FENOMENOLOGI
Oleh:
Imam Satria
Irham Sya’roni
Khoirunnisa
Khotibul Umam
A.
Pendahuluan
Secara etimologi, fenomenologi
terbentuk dari kata fenomenon dan logos. Kata fenomenon
berarti sesuatu yang menggejala, yang menampakkan diri, sedangkan logos
berarti ilmu. Fenomenologi memiliki akar kata Fenomen, Inggris: Phenomenon;
Yunani: Phainomenon (apa yang tampak) dari Phaonesthai/Phainomai/Phainein
(menampakkam, memperlihatkan). Secara terminologi fenomenologi ialah ilmu
tentang fenomena atau pembahasan tentang sesuatu yang menampakkan diri. Dengan
begitu, semua wilayah fenomena (realitas) yang menampakkan diri (manusia,
gejala sosial-budaya, atau objek-objek lain) dapat dikatakan sebagai objek kajian fenomenologi.
Kata kunci dari fenomenologi adalah apa yang kita pahami, yang tampak dan masuk
di kesadaran.
Fenomenologi mempunyai
tokoh besar yaitu Edmund Gustav Albercht Husserl dengan transendental
fenomenologi. Sementara pelanjutnya, murid Husserl, yakni Martin Heidegger
mengembangkan jenis filsafat fenomenologi yang berbeda, yaitu hermeunetik fenomenologi/interpretis
fenomenologi; dan Merleau Ponty dengan eksistensial fenomenologi pada abad XX. Husserl
mengupayakan fenomenologi sebagai metode ketat untuk memperoleh teori yang
benar dan pasti seperti kepastian matematik.
Kemunculan istilah
fenomenologi bermula dari Immanuel Kant (1724-1804) dan George Wilhelm
Friedrich Hegel (1770-1831). Fenomenologi hikmah besarnya adalah
membersihkan kacamata agar penglihatan kita jernih ketika melihat realitas.
B.
Biografi
Husserl
1.
Riwayat hidup
Edmund
Gustav Albercht Husserl lahir pada tahun 1859 di kota Proznitz daerah Moravia,
yang waktu itu di bawah kekaisaran Austria-Hongaria dan sejak Perang Dunia I
masuk wilayah Cekoslowakia. Husserl meninggal di Freiburg Breisgau, Jerman,
pada tahun 1938.
Husserl merupakan seorang
filsuf keturunan Yahudi. Masa mudanya dilalui antara lain dengan belajar
astronomi, filsafat, matematika di Leipzig Berlin, tempat ia memperoleh gelar
doktor filsafat dengan disertasi mengenai filsafat matematik, dengan
disertasinya yang berjudul “Beiträge zur Variationsrechnung” (1883). Dari
tahun 1884-1886 Husserl muda mengikuti pelajaran Brentano di Wina. Franz
Brentano pada saat itu seorang filsuf
yang berpengaruh dengan memainkan peran penting di Universitas Wina dengan
mengelaborasi pemikiran Skolastik dengan empirisme. Kelak pengaruh pemikiran Brentano pada Husserl
terlihat pada konsep intensionalitas yang menjadi salah satu pemikiran penting
dari Husserl. Akhirnya Husserl menjadi dosen (Privatdozent) di Halle (1887-1901). Tahun 1901 diangkat
menjadi professor di Goetingen (1901-1916) dan waktu inilah pemikirannya
tentang fenomenologi mencapai kematangan. Pada
tahun 1916 Husserl
memenuhi undangan menjadi professor di Universitas Freiburg im Breisgau. Di antara mahasiswanya
adalah Max Scheller dan Martin Heidegger. Pemikiran fenomenologi Husserl telah
memengaruhi filsafat abad XX dengan sangat mendalam.
2.
Karya-karya
Husserl
Husserl
banyak menulis manuskrip (50.000 lembar tulisan) mengenai fenomenologi, namun
sedikit yang diterbitkan pada waktu hidupnya. Adapun tulisan-tulisan pribadi
Husserl yang tersimpan di Universitas Leuven (Belgia), pada saat itu khawatir
diambil/dibakar oleh rezim Nazi, antara lain:
a.
Logishe
Untursuchugen (1900-1901) tentang penelitian Logika.
Dalam buku tersebut Husserl menunjukkan posisi independennya.
b.
Ideen zu
Reinen Phanomenologie und phonomenologischen Philosophie (1913) tentang
gagasa-gagasan Fenomenologi murni dan Filsafat Fenomenologi.
c.
