PEMIKIRAN AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN DAN RELEVANSINYA DENGAN
PENDIDIKAN DI ERA GLOBAL
Oleh:
Irham Sya’roni
Dosen Pengampu Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam:
Prof. Dr. H. Maragustam Siregar, M.A.
A.
Pendahuluan
Mendiskusikan
pendidikan Islam tanpa menyebut nama al-Ghazali tentu tidaklah lengkap. Dia
adalah seorang ulama besar, ilmuwan, dan pemikir yang produktif menelurkan karya-karya
ilmiah dalam berbagai bidang, seperti teologi, filsafat, tasawuf, akhlak, pendidikan,
dan lainnya. Al-Ghazali bergumul langsung dengan pendidikan melalui karyanya Ihya’
‘Ulum al-Din dan Ayyuha al-Walad. Kedua karya besar ini ditulis
setelah al-Ghazali sembuh dari krisis spiritual/kejiwaan yang dialaminya
sebelum 448 H. Pengalaman spritiual itu berpengaruh kuat pada pemikiran al-Ghazali
yang lebih mengedepankan “pembersihan jiwa dari noda-noda akhlak dan sifat tercela.
Sebab, ilmu itu merupakan bentuk ibadah hati, shalatnya nurani, dan pendekatan
jiwa menuju Allah Swt.”[1]
Buah
pengalaman spiritual al-Ghazali tercermin pula dalam dua hal utama yang ia kemukakan sebagai tujuan
akhir dari pendidikan, yaitu tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada
pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani yang bermuara pada
kebahagiaan dunia dan akhirat.[2] Berdasarkan pencermatan terhadap pemikiran
al-Ghazali tersebut, tidak salah jika kemudian para sarjana dan ilmuwan menempatkan
sang hujjatul Islam ini sebagai representasi dari tokoh konservatif
religius dalam bidang pemikiran pendidikan Islam. Pemikiran pendidikan
al-Ghazali dapat diungkap dari berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan,
yaitu aspek tujuan pendidikan, kurikulum, kode etik guru/pendidik dan peserta
didik, dan metode pengajaran.
Melacak dan memahami
pemikiran tokoh tidak bisa lepas dari kondisi sosiokultural dan psikologis yang
melingkupi tokoh tersebut. Pun terhadap pemikiran al-Ghazali, untuk mendapatkan
gambaran lengkap mengenai pemikirannya, menelisik kondisi sosiokultural dan psikologis
al-Ghazali merupakan keniscayaan. Untuk itulah dalam makalah ini, sebelum mengemukakan
pemikiran pendidikan al-Ghazali terlebih dahulu diungkap sketsa biografi
al-Ghazali dan kondisi sosiokulturalnya. Selanjutnya, sebagai tindak lanjut
dari penelisikan terhadap pemikiran al-Ghazali, akan dicari benang merahnya atau
relevansinya dengan tantangan pendidikan Islam di tengah turbulensi arus
global.
B.
Sketsa Biografi al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Di dunia Barat ia lebih dikenal dengan sebutan
“Algazel”. Ia lahir di perkampungan kecil bernama Ghazalah, daerah Thus,
Khurasan, Persi (Iran), pada tahun 450 H/1058 M. Para peneliti berbeda pendapat
perihal asal sebutan “al-Ghazali”. Satu pendapat mengatakan “al-Ghazali” merupakan
nisbah (klasifikasi) terhadap daerah tempat kelahirannya, yakni
Ghazalah. Sementara pendapat lain mengatakan bahwa “al-Ghazali” diambil dari
latar belakang profesi ayahnya, yakni ghazzal al-shuf (pemintal benang
wol). Sang Ayah meninggal ketika al-Ghazali masih belia.
Al-Ghazali mengawali pendidikan agamanya di
kota kelahirannya, Thus. Pada usia 15 tahun al-Ghazali pergi menuju kota Jurjan
untuk belajar kepada Syekh Abu Nasr al-Ismaili. Setamat dari Jurjan, al-Ghazali
kembali ke Thus untuk mengajar. Tidak berapa lama, al-Ghazali memutuskan
kembali meninggalkan tanah kelahirannya untuk melakukan pengembaraan ilmiah
menuju Naisabur. Di kota ini al-Ghazali belajar kepada Imam al-Haramain di
Madrasah Nizhamiyah Naisabur. Dari al-Haramain inilah al-Ghazali mengenal ilmu
kalam dan filsafat. Karena kecerdasannya al-Ghazali kemudian diangkat menjadi
asisten di madrasah tersebut. Bahkan, pada tahun 479 H, sepeninggal Imam
al-Haramain, al-Ghazali diangkat menjadi Guru Besar.
Menyandang gelar guru besar tidak lantas
membuat hasrat intelektual al-Ghazali terpuaskan. Ia kembali melanjutkan
pengembaraan ilmiahnya ke kota Mu’askar untuk menemui Nidzam al-Mulk, seorang Perdana
Menteri Kerajaan Saljuk yang terkenal pula sebagai ilmuwan. Kecerdasaan
al-Ghazali mengundang decak kagum Nidzam al-Mulk sehingga pada 481 H/1091 M al-Ghazali
ditetapkan sebagai Guru Besar di Madrasah (Universitas) Nizhamiyah Baghdad dalam usia 31 tahun. Memasuki usia 34
tahun ia ditunjuk sebagai Rektor Universitas.
Empat tahun kemudian al-Ghazali meninggalkan
Baghdad menuju Mekah untuk berhaji. Beberapa peneltii meragukan motif
al-Ghazali meninggalkan Baghdad hanya untuk berhaji. Mereka meyakini bahwa
al-Ghazali sudah tidak tertarik lagi beraktivitas di Baghdad sebab suasana kota
itu sudah tidak mendukung bagi upayanya mendalami sufisme yang mulai menarik
hatinya. Perjalanan sufistik al-Ghazali mula-mula menuju Syiria dan menetap di
Masjid Agung al-Umawiy. Di pengasingan ini al-Ghazali melakukan
perenungan dan kontemplasi.
