BUDAYA MITONI DAN PENDIDIKAN PRANATAL
Oleh: Nur Laili Mustaqimah
![]() |
Sumber Gambar |
Tugas Mata Kuliah: Peradaban dan Pemikiran Islam
Dosen Pengampu: Dr. Junanah, MIS
A.
Latar Belakang
Masalah
Sistem budaya orang
Jawa terdapat suatu upacara yang sederhana, yang mengandung selametan
(kadang-kadang disebut juga kenduren). Selametan adalah versi Jawa yang merupakan
upacara keagamaan yang paling umum di dunia, yang melambangkan kesatuan mistis
dan sosial. Ketika selametan berkumpullah handai tauladan, tetangga, rekan
sekerja dan sanak keluarga dan karena itu terikat kedalam suatu kelompok
sosial. Selametan merupakan semacam wadah bersama masyarakat yang mempertemukan
berbagai aspek kehidupan sosial dan pengalaman perseorangan, dengan suatu cara
yang memperkecil ketidakpastian, ketegangan dan konflik atau setidak-tidaknya
dianggap berbuat demikian. Selametan dapat diadakan untuk memenuhi semua hajat
orang sehubungan dengan suatu kejadian yang ingin diperingati, ditebus, atau
dikuduskan.[1]
Upacara selametan dapat digolongkan kedalam empat macam sesuai
dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan manusia sehari-hari, yakni:
1.
Selametan
dalam rangka lingkaran hidup seseorang, seperti hamil tujuh bulan, kelahiran,
upacara potong rambut pertama, upacara menyentuh tanah untuk pertama kali,
upacara menusuk telinga, sunat, kematian saat-saat setelah kematian.
2.
Selametan
yang bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah dan setelah panen padi.
3.
Selametan
berhubungan dengan hari-hari dan bulan-bulan besar.
4.
Selametan
pada saat-saat tidak tentu, berkenaan dengan kejadian-kejadian seperti hendak
perjalanan jauh, menempati rumah kediaman baru, menolak bahaya, janji kalau sembuh
dari sakit (nadzar) dan lain-lain.[2]
Allah SWT dengan segala kekuasaan-Nya menciptakan alam
semesta beserta isinya. Dia juga menciptakan manusia dengan struktur yang
sangat indah, bila dibandingkan dengan makhluk-makhluk Allah lainnya. Hal ini
sangat jelas digambarkan dalam al-Qur`an surat at-Tin ayat 4:
لَقَدْ
خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
Artinya:
“Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (Q.S. At-Tiin:
4).[3]
Dalam
proses penciptaan manusia, Allah juga telah menunjukkan kekuasaan-Nya. Allah menciptakan
manusia dengan berbagai proses diantaranya, yaitu:
1.
Penciptaan langsung dari
Allah, artinya bukan melalui sebab hubungan laki-laki dan perempuan. Contohnya,
penciptaan Nabi Adam as. (disebut manusia tanpa bapak ibu).
2.
Penciptaan
melalui seorang laki-laki saja, contohnya, penciptaan Siti Hawa (manusia tanpa
ibu). Ia diciptakan dari tulang rusuk Adam.
3.
Penciptaan melalui laki-laki dan perempuan,
contohnya kita (disebut manusia berayah dan beribu) yang diciptakan melalui
hukum kausalitas (sebab akibat). Di sini Allah menciptakan manusia melalui
sebab hubungan antara laki-laki dan perempuan (ayah dan ibu), tetapi Allah
tetap terlibat di dalamnya.
4.
Penciptaan melalui
perempuan saja, contohnya Isa as bin Siti Maryam (disebut manusia tanpa ayah).[4]
Dari keempat proses penciptaan manusia tersebut tidak lain
hanya untuk menunjukkan bukti-bukti kekuasaaan Allah SWT. Selama dalam
kandungan, anak sudah mengalami perkembangan, dari mulai pematangan ovum karena
berhasil dibuahi oleh sperma, kemudian menjadi menempel (‘alaqah), lalu berubah
menjadi daging (mudgah), lalu menjadi tulang belulang yang di bungkus
dengan daging (‘idham) yang kemudian Allah meniupkan ruh ke dalam janin
sehingga dia menjadi makhluk yang dikehendaki oleh Allah yaitu manusia.[5]
Selama pembentukan nutfah, atau dimulainya pembuahan dalam
kandungan, umumnya seorang ibu mengalami perubahan-perubahan baik dari segi
fisiknya maupun dari segi psikisnya. Kadang wanita hamil mengalami kecemasan,
ketakutan selama masa kehamilan. Jika seorang wanita mengalami kecemasan atau
ketidak bahagiaan yang ekstrem dan terus berlanjut selama kehamilan
berlangsung, ada kemungkinan terjadi perubahan glandular, yang berkait dengan
emosi yang menyebabkan gangguan kimiawi pada tubuh. Penyebab kecacatan pada
anak karena tekanan emosi yang ekstrem itu terjadi pada minggu-minggu pertama
setelah berlangsungnya konsepsi.[6]
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.[7]
Dimana proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang
dalam usaha mendewasakan manusia melalui usaha pengajaran dan pelatihan.