Cartesianischen
Meditationen (1931).
d.
Die Krisis der
europaischen Wissenschaften und die transendentale phenomenologie (1938)
tentang krisis dalam ilmu-ilmu pengetahuan di Eropa dan Fenomenologi
Transendental.
3.
Kritik atas Ilmu
Pengetahuan Modern (Positivisme)
Positivisme memandang
ilmu hanya sekadar tentang fakta-fakta. Dengan kata lain, positivisme membatasi
ilmu pengetahuan pada gejala fisis dan ini merupakan suatu reduksionisme. Masalah
yang berkaitan dengan eksistensi rasional, emosional, makna, dan tujuan hidup
manusia dilenyapkan dengan alasan bahwa hal itu tidak dapat diverifikasi
melalui metode ilmiah.
Dalam bidang psikologi, aliran yang menerapkan cara pandang positivisme ini, di
mana subjek direduksi menjadi fakta-fakta biologis, adalah seperti psikologi
Behaviorisme (Pavloy, Watson,
dan Skinner). Fenomenologi menolak pandangan reduksionisme itu (melihat manusia
sebagai fakta objektif) menolak pandangan yang menyamakan manusia dengan alam.
Pandangan seperti ini disebut oleh Husserl dengan “naturalisme”.
Naturalisme adalah pandangan filosofis
yang menjadi sikap ilmiah positivisme yang melihat segala sesuatu sebagai alam
yang diatur oleh hukum-hukum alam secara universal. Positivisme menggunakan
metode empiris-matematis, suatu metode yang mengabstraksikan alam lalu
menganggap hasil abstraksi itu sebagai realitas objcktif (realitas apa adanya).
Salah satu konsekuensi dari naturalisme adalah suatu sikap yang memandang semua
hukum dan prinsip yang mengatur kegiatan berpikir manusia sebagai “fenomena fisis” semata.
Positivisme
menurut Husserl telah “membunuh” filsafat. Alasannya, karena paradigma positivisme
tidak mampu melihat kesadaran, makna Epoche hidup, dan motivasi sebagai pemberi
makna pada fakta fisis (tingkah laku). Positivisme telah mengubah Lebenswelt
sedemikian rupa sehingga kita alam
feno mengalami kesulitan untuk melihat benda-benda sebagaimana aslinya. Istilah ini di Husserl menolak pandangan positivisme (objektivisme) ini, karena secara nyata pandangan
itu mengabaikan peran manusia (dimensi subjek) dalam menciptakan ilmu
pengetahuan. Dimensi subjek dalam pandangan ini menjadi objek (benda) semata.
Dengan demikian, positivisme tidak memungkinkan perkembangan ilmu yang mampu
melihat manusia secara utuh dan rasional.
Padahal objektivitas, yang didamba-dambakan oleh positivisme itu sendiri
merupakan hasil dari fungsi subjektif. Artinya, apa yang disebut empiris atau
objektif itu ditentukan berdasarkan nilai-nilai ditentukan oleh subjek. Lagi pula tidak ada objek tanpa ada yang disebut subjek, demikian pula sebaliknya.
C.
Fenomenologi
Perspektif Husserl
1.
Epoche
Epoche
(penundaan) merupakan salah satu konsep penting dalam fenomenologi Husserl,
yakni ketika seseorang mampu membebaskan dirinya dari praduga-praduga atau
penilaian-penilaian atau pengandaian-pengandaian yang mana dapat berbentuk
keyakinan, stigma, stereotipe, teori atau langgam berpikir yang sudah menjadi
kebiasaan (kelaziman). Hal ini oleh Husserl, mesti disimpan atau diletakkan di dalam tanda kurung
[()]. Maksud disimpan atau diletakkan di dalam tanda kurung bukanlah menafikan
atau menyingkirkan hal-hal yang terdapat di dalam tanda kurung tersebut, melainkan menunda atau
mengosongkan diri dari praduga, penilaian atau pengandaian tadi. Dengan kata
lain tanpa memberi keterangan benar-salah terlebih dahulu kepada fenomena yang
muncul atau tampak. Tujuannya, agar keterangan yang tampak dalam fenomena itu
benar-benar asli, genuine atau tidak terlebih dahulu dicampuri oleh
praduga, pengandaian ataupun penilaian pengamat.
2.
