Sekaten
dan Peradaban Islam
Oleh: Diah Mahastuti
![]() |
Sumber Gambar |
Tugas
Kuliah Peradaban dan
Pemikiran Islam
Dosen Pengampu:
Dr. Junanah, MIS.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam
merupakan salah satu agama besar di dunia saat ini. Agama ini lahir dan
berkembang di Tanah Arab. Pendirinya ialah Muhammad yang lahir tahun 570 M. melalui [1] Agama ini muncul atas reaksi dari degradasi moral yang
terjadi pada masa tersebut. Dimana manusia hidup pada nilai dan norma yang
sangat terendah. Terjadinya pembunuhan, perzinaan, perjudian, dan segala bentuk
gambaran moral yang sangat rendah. Pada saat iru muncullah agama islam sebagai
penerang dan penyelamat umat manusia dari zaman jahiliyah.
Islam menyebar luas
kebelahan dunia manapun dan berkembang menjadi paham yang mampu merubah
peradaban dari masa ke masa. Dari mulai masa keemasan hingga masa kemunduran
islam. Penyebaran agama islam melalui berbagai bidang, baik perdaganga,
politik, budaya, dan kepentingan-kepentingan tertentu. Masuknya agama islam
kedalam sebuah wilayah tidak menempatkan diri sebagai sosok yang kaku, fanatik,
dan idealis sesuai tempat awal kemunculannya. Tetapi islam masuk dengan
berbagai penyesuaian adat istiadat sekitar.
Islam sebagai
agama, tidak hanya mengenal tradisi atau normativitas tapi ia juga mempunyai
manivestasi keragaman dalam kehidupan yang sangat plural. Oleh karena itu,
meskipun muslim di Indonesia mengakui sumber universal yang sama yaitu Al Quran
dan As Sunnah, tetapi interpretasi atas ajaran dan praktek-praktek keagamaan
sangat beragam.[2]
Masuknya agama akan selalu memiliki peran serta dalam merubah budaya, tetapi
tidak serta merta merubah segala aspek. Biasanya islam masuk melalui perantara
budaya dengan cara menyisip dalam budaya tersebut.
Islam pertama kali
turun di Arab, jika ia masuk kedaerah lain maka akan terjadi penyesuaian,
tarik-menarik atau pergumulan. Sesungguhnya dimanapun islam melakukan
pergumulan dengan budaya lokal pada situasi dan kondisi tertentu, akan ada
proses adabtasi dari nilai-nilai universalitasnya. Sifat ini lah yang
menjadikan islam sebagai agama yang bisa diterima dengan mudah oleh masyarakat.
Islam tidak serta merta menghilangkan budaya dan tradisi yang ada, salah
satunya terhadap negara Indonesia.[3]
Hal tesebut merupakan ciri khas ajaran islam yang mengedepankan tradisi tanpa
menghilangkan esensi ajaran islam itu sendiri.
Islam masuk di
Indonesia sekitar abad ke-13.[4]
Ada yang berpendapat masuknya islam melalui jalur perdagangan yang dilakukan
bangsa arab, ada pulang yang berpendapat bahwa isalm masuk indonesia di bawa
oleh orang-orang persi dan gujarat yaitu para ahli tasawuf. Disinilah islam
masuk dan berkembang bersamaan dengan akulturasi budaya sehingga dapat diterima
dengan mudah oleh bangsa indonesia.[5]
Berkenaan dengan
akulturasi budaya yang ada di Indonesia, antara agama Islam dan budaya
setempat, maka terciptalah budaya baru yang esensinya adalah ajaran agama
dengan dibalut ke khasan budaya lokal. Beberapa diantaranya yang ada di daerah
pesisir jawa ialah budaya nyadran, sekaten, sedekah bumi (wiwit), gunungan.
Dari permasalahan
tersebut, penulis tertarik untuk membahas adat dan budaya masyarakat yang tidak
terlepas dari ajaran agama islam, yaitu melalui budaya dan upacara sekaten
terhadap perkembangan islam di nusantara.
B.
Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang diatas, maka dapat ditarik
rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana sejarah terbentuknya upacara sekaten ?
2.
Bagaimana esensi upacara sekaten ?
C.
Tujuan Makalah
Dari rumusan masalah diatas, dapat diambil tujuan
pembahasan makalah sebagai berikut :
1. Memaparkan sejarah upacara sekaten.
2.
Memaparkan esensi budaya sekaten
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Proses Terbentuknya Upacara Sekaten
Sekaten merupakan
ritua yang digelar di lingkungan keraton Jogja. Sekaten juga merupakan ritual
yang sangat populer hingga manca negara, yang sekarang menjadi trade mark
kota jogja.