Ada beberapa ciri periode pra-natal. Periode ini adalah saat
dimana sifat bawaan dan jenis kelamin individu ditentukan, dimana kondisi dalam
tubuh ibu dapat mendorong atau mengganggu pola perkembangan pra-natal, dimana
pertumbuhan dan perkembangan secara professional lebih besar daripada dalam
periode-periode lain, ketika terdapat banyak bahaya fisik maupun psikologis, dan
saat orang-orang yang berarti membentuk sikap individu yang baru tercipta.[8]
Orang tua tetap menjadi pendidik utama bagi anak, terutama
selagi anak masih dalam kandungan, dengan kata lain di satu sisi orang tua
memberikan faktor keturunan dan juga faktor lingkungan bagi anak. Pendidikan
yang pertama adalah upaya penanaman agama dan budi pekerti, hal ini harus
dilakukan oleh orang tua sedini mungkin sejak terjadi pembentukan nutfah.
Jadi, seorang ibu, ayah dan orang-orang di sekitarnya dapat
memberikan pengaruh terhadap janin, dan menjaga dengan sebaik-baiknya terhadap
anak yang ada dalam kandungan adalah langkah yang paling tepat. Kehamilan
dipercaya merupakan fase di mana calon jabang bayi sudah mulai berinteraksi
dengan lingkungan sekitarnya melalui perantaraan sang ibu. Hubungan psikis
antara ibu dan anakpun sudah mulai terjalin erat mulai dari fase ini. Bagi
orang Jawa, kehamilan adalah bagian dari siklus hidup seorang manusia. Oleh
karena itu keberadaan jabang bayi selalu dirayakan oleh masyarakat Jawa dengan
tradisi yang bernama mitoni. Mitoni sendiri berasal dari kata ”pitu”
atau tujuh. Tradisi ini bertujuan agar calon bayi dan ibu selalu mendapatkan keselamatan. Kata pitu juga
mengandung doa dan harapan, semoga kehamilan ini mendapat pitulungan atau
pertolongan dari yang maha kuasa, agar baik bayi yang dikandung maupun calon
ibu yang mengandungnya tetap diberikan kesehatan dan keselamatan.[9]Pembacaan
doa, dengan harapan bayi dalam kandungan diberikan keselamatan serta
ditakdirkan selalu dalam kebaikan kelak di dunia.24
Hakikat dari mitoni adalah mendoakan calon bayi dan ibu yang
mengandung agar selamat sampai saat kelahiran nanti. Jadi, dari penjelasan di
atas pada intinya mitoni adalah tradisi yang sudah berjalan dan menjadi budaya
di masyarakat dengan nilai-nilai di Jawa yang berupa adanya doa dan sedekah,
Berdasarkan
pokok-pokok masalah di atas penulis tertarik untuk membahas budaya mitoni dan
pendidikan pranatal, di samping itu penulis melihat keterlibatan tingkah laku pada masa kehamilan terhadap pendidikan anak
yang masih ada dalam kandungan (anak pranatal). Dari sinilah penulis bermaksud
mengkaji lebih dalam lagi tentang budaya mitoni dan pendidikan pranatal.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud
dengan tradisi mitoni?
2. Bagaimana proses
pendidikan anak pranatal?
3. Bagaimana implikasi
tradisi mitoni terhadap pendidikan anak prenatal?
C.
Pembahasan
1.
Tradisi
Mitoni
a.
Pengertian
Tradisi Mitoni
Tradisi
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah adat kebiasaan turun-temurun,
atau bisa diartikan penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada
merupakan yang paling baik dan benar.[10] Bagi
orang Jawa, kehamilan adalah bagian dari siklus hidup seorang manusia. Oleh
karena itu keberadaan jabang bayi selalu dirayakan oleh masyarakat Jawa dengan
tradisi yang bernama mitoni.
Mitoni
berasal dari kata pitu yang artinya tujuh. Semua sarana yang disajikan
dalam selamatan dibuat masing-masing sebanyak tujuh buah, bahkan orang yang
memandikan pun dipilih sebanyak tujuh orang. Hal
ini karena mitoni diadakan ketika usia kandungan masuk tujuh bulan. Disebut
juga tingkeban. Tingkeb berarti tutup, ada yang memaknai tingkeban ini
sebagai upacara atau selamatan penutup, karena setelah usia kandungan tujuh
bulan istri tak boleh dicampuri oleh suaminya sampai nifas berakhir.[11]
Dalam
buku Tradisi Islami disebutkan, mitoni yaitu bersedekah dan diisi pembacaan
doa, dengan harapan bayi dalam kandungan
diberikan keselamatan serta ditakdirkan selalu dalam kebaikan kelak di dunia.