Reduksi
Apabila
epoche bertujuan agar keterangan yang tampak dalam fenomena tersebut benar-benar
asli atau tidak dicampuri oleh penilaian pengamat agar mendapatkan hakikat, dan
dalam rangka untuk memunculkan hakikat tersebut, maka epoche (metode penundaan)
mengisyaratkan reduksi-reduksi (penyaringan-penyaringan) tertentu. Menurut
Husserl, ada tiga reduksi yang dapat digunakan, yaitu:
a.
Reduksi
Fenomenologis
Sikap menyisihkan
(penyaringan) pengalaman pada pengamatan pertama. Maksudnya, setiap pengalaman
pribadi yang bersifat indrawi dan subjektif disaring terlebih dahulu sehingga
pengertian terhadap suatu objek tidak terdistorsi oleh praduga, penilaian,
pra-anggapan, pra-teori, dan pra-konsepsi.
b.
Reduksi
Eidetis
Sikap untuk menemukan eidos
(esensi) yang tersembunyi. Adapun hasil reduksi ini adalah pemilihan hakikat
yang sebenarnya dan bukan sesuatu yang sifatnya asesoris atau imajinatif
semata.
c.
Reduksi Transendental
Fokusnya adalah subjek
itu sendiri. Dengan demikian, reduksi transendental agak berbeda dengan dua
jenis reduksi lainnya, dimana dua reduksi lainnya lebih terkait erat terhadap
pemahaman subjek terhadap objek. Dengan kata lain, reduksi transendental
merupakan subjek yang dihayati oleh kesadaran itu sendiri.
3.
Intensionalitas
Intensionalitas berasal
dari bahasa Latin Intendere, yang mengandung arti mengarah kepada atau keterarahan. Kesadaran selalu
terarah pada suatu objek. Kesadaran yang selalu terarah pada suatu objek inilah
yang dimaksud dengan Intensionalitas. Ada dua istilah yang diperkenalkan oleh
Husserl dari bahasa Yunani yakni Noesis dan Noema. Noesis ialah
tidakan kesadaran. Contohnya: memikirkan, memandang, atau membayangkan.
Sedangka Noema ialah objek kesadaran. Adapun objek kesadaran itu dapat
berbentuk sesuatu yang bersifat fisikal maupun mental. Sementara itu, antara Noesis
dan Noema memiliki hubungan yang bersifat korelatif. Dengan kata lain,
kita bisa mengatakan, “tindakan kesadaran memandang” (noesis) senantiasa
mengarah pada objek pandang (noema).
Terkait intensionalitas, ada aspek penting di dalamnya, yaitu konstitusi.
Konstitusi diartikan sebagai aktivitas kesadaran menuju suatu penampakan
fenomena dalam kesadaran. Dengan kata lain, melalui konstitusi itulah
fenomen-fenomen tampak pada kesadaran kita.
4.
Lebenwelt
Lebenwelt adalah dunia sebagaimana
kita atau saya hayati (dunia-pengalaman/dunia yang dihayati/dunia sehari-hari).
Lebenwelt atau dunia dihayati bukanlah mengacu kepada “dunia nyata” yang
sudah dikategorikan oleh kategori-kategori filosofis atau ilmiah. Akan tetapi, Lebenwelt
adalah dunia yang disadari secara pra-filosofis, pra-ilmiah, dan pra- reflektif.
Menurut Husserl, akibat
kategori-kategori atau penafsiran-penafsiran filosofis dan ilmiah
(naturalisme/objektivisme) tersebut, Lebenswelt menjadi lenyap, Lalu,
bagaimana menemukan kembali dunia yang lenyap itu (Lebenswelt)? Untuk
menemukan kembali Lebenswelt tersebut, Husserl menempuh jalan reduksi, yaitu menempatkan di antara “tanda kurung” (epoche) setiap penafsiran ilmiah
dan filosofis atas dunia tersebut sehingga pada akhirnya muncul suatu dunia
dalam kesadaran atau benda pada dirinya sendiri (tentang reduksi dan epoche). Apa yang lalu disebut dengan reduksi
fenomenologis atau epoche ini cocok dengan adagium Husserl yang termasyhur, yaitu “Kembali kepada benda-benda itu sendiri/Zurück
zu den Sachen selbst”.
Dengan kata lain, Lebenswelt tersebut ditemukan kembali dengan intuisi
atau kesadaran langsung yang menangkap dunia itu.
