Makalah
Pendekatan Pengkajian dalam Islam
MODEL PENELITIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM: “PESANTREN, MADRASAH, DAN SEKOLAH PENDIDIKAN ISLAM
DALAM KURUN MODERN (Karya: Karel A. Steenbrink)
Disusun Oleh:
Ahmad Abdul Qiso
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain, MA.
A. Latar Belakang
Masalah
Pada awalnya,
ketika Steenbrink mengajukan prosposal untuk mencari sponsor, isinya adalah
terkait dengan penelitian perbandingan tafsir di Indonesaia. Setelah pada bulan
Maret 1970 dia berangkat ke Indonesia, di tahun pertama dia telah mengalami
kesulitan karena pada waktu itu di Indonesai belum muncul diskusi mengenai
metodik modern dalam tafisr secara umum. Oleh karena itu ia pindah kepada judul
baru, yang sudah disiapkannya sebagai reserve,
yaitu perkembangan kehidupan pesantren.[1]
Studi mengenai
perkembangan Islam Modern di Indonesia telah banyak dilakukan oleh beberapa
sarjana dan ilmuan sebelumnya, misalnya: pertama,
Clifford Geertz, yang memberikan gambaran mengenai pesantren (dan Nahdlatul
Ulama yang mengelola lembaga itu), dari responden yang dekat dengan dia, yaitu
orang Muhamadiyah dari kota. Kedua, Dr.
B.J. Boland[2],
yang memeliti terkait dengan lembaga baru dalam Islam di Indonesia. Ketiga, Deliar Noer, yang meneliti
tentang gerakan modern Islam di Indonesia. Ketiga penelitian ini mengambil fokus
penelitiannya kepada gerakan kota, gerakan reformis, dan gerakan medernis.[3]
Karen A.
Steenbrink tertarik meneliti lembaga-lembaga Pendidikan pesantren, karena dua
hal: pertama, karena kehidupan di
pesantren jika diperhatikan dan dialami untuk waktu yang lebih lama, memberikan
sebuah pengalaman yang sangat manarik mengenai kehdupan dalam lingkungan khas
Islam. Kedua, secara ilmiah Steenbrink
mempunyai keyakinan, aspek kehidupan itu belum digambarkan dalam studi modern
mengenai Islam di Indonesia. Ketiga, Steenbrink
sebagai sebagai peneliti yang berlatar belakang Katolik, merasa lebih dekat
dengan orang pesantren, daripada den gan orang Muhamadiyah atau Pesatuan Islam
(Persis).[4]
Selama proses
penelitian Steenbrink melakukan pengamatan di sejumlah pesantren di pulau Jawa
dan Sumatera, yaitu: di mulai dari Jawa Barat, Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, Setelah melakukan kunjungan kebeberapa pesantren di daerah
Sukabumi dan Garut, peneliti melakukan perjalanan ke Jawa Tengah. Kunjungan ini
memakan waktu selama 8 bulan. Penelitian terakhir dilakukan di Pesantren Modern
Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Peneliti menetap selama tiga bulan di Gontor.
Pesantren ini dipilih karena masih cukup berakar dalam tradisi pesantren,
disamping sudah menempuh jalan baru.[5]
Hipotesa
penelitian, bahwa sejak permulaan abad 20, telah terjadi sebuah perubahan besar
dalam Pendidikan Islam di Indonesia: disamping lembaga tradisional seperti
pesantren dan pengajian Qur’an sederhana, didirikan lembaga yang memakai metode
modern dan sering disebut madrasah. Malah perubahan yang paling drastis adalah
metodik yang dipakai Muhamadiyah untuk HIS: di sana sistem sekolah diikuti
saja, ditambah sedikit (2-4 jam per-minggu) pelajaran agama. Pendidikan modern
umat Islam di Indonesia sejak itu bersifat aneka ragam dengan dua pola ekstrim:
lembaga tradisional di samping sekolah modern. Di antara dua pola ini memang
ditemukan banyak bentuk sebagai upaya mencari jalan tengah atau sintesa antara
dua ekstrim ini, dengan mengambil unsur yang baik dari dua sistem ini.[6]
Bab pertama
dalam penelitian ini, Steenberink membahas tentang “problematika studi melalui
pendekatan sejarah” (kajian terhadap dualisme Pendidikan yang diselenggarakan
oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta Departemen Agama, Situasi
Pendidikan Islam pada awal abad ke-20, dan pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia). Bab kedua, peneliti membahas tentang “profil guru agama Modern”.
Bab ketiga, peneliti membahas tentang “perubahan dalam materi pengajaran
agama”, dan bab empat, peneliti membahas tentang “penghargaan agama terhadap
Pendidikan umum”.[7]
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1.
Bagaimana
perkembangan pesantren dari zaman kolonial Belanda hingga zaman kemerdekaan
Indonesia?
C. Telaah Hasil
Penelitian Terdahulu
Tema tentang Pendidikan Islam telah
banyak dikaji oleh para sarjana, baik dalam dan luar negeri, yaitu:
Pertama,
Zamakhsyari
Dhofir dalam Tradisi Pesantren: Studi
tentang Padanangan Hidup Kyai (1982). Fokus utama penelitian ini adalah
“Bagaimana peranan kyai dalam memeliahara dan mengembangkan faham Islam
tradisional di Jawa?” dan Apakah perubahan-perubahan yang terjadi dalam
lingkungan pesantren dan Islam tradisional di Jawa pada era modern saat ini?. Penelitian
ini dilakukan berdasarkan studi lapangan, terutama atas dua pesantren, yaitu
pesantren Tegalsari dan pesantren Tebuireng. Penelitian ini menggunakan pendekatan
Antropologi dengan metode historis[8]
dan etnografis[9].
Hasil peneltian ini menunjukkan bahwa walaupun para kyai terikat kuat oleh pola
pemikiran Islam tradisional, namun mereka talah mampu membenahi dirinya untuk
tetap memiliki peranan dalam membangun masa depan Indonesia. Para kyai menjadi
penghubung antara Islam tradisional dengan dunia nyata. Dari hasil penelitian
ini juga dapat disimpulkan bahwa dalam membangun masa depannya, lembaga-lembaga
pesantren beridiri dengan teguh di atas landasan traidisi masa lampaunya. Ada
elemen-elemen lama yang dibuang, kemudian dimasukkan elemen-elemen baru; ada
kebiasaan-kebiasaan lama yang dibuang, sementara lembaga-lembaga baru mulai
diperkenalkan, dan sebagainya.[10]
Kedua,
Manfred
Ziemek dalam karyanya, Pesantren dalam
Perubahan Sosial (1986). Fokus utama penelitan ini adalah “Bagaimana
peranan Pendidikan Islam tradisional (pesantren) bagi perubahan sosiokultural
di kawasan masyarakat Indonesia?”. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif
berjenis library research. Pedekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah sosio
historis.[11]
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Islam mempunyai potensi Pendidikan dan
kemasyarakatan di Indonesia yanag dapat di lihat pada pesantren tradisional.
Menurutnya pesantren merupakan pusat pengembangan di bidang Pendidikan,
politik, budaya, sosial, dan keagamaan.[12]
Berbeda dengan
dua penelitian di atas (Zamakhsyari Dhofir fokus terhadap usaha-usaha yang
dilakukan Kyai untuk memelihara tradisi pesanteren dan Manfred Ziemek fokus terhadap bagaimana peran
dan fungsi lembaga Pendidikan tradisional bagi proses pengembangan masyarakat
pedesaan), penelitian karel A. Steenbrink ini fokus kepada perkembangan
pesantren zaman colonial Belanda hingga zaman kemerdekaan Indonesai, yang belum
banyak di lirik peneliti.
D. Metodologi
Karel A.
Steenbrink dalam penelitian ini, melakukan studi lapangan ke bebeapa pesantren
di pulau jawa dan sumatera. [13]
Pendekatan yang digunakan Steenbrink adalah pendekatan sosio antropologis
dengan terlibat dan mengalami langsung di lapangan (di pesantren), dengan
menggunkan matode sosio historis dan etnografis. Metode sosio historis
digunakan untuk mengkaji dan menggali informasi terkait dengan perkembangan
pesantren sejak era kolonial Belanda hingga zaman kemerdekaan Indonesia,
kemudian di intrepertasikan, yakni dari sistem Pendidikan pesantren yang masih
murni dengan metode sorogan dan bandongan hingga dikembangkannya sistem
Pendidikan madrasah dan sekolah umum. Sedangkan metode etnografis digunakan
untuk menganalisis proses kebudayaan yang terjadi dalam lingkungan pesantren,
yang melibatkan pengamatan yang luas terhadap pesantren tersebut. Peneliti ikut
terlibat dalam kegiatan sehari-hari di pesantren untuk mempelajari makna dari
prilaku, bahasa, dan intraksi di lingkungan pesantren.