[12]Upacara
tersebut dilaksanakan pada saat usia kehamilan sekitar tujuh bulan, karena pada
saat itu sempurnalah janin dalam bentuk manusia yang mulai siap dilahirkan di
dunia.
Hakikat
dari mitoni adalah mendoakan calon bayi dan ibu yang sedang mengandungnya agar
selamat sampai saat kelahiran nanti. Sehingga, kenduri pada upacara mitoni ini
bertujuan agar bayi selalu selamat dalam kandungan dan kelak bisa lahir secara
normal. Begitu pun calon ibu yang sedang mengandung supaya diberi keselamatan
dan terhindar dari bahaya apa pun.[13]
b.
Amalan-amalan Tradisi Mitoni Menurut Budaya
Jawa
Menurut
kepercayaan masyarakat Jawa, penciptaan fisik bayi tersebut sudah sempurna pada
saat berusia tujuh bulan dalam kandungan. Berikut ini urutan-urutan acara mitoni,
yaitu: [14]
1)
Siraman pada calon
Ibu dan calon Ayah.
2)
Memasukan telur
ayam kampung ke dalam kain calon ibu yang dilakukan oleh calon Ayah.
3)
Berganti
pakaian.
4)
Brojolan atau
memasukan kelapa gading muda ke dalam kain calon ibu
5)
Memutus janur
yang melipat perut calon Ibu.
6)
Memecah gayung
dan wajan yang terbuat dari gerabah.
7)
Mengambil telur.
8)
Kenduri
Ada
tiga tahap pelaksanaan upacara adat mitoni. Yang pertama siraman,
dilanjutkan dengan brojolan, dan yang ketiga pemakaian busana.[15]Siraman
artinya memandikan, dengan maksud untuk mensucikan calon ibu dan anaknya yang
masih dalam kandunngan, baik lahir dan batinnya. Air yang dipergunakan untuk
memandikan diambil dari tujuh (pitu) sumber, lalu ditaruh dalam
jambangan (sejenis ember dari tanah liat atau tembaga) dan ditambahi dengan
bunga telon (tiga), seperti mawar, melati, dan kenanga. Sedangkan yang
memandikan dipilih tujuh orang yang sudah berumah tangga, yang bisa dijadikan
teladan bagi calon ibu yang akan dimandikan. Gayung untuk memandikan dibuat
dari batok kelapa yang masih ada lapisan dagingnya.
Dengan menggunakan kain batik (lilitan
jarit) dan tidak diperkenakan mengenakan segala jenis perhiasan, calon ibu
dibawa ke tempat siraman oleh seorang ibu (biasanya dukun wanita) yang
telah ditugasi. Pelaksanaan siraman diawali oleh calon kakeknya dan dilanjutkan
oleh calon neneknya yang selanjutnya diteruskan oleh ibu-ibu yang telah diberi
bunga tadi ke tubuh calon ibu.
Setelah
selesai memandikan, dukun yang tadi ditugasi, memberikan air terakhir untuk
membersihkan diri dari kendhi (sejenis teko dari tembikar). Selesai
membersihkan diri, kendhi lalu dibanting ke lantai oleh calon ibu. Ada
kepercayaan dikalangan orang Jawa, jika paruh atau pucuk kendhi ikut pecah
berantakan, maka anaknya akan lahir perempuan. Tapi jika tidak ikut pecah
tandanya bayi akan lahir laki-laki. Tetapi itu zaman dulu, ketika dokter belum
ada, dan teknologi pemindaian (scanning) belum canggih seperti sekarang.[16]
Setelah
dikeringkan dengan handuk, calon ibu diberi busana dengan lilitan kain (jarit)
yang diikat (secara longgar) dengan letrek (sejenis benang berwarna
merah, putih dan hitam). Merah melambangkan rasa kasih sayang calon ibu, putih
melambangkan rasa tanggung jawab calon bapak bagi kesejahtraan keluarganya
nanti, sedangkan hitam adalah lambang kekuasaan Yang Maha Kuasa, yang
mempersatukan cinta kasih kedua orang tuanya.Calon nenek laluk memasukan tropong
(alat tenun) ke dalam lilitan kain tadi, kemudian dijatuhkan ke bawah.
Acara ini mengandung doa bagi seluruh keluarga agar kelak proses kelahiran
dapat berjalan dengan lancar dan selamat.