Gambar istilah-istilah penting dalam fenomenologi Husserl |
D.
Perbedaan Fenomenologi Husserl dengan
Pendahulunya
Sebelum
istilah fenomenologi digunakan oleh Husserl, istilah tersebut sebelumnya telah digunakan oleh Immanuel Kant
(1724-1804) dan George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831).
1.
Immanuel Kant (1724-1804)
Immanuel Kant dilahirkan
pada tahun 1724 di Konigsberg. Kant
menempuh pendidikan dasar di Saint George's Hospital School, kemudian
melanjutkan ke Collegium Fredericianum. Pada tahun 1740, Kant menempuh pendidikan di Universitas Konigsberg dan mempelajari filsafat, matematika, dan ilmu alam. Pada tahun 1755-1770,
Kant bekerja sebagai dosen sambil memublikasikan beberapa naskah ilmiah
dengan topik yang beragam. Gelar profesor didapatkan Kant di
Konigsberg pada tahun 1770.[1]
Seperti
yang diketahui, konsepsi Kant tentang pengetahuan manusia adalah suatu proses
sintesa antara apa yang ia sebut dengan apriori dan aposteriori. Yang pertama
merupakan aktivitas rasio yang aktif dan dinamis dalam membangun, dan berfungsi
sebagai bentuk (form) pengetahuan, sedangkan yang kedua merupakan
cerapan pengalaman yang berfungsi sebagai isi (matter) pengetahuan yang
terdiri dari fenomena objek. Karena rasio bersifat aktif dalam mengkonstruk
fenomena menjadi pengetahuan sesuai dengan kategori rasio, maka pengetahuan manusia
menurut Kant tidak mungkin menjangkau noumena. Melihat warna merah,
misalnya tidak lain adalah hasil cerapan indrawi yang membentuk pengalaman
batin yang diakibatkan oleh sesuatu dari luar. Warna merah itu sendiri merupakan
realitas yang tidak dikenal pada diri sendiri (in se). Ini berarti
kesadaran kita tertutup dan terisolasi dari realitas. Kant mengakui adanya
realitas eksternal yang berada di luar diri manusia, yaitu sebuah realitas yang
ia sebut das Ding as Sich (objek pada dirinya sendiri) atau noumena,
tetapi menurutnya, manusia tidak ada sarana ilmiah untuk mengetahuinya.
Fenomena
pada Kant mengacu pada apa yang tampak, dan sesuatu yang tampak itu dapat
dipahami dan dimengerti. Fenomena merupakan hasil konstruksi subjek yang
mengetahui terhadap objek (fenomena) yang diketahui. Di sini Kant membedakan
“fenomena” dengan “noumena”. Fenomena sebagai realita yang dapat diketahui,
dapat diobservasi, sedangkan noumena adalah hakikat realitas yang berada di
balik fenomena (metafisik). Karena noumena itu berada di luar jangkauan
pengamatan, maka menurut Kant, kita tidak dapat memahaminya karena tidak ada
jalan masuk indrawi ke noumena itu. Jadi, fenomenologi pada Kant adalah bentuk
epistemologi yang meyakini kemungkinan untuk mengetahui fenomena saja dan bukan
noumena (das Ding an sich). Konsekuensi pandangan ini: segala sesuatu
yang berada di luar jangkauan pengamatan langsung dianggap berada di luar
kajian (wilayah) ilmu pengetahuan. Adapun pada Kant, kesadaran dianggap
tertutup dan terisolir dari realitas, tidak terkait dengan faktor
sosial-historis. Dengan demikian, kesadaran mengenal diri sendiri dan melalui
itu pula kita mengenal realitas.
2.
George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831)
George
Wilhelm Friedrich Hegel adalah seorang filsuf idealis
Jerman yang
lahir di Stuttgart, Wurttemberg (Jerman barat daya) pada 27 Agustus 1770. Hegel dikenal sebagai filsuf yang
menggunakan dialektika sebagai metode berfilsafat. Dialektika menurut Hegel
adalah dua hal yang dipertentangkan lalu didamaikan, atau biasa dikenal dengan
tesis (pengiyaan), antitesis (pengingkaran) dan sintesis (kesatuan
kontradiksi).[2] Di
samping itu filsafat Hegel juga sering disebut sebagai puncak idealisme Jerman.
Filsafatnya banyak diinspirasikan oleh Imanuel Kant dengan filsafat ilmunya.