Sumber data
primer dalam penelitian yang dilakukan karel A. Steenbrink “Pesantren,
Madrasah, Madrasah: Pendidikan Islam dalam kurun modern” adalah dengan melakuan
penelitian lapangan, dengan melakukan wawancara dan pengamatan lapangan.
Adapaun sumber sekunder dalam penelitian ini adalah:
1.
Karya Mahmud
Junus, “Sedjarah Pendidikan Islam di
Indonesia”, Jakarta: 1960.
2.
Kartya Mukti
Ali, “Pelbagai Persoalan Islam di
Indonesia dewasa ini”, Yogyakarta: 1970.
3.
Karya Snouck
Hurgronje, C. “Verspreide Geschriften”, Bonn
dan Leipzing, 1923-25, Leiden: 1926, tiga jilid.
4.
Karya Lothrop
Stoddard, “The new word Islam”, London,
1921 (dengan terjemahan Indonesia: “Dunia
baru dalam Islam”, Jakarta:1966.
E. Ruang Lingkup
Penelitian
Karen A.
Steenbrink dalam penelitiannya fokus kepada penelitian dan pengamatan terhadap
lembaga-lembaga Pendidikan pesantren, yang dilakukannya di beberapa pesantren
di jawa dan sumatera. Adapun ruang lingkup pembahasan dalam penelitian ini
adalah:
1.
Dari Pesantren
hingga Madarasah dan Sekolah: Sebuah
tinjauan historis dari zaman kolonial Belanda hingga zaman kemerdekaan
Indonesia
a.
Asal usul sistem
Pendidikan yang dualistis
Pendidikan dualitas
ini dimulai sejak pemerintahan kolonial Belanda. J.A. Van der Chijs (1865)
ketika menjabat inspektorat Pendidikan
Pemerintah Kolonial Belanda, ia sudah menolak menyesuaikan Pendidikan Islam
yang ada, dengan alasan: “walaupun saya sangat setuju kalau sekolah pribumi
diselingi dengan kebiasaan pribumi, namun saya tidak menerimanya karena
kebiasaan tersebut terlalu jelek[14],
sehingga tidak dapat dipakai dalam sekolah pribumi. Hal ini juga dikemukan
beberapa sarjana lainnya.[15]
Pada saat yang
sama, di Minahasa dan Maluku terdapat sejumlah sekolah yang didirkan oleh
Zending, tetapi mendapat subsidi dari pemerintah.[16]
Dalam perkembangan selanjutnya, sekolah ini akhirnya masuk dalam sistem
Pendidikan umum gubernemen. Secara teknnis memasukkan sekolah tersebut ke dalam
sistem sekolah umum lebih mudah dari pada memasukkan pesantren ke dalam sistem
Pendidikan umum. Hal ini dikarenakan Zending mempunya hubungan yang baik dengan
pemerintah kolonial Belanda dibandingkan Islam.[17]
Ketika tumbuh
keinginan untuk mengembangkan satu sistem Pendidikan umum bagi semua pada pada
pergantian abad ke 20, beberapa tokoh berpikir untuk mencari kemungkinan
melibatkan Pendidikan Islam dalam pengembangan tersebut. Akan tetapi karena
alasan politis, penggabungan sistem tesebut tidak terlakasana, sebagai akibat
konsekuensi logis dari kebijaksanaan pemerintah Kolonial Belanda yang tidak mau
campur tangan dalam persoalan Islam. Hal ini bisa di lihat ketika pada tahun
1888 Menteri Kolonial menolak memberikan subsidi kepada sekolah-sekolah Islam.
Semenjak itu (awal abad 20), sekolah Islam mengambil jalan sendiri, lepas dari
gubernamen (hingga sekarang Pendidikan Islam terpisah dengan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, namun berada dibawah Kementerian Agama
RI), tetap berpegang pada tradisinya sendiri, tetapi juga terbuka untuk
perubahan dalam tradisi tersebut.[18]
b.
Situasi
Pendidikan Islam pada awal abad ke-20
Pendidikan Islam
yang paling sederhana adalah pengajaran Al-Qur’an, sebagaimana dikutip
steenbrink dari Snouck Hurgronje bahwa “Pendidikan Al-Qur’an ini dilakukan
secara individual kepada para murid. Biasanya mereka berkumpul di salah satu
langar atau di serambi rumah sang guru. Mereka membaca dan melagukan ayat-ayat
suci dihadapan guru satu persatu di bawah bimbingannya selam 1/4
atau 1/2 jam.[19]
Pendidikan
lanjutan, yaitu pangajian kitab. Terdapat beberapa perbedaan antara Pengajian
kitab dengan pengajian Al-Qur’an, yaitu:
1)
Para murid
pengajian ini biasanya masuk asrama dalam lingkungan pesantren.[20]
2)
Mata pelajaran
yang diberikan lebih banyak dibanding pengajian Al-Quran.[21]
3)
Pengajian Kitab
juga dilakukan secara berkelompok, tidak hanya individual sebagaimana pengajian
Al-Qur’an.[22]
Pendidikan pesantren secara terminologis dapat
dijelaskan bahwa di lihat dari segi bentuk dan sistemnya, berasal dari India. Sedangkan
Soergarda Poerbakawatja menyebut persamaan pesantren dengan tradisi hindu bisa
di lihat dari penyerahan tanah oleh negara bagi kepentingan agama. Hal ini
tidak dijumpai dalam Pendidikan Islam di Mekkah. [23] Namun,
pendapat ini sebagaimana dikutip Steenbrink dari Soebardi (dalam
bukunya “santri religious elements”) yang
mengatakan bahwa pernyataan yang menyatakan pendidikan Islam
berasal dari Hindu bukan Islam, ternyata kurang tepat, sebab sistem tersebut
dapat ditemukan dalam dunia Islam. Senada dengan Soebardi Mahmud Junus
mengatakan bahwa sistem pembelajaran di pesantren, ternyata dapat diketemukan
di Bagdad ketika menjadi pusat dan ibu kota wilayah Islam. Menurut Steenbrink,
begitupan dalam penyerahan tanah oleh negara sebagai Pendidikan agama, dapat
ditemukan dalam sistem wakaf di Islam.[24]
c.
Pembaharuan
Pendidikan Islam di Indonesia sebagai salah satu aspek perbaharuan Islam dalam
permulaan abad ke-20
Menurut H.
Aboebakar Atjeh sebagaimana dikutip Steenberink, tokoh dan organisasi penting
dalam Islam di Indonesai pada permulaan abad ke-20 ini terbagi dalam 3
kelompok, yaitu gerakan salaf[25],
gerakan modernis[26],
dan gerakan bersifat politik.[27] Menurut
Steenbrink untuk mengadakan perubahan Pendidikan berasal dari gerakan salaf
yang menolak taqlid yang juga tidak lain berarti menekankan pentingnya bahasa
Arab sebagai jalan untuk kembali kepada Qur’an dan Sunnah. Namun dalam
kenyataannya cita-cita ini tidak dapat diwujudkan.[28]
1)
Pembaharuan
Pendidikan Islam di Minangkabu (1906-1930)
Tokoh pertamanya
adalah Abdullah Ahmad. Ia mendirikan sekolah Adabiyah di Padang Panjang. Namun,
belum sampai usia satu tahun, sekolah ini sudah ditutup dan dipindahkan ke
Padang. Di padang sekolah Adabiyah ini jauh lebih maju dibanding ketika masih
di Padang Panjang. Pendidikan umum lebih ditekankan daripada Pendidikan agama.[29]
Untuk memperbaiki mutu Pendidikan umum Abdullah Ahmad memasukkan empat orang
guru bebangsa Belanda. Pada tahun 1916 sekolah Adabiyah ini diakui oleh
pemerintah sebagai HIS pertama yang didirikan oleh organisasi Islam. Setahun
selanjutnya mendapat subsidi penuh dari gubernamen.[30]
Tokoh kedua
adalah Zainudin Labai el Junusi (1890-1924). Pembaharuan Pendidikan Islam di
Minangkabau dimulainya pada tahun 1916 dengan mendirikan Madrasah Diniyah, yang
merupakan madrasah sore untuk Pendidikan agama yang diorganisasikan berdasar
sistem klasikal dan tidak mengikuti sistem pengajian tradisional yang
individual. Hamka yang merupakan murid pertama Zainudin Labai, ia menyatakan
bahwa gurunya itu mengambil metode Mesir dalam menyelenggarakan Pendidikan.