Pada 489 H/1096 M al-Ghazali melanjutkan pengembaraan
sufistiknya ke Palestina dan tinggal di zawiyah (bilik sufi). Beberapa
bulan kemudian ia pergi ke tanah suci Mekah untuk beribadah haji. Satu tahun
kemudian al-Ghazali kembali ke Syiria untuk menetap di sana. Namun, tidak lama
di sana ia didesak agar kembali ke Baghdad. Tetapi, Baghdad sudah menjadi kota
yang gerah bagi proses kontemplasinya. Akhirnya, pada 492 H/1099 M al-Ghazali
meninggalkan Baghdad dan kembali ke Thus, kota kelahirannya.
Setelah sebelas tahun melakukan penyendirian
sufistik dan telah mencapai puncak spiritual, al-Ghazali memutuskan kembali mengajar
di Madrasah Nidzam al-Mulk. Al-Ghazali mengajar
di sana selama tiga tahun. Menginjak tahun keempat (504 H/1110 M) ia kembali ke
Thus dan mendirikan lembaga pendidikan di kota kelahirannya itu. Satu tahun
kemudian, tepatnya 14 Jumadil Akhir 505 H/1111 M, al-Ghazali wafat dalam usia
53 tahun.
Secara umum kondisi masyarakat Islam abad
pertengahan ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat disertai
dengan dialog peradaban yang dinamis. Pada masa ini terjadi transformasi ilmu
pengetahuan, dengan ditandai maraknya penerjemahan buku-buku “non-Islam”
terutama literatur dari peradaban Yunani. Situasi ini membawa dampak luar biasa
bagi perkembangan keilmuan umat Islam.
Di samping dampak positif di atas, muncul pula
perkembangan yang kurang baik. Pada saat itu pola hidup masyarakat cenderung
materealistik. Manusia semakin mendewakan akal di atas “batas” kewenangannya.
Mereka berkompetisi memperoleh kekayaan dunia, bahkan cenderung bergaya hidup
hedonistik. Sehingga tanpa disadari, dimensi ketuhanan (ilahiyah/transendensi)
perlahan mulai terkikis dan semakin menipis. Bahkan, disinyalir salah satu
penyebab jatuhnya peradaban Islam adalah kecenderungan yang berlebih pada
masalah kekuasaan duniawi. Dengan demikian, masuknya filsafat Yunani dan paham
lain ke dalam Islam di samping membawa dampak positif bagi terwujudnya
peradaban Islam yang kokoh juga berakibat terkontaminasinya nilai Islam yang
menekankan keseimbangan antara aspek duniawi dan aspek ukhrawi.
Ada banyak aliran pemikiran yang berkembang
waktu itu. Al-Ghazali sendiri menyebut empat aliran besar yang sangat
berpengaruh pada zamannya. Setiap aliran mengklaim bahwa kebenaran ada pada
dirinya. Konsekuensinya mereka menempatkan aliran pemikiran di luar dirinya
sebagai aliran yang salah. Klaim kebenaran yang berimplikasi pada penjatuhan
vonis sesat terhadap kelompok lain ternyata tidak sebatas perbedaan pendapat,
tetapi tidak segan mereka terlibat bentrok fisik hingga terjadi pertumpahan
darah.
Eskalasi konflik yang tinggi ini juga terjadi
di dunia politik praktis. Pada waktu itu (abad ke-11 M) Dinasti Abbasiyah
sedang mengalami kebingungan spiritual dan kekacauan politik. Tiga tahun sebelum
al-Ghazali lahir, Baghdad (ibukota Dinasti Abbasiyah) berhasil didominasi Bani
Saljuk (keturunan Turki) setelah lebih satu abad dikuasai oleh Bani Buwaihiyah
yang berhaluan Syi’ah. Perang ideologi mencapai puncaknya ketika Perdana
Menteri Bani Saljuk, Nidzam al-Mulk, membuat lembaga pendidikan yang dijadikan
instrumen untuk memperkuat bsais ideologi Sunni. Pada saat inilah ia meminta
al-Ghazali untuk menjadi guru besar di Madrasah Nizhamiyah yang baru saja ia
dirikan. Al-Ghazali sangat intens berhubungan dengan pemerintahan Bani Saljuk.
Keduanya bertemu dalam aliran yang sama, Sunni. Penerimaan al-Ghazali menjadi
rektor Madrasah Nizhamiyah secara implisit menunjukkan adanya pembenaran (justifikasi)
al-Ghazali atas kurikulum Nizhamiyah yang bernuansa anti Syi’ah serta aliran
lainnya.