Hegel
mengemukakan istilah fenomenologi melalui bukunya The Phenomenolgy of Spirit
(1806). Bagi Hegel seluruh fenomena hanyalah penampakan diri dari akal yang
tidak terbatas (Roh Absolut). Dalam pandangan idealisme Hegel, seluruh fenomena
dalam berbagai keragamannya, sesungguhnya tetap didasarkan pada satu esensi
atau kesatuan dasar (geist atau spirit). Hegel menekankan adanya
hubungan antara esensi (hakikat) dan penampakan (fenomena) yang teramati. Bagi
Hegel tidak ada pertentangan antara fenomena dengan noumena, tidak ada
pertentangan antara yang dapat diamati (empiri) dengan yang dapat dipikirkan
secara rasional. Tesis Hegel yang paling terkenal adalah “yang nyata” adalah
sama dengan “yang dipikirkan” atau “pikiran sama dengan kenyataan”.
E.
Perbedaan
Fenomenologi Husserl dengan Pelanjutnya
1.
Martin
Heidegger (1889-1976)
Heidegger menyebut fenomenologinya sebagai “fenomenologi
hermeneutika”. Namun, terkadang disebut
juga sebagai “analisis
eksistensial”, lantaran
fokus
pengamatan Heidegger atau fenomenologinya adalah diarahkan kepada dunia manusia, yang dalam istilah Heidegger disebut in-der-welt-sein (“ada-dalam-dunia”).
“Ada-dalam-dunia”
menunjukkan keterlibatan (concerned with), keterikatan (preoccupation),
komitmen (commitment), dan keakraban (familiarity) manusia dengan
lingkungan alam dan budayanya.
Bagi
Heidegger, struktur “ada-dalam-dunia” perlu dipahami dan diungkap maknanya. Inilah
musabab “ada-dalam-dunia” bagi Heidegger merupakan realitas yang sebenarnya,
dimana pengetahuan bersifat “praktis” dan bukan “teoritis”. Atas dasar itulah
Heidegger, dalam bukunya Sein und Zeit, mencoba mempertanyakan masalah
mendasar tentang “mengada” (Dasein). Di antara yang ia pertanyakan
adalah siapa saya, dari mana dan hendak ke mana saya, untuk apa hidup saya, dan
pertanyaan-pertanyaan lain menyangkut Dasein. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut selalu menjadi problem yang tidak pernah usai. Ini juga mengisyaratkan
bahwa berada dalam dunia bagi manusia tidak sama dengan benda-benda. Dengan
kata lain, manusia sebagai Dasein berbeda dengan “mengada-mengada” lain,
seperti hewan, meja, korek api, mobil, dan sebagainya. Sebagai Dasein
yang berbeda dengan mengada-mengada yang lain, manusia mempunyai kemampuan
unik/khas, yakni menyadari (mempersoalkan) makna Ada-nya. Hubungan Dasein
dan Ada inilah yang disebut eksistensi.
Tujuan
dari fenomenologi Heidegger adalah untuk mengembangkan suatu metode khusus,
untuk mengajukan dan menjawab pertanyaan tentang “makna Ada” yang telah
dilupakan orang. Tujuan fenomenologi Heidegger ini berangkat dari persoalan utama
yang menghinggapi manusia modern baik secara teoritis maupun praktis, yakni persoalan
“lupa akan makna Ada”. Dari segi teoritis “lupa akan makna Ada” dapat dilihat dari
pelbagai pandangan ilmu pengetahuan atau teori-teori (modern) yang mengabaikan nilai
dan makna eksistensi manusia. Di sini ilmu pengetahuan menjadi “kering tanpa
jiwa” disebabkan menghapus nilai, tujuan, serta makna hidup dari eksistensi
manusia. Sementara dari segi praktis “lupa akan makna Ada” ditandai dengan
gejala-gejala seperti rutinitas, kedangkalan hidup, serta ketidakautentikan dalam
menjalankan kehidupan.
