang untuk memeluk agama
islam. hal ini seperti yang telah ditegaskan Allah dalam firman-Nya dalam surat
al-Baqarah : 256.
Artinya
:tidakadapaksaanuntuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan
yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul
tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
2)
Memelihara
Jiwa
Islam
melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman Qisas
(pembalasan yang seimbang), diyat (denda) dan kafarat (tebusan) sehingga dengan
demikian diharapkan agar seseorang sebelum melakukan pembunuhan, berfikir
secara dalam terlebih dahulu, karena jika yang dibunuh mati, maka seseorang
yang membunuh tersebut juga akan mati, atau jika yang dibunuh tersebut cidera,
maka si pelakunya akan cidera yang seimbang dengan perbuatannya.
Banyak
ayat yang menyebutkan tentang larangan membunuh, begitu pula hadist dari nabi
Muhammad, diantara ayat-ayat tersebut adalah :
1) Surat Al-Baqarah ayat 178-179
2) Surat al-an’am ayat 151
3) Surat Al-Isra’ ayat 31
4) Surat Al-Isra’ ayat 33
5) Surat An-Nisa ayat 92-93
6) Surat Al-Maidah ayat 32.
Berikut
ini adalah salah satu contoh ayat yang melarang pembunuhan terjadi di dunia,
yaitu surat Al-Isra’ ayat 33
Artinya : dan janganlah
kamu
membunuh
jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan
suatu
(alasan) yang benar dan
Barangsiapa
dibunuh
secara
zalim,
Maka Sesungguhnya
Kami telah memberi
kekuasaan
kepada
ahli
warisnya,
tetapi janganlah
ahli
waris
itu
melampaui
batas
dalam
membunuh.
Sesungguhnya
ia adalah orang yang mendapat pertolongan.
3)
Memelihara
Akal
Manusia
adalah makhluk yang paling sempurna diantara seluruh makhluk ciptaan Allah yang
lainnya. Allah telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk, dan
melengkapi bentuk itu dengan akal.Untuk menjaga akal tersebut, Islam telah
melarang minum Khomr (jenis menuman keras) dan setiap yang memabukkan dan
menghukum orang yang meminumnya atau menggunakan jenis apa saja yang dapat
merusak akal.
Begitu
banyak ayat yang menyebutkan tentang kemuliaan orang yang berakal dan
menggunakan akalnya tersebut dengan baik. Kita disuruh untuk memetik pelajaran
kepada seluruh hal yang ada di bumi ini, termasuk kepada binatang ternak,
kurma, hingga lebah, seperti yang tertuang dalam surat An-Nahl ayat 66-69.
Artinya :
66. Dan Sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi
kamu. Kami memberimu minum daripada apa yang berada dalam perutnya (berupa)
susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang
yang meminumnya.
67. dan dari
buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik.
Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran
Allah) bagi orang yang memikirkan.
68.
danTuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit,
di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia",
69.
kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu
yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang
bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaranTuhan)
bagi orang-orang yang memikirkan.
4)
Memelihara Keturunan
Untuk
memelihara keturunan, Islam telah mengatur pernikahan dan mengharamkan zina,
menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, sebagaimana cara-cara
perkawinan itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga
perkawinan itu dianggap sah dan percampuran antara dua manusia yang berlainan
jenis itu tidak dianggap zina dan anak-anak yang lahir dari hubungan itu
dinggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya. Islam tak hanya melarang
zina, tapi juga melarang perbuatan-perbutan dan apa saja yang dapat membawa
pada zina.
5)
Memelihara harta benda
Meskipun
pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun Islam juga
mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia sangat tama’ kepada harta
benda, dan mengusahakannya melalui jalan apapun, maka Islam mengatur supaya
jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk itu, Islam
mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai mu’amalat seperti jual beli, sewa menyewa,
gadai menggadai dll.[14]
b) Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang
bersifat kebutuhan sekunder manusia (Maqashid al-Hajiyat)
Hal-hal
yang bersifat kebutuhan sekunder bagi manusia bertitik tolak kepada sesuatu
yangdapat menghilangkan kesempitan manusia, meringankan beban yan gmenyulitkan
mereka, dan memudahkan jalan-jalan muamalah dan mubadalah (tukar menukar bagi
mereka). Islam telah benar-benar mensyariatkan sejumlah hukum dalam berbagai
ibadah, muamalah, dan uqubah (pidana), yang dengan itu dimaksudkan
menghilangkan kesempitan dan meringankan beban manusia.Dalam lapangan ibadah,
Islam mensyariatkan beberapa hukum rukhsoh (keringanan, kelapangan) untuk
meringankan beban mukallaf apabila ada kesullitan dalam melaksanakan hukum
azimah (kewajiban). contoh, diperbolehkannya berbuka puasa pada siang bulan
ramadhan bagi orang yang sakit atau sedang bepergian.