Dalam ranah keilmuan Islam, al-Ghazali
mendapatkan gelar hujjatul Islam, sebuah bukti pengakuan atas kapasitas
keilmuan dan tingkat penerimaan para ulama terhadapnya. Abdurrahman Badawi
dalam bukunya Muallafah al-Ghazali menyebutkan karya al-Ghazali mencapai
457 judul. Al-Washiti dalam al-Thabaqat al-‘Aliyah fi Manaqib al-Syafi’iyah menyebut
98 judul buku. Musthafa Ghallab menyebut angka 228 judul buku. Al-Subki dalam al-Thabaqat
al-Syafi’iyah menyebut 58 judul buku. Thasy Kubra Zadah dalam Miftah
al-Sa’adah wa Misbah al-Siyadah menyebut angka 80 judul. Micheal Allard,
seorang orientalis Barat, menyebutkan jumlah 404 judul buku. Sedangkan
Fakhruddin al-Zirikli dalam al-A’lam menyebut kurang lebih 200 judul. Kitab
tersebut terdiri dari berbagai disiplin ilmu. Di antara karyanya yang terkenal adalah:
a. Bidang Fiqh dan Ushul Fiqh
1) Al-Basith fi al-Furu’ ‘ala Nihayah al-Mathlab li Imam al-Haramain
2) Al-Wasith al-Muhith bi Iqthar al-Basith
3) Al-Wajib fi al-Furu’
4) Asrar al-Hajj (Fiqih al-Syafi’i)
5) Al-Mustasyfa fi ‘Ilm al-Ushul
6) Al-Mankhul fi ‘Ilm al-Ushul
b. Bidang Tafsir
1) Jawahir al-Qur’an
2) Yaqut al-Ta’wil fi Tafsir al-Tanzil
c. Bidang Aqidah
1) Al-Iqtishad fi al-I’tiqad
2) Al-Ajwibah al-Ghazaliyah fi al-Masail al-Ukhrawiyah
3) Iljamu al-Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam
4) Al-Risalah al-Qudsiyah fi Qawaid al-Aqaid
5) ‘Aqidah Ahl al-Sunnah
6) Fadhaih al-Bathiniyah wa Fadhail al-Mustadzhariyah
7) Al-Qisthash al-Mustaqim
8) Kimiyah al-Sa’adah
9) Al-Maqshid al-tsna fi Ma’ani Asma’ Allah al-Husna
10) Al-Qaul al-Jamil fi al-Radd ‘ala Man Ghayyara al-Injil
d. Bidang Filsafat dan Logika
1) Misykah al-Anwar
2) Tahafut al-Falasifah
3) Risalah al-Thair
4) Mihak al-Nadzar fi al-Manthiq
5) Ma’ary al-Qudsy fi Madarij Ma’rifah al-Nafs
6) Mi’yar al-Ilmi
7) Al-Muthal fi Ilm al-Jidal
e. Bidang Tasawuf
1) Adab al-Shufiyah
2) Ihya’ ‘Ulumiddin
3) Bidayah al-Hidayah wa Tahdzib al-Nufus bi al-Adab al-Sariyyah
4) Al-Adab fi al-Din
5) Al-Imla’ ‘an Asykal al-Ihya’
6) Ayyuhal Walad
7) Al-Risalah al-Ladunniyah
8) Mizan al-‘Amal
9) Al-Kasyfu wa al-Tibyan fi Ghurur al-Khalq Ajma’in
10) Minhaj al-Abidin ila al-Jannah
11) Mukasyafah al-Qulub al-Muqarrab ila Hadhrah Alami al-Ghaibi
C.
Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan
Al-Ghazali menulis masalah pendidikan dalam
sejumlah karyanya, di antaranya dalam Fatihah al-‘Ulum, Ayyuha al-Walad, dan
Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din al-Ghazali memulai
tulisannya dengan uraian tentang keutamaan ilmu dan pendidikan, lalu memberi
predikat yang tinggi kepada ilmuwan dan para ulama dengan dikuatkan oleh firman
Allah, pengakuan Nabi dan Rasul, kata-kata pujangga, ahli hikmah, dan ahli
pikir. Al-Ghazali begitu banyak mengungkapkan ketinggian derajat dan kedudukan
para ulama yang sering diulang dalam berbagai kitabnya.[6]
Pembicaraan al-Ghazali mengenai pendidikan
yang terdapat dalam Ihya’ berkisar pada tiga hal pokok.[7]
1. Penjelasan tentang keutamaan ilmu pengetahuan atas kebodohan.
2. Pengklasifikasian ilmu yang termasuk dalam program kurikuler.
3. Kode etik bagi pendidik dan peserta didik.
Pemikiran pendidikan al-Ghazali dapat
diketahui dari berbagai aspek berkaitan dengan pendidikan, yaitu aspek tujuan
pendidikan, kurikulum, kode etik guru/pendidik dan peserta didik, dan metode pengajaran
berikut ini.
1. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan mencakup tiga aspek, yaitu
aspek kognitif, yang meliputi pembinaan nalar, seperti kecerdasan, kepandaian,
dan daya pikir; aspek afektif, yang meliputi pembinaan hati, seperti
pengembangan rasa, kalbu, dan rohani; dan aspek psikomotor, yaitu pembinaan
jasmani, seperti kesehatan badan dan keterampilan.[8]
Al-Ghazali menempatkan dua hal penting sebagai
tujuan akhir dari pendidikan. Pertama, tercapainya kesempurnaan insani
yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah. Kedua, kesempurnaan
insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.[9] Tujuan
ini tampak bernuansa religius dan moral, namun tidak mengabaikan masalah
duniawi. Al-Ghazali berpandangan bahwa kebahagiaan dunia akhirat merupakan hal
yang paling esensi bagi manusia. Kebahagiaan dunia dan akhirat memiliki nilai
universal, abadi, dan lebih hakiki.[10] Kesempurnaan
insani di dunia dan akhirat, dalam pandangan al-Ghazali, hanya dapat dicapai dengan
menguasai sifat keutamaan melalui jalur ilmu. Keutamaan itulah yang akan
membuat manusia bahagia di dunia dan mendekatkan dirinya kepada Allah sehingga
ia menjadi bahagia pula di akhirat kelak.[11] Orientasi
pendidikan ini bisa jadi merupakan buah dari kesadaran al-Ghazali setelah
mengalami krisis spiritual, yang ia dokumentasikan dalam karya al-Munqidz
min al-Dhalal.[12]
2. Kurikulum
Konsep kurikulum yang digagas al-Ghazali
berkait erat dengan konsepnya mengenai ilmu pengetahuan. Dalam Ihya’ ‘Ulum
al-Din, al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu pengetahuan dalam empat
kategori. Pertama, klasifikasi ilmu syar’iyah (religi) dan ‘aqliyah
(nalar/intelektual) atas ilmu akhirat dan ilmu dunia. Di sisi lain terdapat
ilmu ghairu syar’iyah (non religi) yang dibedakan menjadi ilmu yang
terpuji (mahmud), dibolehkan (mubah), dan tercela (madzmum).