Pada hikikatnya upacara sekaten adalah suati tradisi yang
diwariskan oleh nenek moyang kita sejak dahulu kala, yang mengalami perubahan
bentuk dan sifatnya. Pada mulanya, upacara itu diselenggarakan setiap tahunnya
oleh raja-raja di tanah hindu, berwujud selamatan atau sesaji untuk arwah para
leluhur yang diselenggarakan dalam dua tahab.
Tahab pertama disebut aswameda, sesaji ini
diselenggarakan selama enam hari yang dilakukan dengan doa-doa dan
nyanyian-nyanyian pujian disertai dengan tetabuhan yang mengandung arti memuja
arwah leluhur untuk memohon berkat dan perlindungan. Tahap yang kedua yaitu
asmaradana yang diselenggarakan pada hari ketuju merupakan penutup tahap
yang pertama. Dalam tahap yang kedua diselenggarakan pembakaran dupa besar yang
disertai dengan mengheningkan cipta atau semedi.[6]
Mulanya upacara adat besar dilaksanakan dikalangan
kerajaan-kerajaan majapahit dan diselenggarakan di candi-candi yang merupakan
tempat ibadah umat hindu dan budha. Upacara sesaji diselenggarakan untuk memuja
arwah leluhur.
Sejak pemerintahan raja Hayam Wuruk, upacara selamatan
dan sesaji tidak lagi diselenggarakan di candi-candi seperti yang
diselenggarakan raja-raja terdahulu, melainkan dilaksanakan di tengah-tengah
kota. Para raja kekuasaan kerajaan Majapahit mempersembahkan sumbangannya
dengan membawa bermacam-macam keramaian. Salah satunya Prabu Brawijaya memiliki
satu perangkat gamelan yang sangat tersohor, dikenal dengan nama Kanjeng Kyai
Sekar Delima, yang setiap tahun dibunyikan orang untuk memeriahkan keramaian.[7]
Putra prabu brawijaya V yang bernama Raden Patah dan
menjadi Adipati di Bintara, memeluk agama baru yakni agama Islam. Penyebaran
islam di majapahit mengalami kesulitan kerena Sang Prabu Brawijaya tidak
bersedia masuk islam. Maka raden patah berencana menyerang kerajaan majapahit.
Hal ini diketahui prabu Brawijaya, dan beliau mengalami kesedihan yang
mendalam. Dari sini lah kreasi lagu-lagu gamelan diciptakan untuk menghibur
prabu Brawijaya.[8]
Dalam abad ke 14 agama Islammulai berkembang di Tanah
Jawa, para pemuka agama Islam itu disebut wali. Wali yang berada di jawa
terkenal dengan panggilan wali songo. Nama mereka masing-masing adalah Sunan
Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati,
Sunan Muria, Syekh Maulana Magribi, Syekh
Siti Jenar. Setiap tahunnya para wali mengadakan pertemuan di kota
demak. Pertemuan itu diselenggarakan pada bulan Rabiulawal tanggal 6 sampai
tanggal 12, dan hari yang terakhir itu diselenggarakan keramaian besar untuk
merayakan hari lahir Nabi Muhammad saw.[9] Mereka
berkumpul membicarakan tentang penyebaran agama islam. Penyebaran agama islam
melalui lingkungan kerajaan dan adat istiadatnya.
Kerajaan pertama islam yaitu Demak yang berpusat di kota
Demak. Nama Demak yang beribu kota Bintaro yang berlangsung dari tahun
1478-1549. Raden Patah adalah pendirinya sekaligus Kesultanan pertama di
Kesultanan Demak.[10]
Usaha penyebaran agama Islam semakin kuat. Kesukaran yang mereka rasakan saat
menyebarkan agama Islam adalah masyarakat yang masih fanatik terhadap budaya dan
adat istiadat.