Madrasah diniyah ini mengalami perkembangan yang sangat signifikan, pada tahun
1922 di Sumatera Barat telah terdapat 15 sekolah yang mengikuti sistem ini.
Bahkan mereka mendirikan organisasi bernama “Persatuan murid-murdi diniyah
school”.[31]
2)
Pembaharuan
Pendidikan Islam di Yogyakarta
Tokohnya adalah
Ahmad Dahlan.[32]
Pada tahun 1911 beliau mendirikan sebuah sekolah dasar di lingkungan kraton
Yogyakarta. Sekolah ini dijalankan dengan sistem Pendidikan gubernamen. Dia
menekankan semboyan kepada
murid-muridnya: “Sedikit bicara, banyak bekerja”. Pada 18 November 1912 Ahmad
Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah bersama dengan teman-temanya. Pada
mulanya kegiatan terpenting organisasi ini adalah tabligh.[33]
Sedangkan dalam bidang Pendidikan, Muhammadiyah melanjutkan model sekolah
yang digabungkan sistem Pendidikan gubernamen. Pada akhir tahun 1923, di
Yogyakarta telah didirikan empat sekolah dasar Muhammadiyah. Disamping itu, organisasi
itu juga mendirikan sekolah yang lebih bersifat agama, seperti madarasah
diniyah di Minangkabau. Pada 8 desember 1921, Muhamadiyah sudah dapat
mendirikan pondok Muhammadiyah sebagai sekolah Pendidikan guru agama. Melihat
kegiatan yang dilakukan Muhammadiyah ini, nampak jelas bahwa mereka mengikuti
pola kegiatan yang sama sebagaimana dilakukan Abdullah Ahmad di Padang.[34]
Muhammdiyah mengalami perkembangan yang sangat sangat signifikan, misalnya
dalam dunia Pendidikan, pada tahun 1932 Muhammadiyah di Jawa Tengah telah
mempunyai 165 sekolah model gubernamen, di samping 68 sekolah agama.[35]
3)
Pembaharuan
Pendidikan Masyarakat Arab di Jakarta, Surabaya dan Beberapa Tempat lainnya.
Pada tahun 1901,
mereka mengusahakan untuk menyelenggarakan Pendidikan umum dan agama di
Jakarta, namun usaha ini gagal. Pada tahun 1905 organisasi Al-Jamiat Khairiyah
berhasil mendirikan sekolah pertama bagi masyarakat Arab di Jakarta. Dari Jamiat Khair ini lahirlah organisasi
Jamiah al Islam wal Irsyad al Abiah, mereka ini merupakan anggota Jamiat Khair
yang menolah taqlid dan gelar sayyid dan
mereka di cap kalangan reformis atau modernis. Ar Irsyad juga mendirikan
madrasah sendiri di Jakarta dan beberapa kota di Indonesia. Kedua organisasi
ini menggunakan sistem Pendidikan menurut model Timut Tengah, terutama Mesir
dan Tunisia. Pada dasarnya sekolah dikelola kedua organisasi ini sama dengan
sekolah yang dikelola gubernamen, walaupun kedua lebih banyak menekankan dalam
Pendidikan agama.[36]
4)
Pembahruan
Pendidikan Islam Oleh PERTI
Pembaharuan
Pendidikan keempat dilakukan oleh organisasi PERTI (Persatuan Tarbiyah Islam)
yang didirkan pada tanggal 5 Mei 1928 dan mendapat pengakuan resmi dari
pemerintah pada tahun 1930. Pada tahun 1942 sudah terdapat 300 sekolah PERTI
dengan 45.000 orang murid. Organisasi ini juga akatif di luar Pendidikan, misalnya
mendirikan masjid, rumah yatim piatu,
dan membangun klinik.[37]
5)
Pembaharuan
Pendidikan Islam Oleh Nahdlatul Ulama
Pembaharun
Pendidikan kelima dilakukan oleh oraganisasi Nahdlatul Ulama. Pada awal sebelum
lahirnya NU ini, Kyai H. Abdul Wahab Hasbullah mendirikan jamiah Nahdlatul
Wathan bersama Mas Masnur. Jamiah ini bertujuan memperbaiki Pendidikan agama
melalui suatu sistem yang tersusun lebih baik, antara lain dengan sistem
klasikal. Organisasi ini cepat
berkembang dan tersebar di Surabaya, karena banyak guru agama yang bergabung
kepada mereka. Pada tanggal 31 Januari 1926 Abdul Wahab Hasbullah mendirikan
organisasi Nahdlatul Ulama yang merupakan bentuk protes terhadap gerakan
reformis,[38]
disamping itu, sebagai organisasi yang mebela mazhab Syafi’i dan menyaingi
oraganisasi Muhammadiyah dan Al Irsyad. Setelah NU dibahwah kepemimpinan K.H
Hasyim Asy’ari lah (1927), yang menjadikan NU cepat popular. Sampai tahun 1945,
NU masih tetap sebagai organisasi yang belum diatur secara tegas. Pembahruan
lahir dari dua murid Hasyim Asy’ari, yaitu KH. Moh. Ilyas (keponkannya) dan KH.
Wahid Hasyim (anaknya). Dengan persetujuan Hasyim Asy’ari, Moh. Ilyas
memasukkan mata pelajaran umum seperti membaca dan menulis huruf latin, ilmu
bumi, sejarah, dan bahasa Melayu dalam pesantren. Dalam proses pembelajaran
Moh. Ilyas mencontoh sistem pengajaran bahasa Bealanda yang ia terima ketika
sekolah di HIS. Pada akhir 1931, Moh. Ilyas dan Wahid Hasyim melanjutkan studi
agamanya di Mekkah. Pada 1935 Wahid Hasyim pulang ke Indonesia, lebih cepat
dari Moh. Ilyas, kemudian menyelenggarakan madrasah di Tebuireng.[39]
NU tidak
mempunyai statistik yang pasti mengenai pendidikannya, namun bisa dipastikan
pada tahun 20-an dan 30-an itu Tebuireng merupakan pesantren yang paling
masyhur di seluruh Indonesia, dengan kurang lebih 6000 orang santri. Dari sini
dapat di lihat bahwa sistem yang diterapkan di Tebuireng, memberikan sumbangan
kepada dunia Islam, terutama di Jawa Timur dan Madura, untuk lebih terbuka bagi
pembaharuan Pendidikan.[40]
Ketika KH Wahid
Hasyim memimpin Departemen agama RI, pada tahun 1945 dia mengambil keputusan
untuk menyesuaikan diri dengan sistem Pendidikan Barat. Dengan demikian KH
Hasyim Asy’ari berhasil menciptakan ilkim yang cocok untuk perubahan itu dengan
pengaruh dan kharismanya.[41]
6)
Pembaharuan
Pendidikan Islam oleh Persyarikatan Ulama
Sebelum Abdul
Halim mendrikan perkumpulan Persyarikatan Ulama, ia telah mendirikan
perkumpulan “Hayatul Qulub” pada
tahun 1911. Tujuan didirikannya perkumpulan ini adalah sebagai usaha Pendidikan
agama dan semacam koperasi simpan-pinjam. Namun, pada tahun 1915 “Hayatul Qulub” dilarang pemerintah
Belanda. Pada tahun 1916, Abdul Halim
dengan bantuan beberapa kawannya, mendirikan sebuah madrasah yang hanya
meperlajari agama, dengan metode kalsikal dan memiliki lima kelas.[42]
Setelah Abdul
Halim mendirikan Persyarikatan Ulama (1917), pada tahun 1920-an perkumpulan ini
berhasil medirikan rumah yatim-piatu, percetakan, dan sebuah perusahaan tenun.