Kedua, klasifikasi ilmu teoritis dan praktis. Ketiga, klasifikasi
pengetahuan menjadi bagian pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan
pengetahuan yang diperoleh (hushuli). Keempat, pembagian ilmu
menjadi fardhu ‘ain (wajib atas setiap individu umat Islam) dan fardhu
kifayah[13]
(wajib atas komunitas umat Islam).[14]
Keempat kategori atau klasifikasi tersebut
dapat dijabarkan sebagai berikut.[15]
a. Ilmu Religius dan Ilmu Intelektual
Ilmu religius merupakan ilmu yang diperoleh dari para nabi yang tidak hadir
melalui aktivitas nalar sebagaimana matematika, tidak melalui eksperimen seperti
ilmu kedoteran, juga tidak melalui keterampilan pendengaran seperti bahasa.
Adapun ilmu intelektual/nalar (‘aqliyah) adalah berbagai ilmu yang
diperoleh melalui intelektualitas manusia. Menurut Osman Bakar, kategorisasi
pengetahuan atas religius (syar’iyah) dan intelektual (‘aqliyah)
merupakan konsekuensi logis dari konsepsi mutakallimun (teolog) tentang
relasi wahyu dan akal. Secara lebih spesifik, klasifikasi itu mencerminkan
sikap teologis eksoteris al-Ghazali terhadap filsafat. Al-Ghazali berpendapat
bahwa ilmu religius dan intelektual itu saling melengkapi, bukan malah
bertentangan.
Ilmu religius meliputi ilmu tauhid, ilmu tentang kenabian, ilmu tentang
akhirat atau eskatologi, dan ilmu tentang sumber pengetahuan religius (Alquran,
Hadits, ijma’, dan atsar sahabat). Ilmu yang disebut terakhir pun masih
terbagi lagi dalam dua kategori, yaitu ilmu pengantar (muqaddimat)
seperti ilmu bahasa, dan ilmu pelengkap (mutammimat) yang terdiri dari
ilmu Alquran dan cabang-cabangnya, ilmu hadits dan cabang-cabangnya, dan tarikh
Islam.
Sementara ilmu intelektual meliputi matematika (mencakup aritmatika,
geometri, astronomi, astrologi, dan musik); logika; ilmu alam yang mencakup
ilmu kedokteran, meteorologi, kimia dan mineralogi; serta ilmu metafisika yang
meliputi ontologi, pengetahuan tentang mimpi, dan lainnya.
Sedangkan dalam perspektif kualitas ilmu, al-Ghazali membagi ke dalam tiga
kelompok. Pertama, al-‘ulum al-mahmudah (ilmu layak aplikasi), yaitu
yang dibutuhkan dalam kehidupan dan pergaulan antarsesama makhluk hidup,
seperti ilmu kedokteran dan matematika. Kedua, al-‘ulum al-madzmumah (ilmu
negatif), yaitu ilmu yang berdampak negatif dan tidak dibutuhkan manusia,
seperti ilmu sihir. Ketiga,al-‘ulum al-mubahah (ilmu hampa nilai), yaitu
ilmu yang tidak berimplikasi negatif dan bersifat sekunder, seperti ilmu kebudayaan
dan sastra.
b. Ilmu Teoritis dan Ilmu Praktis
Dalam kitab Maqashid al-Falasifah, ilmu filsafat atau ilmu tentang
hikmah mencakup teoritis dan praktis. Bagian teoritis menjadikan kondisi wujud
dapat diketahui sebagaimana adanya, sedangkan bagian praktis berkenaan dengan
tindakan positif manusia demi terciptanya kesejahteraan manusia di dunia dan
akhirat. Sementara dalam al-Risalah al-Ladunniyyah, al-Ghazali
memaparkan bahwa pengetahuan religius yang meliputi ilmu prinsip dasar (ushul)
sebagai pengetahuan teoritis, dan pengetahuan cabang (furu’) sebagai
ilmu praktis.
c. Ilmu Hudhuri dan Ilmu Hushuli
Ilmu hudhuri, yang oleh al-Ghazali sering pula diistiahkan dengan
ilmu mukasyafah, bersifat langsung, serta merta, intuitif,
suprarasional, dan kontemplatif. Sedangkan ilmu hushuli bersifat tidak
langsung, rasional, dan logis, yang diperoleh dari hasil belajar dan proses
pembelajaran.
d. Ilmu Fardhu ‘Ain dan Ilmu Fardhu Kifayah
Menurut al-Ghazali, upaya klasifikasi ilmu ke dalam fardhu ‘ain dan fardhu
kifayah sangat tergantung kepada kondisi seseorang dan kebutuhan masyarakat
di suatu tempat. Kategori ilmu fardhu ‘ain meliputi ilmu agama, seperti
Alquran dan hadis, dan pokok-pokok ibadah. Sedangkan ilmu fardhu kifayah adalah
ilmu yang harus ada demi esksintesi dunia. Ilmu kedokteran sangat dibutuhkan
untuk menjaga kesehatan makhluk hidup. Begitu juga ilmu matematika berperan
penting dalam dunia perdagangan. Ilmu semacam ini harus dikuasai umat Islam,
walaupun tidak harus melibatkan setiap individu umat Islam.