Para wali mengetahui bahwa para rakyat dari kerajaan
Majapahit masih lekat dengan kesenian dan kebudyaan anatara lain gemar akan
bunyi gamelan dan keramaian-keramaian yang bersifat keagamaan. Atas saran
Kanjeng Sunan Kalijaga para wali membuat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
dengan cara yang disesuaikan adat istiadat rakyat pada waktu itu salah satunya
dengan gamelan. Dalam hal ini penyebaran islam tidak lagi menggunakan rebana
melainkan alat musik setempat.[11]
Untuk memperingati perayaan itu maka ditempatkanlah
gamelan Kyai Sekati di halaman masjid. Gamelan ini dipukul bertalu-talu tidak
berhenti mula-mula dengan irama dengan irama dengan suara lembut lama kelamaan
dipukul keras. Oleh karena tertarik dengan bunyi gamelan, orang-orang dari
berbagai penjuru berduyung-duyung ke pusat kota sehingga membuat alun-alun
kerajaan Demak menjadi ramai. Keramaian itulah yang kemudian disebut Sekaten
dan yang sampai sekarang masih dilestarikan. Smentara itu, para wali bergantian
memberikan wejangan ajaran Islam di mimbar yang didirikan di depan gapura
masjid. Orang yang datang diperbolehkan masuk ke serambi masjid, tetapi harus
terlebih dahulu mengucapkan syahadatain yang dalam bahasa Jawa disebut syahadat
kalimah loro.[12]
Dalam upacara Sekaten terdapat pula prosesi Grebeg Maulud
yaitu upacara tradisional yang berwujud iringan gunungan. Gunungan tersebut
tebuat dan berisi nasi dengan dilengkapi bermacam-macam jenis lauk-lauk yang
kemudian dibagi kepada masyarakat. Para wali penganjur agama Islam tahu bahwa
tidak mudah usaha untuk mengikis habis cara hidup dan adat-istiadat maka demi
berkembangnya agama Islam upacara dan saji-sajian masih dilestarikan sedangkan
arti dan tujuannya diarahkan ke ajaran Islam.[13]
Upacara Grebeg diselenggarakan pada peringatan hari-hari besar Islam salah
satunya Maulud Nabi. Dengan cara itu penyebaran agama Islam akan lebih mudah
akan lebih diterima di masyarakat.
B.
Esensi Upacara Sekaten
Sekaten memiliki banyak arti salah satunya yaitu bahwa
sekaten berasal dari kata Syahadatain, yang dimaksudnya dua kalimat
syahadat. Syahadat yang pertama disebut syahadat tauhid yang berbunyi asyhadu
alla ila-ha-illallah, yang artinya tiada tuhan selain Allah dan yang kedua
disebut dengan syahadat rasul yang berbunyu waasyhadu anna
Muhammadarrosululloh,yang artinya dan saya bersaksi bahwa nabi muhammad
adalah utusan Allah.[14]
Sekaten selalu di dahului pasar malam yang berlangsung
satu bulan penuh. Tradisi yang sudah ada sejak abad 16 ini diadakan di bulan
Maulud atau bulan ketiga dalam perhitungan kalender jawa. Acara ini selalu
dilaksanakan di pelataran alun-alun keraton.[15]
Sekaten dikenal dengan budaya yang memadukan antara seni dan dakwah.
Pada saat agama Islam mulai masuk ke Jawa, Sunan Kalijaga
yang juga merupakan salah satu walisonga menggunakan gamelan, alat musik
tradisional jawa, untuk menarik masyarakat agar datang menikmati pagelaran.
Gamelan pengiring tersebut di beri naman Kyai Kanjeng Sekati.[16]
Upacara sekaten memadukan antara keindahan dengan kebenaran. Menyebarkan agama
melalui sebuah nilai kebenaran melalui kesenian. Sehingga banyak menarik
masyarakat untuk mengetahuiny, dan berimplikasi pada memeluk agama islam tanpa
keterpaksaan.
Ditengah Sekaten dibacakan juga ayat-ayat Al Qur’an dan
khotbah di tengah-tengah acara. Bagi masyarakat yang ingin masuk islam, mereka
wajib mengucapkan Syahadat. Adapun rangkaian dalam prosesi upacara sekaten
yaitu :[17]
1.
Tahap gamelan pusaka sekaten dibunyikan pertama kali
sebagai pertanda dimulainya upacara sekaten. Dalam tahap ini diselenggarakanlah
upacara udhik-udhik.
Pada tanggal 6 Maulud (Rabiulawal), sore hari, gamelan
pusaka yang diberi nama Kanjeng Kyai Sekati, terdiri atas dua perangkat yang
masing-masing bernama Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Naga Wilangan,
dikeluarkan dari tempat persemayamannya, dan dipindahkan serta diatur di kedua
bangsal yang terletak di srimanganti dan Bangsal Trajumas.
Perta dibunyikannya gamelan merupakan pertanda awal dimulainya
sekaten. Kemudian dilanjutkan sri sultan atau diwakilkan pangeran tertua yang
di iringi oleh rombongan para pangeran dan bupati berjalan sampai di depan
gerbang Danapertapa, beliau menaburkan udik-udik. Pelemparan udik-udik
dilakukan sebanyak tiga kali yaitu di depan gerbang Danapertapa, bangsal
srimanganti dan bangsal Trajumas.