Pada tahun 1932, Abdul Halim mendirikan “Santi Asrama”, yaitu sebuah sekolah
yang berasrama. Dalam sekolah tersebut, di samping diberikan pelajaran agama
dan umum, juga diberikan Pendidikan keterampilan, seperti pertanian,
pertukangan, dan ukiran kayu. Pelekasanaan kurikulum yang khas ini, karena
sekolah gubernamen hanya menyiapkan murid-muridnya untuk pekerjaan kantor.
Namun kurikulum yang dikembangkan perkumpulan ini tidak dapat dilanjutkan,
karena beberapa hal berikut: (1) Penilaian yang agak rendah terhadap Pendidikan
keterampilan praktis, (2) keinginan untuk menyesuaikan diri dengan kurikulum
resmi pemerintah, dan (3) banyak anggota PUI (Persyarikatan Ulama ini sesudah
tahun 1945 digabungkan dengan perkumpulan yang hampir serupa di Sukabumi, dan
berubah menjadi Persatuan Umat Islam atau PUI) yang terjuan ke dunia politik
dan mengabaikan sekolah-sekolah yang mereka dirikan.[43]
7)
Pembaharuan
Pendidikan Islam Oleh Jamiatul Washliyah
Cikal bakal
beridirnya Jamiatul Washliyah pada tahun 1930 di Medan ini merupakan
inisiatif anggota “Debating club” yang didirkan oleh para lulusan “Maktab Islamiyah
Tapanuli” pada tahun 1928. Tiga orang pendorong paling penting dalam
perkumpulan ini adalah Abdurrahman Syihab,[44]
Udin Syamsudin,[45]
dan Arsyad Lubis.[46] Organisasi
ini tidak mendapat cap tradisionalis atau reformis karena pimpinannya berganti
setiap tahun. Karena hubungan yang terjalin baik dengan beberapa madrasah dan
sekolah yang sudah terjalin melalui “Debating
club”, sehingga banyak dari mereka dan beberapa tokoh dari luar kota Medan
yang mengabungkan diri dengan Jamiatul Washliyah. Dengan penggabungan ini
terjadilah reorganisasi kurikulum di madrasah serta mamasukkan sistem klasikal
dan sebagainya. Hal ini disebabkan karena perkumpulan ini lebih teratur dan
sentralistis dibanding dengan PERTI dan NU. Sehingga perkumpulan ini mendobrak
sistem pesantren lama, dimana pendirian sebuah madrasah hanya diserahkan kepada
inisiatif lokal.
Seperti halnya
Muhamdiyah, Jamiatul Washliyah juga mempergunakan dua sistem Pendidikan, disatu
pihak mendirikan sekolah swasta dengan sistem pendidikan gubernamen, di mana di
samping pelajaran umum juga diberikan pelajaran agama. Di samping itu, didirkan
juga sekolah yang mengajarkan agama dan sedikit mengajarkan yang umum. Namun
berbeda dengan Muhamadiyah, perkumpulan ini lebih banyak menekankan pada
madrasah, yaitu sekolah yang memberikan prioritas kepada agama.
8)
Pembaharuan
Pendidikan Islam oleh Departemen Agama RI
Departemen Agama
RI didirikan pada tanggal 3 januari 1946. Kebijakan dalam Pendidikan agama
sudah di mulai sejak zaman Jepang.[47] Dan
kebijakan ini di lanjutkan oleh Departemen Agama sesudah tahun 1946. Dalam
salah satu nota Islamic education in
Indonesia yang disusun oleh bagian Pendidikan Departemen Agama pada tanggal
1 september 1956, hal ini digambarkan sebagai berikut:
a)
Memberikan
pengajaran agama di sekolah negeri dan partikulir
Peraturan resmi
pertama tentang Pendidikan agama di sekolah, dapat di lihat dalam Undang-undang
Pendidikan tahun 1950 nomor 4 (hanya berlaku untuk Republik Indonesia Serikat
di Yogyakarta) dan UU Pendidikan tahun 1954 no. 20.[48] Salah
satu penjelasan pasal dalam UU Pendidikan 1954 No, 20 adalah menetapkan bahwa
pengajaran agama tidak boleh memperngaruhi kenaikan kelas para murid. Peraturan
bersama Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan kebudayaan dan Depatermen Agama
yang dikeluarkan pada 20 Januari 1951 juga menetapkan bahwa Pendidikan agama
diberikan mulai kelas IV Sekolah Ralyat selama 2 jam per minggu. Di lingkungan
di mana Islam kuat, pelajaran agama mulai dari kelas 1 dan jam pelajaran
ditambah 4 jam perminggu. Di Sekolah Menengah Pertama, pelajaran agama
diberikan 2 jam per minggu, sesuai dengan agama para murid. Untuk memperbaiki
pertauran sebelumnya, pada 16 Juli 1951 kedua Menteri ini mengeluarkan
peraturan bersama. Namun, dari peraturan ini terlihat adanya diskriminatif
terhadap orang-orang Islam.[49]
Pengajaran agama memainkan peranan penting
dalam penilaian para murid dan mahasiswa sejak sidang MPRS tahun 1967, MPRS
mengubah ketetapan tahun 1960 (yang memberikan kebebasan bagi para mahasiswa di
universitas umum untuk mengikuti atau tidak pelajaran agama), dengan mewajibkan
para mahasiswa mengikuti pengajaran agama. Mahasiswa hanya dibebeskan memilih
agama apa yang akan dipelajari. Katetapan ini juga di ikuti oleh peraturan
bersama dua Menteri, pada tanggal 23 Oktober 1967, di mana ditetapkan bahwa
kelas I dan II SD diberikan mata pelajaran agama 2 jam per minggu. Kelas III 3
jam per minggu, kelas IV keatas 4 jam per minggu. Hal itu juga berlaku juga
pada SMP dan SMA. Untuk universitas dan perguruan tinggi lainnya mata kuliah
agama diberikan 2 jam per minggu. Pada akhir tahun 1970 Menteri Agama berusah
mengubah kurikulum pengajaran agama yang bertujuan agar semua kelas tertinggi
SD dan SMP mendapat 6 jam pelajaran agama per minggu. Akan tetapi usaha ini
tidak berhasil karena tidak disetujui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.[50]
b)
Memberikan pengetahuan
umum di Madrasah
Dalam rangka
konvergensi, Depatemen Agama menganjurkan supaya pesantren yang tradisional
dikembangkan menjadi sebuah madrasah, disusun secara klasikal, dengan memakai
kurikulum yang tetap dan memasukkan mata pelajaran umum di samping agama.
Departemen Agama hanya memberikan bantuan kepada madrasah yang juga
memperhatikan Pendidikan umum. Dalam rangka usaha mendapat pengakuan sosial,
Departemen Agama membuat suatu rumusan mengarah pada: Pertama, berusaha mempengaruhi pendapat umum bahwa madrasah tidak
hanya cukup memberikan pengajaran agama. Kedua,
berusaha mempengaruhi pendapat umum bahwa mata pelajaran umum madarasah
tidak akan mencapai tingkat yang sama dibanding sekolah umum. Namun secara
formal, Depatermen Agama sudah mendapt keuntungan berkat UU 1950 pasal 10 yang
menyebut belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan Departemen
Agama, sudah memenuhi kewajiban belajar.[51]
c)
Melakukan
Pendidikan guru agama (PGA)
Dalam Repelita
(Rencana Pembangunan Lima Tahun) pertama 1969-1973, Departemen Agama
merencanakan perluasan PGA dan lembaga pendidikan pegawai Departemen Agama,
seperti IAIN. Namun dalam peraturan ini Departemen Agama tidak mengembangkan
sistem Pendidikan di marasah secara lebih luas. Untuk memasuki lembaga PGA dan
IAIN ini harus ditempuh melalui jenjang formal, yaitu bagi tamatan madrasah
Ibtidaiyah atau SD dapat melanjutkan ke PGA, tamatan tsanawiyah atau SMP untuk
PGAA, sedangkan IAIN harus tamat SMA atau Aliyah.[52]
2.
Profil Guru
Agama Modern
Dalam kurun
Modern, guru bukanlah merupakan komponen pendidik yang berdiri sendiri, tetapi
seorang guru haruslah mengikuti kurikulum yang di susun orang lain (Departemen
Agama atau organisasi-organisasi yang bergerak di bidang Pendidikan).