Acara dilanjutkan dengan memasukkan dua
buah kelapa gading yang telah digambari (lewat lilitan jarit yang dikenakan
calon ibu). Gambarnya bisa memilih Kamajaya dan Dewi Ratih atau Harjuna dan
Sembadra. Acara ini disebut brojolan yang merupakan visualisasi doa
orang Jawa agar kelahirannya nanti jika laki-laki bisa setampan Kamajaya atau
Harjuna, jika perempuan secantik Dewi Ratih atau Sembadra.
Tugas
calon bapak adalah memotong letrek yang mengikat calon ibu tadi dengan
menggunakan keris yang ujungnya ditutupi kunyit, atau dapat juga dengan
menggunakan parang yang telah diberi untaian bunga melati. Apa yang dikerjakan
calon bapak adalah menggambarkan kewajiaan suami untuk memutus segala rintangan
dalam keluarga nanti.
Calon
bapak melanjutkan tugasnya dengan memecahkan buah kelapa yang telah digambari
tadi, dengan sekali tebas. Jika buah kelapa bisa terbelah menjadi dua bagian,
maka seluruh hadirin akan berteriak: “perempuan!”. Namun jika tidak bisa
terbelah dan hanya menyemburkan air isinya saja, maka hadirin akan berteriak:
“laki-laki!”.
Setelah
dikeringkan dengan handuk, calon ibu dibawa keruang tengah untuk diberi busana
dengan menggunakan jarit berbagai motif. Motif Sidaluhur, Sida Asih, Sida
Mukti, Gandasuli, Semen Raja, Parang, Lurik dengan motif Lasem.
Motif lurik lasem melambangkan cinta kasih antara calon bapak dan
ibunya.
Keenam
kain yang dianggap kurang pantas tadi akhirnya menumpuk di bawah ibu yang
hamil, lalu dijadikan alas untuk duduk calon ibu dan calon bapaknya. Acara ini
disebut angkreman. Angkreman menggambarkan seperti ayam yang
mengerami telurnya. Calon orang tua tadi duduk bersama di tumpukan kain tadi.[17]
Ada beberapa rangkaian upacara yang
dilakukan dalam mitoni, yaitu siraman, memasukkan telur ayam kampung ke dalam
kain calon ibu oleh sang suami, ganti busana, memasukkan kelapa gading muda,
memutus lilitan benang atau janur, memecahkan periuk, mencuri telur dan minum
jamu. Rangkaian upacara itu dipercaya sebagai prosesi pengusiran marabahaya dan
petaka dari ibu dan calon bayinya.[18]
Siraman
dilakukan oleh sesepuh sebanyak tujuh orang, bermakna memohon doa restu supaya
suci lahir dan batin. Setelah upacara siraman selesai, air kendi tujuh mata air
dipergunakan untuk mencuci muka, setelah air dalam kendi habis, kendi
dipecah.Sedangkan memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain calon ibu adalah
perwujudan dari harapan agar bayi bisa dilahirkan tanpa hambatan yang berarti.
Hal ini dilakukan oleh suami. Ia memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain
calon ibu melalui perut sampai pecah, hal ini merupakan simbol harapan supaya
bayi lahir dengan lancar, tanpa suatu halangan.Memasukkan kelapa gading muda ke
dalam sarung dari perut atas calon ibu ke bawah adalah simbolisasi agar tidak
ada aral melintang yang menghalangi kelahiran bayi.
Setelah itu calon ibu akan berganti pakain
dengan kain 7 motif, kemudian para tamu diminta untuk memilih salah satu dari
tujuh kain tersebut yang cocok untuk sang ibu. Sedangkan pemutusan lilitan
benang atau janur yang dilakukan setelah pergantian kain, masih bermakna agar
kelahiran bayi berjalan dengan lancar. Lilitan itu harus diputus oleh suami.
Pemecahan periuk mengandung makna agar nanti sang ibu mengandung lagi, dan
diharapkan kehamilannya berjalan dengan lancar. Sedangkan minum jamu berarti
bayi bisa lahir dengan cepat. Dan yang terakhir, mencuri telur, merupakan
perwujudan atas keinginan calon bapak agar proses kelahiran berjalan dengan
cepat, secepat maling yang mencuri.[19]
Untuk
melakukan mitoni, harus dipilih hari yang benar-benar bagus dan membawa
berkah. Orang Jawa memiliki perhitungan khusus dalam menentukan hari baik dan
hari yang dianggap kurang baik. Hari yang dianggap baik adalah Senin siang
sampai malam dan Jum’at siang sampai malam.Mitoni diselenggarakan sebaiknya
pada tanggal tujuh (penanggalan Jawa) sesuai usia kandunngan. Lebih baik lagi
kalau tanggal tujuh jatuh pada Sabtu Wage disingkat Tu Ge artinya Metu
Gage, atau keluar segera. Selain hari Sabtu, hari yang dianjurkan adalah
hari Rabu.