Terkait
dengan metode yang dikembangkan, Heidegger mengemukakan bahwa pelbagai
pendekatan dalam ilmu dan filsafat yang selama ini digunakan tidak pernah
terlepas dari asumsi-asumsi metafisis yang mengasalkan “Ada” (Sein) itu
dari “adaan” (sciende). Heidegger kemudian melakukan “dekonstruksi
metodologis”, yakni dengan kembali pada fenomena itu sendiri yang oleh
Heidegger disebut “kembali pada realitas pertama dan sebenarnya”. Untuk sampai
pada fenomena seperti ini, menurut Heidegger, diperlukan metode yang disebutnya
“interpretasi” (Auslegung). Interpretasi ini diperlukan untuk menggali
dan mengangkat ke permukaan setiap makna dari gejala ada. Dari sinilah
Heidegger menyebut fenomenologi sebagai metode intepretasi
(fenomenologi-hermeneutik), yang digunakan untuk mengungkap makna tersembunyi
dari eksistensi (manusia).
2.
Merleau
Ponty (1908-1961)
Merleau
Ponty, dalam bukunya Phenomenology of Perception, Ponty mengemukakan beberapa
pengertian fenomenologi sebagaimana tertuang dalam tabel berikut.
No.
|
Pengertian Fenomenologi
|
1.
|
Fenomenologi
adalah pembahasan mengenai esensi. Oleh karena itu, semua masalahnya bertumpu
pada merumuskan definisi esensi, seperti: esensi persepsi, esensi kesadaran,
dan lain-lain.
|
2.
|
Fenomenologi
adalah filsafat yang mengembalikan esensi ke keberadaannya dan merumuskan
tentang manusia dan dunia bertolak dari fakta dan keberadaannya saja.
|
3.
|
Fenomenologi
merupakan satu filsafat transendental yang sengaja menunda
kepastian-kepastian (assertion) yang timbul dari sifat natural (natural
attitude) agar dapat menghayatinya dengan lebih sempurna.
|
4.
|
Fenomenologi
merupakan filsafat yang menerima kenyataan bahwa dunia telah tersedia sebelum
melakukan usaha perenungan tentang dunia itu. Keberadaan dunia itu diterima
sebagai sesuatu yang tidak dapat dipungkiri atau dibuang.
|
5.
|
Seluruh
usaha fenomenologi terpusat pada peletakan kembali hubungan langsung dengan
dunia itu, secara langsung dalam iklim primitif, akan tetapi kontak itu
dilakukan secara filosofis (with a philosophical status).
|
6.
|
Fenomenologi
merupakan filsafat yang ingin menjadi filsafat yang rigorus dan sekaligus
memberi peluang untuk ruang, waktu, dan dunia yang di dalamnya kita berada.
|
7.
|
Fenomenologi
mencoba memberi satu deskripsi langsung mengenai pengalaman kita (manusia) seadanya,
tanpa mempertimbangkan segi-segi asal-usul psikologis dan tanpa menerima
keterangan tentang penyebab yang mungkin dapat diberikan oleh ilmuwan,
sejarawan, sosiolog, atau pengaat lainnya.
|
a.
Menolak Pandangan Dualisme
Salah satu
hal utama dalam fenomenologi Ponty adalah menolak pandangan dualisme. Pandangan
ini menempatkan jiwa (kesadaran) dan tubuh sebagai dua realitas yang terpisah, dan
jiwa dianggap lebih unggul, baik, dan sejati daripada tubuh. Bagi Ponty, jiwa
(kesadaran) dan tubuh adalah kesatuan utuh. “Kasus Shneider” bisa menjadi salah
satu suguhan untuk memahami pemikiran Ponty ini. Shneider adalah seorang
veteran Perang Dunia I yang terluka di bagian otaknya. Akibat dari luka itu Shneider
mengalami gejala-gejala yang tidak lazim dijumpai pada manusia normal, seperti
persepsinya terbatas pada apa yang sedang ia amati. Ketika dokter memintanya menggerakkan
lengan, Shneider tidak mampu menggerakkannya. Namun, ketika Shneider mengamati lengannya
secara visual, ia tidak kesulitan untuk menggerakkannya. Kasus Shneider ini
menunjukkan adanya manusia yang terganggu dalam “penghayatan dirinya sebagai
tubuh”.
b.