Dalam
lapangan muamalah, Islam mensyariatkan banyak macam akad (kontrak) dan urusan
(tasharruf) yang menjadi kebutuhan manusia. seperti, jual beli, syirkah
(perseroan), mudharobah (berniaga dengan harta orang lain) dll.
c) Syariat yang berhubungan dengan hal-hal
yang bersifat kebutuhan pelengkap manusia (Maqashid al-Tahsini)
Dalam
kepentingan-kepentingan manusia yang bersifat pelengkap ketika Islam
mensyariatkan bersuci (thaharah), disana dianjurkan beberapa hal yang dapat
menyempurnakannya. Ketika Islam menganjurkan perbuatan sunnat (tathawwu’), maka
Islam menjadikan ketentuan yang di dalamnya sebagai sesuatu yang wajib baginya.
Sehingga seorang mukallaf tidak membiasakan membatalkan amal yang
dilaksanakannya sebelum sempurna .Ketika Islam menganjurkan derma (infaq),
dianjurkan agar infaq dari hasil bekerja yang halal. Maka jelaslah, bahwa
tujuan dari setiap hukum yang disyariatkan adalah memelihara kepentingan pokok
manusia, atau kepentingan sekundernya atau kepentingan pelengkapnya, atau
menyempurnakan sesuatu yang memelihara salah satu diantara tiga kepentingan
tersebut.[15]
D.
Kesimpulan
Maqasid
syariah ialah matlamat-matlamat yang ingin dicapai oleh syariat demi
kepentingan umat manusia.
Beberapa
ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari menasyri’atkan
hukum menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Syariat yang berhubungan dengan hal-hal
yang bersifat kebutuhan primer manusia. Kebutuhan primer ini dibagi menjadi
lima, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta
2. Syariat yang berhubungan dengan hal-hal
yang bersifat kebutuhan sekunder manusia. Kebutuhan ini yang dapat memperlancar
hubungan antar manusia, seperti muamalah, mubadalah ibadah secara horizontal,
dll.
3. Syariat yang berhubungan dengan hal-hal
yang bersifat kebutuhan pelengkap manusia.
Daftar Pustaka
Abdul Wahab Khallaf,
Kaidah-kaidah Hukum Islam Abdul Wahab Khallaf, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1996
Hammad al-Obeidi,
al-Syatibi wa Maqasid al-Syariah, Mansyurat Kuliat al-Da'wah al-Islamiyyah,
Tripoli, cet. Pertama, 1401H/1992
Ibn Qayyim
al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996,
jilid 3
Ismail
Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Bumi aksara, Jakarta, 1992
Khairul
Umam dan Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Pustaka Setia, Bandung, 2001
Muhammad
Fathi al-Duraini, al-Manahij al-usuliyyah, Beirut, Muassasah al-Risalah, 1997
Nuruddin
Mukhtar, al-Khadimi, al-Ijtihad al-Maqasidi,Qatar , 1998
*) Makalah Prarevisi
[1] Hans Wehr, A Dictionary
of Modern Written Arabic, J. Milton Cowan (ed)(London: Mac Donald &Evan
Ltd, 1980), hlm. 767
[2]Ibn
Mansur al-Afriqi, Lisan al-‘Arab, Dar al-Sadr, Beirut, hlm.175
[8]Hammad al-Obeidi,
al-Syatibi wa Maqasid al-Syariah, Mansyurat Kuliat al-Da'wah al-Islamiyyah,
Tripoli, cet. Pertama, 1401H/1992M, m.s. 131
[10]Ibn Qayyim al-Jauziyyah,
I'lam al-Muwaqqi'in, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996M, jil.3, m.s.37
[15]Abdul
Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Abdul Wahab Khallaf, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1996, hlm 333-343
Komentar
Posting Komentar