Setelah
melakukan serangkaian upacara, para tamu yang hadir diajak untuk memanjatkan
doa bersama-sama demi keselamatan ibu dan calon bayinya. Tak lupa setelah itu,
mereka akan diberi berkat untuk dibawa pulang.
c. Do’a
Tradisi Mitoni
Berikut
ini adalah bacaan dan doa yang biasanya dibaca dalam upacara mitoni:
1)
Membaca
al-fatihah
2)
Membaca surat al-Ikhlas tujuh kali , surat
al-Falaq satu kali, surat an-Naas satu kali, surat al-Fatihah satu kali, dan
ayat Kursi tiga kali.
3)
Membaca surat Yasin tiga kali, surat al-Rahman
tiga kali, surat Waqi’ah tiga kali, dan surat al-Mulk tiga kali.
2.
Pendidikan
Pranatal
a.
Pengertian
Pendidikan Pranatal
Secara
etimologis, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan.1 Sedangkan dalam bahasa
Arab, kata ”pendidikan” berasal dari kata ربى یربي تربیا - - – تربیة
yang
artinya, mengatur, menyayangi, mendidik.[20]
Sedangkan
secara terminologi, para ahli mendeskripsikan pendidikan dengan beberapa
definisi, di antaranya adalah:
1)
Dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional disebutkan, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.[21]
2)
Ahmad Tafsir
mengemukakan, pendidikan adalah berbagai usaha yang dilakukan oleh seseorang
(pendidik) terhadap seseorang (anak didik) agar tercapai perkembangan maksimal
yang positif.[22]
3)
Menurut Marimba
pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang
utama.[23]
4)
Jika dikaitkan dengan
budaya mitoni, maka yang dimaksud pendidikan anak pranatal dalam budaya mitoni
adalah usaha sadar yang dilakukan oleh orang tua kepada anak yang masih tumbuh
dan berkembang dengan amalan-amalan tradisi budaya Jawa.
b.
Proses
Perkembangan Pranatal
Manusia diciptakan melalui sebuah “proses” atau
tahapan-tahapan tertentu. Proses tersebut akan selalu berubah ke arah yang
lebih maju, atau dengan kata lain ke arah yang lebih sempurna yang disebut
sebagai perkembangan.[24]
Elizabeth
B. Hurlock, membagi fase perkembangan manusia menjadi tiga periode/fase, yaitu
periode ovum, periode embrio dan periode janin[25],
diantaranya yaitu:
1)
Periode Ovum
Periode ini berlangsung mulai dari pembuahan hingga
akhir minggu kedua. Pada periode ini belum ada sumber makanan dari luar
sehingga secara praktis ukurannya tidak berubah. Perkembangan intern sangat
cepat. Implantasi pada dinding rahim terjadi sekitar 10 hari sesudah
pembuahan.Dengan adanya implantasi, ovum menjadi sebuah parasit.
2)
Periode Embrio
Periode
ini berlangsung mulai dari akhir minggu kedua hingga akhir bulan lunar kedua.
Dalam periode ini organ seks terbentuk cukup baik untuk membedakan jenis
kelamin embrio. Semua ciri ekstern dan intern yang penting mulai berkembang dan
berfungsi. Pertumbuhan di bagian kepala secara proporsional jauh lebih besar
daripada bagian tubuh lain. Pada akhir periode ini, ukuran embrio 1½ sampai 2
inci panjangnya dan beratnya sekitar 1 ons.
3)
Periode Janin
Periode
ini berlangsung dari akhir bulan lunar kedua sampai lahir. Pertumbuhan
mengikuti hukum arah perkembangan yaitu dari bentuk yang belum sempurna ke
bentuk yang lebih sempurna. Kegiatan janin sudah dimulai antara bulan kedua dan
ketiga, misalnya menyepak, menggeliat dan memutar-mutar.
c.
Proses
Pendidikan Pranatal
1)
Persiapan
Pendidikan Pranatal
Pendidikan sebaiknya diberikan sedini mungkin dengan
persiapan yang matang. Semakin dini pendidikan itu diberikan, maka diharapkan
hasilnya juga semakin baik. Menurut pendapat Brojonegoro, persiapan pendidikan
dimulai pada saat pemilihan jodoh, yaitu dengan mempertimbangkan “bibit, bebet
dan bobot”.[26]
Bibit
ataunya, tinggal menunggu kelahiran janin. lebih kita kenal dengan sebutan
keturunan, sangat penting sekali dijadikan sebagai pertimbangan dalam memilih
pendamping hidup. Jadi dalam memilih pendamping hidup diutamakan berasal dari
keturunan yang baik-baik, karena jika tidak, dikhawatirkan akan mempengaruhi
keturunannya.