Setiap klasifikasi ilmu di atas didasarkan
pada aspek relasi antara manusia dan pengetahuan serta berdasarkan pada
pengalaman empiris al-Ghazali selama mengarungi hidup sebagai ilmuwan sekaligus
pendidik. Klasifikasi tersebut juga saling berkaitan sehingga memungkinkan satu
ilmu mempunyai klasifikasi lebih dari satu.[16] Dalam
pencermatan Abuddin Nata, pengklasifikasian ilmu pengetahuan oleh al-Ghazali
tersebut mengacu pada dimenasi manfaat dan madharat.[17] Lebih
lanjut Abuddin Nata menyimpulkan bahwa mata pelajaran yang seharusnya diajarkan
dan masuk dalam kurikulum menurut al-Ghazali didasarkan pada dua kecenderungan.
Pertama, kecenderungan agama dan tasawuf. Dengan kecenderungan ini maka
al-Ghazali sangat mementingkan pendidikan etika, karena menurutnya ilmu ini
bertalian erat dengan pendidikan agama. Kedua, kecenderungan pragmatis.
Kecenderungan ini tampak dalam karya tulisnya, yang beberapa kali mengulangi
penilaiannya terhadap ilmu berdasarkan manfaatnya bagi manusia, baik untuk
kehidupan di dunia maupun di akhirat.[18]
Pengklasifikasian ilmu oleh al-Ghazali tidak
berarti ia menolak pentingnya mempelajari segala macam ilmu pengetahuan yang
bermanfaat bagi manusia. Ia hanya menekankan perlunya manusia membuat skala
prioritas pendidikan dengan menempatkan ilmu agama dalam posisi paling urgen.
Hal ini didasarkan pada kesadaran al-Ghazali bahwa hanya pendidikan agamalah yang
mampu secara mengarahkan peserta didik untuk dekat kepada Allah.
Dengan melihat sisi pemanfaatan dari suatu
ilmu, tampak bahwa al-Ghazali tergolong sebagai penganut paham pragmatis
teologis, yaitu pemanfaatan yang didasarkan atas tujuan iman dan dekat dengan
Allah Swt. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari sikapnya sebagai seorang sufi
yang memiliki trend praktis dan faktual.[19] Pemikiran
sufistik al-Ghazali dan gagasannya tentang pengklasifikasian ilmu kerap
dituding oleh para kritikus[20]
sebagai salah satu penyebab kemunduran keilmuan di dunia Islam. Mereka menuduh
gegara kategorisasi ilmu oleh al-Ghazali tersebut masyarat menjadi terbuai dengan
ilmu-ilmu agama dan tidak mengacuhkan kategori ilmu rasional. Asumsi ini bisa
jadi salah, sebab secara historis klasifikasi ilmu bukanlah sesuatu yang baru.
Sebelum al-Ghazali, Ibnu Sina juga sudah mengakui klasifikasi ilmu antara
religius dan intelektual.[21]
Terlepas dari perdebatan itu, menurut penulis,
pengklasifikasian ilmu oleh al-Ghazali merupakan langkah realistis pada masanya,
dimana pada saat itu pola hidup masyarakat cenderung materealistik dan
hedonistik, dan manusia pun semakin mendewakan akal di atas “batas”
kewenangannya. Tanpa disadari dimensi ketuhanan (ilahiyah/transendensi)
mulai tercerabut dari tengah kehidupan mereka. Klasifikasi ilmu al-Ghazali bisa
jadi merupakan teguran dan jawaban atas kondisi masyarakat saat itu.
Jika dicermati, secara epistemologis,
kategorisasi tersebut justru sangat membantu proses pembelajaran. Sangat logis
jika keterbatasan waktu dan usia penuntut ilmu serta perbedaan kebutuhan ilmu
oleh setiap individu dan masyarakat menuntut proses pembelajaran yang
terkonsep, tepat orientasi, dan berskala prioritas. Dengan demikian, klasifikasi
ilmu al-Ghazali menemukan momentumnya dan pembenarannya secara logis.
3. Kode Etik Pendidik dan Peserta Didik
Dalam pandangan al-Ghazali, sentral dalam
pendidikan adalah hati sebab hati merupakan esensi dari manusia. Menurutnya,
substansi manusia bukanlah terletak pada unsur-unsur yang ada pada fisiknya,
melainkan berada pada hatinya dan memandang manusia bersifat teosentris
sehingga konsep tentang pendidikannya lebih diarahkan pada pembentukan akhlak
yang mulia. Tugas guru tidak hanya mencerdaskan pikiran, tetapi juga
membimbing, mengarahkan, meningkatkan, dan menyucikan hati untuk mendekatkan
diri kepada Allah Swt. Jadi, peranan guru sangatlah besar, bukan hanya
mengajar, mentransfer ilmu, melainkan yang lebih penting adalah mendidik.
Pandangan al-Ghazali terhadap guru sangat
idealistik. Idealisasi guru, menurutnya, adalah orang yang berilmu, beramal,
dan mengajar. Berangkat dari perspektif idealistik tersebut, al-Ghazali
menegaskan bahwa pendidik atau guru perlu menjaga etika dan kode etik
profesinya. Kode etik atau tugas profesi yang harus dipatuhi guru (pendidik)
meliputi delapan hal berikut.[22]
a. Menyayangi peserta didiknya, bahkan memperlakukan mereka seperti perlakuan
dan kasih sayang guru kepada anaknya sendiri.
b. Guru bersedia sungguh-sungguh mengikuti tuntunan Rasulullah sehingga ia
tidak mengajar untuk mencari upah atau untuk mendapatkan penghargaan dan tanda
jasa. Akan tetapi, semata-mata mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri
kepada-Nya.