Persepsi
Salah satu konsep penting dalam
memahami fenomenologi Ponty adalah persepsi, yang dalam pengertian fenomenologi
Ponty diartikan sebagai suatu intensi dari seluruh ada kita, yaitu suatu cara
mengada yang terletak dalam dunia pra-objektif yang disebut
“berada-di-dalam-dunia”. Dalam memahami persepsi sebagai intensi dari seluruh
cara mengada kita di dunia, tubuh manusia dapat pula dipahami sebagai
“tubuh-subjek”. Tubuh-subjek ini dipahami berbeda dengan “tubuh-objek”. Bila
tubuh-objek berarti tubuh sejauh “aku” mengambil jarak terhadapnya atau
menontonnya sebagai objek, tubuh-subjek adalah tubuh yang kuhayati atau belum
dikonseptualisasikan oleh pandangan-pandangan fisiologis dan sebagainya. Pada
tubuh subjek ini ada kesatuan utuh antara tubuh dan jiwa (kesadaran), atau
dengan kata lain ada kesatuan utuh antara “tubuh yang menyadari” dan kesadaran
yang menubuh”.
Phantom limb atau tungkai hantu bisa dijadikan contoh tentang adanya
pertautan antara persepsi dan tubuh. Phantom limb atau tungkai hantu
adalah pengalaman seorang pasien yang kaki dan tangannya telah diamputasi namun
pasien masih merasakan pengindraan-pengindraan pada bagian yang hilang itu. Gejala
ini tidak dapat dipahami dalam pandangan “tubuh-objek”, tetapi dalam pandangan
“tubuh-subjek”. Ponty menganalogikannya dengan seseorang yang merasakan
kehadiran sahabat dekatnya walaupun sang sahabat telah lama tiada. Pengalaman
semacam itu terjadi lantaran yang tiada itu tetap dihayati dalam cakrawala
kehidupan subjek, yaitu dalam Lebenswelt-nya.
3.
Perbedaan Fenomenologi Husserl dengan Heidegger dan Ponty
Perbedaan
mendasar antara fenomenologi Husserl dengan fenomenologi Heidegger dan Ponty
adalah, di antaranya:
a.
Husserl mengajukan beberapa tahapan reduksi untuk sampai kepada esensi.
Sementara pada fenomenologi Heidegger maupun Ponty, mereka menolak atau
mengabaikan reduksi-reduksi Husserl tersebut.
b.
Pada fenomenologi Husserl masih ada tujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang
dunia sebagaimana adanya (esensianya). Namun, pada Heidegger dan Ponty tidak
ada lagi bertujuan semacam itu.
Kedua
tokoh ini melihat orang-orang dan dunia dengan sikap biasa (memilih eksistensi
daripada esensi).
Walaupun
berbeda, ketiga tokoh fenomenologi tersebut memiliki titik persamaan utama
yaitu sama-sama memikirkan bagaimana menjembatani kesenjangan antara pengalaman
subjektif dan objektif (dualisme).
F.
Fenomenologi dan Ilmu-Ilmu Sosial-Kemanusiaan
Bagaimana melihat kaitan antara fenomenologi dan ilmu-ilmu
sosial kemanusiaan?
Seperti yang diketahui, objek dan karakteristik ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan
(Geisteswissenschaften) berbeda
dengan objek ilmu-ilmu alam (Naturwissenchaften). Objek pada
ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan adalah lengkap dengan dinamikanya (pengalaman,
pikiran, kehendak, kesadaran, kebebasan, dan lain sebagainya) yang tidak dapat diseragamkan (universal) satu sama
lain. Sementara pada ilmu-ilmu alam, dimana objeknya adalah benda-benda fisik, relatif lebih dapat diperlakukan
sama. Di sinilah maka diperlukan
perlakuan yang tidak sama antara metode pada ilmu-ilmu alam dengan metode pada
ilmu-ilmu sosial kemanusiaan, karena adanya perbedaan ontologis yang sangat mendasar antara objek
masing-masing metode tersebut.
Saat ini fenomenologi sebagai metode (Verstehen)
untuk kajian ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan sudah makin berkembang dan kerap digunakan misalnya
untuk kajian perempuan dan postcolonial. Metode etnometodologi, metode
etnografi, metode dekonstruksi, metode semiotika, metode analisis wacana, yang
merupakan metode popular di kalanagan peneliti budaya kekinian, sebetulnya juga
merupakan varian dari metode fenomenologi.
G.