Selain mempertimbangkan bibit, pribadi dari calon
pendamping atau dalam ungkapan jawa dikenal sebagi “bebet” juga tidak kalah
pentingnya karena menyangkut orangnya secara langsung. Untuk itu perlu juga
bagi orang yang akan memilih pendamping hidup mempertimbangkan kepribadian dari
calon pendampingnya, bagaimana sikap dan tampangnya, bagaimana wataknya,
sehatkah, pantaskah, haluskah, tegaskah, keras dan lain-lain. Yang menjadi
pertimbangan lain bagi seseorang ketika memilih calon pendamping adalah
“bobot”, apakah calon pendampingnya anak orang berada atau cukupan atau kurang.
Apakah calon pendampingnya dapat mencari nafkah untuk hidup berkeluarga kelak.
Jadi dalam hal “bobot” atau harta kekayaan ataupun kemampuan dalam mencari
nafkah pun dijadikan pertimbangan pula, dengan harapan agar keturunanya kelak
bisa tercukupi kebutuhannya.
Dalam
hal tersebut yang dijadikan pertimbangan dalam memilih pendamping hidup, sampai
saat ini masih banyak dilakukan/dipraktekan orang. Hal itu tidak dipandang sebagai
sesuatu yang salah. Karena seperti apa yang diungkapkan oleh Prof.
Brodjonegoro, ketiga hal tersebut merupakan langkah yang paling awal atau
persiapan bagi pendidikan anak dengan harapan agar keturunanya nanti menjadi
anak yang baik, baik fisik maupun non fisik, serta tercukupi kebutuhannya.
2)
Pelaksanaan Pendidikan Pranatal
Secara riil pendidikan dilakukan setelah anak dilahirkan.
Pendapat yang diungkapkan oleh F. Rene Van De Carr, dalam bidang perkembangan
pra lahir menunjukan bahwa selama berada dalam rahim, bayi dapat belajar,
merasa, dan mengetahui perbedaan antara gelap dan terang, diantaranya
dijelaskan dalam hal berikut[27]:
a)
Pendidikan Fisik
Yang
dimaksud dengan pendidikan fisik ialah pemeliharaan kesehatan ibu yang sedang mengandung
agar anak yang dikandung juga sehat. Untuk menjaga hal tersebut, maka kesehatan
ibu harus benar benar dijaga dengan cara memeriksa kandungan secara rutin ke
dokter, mengkonsumsi makanan yang bergizi, memperhatikan kebersihan pakaian dan
lingkungan.
b) Pendidikan
Psikis
Pendidikan psikis yang dimaksud
disini, pada waktu seorang ibu sedang mengandung jangan memikirkan persoalan
yang berat-berat dan ruwet-ruwet. Sebaiknya selalu memikirkan hal-hal yang
menyenangkan saja. Jangan membenci dan memfitnah orang lain, memperbanyak
istirahat dan rileks di dalam hidup sehari-hari. Jadi kondisi fisik ibu harus
selalu dijaga agar tetap stabil. Kondisi fisik dan psikis ibu yang sedang
mengandung harus tetap dijaga karena keduanya sangat berpengaruh sekali
terhadap bayi yang dikandungnya. Semakin sehat kondisi jasmani seseorang maka
semakin sehat juga jiwa dari orang tersebut.
d.
Tujuan
Pendidikan Pranatal
Tujuan
pendidikan pranatal adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu
usaha atau kegiatan selesai. Dalam tujuan pendidikan, harus berdasarkan pada
kenyataan yang terdapat pada individu.[28]Dalam
pendidikan pranatal, ibu adalah guru yang utama, dan biasanya dibantu oleh ayah
atau anggota keluarga yang lain. Dengan melibatkan seluruh anggota keluarga
dalam program pendidikan pranatal, akan membuahkan hasil yang positif, di
antaranya:
1)
Terciptanya
kebersamaan dan kesan bahwa semua anggota keluarga, yang terkecil sekalipun
dapat membantu pendidikan sang bayi.