Perkembangan di Indonesia juga menunjukkan bahwa unsur kuturunan tidak lagi
yang paling menentukan, akan tetapi unsur pengetahuan yang lebih diperkuat
dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia.[53]
Pada awalnya
faktor keturunan seseorang sangat mempengarui dia untuk menjadi tokoh, guru,
atau kyai (yang di akui masyarkat muslim), misalnya di Pesantren tradisional di
mana unsur keturunan memegang peranan penting (Kyai untuk pesantren mungkin
anak dari Kyai).[54]
Namun, dalam perkembangan terakhir (abad XX) dikemukakan beberapa keberatan
terhadap kenyataan bahwa pesantren merupakan milik pribadi salah seroang kyai.[55]
Dan akhirnya Steenberink menyimpulkan bahwa dalam perkembangan terakhir Islam
di Indonesia, semua orang bisa menjadi kyai asal dia oleh masyarakat diterima sebagai
kyai. Setiap orang bisa membuka pesantren, asal ada santri yang belajar
dengannya.[56]
Tipe kesalehan
seorang kyai, adalah bahwa dia mengajar tanpa lelah dari pagi hingga sore,
selalu bersedia pergi ke desa atau kota lain untuk mengajar agama atas
permintaan dan tanpa meminta uang, selain ongkos jalan. Namun, para kyai sering
mendapat hadiah dalam bentuk beras, benda-benda berharga, uang, tetapi kebanyakan
kyai masyhur mengrusi hidupnya secara sederhana.[57]
Kalau dibandingkan dengan guru madrasah dan guru agama di sekolah modern
terdapat perubahan mengenai sifat-sifat kesalehan. Pada guru agama tidak
dipentingkan lagi pribadi yang utuh seperti guru agama tradisional atau
pengajaran yang dicerminkan dalam tingkah lakunya sehari-hari. Pada guru agama
modern, unsur intelektual lebih dipentingkan dari pada usnur kepribadian da
unsur-unsur lainnya. Kesalehan sebagaimana yang dikatakan pada guru agama
tradisional, sedikit berlebihan apabila diterapkan untuk guru agama modern di
madrasah dan sekolah. Bagi mereka, persyaratan megajarlah yang dipentingkan.
Apa yang mereka perbuat di luar kelas, kurang relevan untuk pengajaran dan
pendidikannya.[58]
Walaupun masih
dalam keadaan berkembang, namun sudah dapat diambil kesimpulan dari tendensi yang terjadi, yang
berhubungan dengan kedudukan guru dalam umat Islam di Indonesia, yaitu:
Pertama:
guru
tidak lagi merupakan pusat kegaiatan agama dalam lingkungannya (menjadi
perantara anatara Tuhan dan manusia dan penafisr agama yang mandiri). Guru pada
umumnya menjadi anggota dari organisasi yang lebih besar, yang menentukan isi
ajaran dan menjaminn kemurnian ajaran agama (terikat kepada instansi yang lebih
tinggi dan penting).
Kedua:
kyai dulu merupakan pribadi yang multi fungsional. Sekarang fungsi-fungsi
tersebut sudah terbagi-bagi. Seorang yang masih berdinas dalam organisasi atau
Departemen Agama mempunyai tugas yang terbatas. Dia harus mengikuti bahan dan
kurikulum yang sudah ditentukan, dan mendapat gaji. Menjadi guru di era modern
ini, berarti mencari penghidupan dan gaji, sedangkan tugas-tugas lainnya
sebagai sukarelawan pada waktu-waktunya yang terluang.
Ketiga:
pertentangan
antara penghulu dan kyai, sekarang ini sudah tidak terasa. Hal ini terlihat
dari usaha yang dilakukan NU sebagai organisasi yang memeberikan pengaruh yang
paling kuat dalam administrasi agama dalam Depatremen Agama, dengan memberikan
sumbangan besar dalam menghilangkan jurang antara penghulu, guru, dan kyai.
Namun, memang masih ada beberapa keberatan dari organisasi-orgnisasi lain.[59]
3.
Perubahan dalam
Materi Pengajaran Agama
a.
Kurikulum dan
Silabus Mata Pelajaran
1)
Pengajian
Al-Qur’an
Pengajian
Al-Qur’an tradisional biasanya terdiri dari membaca sebagian Al-Qur’an,
tambahan pelajaran seperti belajar shalat, akidah, dan menghafal “sifat 20”. Jika
dibandingkan dengan madrasah diniyah diniyah[60]
yang dikelola Departemen Agama, adapun tingkatan (jenjang) dan kurikulumnya
tersusun sebagai berikut:[61]
Diniyah
Awaliyah
No
|
Mata
Pelajaran
|
Jam/perminggu
|
|
1
|
Membaca
Al-Qur’an
|
3
|
|
2
|
Tauhid
|
3
|
|
3
|
Fiqh
|
2
|
|
4
|
Akhlak
|
2
|
Kemudian setelah mengikuti madrasah diniyah awaliyah
yang dirancang dengan siklus 4 tahun, dilanjutkan dengan madrasah diniyah Wustho dan Aliyah. Kurikulum nya adalah sebagai berikut:
Diniyah Wustho
No
|
Mata pelajaran
|
Kelas I
|
Kelas II
|
Kelas III
|
Jam/minggu
|
Jam/minggu
|
Jam/minggu
|
||
1
|
Al-Qur’an
dan Hadits
|
3
|
3
|
3
|
2
|
Tauhid
|
3
|
2
|
2
|
3
|
Fiqh
|
1
|
1
|
1
|
4
|
Sejarah
Islam
|
2
|
2
|
3
|
5
|
Akhlak
|
1
|
1
|
1
|
Diniyah Aliyah
No
|
Mata pelajaran
|
Kelas I
|
Kelas II
|
Kelas III
|
Jam/minggu
|
Jam/minggu
|
Jam/minggu
|
||
1
|
Al-Qur’an
dan Hadits
|
3
|
3
|
3
|
2
|
Tauhid
|
2
|
2
|
2
|
3
|
Fiqh
|
3
|
3
|
3
|
4
|
Sejarah
Islam
|
1
|
1
|
1
|
5
|
Akhlak
|
1
|
1
|
1
|
Selama tidak ada subsidi, guru
pengajian Al-Qur’an tidak diwajibkan mengikuti kurikulum yang disusun
Departemen Agama. Hal ini menunjukkan bahwa kurikulum ini mempunyai nilai
terbatas. Namun, kurikulum ini dapat menjadi pembuktian cara berfikir ahli
Pendidikan agama di Departemen Agama, mengenai apa yang diinginkan dan tujuan
mana yang akan dicapai. Kalau dibandingkan dengan pengajian Al-Qur’an
tradisional, yanag agak menonjol dari kurikulum ini adalah perhatian yang lebih
luas terutama dalam bidang akidah, akhlak, dan sejarah Islam, yang dalam
pengajian tradisional tidak begitu jelas dan kurang perhatian. Tambahan empat
mata pelajaran (Aqidah, Fiqh, Akhlak, dan Sejarah Islam) tersebut, tidak hanya
berlaku pada madrasah diniyah, tetapi juga intruksi pada mata pelajaran agama
di sekolah umum.[62]
Seperi skema berikut:[63]
Kelas pada sekolah Dasar
|
Jam/tahun
|
||||||
No
|
Mata pelajaran
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
1
|
Tauhid
|
-
|
-
|
-
|
35
|
35
|
35
|
2
|
Akhlak
|
35
|
35
|
70
|
-
|
-
|
-
|
3
|
Fiqh
|
35
|
35
|
35
|
35
|
35
|
35
|
4
|
Al-Qur’an
|
-
|
-
|
-
|
35
|
35
|
35
|
Dari perkembangan kurikulum ini, menunjukkan bahwa berbeda
dengan pengajian Al-Qur’an tradisional yang menekankan rumusan yang tetap dari
agama, dengan kurikulum modern, proses pembelajaran bersifat menemukan untuk
pertama kali, mengenalkan, hingga meresapkan nilai-nilai agama.[64]
2)
Pengajian kitab
Pengajian
kitab tradisional terbagi menjadi dua. Pertama,
santri harus menyediakan waktu untuk studi Bahasa arab dan kedua, santri memperlajari isi
kitab-kitab agama yang merupakan unsur yang paling penting. Hal yang paling
menonjol bahwa isi Pendidikan agama tidak begitu berubah (Fiqh dan tafsir tetap
memainkan peran yang penting, meskipun tetap diberikan perhatian yang lebih terhadap
ilmu kalam), perubahan yang lebih menonjol pada era modern ini adalah pelajaran
Bahasa Arab dan mata pelajaran umum. Dewasa ini juga telah diberikan cukup
perhatian untuk mengetahui sumber agama, yaitu hadits, dimana di madrasah
menengah, ilmu mustalahul hadits , shahih
Bukhari dan shahih Muslim sudah
menjadi mata pelajaran tersendiri. Pada lembaga perguruan tinggi Islam, karya
Ibnu Rusyd yang kritis, Bidayatul
Mujtahid sedah lebih banyak dipakai. Satu perkembangan yang masih
dibicarakan adalah bidang ushuluddin. Pada
beberapa perguruan tinggi Islam, mata pelajaran ini juga dianggap sebagai mata
pelajaran ilmu perbandingan agama di samping ilmu tauhid dan dan ushuluddin.