c. Guru tidak boleh mengabaikan tugas memberi nasihat kepada peserta didiknya,
yang meliputi nasihat tentang tahapan mencari ilmu (termasuk prioritas studi
keilmuan yang harus digeluti), serta nasihat tentang tujuan mencari ilmu yang
berorientasi pada pendekatan diri kepada Allah.
d. Mencegah peserta didik terjerembab ke dalam akhlak tercela melalui cara
sepersuatif mungkin dan melalui cara penuh kasih sayang, tidak dengan cara
mencemooh dan kasar.
e. Kepakaran guru dalam spesialisasi keilmuan tertentu tidak menyebabkannya memandang
remeh disiplin keilmuan lainnya.
f. Guru menyampaikan materi pengajarannya sesuai dengan tingkat pemahaman peserta
didik.
g. Terhadap peserta didik yang berkemampuan rendah, guru menyampaikan materi
secara jelas, konkret, dan sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik dalam
mencernanya.
h. Guru mau mengamalkan ilmunya sehingga antara terjadi keterpaduan antara ucapan
dan tindakan guru. Bagaimanapun, ilmu hanya diketahui dengan mata hati (basha’ir),
sedangkan perbuatan diketahui dengan mata kepala (abshar). Apabila
terjadi kontradiksi antara ilmu dan amal, tentu akan menghambat keteladanan.
Tidak hanya guru atau pendidik yang dituntut mematuhi
kode etik, tetapi peserta didik pun demikian. Ada sepuluh poin kewajiban, yang
oleh al-Ghazali diistilahkann dengan wadlifah, yang harus dipatuhi oleh
peserta didik.[23]
a. Mengutamakan penyucian diri dari akhlak tercela dan sifat buruk, sebab ilmu
itu merupakan bentuk peribadatan hati, shalat rohani, dan pendekatan batin
kepada Allah.
b. Peserta didik menjaga diri dari kesibukan-kesibukan duniawi, dan seyogyanya
berkelana jauh dari tempat tinggalnya.
c. Tidak membusungkan dada terhadap orang alim (guru), melainkan bersedia
patuh dalam segala urusan dan bersedia mendengarkan nasihatnya.
d. Penuntut ilmu pemula hendaknya menghindarkan diri dari mengkaji variasi
pemikiran dan tokoh, baik menyangkut ilmu-ilmu duniawi maupun ilmu-ilmu ukhrawi.
Sebab hal ini dapat mengacaukan pikiran, membuat bingung, dan memecah
konsentrasi.
e. Penuntut ilmu tidak mengabaikan suatu disiplin ilmu apa pun yang terpuji,
tetapi bersedia mempelajarinya hingga tahu akan orientasi dari disiplin ilmu
yang dimaksud. Apabila usia dan kesempatan mengizinkan, ia bisa mendalaminya
lebih lanjut. Jika tidak, ia perlu memprioritaskan disiplin ilmu yang
terpenting untuk didalami. Meskipun demikian, harus disadari bahwa ilmu-ilmu
itu saling terkait, sehingga jangan sampai penuntut ilmu menutup mata dan
meremehkan disiplin ilmu lain yang tidak diketahuinya.
f. Penuntut ilmu dalam usaha mendalami suatu disiplin ilmu tidak dilakukan
sekaligus, akan tetapi perlu bertahap dan memprioritaskan yang terpenting.
g. Penuntut ilmu tidak melangkah mendalami tahap ilmu berikutnya hingga ia
benar-benar menguasai tahap ilmu sebelumnya.
h. Penuntut ilmu hendaknya mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan dapat
memperoleh ilmu yang paling mulia.
i.
Tujuan belajar penuntut ilmu adalah
pembersihan batin dan menghiasinya dengan keutamaan serta pendekatan diri
kepada Allah serta meningkatkan maqam spiritualnya.
j.
Penuntut ilmu mengetahui relasi ilmu-ilmu yang
dikajinya dengan orientasi yang dituju, sehingga dapat memilah dan memilih ilmu
mana yang harus diutamakan.
4. Metode Pendidikan dan Pengajaran
Secara umum, al-Ghazali tidak mengemukakan
dengan tegas metode tertentu untuk diterapkan dalam suatu pengajaran. Akan
tetapi, perhatian al-Ghazali dalam hal metode ini lebih ditujukan pada metode khusus
bagi pengajaran agama untuk anak-anak. Dalam hal ini, keteladan menjadi metode
yang sangat penting dalam proses pendidikan anak. Pasalnya, menurut al-Ghazali,
pendidikan merupakan aktivitas yang memerlukan hubungan erat antara dua pribadi,
yaitu guru dan murid.[24] Selain
itu, pembiasaan positif juga menjadi metode pendidikan yang dipandang penting oleh
al-Ghazali. Dalam Riyadlat al-Nafs al-Ghazali menandaskan bahwa jika
anak dibiasakan dengan hal-hal baik dan diajarkan dengan cara yang baik puka, maka
mereka akan tumbuh dalam kebaikan dan akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan
di akhirat.[25]
Secara teknis al-Ghazali menegaskan bahwa mempelajari
ilmu agama harus dimulai sejak dini. Pada mulanya anak-anak usia dini diajak
menghafal dasar-dasar agama. Kemudian, seiring perkembangan usia dan
intelektualitas anak, pendidikan dilanjutkan dengan memberikan penjelasan dan
pengertian atas suatu materi. Anak didik diajak untuk memahami substansinya
dengan disertai argumentasi rasional. Pengajaran agama seperti ini diakui
al-Ghazali memang belum sempurna, dan harus diikuti dengan tindak lanjut secara
gradual.[26]
Dalam persoalan prinsip keagamaan, metode
pengajaran agama al-Ghazali dimulai dengan menghafal, lalu memahami, kemudian
mempercayai dan menerima. Selanjutnya penyajian bukti-bukti argumentatif untuk
memperkuat ajaran yang telah diterima. Al-Ghazali juga menyarankan agar
pendidik memperhatikan klasifikasi peserta didik. Hal ini berkaitan dengan
pemilihan materi pengajaran dan ilmu pengetahuan agar sesuai dengan tingkat
kemampuan nalar peserta didik.[27]
D.