2)
Dengan latihan-latihan tersebut, akan membuat
setiap anggota keluarga menjadi guru yang lebih baik. Lebih penting lagi,
latihan-latihan tersebut membuat setiap anggota keluarga mempunyai ikatan
dengan sang bayi yang belum dilahirkan.16
Adapun
tujuan pendidikan pra lahir adalah membantu orang tua dan anggota keluarga
memberikan lingkungan yang lebih baik bagi bayi, memberikan peluang untuk
belajar dini dan mendorong perkembangan hubungan positif antara orang tua dan
anak yang dapat berlangsung selama lamanya.[29]
Jadi,
tujuan dari pendidikan pranatal sesuai dengan fase perkembanganya adalah untuk
memberikan kesempatan bagi individu belajar lebih dini, yang diberikan melalui
stimulus oleh orang tua dan anggota keluarga yang lain, untuk mengenalkan
lingkungan sekelilingnya, agar setelah kelahirannya bayi sudah merasa lebih
mengenal lingkungan yang ada di sekelilingnya.
3.
Implikasi
Budaya Mitoni dan pendidikan Pranatal
Implikasi tradisi mitoni terhadap pendidikan anak
pranatal sangat erat sekali hubungannya
dengan pendidikan pranatal terhadap budaya mitoni, karena terkandung nilai
budaya (adat dan tradisi). Tradisi mitoni merupakan sebagian di antara cara mendidik
anak pranatal dalam pengembangan fithrah manusia, baik jasmani maupun rohani,
sehingga anak diharapkan kelak mempunyai ruang gerak yang lebih luas untuk
mengaktualisasikan segenap potensi yang dimilikinya berdasarkan perkembangan
anak menuju terbentuknya kepribadian yang baik serta tidak meninggalkan
kebudayaan, sehingga anak sejak dini (pranatal) disiapkan dan di didik secara disiplin.
D. Kesimpulan
Dari
pembahasan dalam makalah di atas, dapat kita tarik kesimpulan, yaitu:
1.
Budaya Mitoni dalam pendidikan pranatal adalah aktifitas
budaya yang dilakukan manusia dengan berdzikir, membaca al-Qur'an, bersedekah
dalam rangka ikhtiar agar anak yang berada di dalam kandungan kelak ditakdirkan
oleh Allah SWT sebagai orang yang berumur panjang untuk beribadah, diberi rizki
yang lapang lagi halal, dan menjadi orang yang beruntung di dunia maupun
akhirat upacara tersebut dilaksanakan pada saat usia kehamilan sekitar tujuh
bulan, karena pada saat itu sempurnalah janin dalam bentuk manusia yang mulai
siap dilahirkan di dunia. dalam hal ini ada sebagian daerah yang melaksanakan
hal tersebut dicampur dengan adat kejawen.
2.
Proses budaya mitoni dalam pendidikan prenatal adalah
bimbingan yang dilakukan oleh orang tua kepada anak yang masih tumbuh dan
berkembang dalam kandungan.Persiapan pendidikan pranatal dimulai sejak
pemilihan jodoh, pada saat melakukan hubungan suami istri dan pada masa
kehamilan. Dalam pendidikan pranatal dalam Islam, yang dituju pada dasarnya
adalah pembiasaan pembinaan dan pengembangan fithrah manusia, baik jasmani
maupun rohani, sehingga anak diharapkan kelak mempunyai ruang gerak yang lebih
luas untuk mengaktualisasikan segenap potensi yang dimilikinya, sehingga anak
sejak dini (pranatal) disiapkan mengalami ketentraman dan pembiasaan hal-hal
yang baik.
3.
Implikasi
tradisi mitoni terhadap pendidikan anak pranatal sangat erat sekali hubungannya pendidikan pranatal terhadap budaya mitoni,
karena terkandung nilai budaya (adat dan tradisi). Tradisi mitoni merupakan
sebagian di antara cara mendidik anak pranatal dalam pengembangan fithrah manusia,
baik jasmani maupun rohani, sehingga anak diharapkan kelak mempunyai ruang
gerak yang lebih luas untuk mengaktualisasikan segenap potensi yang dimilikinya
berdasarkan perkembangan anak menuju terbentuknya kepribadian yang baik serta
tidak meninggalkan kebudayaan, sehingga anak sejak dini (pranatal) disiapkan
dan di didik secara disiplin.
A. D. Marimba.1989. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung:
al-Ma’arif.
A. Warison Munawar,Al-Munawwir. 1984. PP. Al-Munawir.
Yogyakarta:
Krapyak.
Ahmad Tafsir.2000. IlmuPendidikan dalam Perspektif Islam.
Bandung: Rosda
Karya.
Clifford
Geertz. 2003. Abangan Santri Priyayi
Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:
Pustaka
Jawa.
Departemen
Agama Republik Indonesia. 1996. Al-Qur’an
Al Karim dan
Terjemahannya.
Semarang: PT Karya Toha Putra.
ElisabethB. Hurlock. 1978. Perkembangan Anak. Jakarta:
Erlangga.
F.
Rene Van De Carr dan Marc Lehrer. 2008. Cara Baru Mendidik Anak Sejak
dalam Kandungan. Bandung: Kaifa
Fahmi Suwalah
dan Abu Aman. 2011. Ensiklopedi Syirik dan Bid’ah Jawa. Solo:
Aqwam
Media Profetika.