Perubahan yang lebih penting khusus ditemukan dalam bagian studi bahsa Arab dan
ilmu pengetahuan umum.[65]
Adapun
pentingnya Bahasa Arab di luar motif agama (sehingga dalam kurikulum modern
diberikan perhatian lebih) adalah sebagai berikut:
a)
Bahasa Arab kaya
sekali dalam kosa kata dan strukrur bahasanya.
b)
Bahasa Arab
mempunyai kepustakaan besar di semua bidang ilmu pengetahuan.
c)
Bahasa Arab
adalah bahasa dengan mana semua ilmu pngetahuan modern dan kesusastraan modern
dapat dikemukakan.
d) Bahasa
Arab adalah bahasa dari kelompok terbersar ketiga di dunia.
e)
Bahasa Indonesia
mempunyai banyak perkataan yang berasal dari bahasa Arab.[66]
b.
Lingkungan Hidup
Khas Santri
Lembaga
pendidian Islam tradisional dalam membentuk manusia muslim yang baik dan
shaleh, tidak merasa cukup dengan hanya dengan hanya memberikan isi pengetahuan
kepada pera murid. Oleh karena itu lembaga Pendidikan tersebut, berupaya
mewujudkan usahanya dengan membentuk suasana yang melingkunginya.[67]
Untuk
mengambarkan kehidupan di pesantren, mari perhatikan tulisan Mukti Ali, yang
mengemukakan sebagai berikut:
“Didikan
langar/pesantren ada baiknya tetapi ada kekurangannya. Baiknya karena ajaran
agama yang dilakukan di langar/pesantren dapat mendidik perasaan agama, menanam
rasa keagamaan. Mengaji dengan lagu dan irama yang tentu itu, merindukan hati
kepada yang jauh dan ghaib, kepada Allah yang Maha Esa, yang menjadikan seruan
sekalian alam. Pengetahuann agama yang di dapat dengan mengaji itu tidak dalam.
Orang tak tahu arti yang dibaca dengan lagu yang merindukan jiwa. Tetapi
perasaan agama jadi mendalam, jiwa terdidik ke jalan yang suci dan murni, dan
agama yang tertanam dalam jiwa sejak dari kecil itu tetap menjadi pelita seumur
hidup”.[68]
Penghargaan ini diberikan oleh seorang yang telah
mengikuti studi tradisional di pesantren dan kurikulum pada sekolah umum, untuk
master di McGill, Kanada, untuk Ilmu Perbandingan Agama.[69]
Seiring dengan perkembangan di era modern ini, diciptakan
juga sebuah “pesantren terbuka”, di mana para santri pergi ke sekolah di luar
pesantren pada siang hari. Ditemukan juga sebuah pesantren kecil, yang lebih
mirip asrama atau rumah indekost. Pesantren-pesantren yang letak geografisnya
dekat kota besar, sering dipakai sebagai tempat mondok mahasiswa di perguruan
tinggi, yang mencari asrama yang murah, disamping untuk tempat menambah
pengetahuan agama, seperti pesantren Krapyak (dekat Yogyakarta) dan Jamsaren di
Solo, untuk sebagian sudah mempunyai sifat asrama mahasiswa.[70]
4.
Penghargaan
Agama Terhadap Pendidikan Umum
a.
Penolakan
teoritis adanya perbedaan antara Ilmu Agama dan Umum
Menurut
pandangan Islam, Islam bukan hanya semata-mata agama saja, melainkan mencakup
aspek-aspek kehidupan lainnya dasar inilah yang dijadikan Mohammad Natsir
menolak pemisahan Pendidikan agama dengan Pendidikan umum. Bahkan A. Hasjmy
(Gubernur Aceh) yang memperjuangkan dan meralisasikan kota pelajar Darusalam,
mengatakan:
“Memperdalam ilmu agama Islam, berarti
mempelajari secara mendalam segala bidang ilmu, karena semua ilmu adalah ilmu
Islam, baik yang dinamakan al-ulumul
naqliah maupun al-ulumul aqliah, baik
yang dinamakan ilmu-ilmu social maupun ilmu-ilmu eksakta. Maka Darusalam tidak
dapat menerima pendapat sementara orang yang mengatakan bahwa ini “Ilmu Islam”
dan itu “ilmu umum” sehingga tinbul istilah: ini sekolah Islam dan itu sekolah
umum. Darussalam dengan secara radikal telah menguburkan suatu “mitos” yang
telah lama menghantui alam fikiran sebagian masyarakat Indonesia, yaitu
kepercayaan adanya jurang antara “agama” dengan “ilmu pengetahuan”, sehingga
menyebabkan terjadi pula jurang yang dalam antara orang-orang yang memilih
bidang ilmu yang tidak sama: suatu tragedi yang telah memundurkan bangsa
Indonesia”.[71]
b.
Berbagai
penghargaan postif terhadap Pendidikan umum
Adapun beberpa
pedapat umum terkait pentingnya pendidik umum adalah:
1)
Untuk studi ilmu
pengetahuan umum adalah tema yang sering dikembangkan secara apologetis, yaitu
bahwa Islam mendorong untuk mengadakan studi mengenai bermacam-macam ilmu
pengetahuan.
2)
Untuk memelihara
hubungan dengan masyrakat seluruhnya tetap terpelihara dengan baik, maka para
pemimpin agama mendapat tambahan pengetahuan umum.
3)
Berkenaan dengan
persyaratan dalam masyarakat Indonesia modern bagi mereka yang ingin meraih
karir dalam masyarakat, harus memiliki ijazah yang mencantumkan derajat
Pendidikan umunya.[72]
c.
Beberapa
keberatan terhadap masuknya pelajaran umum
Kalau dalam
suatu tempat ada hal baru yang dimasukkan, pasti akan medatangkan protses,[73]
namun protes ini biasanya tidak secara langsung diarahkan pada Pendidikan umum,
tetapi biasanya secara tegas penolakan ditunjukkan kepada hal-hal baru seperti
papan tulis dan bangku sekolah.[74]
Salah satu
penyebab mengapa sejumlah pesantren dan madrasah tidak dapat mengembangkan
pendidian umum adalah karena kenyataan bahwa Pendidikan umum lebih mahal dari
pada Pendidikan agama. Satu kritik yang lebih mendasar terhadap Pendidikan umum
terlihat dari adanya keluhan bahwa madrasah modern dan IAIN, di samping masih
dapat memberikan pengetahuan agama yang agak lumayan, namun perhatiannya masih
terpecah belah, sehingga emosi keagamaan di sekolah-sekolah ini tidak dapat
dikembangkan secara lebih baik.[75]
Dalam konsep
konvergensi, unsur yang paling lemah adalah penilaian rendah masyarakat Indonesisa
terhadap diploma madrasah, begitupun sebaliknya, penghargaan agama yang kurang
terhadap Pendidikan Islam modern juga melemahkan konsep konvergensi ini. Dalam
upaya antsipatif dari Muhamadiyah, organisasi ini memulai Pendidikan baru yang
dinamakan Pendidikan ulam tarjih. Pada awalnya kegitan ini beranggotakan 25 orang
dengan penekanan terhadap pendalaman bahasa arab, namun karena studi ini
terlalu berat setelah berjalan dua setengah tahun tinggal lima orang saja. Pada
tahun kedua, diberikan mata pelajaran bahasa Indonesia, Inggris, dan Ilmu
Pendiidikan. Semua perkembangan ini menunjukkan bahwa konsep konvergensi
sebagai sebagaimana banyak disinggung di awal tidak dapat diwujudkan.[76]
F. Sumbangan Dalam
Ilmu Keislaman
Setiap
penelitian diharapakan dapat memberikan sumbangan dalam perkembangan khzanah
ilmu pengetahuan. Penelitian yang dilakukan karel A. Steenbrink ini memberikan
informasi dan menambah wawasan kita terhadap khazanah keilmuan dalam dunia
Pendidikan Islam. Hasil penelitian ini memberikan kita informasi tentang: (1)
Perkembangan lembaga Pendidikan Islam tradisional sejak zaman kolonial Belanda
hingga zaman kemedekaan Indonesai, (2) Profil guru agama di era modern, dan (3)
pembaharuan-pembaharuan sistem Pendidikan yang dilakuan organisasi-organisasi
tertentu.