Relevansi Pemikiran Pendidikan al-Ghazali di
Era Global
Era
global ditandai dengan adanya perdagangan bebas dan semakin meningkatnya
persaingan serta gejolak harga pasar yang membuat ketidakpastian (risiko
usaha) semakin meningkat. Era ini ditandai pula dengan adanya perkembangan teknologi
yang semakin hari semakin meningkat. Miliaran
informasi dapat kita akses setiap hari dengan sangat mudah. Dunia yang teramat luas ini seakan menjadi kecil dan dekat secara
berlipat-lipat. Konsekuensinya, ilmu
pengetahuan pun berkembang dengan sangat pesat.
Turbulensi (pergolakan) arus global[28]
ini amat kuat dan dampaknya pada semua aspek kehidupan manusia, termasuk
pendidikan Islam. Pendidikan Islam mau tak mau masuk dalam perangkap arus dan
mengalami turbulensi ini. Bagi pendidikan Islam, turbulensi arus global bisa menimbulkan
paradoks atau gejala kontra moralitas, yakni pertentangan dua sisi moral secara
diametral, seperti guru memberi pesan agar anak tidak terlibat tawuran, tetapi
di lingkungan masyarakat justru sering dipertontonkan adanya bentrok antarwarga
atau antarkelompok masyarakat; di sekolah diadakan razia pornografi, tetapi
media massa semakin tidak sungkan untuk mengumbar segala yang merangsang birahi;
begitu pula harapan agar peserta didik tampil kreatif dan egaliter, tetapi di
rumah ia justru menyaksikan perilaku orang tua yang otoriter. Globalisasi membawa
dampak terjadinya kontra-moralitas antara apa yang diidealkan dalam pendidikan
Islam (das Solen) dan realitas di lapangan (das Sein).[29]
Arus global bukanlah lawan atau kawan bagi
pendidikan Islam, melainkan sebagai dinamisator bagi “mesin” yang berjuluk
pendidikan Islam. Bila pendidikan Islam mengambil posisi antiglobal, maka
“mesin” tersebut tidak akan stationaire alias macet, lalu pendidikan
Islam pun mengalami intellectual shut down atau penutupan intelektual.
Sebaliknya, bila pendidikan Islam terseret oleh arus global, tanpa daya lagi
identitas keislaman sebuah proses pendidikan akan dilindas oleh “mesin” tadi. Menutup
diri atau bersikap eksklusif terhadap globalisasi bisa mengakibatkan
ketinggalan zaman, sementara membuka diri juga berisiko kehilangan jadi atau
kepribadian. Oleh karena itu, pendidikan Islam perlu melakukan tarik ulur
terhadap arus global; mana yang baik dan sesuai, diambil; dan mana yang tidak
baik dan tidak pula sesuai, dilepaskan atau ditinggalkan.[30]
Di atara dampak nyata dari arus global adalah perubahan
pola hidup manusia yang cenderung semakin materialistik dan pragmatis
keduniaan. Kondisi ini menemukan keserupaan dengan masa hidup al-Ghazali,
dimana pada masa itu masyarakat Islam juga memiliki kecenderungan demikian. Realitas
sosial masyarakat Indonesia sekarang yang materialistik dan hedonis sebenarnya
hampir tidak berbeda dengan kondisi masyarakat Barat. Jika ditarik ke belakang,
masa ini juga sudah menggejala di masa al-Ghazali. Aktivitas belajar dan
keilmuan semata-mata diorientasikan pada capaian-capaian kebendaan dan
keduniaan. Saat itulah muncul pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan dan
tasawuf sebagai koreksi atas materialisme dan hedonisme masyarakat kala itu
(krisis orientasi).
Krisis orientasi dalam pendidikan Islm telah
menjadi masalah yang krusial di dunia Islam sedari dulu. Dalam komunitas
pendidik, misalnya, al-Ghazali menyoroti gejala materialisme dari sisi
moralitas ulama dalam tulisannya tentang ulama su’, yakni sosok ulama
yang memanfaatkan ilmunya untuk meraih kepuasan materi dan kedudukan serta
menjilat penguasa untuk mempertahankan jabatan.
Problem moralitas ini pula yang menjadi
tantangan pendidikan Islam di Indonesia saat ini, dimana pembelajar tidak lagi
mencari ilmu demi ilmu itu sendiri, tetapi semata untuk memuaskan nafsu
kebendaan. Guru sibuk mengurus segala administrasi demi mendapatkan
sertifikasi, namun abai terhadap loyalitasnya kepada ilmu dan para penuntut
ilmu.. Tidak berlebihan jika kemudian penulis menyimpulkan bahwa pemikiran al-Ghazali
masih relevan untuk digaungkan sebagai ikhtiar memperbaiki pendidikan Islam dan
moralitas masyarakat muslim di Indonesia. Namun, dengan tetap mengkritisi
sisi-sisi yang harus dikontekstualisasikan relevansinya dengan era sekarang.
Misalnya, tentang guru yang oleh al-Ghazali ditegur keras agar tidak mencari
upah dalam mengajar. Menurut penulis, kode etik pendidik oleh al-Ghazali ini
hendaklah dimaknai bahwa guru/pendidikan harus memiliki loyalitas terhadap ilmu
pengetahuan dan proses pendidikan. Adapun upah atau aspek ekonomi merupakan orientasi
sekunder yang selayaknya didapat oleh pendidik sebangun dengan sumbangsihnya
secara total terhadap kemajuan pendidikan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
penentangan al-Ghazali bukanlah terhadap hak kelayakan ekomoni pendidik,
melainkan terhadap komersialisasi ilmu pengetahuan.