Gesta Bayuadhy.
2015. Tradisi-Tradisi Adiluhung Para Leluhur Jaura.
Yogyakarta:
DIPTA.
Hartati, Netty. 2005. Islam dan Psikologi. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Hasan Alwi.
1208. Departemen Pendidikan Nasional
Kamus Besar Bahasa
Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Koentjaraningrat. 2004. Manusia
dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan.
M. Afnan Hafidh dan A.Ma’ruf Asrori. 2007. Tradisi Islami. Surabaya:
Khalista.
M. Mutawalli al
Sya’rawi. 1993. Esensi Hidup dan Mati, Teri. Jakarta: Gema
Insani
Press.
M.Fauzi Adhim.
2007 Bahagia Saat Hamil Bagi Umahat. Yogyakarta:
Gema
Insani.
Muhammad Syafiqul Anam. 2011. Fiqih Kehamilan. Jombang:
Darul Hikmah,
2011.
Pemerintah
Republik Indonesia. 2007. Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional
Guru Dan Dosen. Yogyakarta: Pustaka Merah Putih.
Pemerintah
Republik Indonesia. 2009. Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta: Sinar Grafika.
Sumadi Suryabrata. 1995. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT
Raja Grafindo
Persada.
Sumadi
Suryabrata. 1995. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Remaja Grafindo
Persada.
Sutari Imam
Barnadib. 1995. Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis.Yogyakarta:
Andi
Offset.
Sutrisno Sastro Utomo. 2005. Upacara Daur Hidup Adat Jawa.
Semarang: Effhar
*) Makalah Prarevisi
[1]
Clifford
Geertz, Abangan Santri Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka
Jawa,2003), hlm. 13
[2]
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta:
Djambatan, 2004), hlm. 347-348
[3] Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Al Karim dan Terjemahannya,
(Semarang: PT Karya Toha Putra Semarang, 1996), hlm. 478.
[4] M. Mutawalli
al Sya’rawi, Esensi Hidup dan Mati, Teri. H. Halilullah Ahmas. (Jakarta:
Gema Insani Press, 1993), hlm. 14-15.
[5] Sumadi
Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1995), hlm, 194-198.
[6] M.Fauzi Adhim,
Bahagia Saat Hamil Bagi Umahat, (Yogyakarta: Gema Insani, 2007) , hlm.
45
[7] Pemerintah
Republik Indonesia, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Guru Dan Dosen,
(Yogyakarta: Pustaka Merah Putih, 2007), hlm. 7.
[8] Hartati, Netty,
Islam dan Psikologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.45.
[9] Sutrisno
Sastro Utomo, Upacara Daur Hidup Adat Jawa, (Semarang: Effhar Offset,
2005), hlm. 7.
[10] Hasan Alwi,
Departemen Pendidikan Nasional Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, cet. Pertama, Ed. III, 2001), hlm. 1208.
[11] Fahmi Suwalah
dan Abu Aman, Ensiklopedi Syirik dan Bid’ah Jawa, (Solo: Aqwam Media
Profetika, 2011), hlm. 63.
[12] M. Afnan
Hafidh dan A.Ma’ruf Asrori, Tradisi Islami, (Surabaya: Khalista, 2007),
hlm. 8.
[13] Gesta
Bayuadhy, Tradisi-Tradisi Adiluhung Para Leluhur Jaura, (Yogyakarta:
DIPTA, 2015), hlm. 24.
[15] Ibid., hlm.
1.
[16] Ibid., hlm. 9.
[17] Ibid., hlm.11.
[18] Muhammad
Syafiqul Anam, Fiqih Kehamilan, (Jombang: Darul Hikmah, 2011), hlm. 221.
[19] Ibid.,
hlm.222.
[20] A. Warison
Munawar,Al-Munawwir, PP. Al-Munawir, (Yogyakarta: Krapyak, 1984), hlm.
497.
[21] Pemerintah
Republik Indonesia, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta:
Sinar Grafika,2009), hlm. 3.
[24] Sumadi
Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Remaja Grafindo Persada,
1995), hlm. 178
[25] ElisabethB.
Hurlock,Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga,1978), hlm. 66.
[26] Sutari Imam
Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta: Andi
Offset, 1995), hlm. 27.
[27] F.
Rene Van De Carr dan Marc Lehrer, Cara Baru Mendidik Anak Sejak dalam
Kandungan, Terj. Alwiyah Abdurrahman, (Bandung: Kaifa, Ed. Baru, Cet. I,
2008), hlm.35.
[29] Ibid.,
hlm. 27.
Komentar
Posting Komentar