G. Kesimpulan
Berdasarkan
hasil analisis peneliti terkait dengan “Perkembangan Pesantren, Madrasah, dan
sekolah dalam kurun modern” di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Pendidikan
dualistis yang saat ini kita rasakan, merupakan warisan dari kebijakan yang
sudah ada sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda. Dan seiring perkembangan
ere modern ini, cita-cita konvergensi (integerasi) antara Pendidikan agama dan
umum atau antara madrasah dan sekolah (antara Kemendikbud dam Kemenag) tetap tidak
dapat terwujud, karena belum mendapat persetujuan dari masih rendahya penilaian
masyarakat Indonsia terhadap diploma madrasah.
2.
Pendidikan Islam
telah dimasukkan ke dalam organisasi-organisasi lebih besar dari pada
organisasi lokal yang meliputi dan mencakup satu pesantren seperti ke dalam
sistem Pendidikan tradisional. Hal berarti, di era modern ini guru bukanlah
merupakan kompnen pendidik yang berdiri sendiri, akan tetapi seorang guru harus
mengikuti kurikulum yang di susun oleh Departemen Agama atau
organisasi-organsasi Islam yang mendirikan lembaga Pendidikan, dalam arti dia
harus mengikuti dan melaksanakannya.
3.
Perkembangan
Pendidikan Islam di Indonesia juga menunjukkan bahwa unsur keturunan tidak lagi
yang paling menetukan dan unsur pengetahuan lebih diperkuat dalam sistem
Pendidikan Islam di Indonesa.
4.
Dalam
perkembangan terakhir, yang lebih banyak mengalami pembahruan dan mendapat
perhatian yang lebih dalam lembaga Pendidikan Islam adalah pengembangan dalam
pembelajaran bahasa Arab dan pelajaran-pelajaran umum.
H. Daftar Pustaka
Bekker, Anton dan Achmad Charris
Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta:
Kanisius, 1990.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Islam: Studi tentang pandangan hidup
kyai, Jakarta: LP3ES, 1994.
http//www.wikwpedia. org
Steenbrink, karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan
Islam dalam Kurun Modern, .Jakarta: LP3ES, 1994.
Ziemek, Manfred, Pesantren dalam perubahan sosial, Jakarta:
P3M, 1986.
*) Makalah Prarevisi
[1]
karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan
Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. ix.
[2] Bukunya yaitu: The Struggle of Islam in modern Indonesia (The
Haque, 1971).
[3] Ibid., hlm. Ix-x.
[4] Ibid., hlm. x. Hampir sama dengan ekspesi kegamaan kalangan
pesantren, menurut Steenbrink, kehidupan Katolik juga penuh dengan ziarah ke
tempat suci, membakar lilin di muka patung-patung, memakai tasbih, menjalani
kehidupan dalam biara dan lain-lain. Orang Muhamadiyah dan Persis suka
menekankan, bahwa yang diajarkan oleh merka adalah “Islam yang disempurnakan”,
yang tidak memakai tahlil, tidak membakar kemenyan, tidak suka membeli bunga
sebagai hiasan kuburan pada malam jum’at dan lain-lain. Prakatek yang paling
menonjol dalam kelompok ini adalah pengajaran, ceramah, kuliah shubuh,
pengajian sore, pengajaran sekolah, dll. Ekspresi keagaman Katolik, seperti ekspresi
keagamaan ummat Islam tradisional di Indonesia, lebih bervariasi dan beraneka
ragam. Disamping ekspresi melalui ceramah lisan juga diambil nyanyian-nyanyian
(seperti berzanji), serta eskpresi melalui benda seperti Bungan dan kemenyan. Ibid., hlm. x-xi.
[8]
Menurut Gottschalk yang
dimaksud dengan metode historis atau sejarah adalah proses menguji dan
menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan di masa lampau. Lihat
http//www.wikwpedia. org/pengertian metode sejarah. Di askes pada hari sabtu, 7
oktober 2017, jam 23.18 WIB.
[9]
etnografis adalah strategi
penelitian ilmiah yang sering dugunakan dalam ilmu sosial, terutama dalam
antropologi dan beberapa cabang sosiologi. Etnografi sering diterapkan untuk
mengumpulkan data empiris tentang masyarakat dan budaya sosial. Lihat
http//www.wikwpedia. org/pengertian metode etnografi. Di askes pada hari sabtu,
7 oktober 2017, jam 23.13 WIB.
[10]
Lihat, Zamakhsyari Dhofier,
Tradisi Islam: Studi tentang pandangan
hidup kyai, (Jakarta: LP3ES, 1994)
[11]
Pendekatan sosio histori
adalah penelitian yang berusaha memeriksa secara kritis pristiwa, perkembangan
masa lalu, kemudian mengadakan interpretasi terhadap sumber-sumber informasi. Anton
Bekker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi
Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 61.
[12]
Lihat, Manfred Ziemek, Pesantren dalam perubahan sosial, (Jakarta:
P3M, 1986).
[13]
Dimulai dari Jawa Barat,
peneliti melakuakn kunjungan ke pesantren Palamonan, Cibeber, Citangkil (Al
Khairiyah) dan Menes (Mathla’ul Anwar) di Banten. Dilanjutkan ke pulau
sumatera, kunjungan pertama adalah ke Sumatera Utara, peneliti ke Medan (kunjungan ke Jamiatul Washliyah) dan Tanjung Pura kemudian mengunjungi pesantren
besar Purba Baru serta Nabundong di Tapanulis Selatan. Perjalanan selanjutnya
adalah ke Surmatera Barat, disini peneliti melakukan kunjungan ke Ciandung,
dekat bukit tinggi, ke Pesantren Sumatera Thawalib, Parabek, Diniyah Puteri di
Padang dan ke sebuah pesantren kecil, pusat Naqsyabandiyah di Kota Tuo, Bukit
Tinggi. Kemudian peneliti ke Sumatera Barat untuk mengunjungi Pesantren Nurul
Islam di Sribandung, sekitar 30 km dari Palembang. Setelah melakukan kunjungan
kebeberapa pesantren di daerah Sukabumi dan Garut, peneliti melanjutkan
penelitiannya ke Jawa Tengah, kunjungan pertama di Yogyakarta, peneliti
melakukan kunjungan ke Krapyak, di Magelang, Miftahul Ulum di Jejeran dan Watu
Congol dekat Muntilan, selanjutnya ke Semarang (Pondok Putri Kauman Timur) dan
ke tiga pesantren di Mranggen dan pesantren Kaliwungu. Di Surakarta berkunjung
ke Jamsaren, sedangkan di Jombang ke pesantren Tebuireng, ke Rejoso,
selanjutnya ke Denanyar dan Tambakberas. Sedangkan di Bangil mengadakan
pertemuan dengan lingkungan khas pondok putri Pesatuan Islam. Di Daerah Madiun
di Pesantren Sabibil Muttaqin serta dua pesantren kecil di Josenan dan Gading.
Kungjungan ini memakan waktu 8 bulan. Penelitian terakhir dilakukan di
Pesantren Modern, Gontor Jawa Timur. Peneliti mentap selama 3 bulan di Gontor. Ibid., karel A. Steenbrink, hlm. xiii-xiv.
[14]
Yang dimaksud dengan
kebiasaan jelek itu terutama adalah metode membaca teks yang hanya dihafal
tanpa pengertian. Sebagaiman dikutip Steenbrink dari Pistorius dalam bukunya studien, menyebutkan bahwa suatu
penilaian yang sangat negatif tentang hasil Pendidikan dan pengajaran bisa
dijumpai dalam karangan Brumund, Het
Volksonderwijs. dalam bukunya Brumund menyebut para pesantren “tempat
tanaman serta pemeliharaan kebodohan, kepercayaan kepada hal yang aneh dan
maksiat”. Ibid., hlm. 3.