2.
Rangkaian selanjutnya yaitu tahap gamelan sekaten
dipindahkan ke halaman masjid besar di pagongan sebelah utara dan selatan.
Tepat pukul 24 tengah malam, dengan dikawal oleh kedua
pasukan abdi dalem prajurit, yaitu prajurit mantri jeron dan ketanggung, kedua
perangkat gamelan dipindah dari bangsal srimanganti dan bangsal Trajumas
dipindah ke pagongan yang berada di masjid besar. Perpindahan gamelan tersebut
di ikuti dan diarak oleh masyarakat. Dengan dipindahkan gamelan ini kedepan
masjid besar, maka keramaian dan kerumunan orang-orang menyaksikan dan
menikmati gamelan, sehingga membuat mereka tertarikakan akan agama Islam.
3.
Tahap Sri Sultan dan pengiringnya hadir di masjid besar
untuk mendengarkan bacaan riwayat maulid nabi Muhammad SAW. Dalam tahap ini
diselenggarakanlah upacara udhik-udhik di pagongan dan serambi masjid besar.
Pada tanggal 11 bulan maulud atau Rabiulawal, mulai pukul
20.00 sri sultan keluar dari keraton menuju masjid besar untuk menghadiri
upacara maulud nabi Muhammad saw. Upacara tersebut berwujud pembacaan naskah
sejarah riwayat maulid Nabi Muhammad saw yang dibacakan oleh Kyai Pengulu.
Sebelum pembacaan riwayat, didahului dengan penaburan
udik-udik. Setelah selesai penaburan, mulailah Kyai Pengulu membacakan riwayat
maulid. Sampai pada bagian asrokal, maka semua yang hadir dimasjid berdiri,
untuk menghormat saat kelahiran Nabi Muhammad saw.
4.
Tahap di kembalikannya gamelan sekaten dari halaman
masjid besar kedalam keraton untuk menandai ditutupnya upacara sekaten.
Pada tanggal 11 Maulud atau Rabiulawal, kira-kira pukul
12 malam, dua puaka gamelan diboyong dari halaman masjid besar dikembalikan
kekeraton dengan dikawal pasukan abdi dalem. Acara ini sangat meriah, karena
selain dikawal prajurit abdi dalem, masyarakat umum ikut berbondong-bondong
mengawalnya. Upacara ini sebagai pertanda di tutupnya upacara atau perayaan
sekaten.
Adanya upacara ini bertujuan untuk memperingati hari
kelahiran Nabi Muhammad saw. Lebih lanjutnya acara ini diselenggarakan untuk
penyebaran agama islam. Melalui akulturasi budaya, islam masuk dengan menyatu
bersamatradisi dan tidak menentang adat, sehingga mudah diterima dalam
masyarakat.
Ada tiga kegiatan yang jalin-menjalin dalam rangka
peringatan hari lahir Nabi Muhammad ialah : upacara sekaten, upacara grebeg,
dan upacara keramaian sekaten:
1.
Upacara sekaten, berwujud dipikulnya gamelan sekaten Kyai
Guntur madu dan Kyai Nagawilaga selama enam hari berturut-turut di padongan
halaman masjid besar, serta dakwah-dakwah di serambi masjid;
2.
Upacara grebeg maulud, berwujud keluarnya hajat ndalem
yaitu berjenis gunungan dari keraton ke Masjid besar.
3.
Keramaian sekaten, wujudnya ialah tempat berjual beli
berbagai jenis makanan dan berbagai macam barang serta tempat untuk mendapatkan
beraneka ragam hiburan yang dibuka selama kurang lebih sebulan di alun-alun
utara.
Lambang
atau makna yang terkandung dalam unsur-unsur upacara:[18]
1.
Udhik-udhik yang disebarkan oleh raja dalam upacara
sekaten mengandung makna pemberian anugerah wujud harta dan berkat wujud Tuhan.
2.
Guntur madu, nama salah satu perangkat gamelan sekaten di
keraton Yogyakarta yang mengandung arti turunnya wahyu.
3.
Nagawilaga nama perangkat gamelan sekaten di keraton
Yogyakarta yang mengandung makna kemenangan perang yang abadi.
4.
Yaomi, judul salah satu gending sekaten, berasal dari
bahasa Arab yang berarti hari. Judul ini mengandung makna hari Maulud Nabi.
5.
Salatun, judul salah satu sebuah gending sekaten berasal
dari bahasa Arab berarti berdo’a. Judul ini mengandung makna berdo’a atau
menyembah Allah Yang Maha Esa.