Fenomenologi
dan Psikologi
Psikologi adalah salah satu bidang ilmu yang juga tidak terlepas dari
pengaruh fenomenologi. Misalnya ditandai dengan kemunculan psikologi eksistensial atau psikologi
humanistik dengan tokoh terkenalnya Abraham Maslow. Abraham Maslow awalnya adalah
seorang penganut
behaviorisme yang melakukan penelitian pada kera dan menulis disertasi di bawah
bimbingan Harry Harlow tentang ciri-ciri seksual dan dominasi kera. Namun kemudian
dia meninggalkan pandangan behaviorisme. Pendekatan dan asumsi psikologi humanistik ini tentang manusia
berbeda dengan psikologi behaviorisme. Bila psikologi behaviorisme (Wundt, Skinner, Pavlov) lebih
menggunakan pendekatan empiris-eksperimental atau kuntitatif dan menyamakan manusia di mana saja (bahkan
memiliki gejala yang sama dengan spesies yang lain seperti hewan), maka
psikologi humanistik lebih melihat manusia sebagai sesuatu khas, unik, dan tidak dapat diperlakukan
sama. Pergeseran pemikiran Maslow tersebut terlihat ketika ia mengajukan teori
motivasi pada tahun 1943. Dalam bukunya dia mengemukakan tentang tataran kebutuhan manusia (fisiologi,
rasa aman, cinta danrasa memiliki, rasa harga diri, dan aktualisasi diri)
sebagai hasil penelitian dengan menggunakan metode kualitatif (fenomenologi).
Psikologi humanistik Maslow ini juga memuat tema-tema eksistensi sebagaimana dikemukakan kaum
eksistensitalis. Oleh karena itu, jika diperhatikan, psikologi eksistensitas/humanistik ini tumbuh dari dua
gerakan filsafat, yaitu di samping fenomenologi, yang lainnya adalah
eksistensialisme.
Seperti dikatakan tadi, Maslow adalah tokoh sentral dari psikologi
humanistik. Dalam bahasa Maslow, psikologi humanistik ini disebut juga Mazhab Ketiga
lantara berbeda dengan pandangan psikologi lain, seperti psikoanalisa
atau behaviorisme. Kedua aliran dalam psikologi yang disebut terakhir ini,
lebih cenderung melihat manusia dengan sifat reduksionistik, deterministik, dan mekanistik. Adapun
psikologi humanistik memiliki ciri dan pandangan yang berbeda dengan kedua cara pandang dua
aliran psikologi tersebut. Di sini akan ditampilkan dalam bentuk tabel beberapa ciri-ciri
psikologi humanistik dan bagaimana psikologi humanistik (asumsinya) memandang manusia.
Tabel ciri-ciri Psikologi Humanistik
No.
|
Ciri-ciri
Psikologi Humanistik
|
1.
|
Memusatkan perhatian
pada person yang mengalami
|
2.
|
Menekankan pada
kualitas-kualitas yang khas manusiawi seperti kesadaran, kebebasan memilih, kreativitas
dan realisasi sebagai lawan dari manusia yang mekanistik dan deterministik
|
3.
|
Menekankan arti dan
makna dalam pemilihan masalah dan prosedur penelitian dan menolak penekanan
yang berlebihan pada objektivitas yang mengabaikan diri
|
4.
|
Menempatkan nilai
kemanusiaan pada tempat yang tinggi, memperhatikan pengembangan
potensi-potensi yang inhern pada setiap individu, dan membantu individu
menempatkan diri di tengah masyarakat
|
Tabel asumsi Psikologi
Humanistik tentang manusia
No.
|
Asumsi Psikologi
Humanistik Tentang manusia
|
1.
|
Manusia adalah makhluk
yang memiliki kebebasan yang lebih kuat daripada determinisme
|
2.
|
Manusia adalah makhluk
rasional
|
3.
|
Manusia adalah makluk
yang utuh
|
4.
|
Manusia berada antara
menentukan diri dan pengaruh lingkungan
|
5.
|
Manusia dalah makhluk
yang mengalami perubahan
|
6.
|
Subjektivitas lebih
dominan dari objektivitas
|
7.
|
Manusia cenderung
proaktif dari pada reaktiv
|
8.
|
Manusia berada dalam
ketegangan antara homoestesis dan heteroestesis
|
9.
|
Manusia tidak dapat
diketahui sepenuhnya
|
Daftar Pustaka
Lubis, Akhyar Yusuf. Filsafat Ilmu Klasik
Hingga Kontemporer. Jakarta: Rajawali Press, 2014.
https://id.wikipedia.org/wiki/Immanuel_Kant
https://id.wikipedia.org/wiki/Georg_Wilhelm_Friedrich_Hegel
kalau boleh tahu jenis tullisannya apa ya pak, bagus pak tulisannya rapi
BalasHapus