[16]
Sama seperti lembaga
Pendidikan Islam di Indonesia, sekolah ini hamper 100 persen memusatkan diri
pada Pendidikan agama. Sama seperti Pendidikan Islam yang menjadikan al-Qur’an
yang tertulis dalam Bahasa arab merupakan buku yang terpenting, maka terjemahan
Bybel dalam bahsa Melayu di sekolah-sekolah Zending ini adalah buku yang
terpenting. Ibid., hlm. 4.
[20]
Lingkungan pesantren pada
umumnya terdiri dari rumah kyai, masjid, langar/surau, pondokan para santri
dari bamboo atau kayu, dapur, kamar mandi, dan tempat wudhu. Ibid., hlm. 15-16. Untuk meresapkan jiwa
ke-Islaman, pesantren tidak hanya dihormati sebagai tempat belajar, tetapi
lebih ditekankan sebagai tempat tinggal yang seluruhnya dipenuhi dan diresapi
dengan nilai-nilai agama. Ibid., hlm.
16. Hubungan antara kyai dan santri di pesantren pada umumnya merupakan
hubungan ketaatan yang tanpa batas, demikian pula kepada para “guru bantu”. Ibid., hlm. 19.20.
[21]
Tingkatan pertama dalam
pengajian kitab adalah memperlajari bahasa arab yang terususun dalam uraian
pendek yang berbentuk sajak. Para murid diharuskan membaca dan menghafal teks
Arab tersebut tanpa salah, kemudian isinya dijelaskan kata demi kata oleh guru
kepada mereka. Ibid., hlm. 13.
[23]
Sebelum penyebaran Islam di
Indonesia, sistem pesantren telah dipergunakan secara umum untuk Pendidikan dan
pengajaran agama Hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dan tersebar di Jawa,
sistem tersebut kemudian diambil oleh Islam. Istilah pesantren sendiri seperti
halnya mengaji bukanlah berasal dari
istilah arab, melainkan dari India. Demikian pula istilah pondok, langar di
Jawa, surau di Minangkabau, dan rangkang di
Aceh bukanlah merupakan istilah Arab, tetapi dari istilah yang terdapat di
India. Ibid., hlm. 20-21.
[25]
Salaf merupakan gerakan
yang berusaha keras mengembakikan ajaran Islam pada relnya kaum salaf, kembali
pada al-Qur’an dan sunnah, mengikis habis bid’ah,
khurafat, tahayul, serta klinik, membuka
terus pintu ijtihad dan menolak sifat
memababi buta dalam gelapnya taqlid. Gerakan-gerakan ini adalah Jamiatul Khair,
Al-Irsyad, Jong Islamieten Bond, persatuan Islam, dan persyarikatan
Muhamadiyah. Ibid., hlm. 30.
[26]
Gerakan ini tidak
menyetujui pandangan kritis terhadap sejarah Islam serta tidak merasa perluh
kembali kepada ajaran Islam yang sebebarnya. Gerakan ini semata-mata hanya
mengharapkan perubahan luar, perubahan yang bersifat social kultural dan
politik ekonomis, bukan jiwa ajarannya. Gerkan medoernis ini adalah Persatuan
Umat Islam Majalengka, Jamiatul Washliyah, Perti, dan Nahdlatul Ulama. Ibid., hlm. 30-31.
[29]
Pendidikan agama diberikan
diberikan waktu 2 jam perminggu oleh Abdullah Ahamad. Sekolah Adabiyah ini
sangat laku dan disukai oleh para anak pedagang, karena sekolah ini terbuka
untuk semua orang yang bisa membayar sekolah. Ibid., hlm. 40. Sebagian orang menilai pembaharuan Pendidikan Islam
Abdullah Ahmad ini dinilai merupakan adaptasi dari sistem Pendidikan surau
kepada sistem barat. Ibid., hlm. 41.
[32]
Pada usia yang masih muda,
dia membuat heboh dengan membuat tanda shaf dalam masjid agung dengan memakai
kapur. Menurutnya, letak masjid yang tepat menghadap ke barat keliru, sebab
letak kota Mekkah berada di sebelah barat agak ke utara dari Indonesia. Namun,
penghulu kepala yang bertugas menjaga masjid agung dengan cepat menyuruh orang
untuk membersihkan tanda shaf yang ditulis dengan kapur. Ibid., hlm. 51.
[33]
Tabligh
adalah suatu
rapat di mana diberikan satu atau beberapa pidato untuk menjelaskan masalah
agama. Ibid., hlm. 53.
[34]
Persamaan ini bisa kita
lihat dari, (1) kegiatan tabligh, (2)
mendirikan sekolah swasta menurut model Pendidikan gubernamen, (3) membentuk
kader organisasi dan guru-guru agama. Ibid.,
hlm. 56.
[38]
Abdul Wahab Hasbullah
termasuk dalam panitia yang akan mengikuti Muktamar Islam di Saudi Arabiah,
namun beliau mengundurkan diri dari kepanitiaan itu karena beliau tidak jadi
dikirim ke Muktamar tersebut, hal ini diebabkan karena beliau hendak membela
kemerdekaan mazhab Syafi’i di kota Mekkah yang saat itu dikuasi wahabi. Dan
memang yang dikirim ke Mekkah hanyalah mereka yang menolak taqlid dan dicap
Wahabi. Ibid., hlm. 67-68.
[44]
Beliau merupakan seorang
yang dapat mengimpun orang supaya aktif dalam perkumpulan ini.
[45]
Beliau merupakan seorang
yang ahli dalam bidang administrasi.
[46]
Beliau merupakan seorang
yang sangat luas dalam penegtahuan ilmu agamanya, yang hingga tahun 1942
merupakan tokoh yang penting dalam perkumpulan ini.
[47]
hal ini bisa kita lihat
ketika KH. Abu Dadiri (kepala kantor agama di kerisidenan Banyumas) pada tahun
1944 mengusulkan untuk diberikan pelajaran agama di semua sekolah desa di
keresidenannya. Usul ini disetujui oleh kantor agama pusat di Jakarta. Ibid., hlm. 86.
[48]
UU Pendidikan tahun 1954
No. 20 ini atara lain berbunyi: (1) dalam sekolah-sekolah negeri
diselenggarakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya
mengikuti pelajaran agama tersebut, (2) cara melaksanakan Pendidikan agama di
sekolah-sekolah negeri diatur melalui ketetapan Menteri Pendidikan, Pengajaran,
dan Kebudayaan bersama-sama dengan Menteri Agama. Ibid., hlm. 91.
[49]
Ibid.,
hlm. 91-92.
Kebijakan yang diskriminatif ini bisa kita lihat dalam peraturan baru ini yang
meyebutkan bahwa gereja Kristen sudah mempunyai hirarki tersendiri dan
mempunyai ahli agama yang berpendidikan akademis. Sehingga pihak Kristen boleh
menentukan pelajarannya sendiri. Akan tetapi karena pihak Islam belum mempunyai
tenaga akademis yang cukup, mereka harus mendapat pedoman didaktis dan metodis
dari Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Ibid., hlm. 92-93.
[55]
Ibid.,
hlm. 115.
Keberatan-keberatan tersebut antara lain: (1) bahaya dalam perkawinan dalam
hubungan keluarga dekat yang dapat menyebabkan lemah keturunan, (2) Kontinuitas
yang tidak begitu terjamin dengan sistem keturunan, dan (3) Kurang meratanya
penyebaran pesantren. Ibid., hlm. 115-116.
[60]
Madrasah ini desediakan
bagi anak-anak yang pada waktu pagi pergi ke sekolah umum, dan pada sore hari
mendapat pelajaran agama. Ibid., hlm.
167.
[62]
Hal ini dapat di lihat
dalam instruksi Menteri Pendidkan dan Kebudayaan tahun 1967.
[68]
Ibid.,
hlm. 208.
Sebagaimana dikutip Steenbrink dari Mukti Ali dalam bukunya “Pelbagai persoalan”
[73]
Seperti yang terlihat pada
pembahruan Adullah Ahmad yang gagal dan protes terhadap pembaharuan di
Tebuireng pada tahun 1930-an.
Komentar
Posting Komentar