E.
Kesimpulan
Al-Ghazali adalah sosok pemikir konservatif
religius. Salah satunya tercermin dalam tujuan pendidikan yang diungkapkannya,
yaitu tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada
Allah dan kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kesempurnaan insani di dunia dan akhirat ini hanya dapat dicapai dengan
menguasai sifat keutamaan melalui jalur ilmu.
Sementara dalam hal kurikulum al-Ghazali
mengklasifikasi ilmu pengetahuan menjadi beberapa bagian: (1) ilmu syar’iyah
(religi) dan ‘aqliyah (nalar/intelektual), serta ilmu ghairu
syar’iyah (non religi) baik yang terpuji (mahmud), dibolehkan (mubah),
maupun tercela (madzmum); (2) ilmu teoritis dan praktis; (3) ilmu yang
dihadirkan (hudhuri) dan ilmu yang diperoleh (hushuli); serta (4)
ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Pengklasifikasian ilmu
oleh al-Ghazali tidak berarti merupakan penolakan terhadap pentingnya
mempelajari segala macam ilmu pengetahuan. Al-Ghazali hanya menekankan perlunya
manusia membuat skala prioritas pendidikan dengan menempatkan ilmu agama dalam
posisi paling urgen.
Lebih inti lagi, al-Ghazal menyimpulkan bahwa
sentral dari pendidikan adalah hati sebab hati merupakan esensi dari manusia.
Menurutnya, substansi manusia bukanlah terletak pada unsur-unsur yang ada pada
fisiknya, melainkan pada hatinya dan memandang manusia bersifat teosentris
sehingga konsep tentang pendidikannya lebih diarahkan pada pembentukan akhlak
yang mulia. Untuk merealisasikan pembelajar yang berakhlak mulia, al-Ghazali
memandang pentingnya metode keteladan dan pembiasaan dalam proses pendidikan.
Dalam konteks kekinian dan kedisinian, pemikiran al-Ghazali masih relevan untuk
diaktualisasikan sebagai ikhtiar mengobati dan menyudahi krisis orientasi
pendidikan Islam.
Daftar Pustaka
Assegaf, Abd. Rachman. 2013. Aliran
Pemikiran Pendidikan Islam; Hadharah Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern. Cet.
Ke-2. Jakarta: Rajawali Pers.
Danial. 2014. Filsafat Ilmu. Yogyakarta:
Kaukaba Dipantara.
Mahmud. 2011. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung:
Pustaka Setia.
Nata, Abuddin. 2000. Pemikiran Para Tokoh
Pendidikan Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Ridha, Muhammad Jawwad. 2002. Tiga Aliran
Utama Teori Pendidikan Islam (Perspektif Sosiologis-Filosofis). terj.
Mahmud Arif dari judul asli “al-Fikr al-Tarbawiy al-Islamiy Muqaddimat fi
Ushulih al-Ijtima’iyyat wa al-‘Aqlaniyyat”. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sholeh, Asrorun Niam. 2006. Reorientasi
Pendidikan Islam; Mengurai Relevansi Konsep al-Ghazali dalam Konteks Kekinian.
Cet. III. Jakarta: aLSAS.
[1]
Muhammad Jawwad Ridha, Tiga Aliran Utama Teori
Pendidikan Islam (Perspektif Sosiologis-Filosofis), (terj.) Mahmud Arif
dari judul asli “al-Fikr al-Tarbawiy al-Islamiy Muqaddimat fi Ushulih
al-Ijtima’iyyat wa al-‘Aqlaniyyat”, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 119.
[2]
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 86, mengutip dari Fathiyah Hasan
Sulaiman, “Sistem Pendidikan Versi al-Ghazali” (terj.) Fathur Rahmat May dan
Syamsuddin Asyrafi dari judul asli al-Mazhab al-Tarbawy ‘inda al-Ghazali, (Bandung:
Al-Ma’arif, 1986), hlm. 14.
[3]
Asrorun Niam Sholeh, Reorientasi Pendidikan Islam;
Mengurai Relevansi Konsep al-Ghazali dalam Konteks Kekinian, Cet. III,
(Jakarta: aLSAS, 2006), hlm. 23-30.
[6] Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka
Setia, 2011), hlm. 244
[8]Asrorun Niam Sholeh, Reorientasi Pendidikan Islam..., hlm. 20.
[9]Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, ... hlm. 86.
[13] Ilmu yang Fardhu ‘ain artinya adalah ilmu yang wajib dipelajari
oleh setiap individu muslim, seperti ilmu tentang tata cara shalat; sedangkan
ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang bila sebagian umat Islam telah
mempelajarinya maka yang lain tidak tertuntut kewajiban mempelajarinya, seperti
ilmu kedokteran.
[20] Di antaranya adalah Mahdi Ghulsyani. Lihat Danial, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta:
Kaukaba Dipantara, 2014), hlm. 204-207.
[21]
Asrorun Niam Sholeh, Reorientasi Pendidikan Islam... hlm.
107.
[22] Muhammad Jawwad Ridha, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam ... hlm.
129-132. Lihat pula Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam;
Hadharah Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern, Cet. Ke-2, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013), hlm. 119-122.
[28] Turbulensi arus global dimaksudkan sebagai pergolakan yang ditimbulkan
akibat modernisasi di segala bidang yang telah mendunia. Pengaruh arus global
ini sangat kuat, dan berimbas pula pada ranah pendidikan Islam.
Maa Syaa Alloh sangat bermanfaat, seandainya bisa didownload
BalasHapusTerima kasih banyak ya ka, sngat membantu
BalasHapus