6.
Dhindhang sabina, judul salah satu gending sekaten. Judul
ini mengandung makna mengenai jasa para mubaligh. Beliau menyiarkan agama Islam
sejak abad ke-13 Hijriyah.
7.
Ngajatun, salah satu judul dari gending sekaten berasal
dari bahasa Arab yang berarti kehendak. Judul ini mengandung makna kemauan hati
atau kuatnya kehendak untuk masuk islam dan menyongsong kelahiran Nabi Muhammad
SAW.
8.
Supiyatun, salah satu judul gending sekaten dari bahasa
Arab berarti suci. Judul ini mengandung makna kesucian hati dan bila
dihubungkan dengan judul ngajatun akan terkandung makna kemauan yang kuat untuk
mencapai sebuah kesucian hati.
Upacara sekaten ini
sebagai teardisi untuk melestarikan budaya yang memiliki unsur religius yang
berasimilasi dengan budaya yang ada di masyarakat tanpa menghilangkan adat
istiadat yang tertanam pada diri masyarakat itu sendiri. Islam masuk dengan
mengikuti tradisi dan adat istiadat yang ada, mengganti atau pengalihan nilai
substansi tanpa membuang atau mengikis tradisi dan adat istiadat yang ada.
BAB III
KESIMPULAN
Sekaten berasal
dari kata Syahadatain, yang dimaksudnya dua kalimat syahadat. Sekaten
merupakan bentuk akulturasi budaya dengan agama yang berbentuk perayaan upacara
adat yang terwujud dalam seni dan dakwah. Sekaten muncul seiring dengan
persebaran dan pengembangan islam di pulau jawa yang berada pada abad ke 14.
Sekaten diadakan dalam rangka perayaan hari lahir Nabi Muhammad saw. Masuknya
Islam melalui budaya bertujuan agar mudah diterima dengan ikhlas tanpa paksaan
pada masyarakat. Adapun rangkaian dalam prosesi upacara
sekaten yaitu :
1.
Tahap gamelan pusaka sekaten dibunyikan pertama kali
sebagai pertanda dimulainya upacara sekaten. Dalam tahap ini diselenggarakanlah
upacara udhik-udhik.
2.
Rangkaian selanjutnya yaitu tahap gamelan sekaten
dipindahkan ke halaman masjid besar di pagongan sebelah utara dan selatan.
3.
Tahap Sri Sultan dan pengiringnya hadir di masjid besar
untuk mendengarkan bacaan riwayat maulid nabi Muhammad SAW. Dalam tahap ini
diselenggarakanlah upacara udhik-udhik di pagongan dan serambi masjid besar.
4.
Tahap di kembalikannya gamelan sekaten dari halaman
masjid besar kedalam keraton untuk menandai ditutupnya upacara sekaten.
Daftar Pustaka
Baidhawy, Zakiyudiddin, Islam dan budaya lokal, dalam
Profetika Jurnal Study Islam, vol. 2, juli 2002. PMSI UMS.
Farela, Aristo, 2017. “A Short History of Java (Sejarah
Singkat Tentang Pulau Jawa, Kultur, Manusia, dan Budaya)”, Surabaya:
Ecosystem Publishing.
Simuh, 2000.“interaksi islam dalam budaya jawa”, Muhammadiyah
Dalam Kritik Surakarta. Muhammadiyah Universitiy Press.
Soepanto, Drs. Suratmin, Bambang Sularto, 1991. “Upacara
Tradisional Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta”, Yogyakarta : Dinas Pendidikan
pendidikan dan kebudayaan.
Yatim, Badri, 2008, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
*) Makalah Prarevisi
[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 9.
[2] Zakiyudiddin Baidhawy, Islam dan budaya lokal, dalam
Profetika (Jurnal Study Islam, vol. 2, juli 2002. PMSI UMS.
[3] Simuh, “interaksi islam dalam budaya jawa”, Muhammadiyah
Dalam Kritik (Surakarta. Muhammadiyah Universitiy Press, 200), hlm. 149.
[4] Aristo Farela, “A Short History of Java (Sejarah
Singkat Tentang Pulau Jawa, Kultur, Manusia, dan Budaya)”, (Surabaya:
Ecosystem Publishing, 2017), hlm. 46.
[6] Soepanto, Drs. Suratmin, Bambang Sularto, “Upacara
Tradisional Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta”, (Yogyakarta : Dinas
Pendidikan pendidikan dan kebudayaan, 1991), hal 29-30
Komentar
Posting Komentar