ANALISIS PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN MODERN
ANALISIS PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM SYED MUHAMMAD
NAQUIB AL-ATTAS DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN MODERN
Oleh :
Nurul Izah
Dosen Pengampu Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam:
Prof. Dr. H. Maragustam Siregar, M.
A
A.
PENDAHULUAN
Hakikat pendidikan tidak saja merupakan usaha untuk
membangun dan mewariskan nilai yang akan menjadi peenolong dan penuntun umat
manusia dalam menjalani kehidupan, selain itu juga untuk memperbaiki nasib dan
peradabannya. Pendidikan adalah suatu proses dan upaya untuk mengembangkan
manusia dengan berbagai potensi yang
dimilikinya baik itu jasmani dan ruhani agar seimbang. Tanpa pendidikan manusia
tidak ada bedanya dengan manusia jaman dulu, baik itu dalam hal kualitas hidup
maupun proses masa depannya.
Dunia Islam akhir-akhir ini tengah menghadapi
berbagai permasalahan seputar krisis pendidikan Islam serta problem lain yang
sangat menuntut upaya pemecahan secara mendesak. Bahkan menurut sinyalemen
al-Faruqi, krisis dalam aspek pendidikan inilah yang paling buruk dialami oleh
dunia Islam. Untuk itulah al-Faruqi menyatakan dengan tegas bahwa: agenda
pemecahan problematika pendidikan Islam menjadi tugas rumah yang terberat bagi
umat Islam pada abad ke15 H ini. “Sejalan dengan hal ini, Khursid Ahmad
menyatakan bahwa di antara persoalan-persoalan yang dihadapi dunia Islam masa
kini, persoalan pendidikan adalah tantangan yang paling berat. Masa depan Islam
akan sangat tergantung pada bagaimana dunia itu menghadapi tantangan ini”.[1]
Berbagai pendapat dari para cendekiawan muslim ini
telah memberi gambaran bahwa ada suatu problematika yang cukup serius dalam
system pendidikan Islam selama ini, baik pada tataran konseptual maupun pada
tataran aplikasinya. Untuk mengatasinya membutuhkan sebuah langkah reformasi total
sejak dari ide dan konseptualisasi sampai kepada aplikasi konsep pendidikan
Islam.[2]
Pendidikan Islam pada waktu ini mengalami pergeseran
makna yang sesuai dengan perubahan konteks kemasyarakatan. Syed Naquib Al-Attas
menganalisa bahwa yang menjadi faktor kemunduran kaum muslim yaitu bersumber
pada kelalaian mereka dalam merumuskan dan mengembangkan rencana pendidikan
yang berdasarkan pada prinsip ajaran Islam yang terkondisi dan terpadu. maka
dari itu pemikir-pemikir muslim dari masa ke masa memiliki berbagai peendapat
yang beragam dengan latar belakang yang berbeda-beda. Syed Naquib Al-Attas adalah pemikir
kontemporer yang relevan dengan masa saat ini mengenai apa yang dinamakan
dengan pendidikan Islam. Karena pendidikan Islam sudah banyak mengalami pergeseran
makna dan konsep sehingga membutuhkan penyegaran kembali agar kembali relevan
dengan kondisi zaman saat ini.
B.
PEMBAHASAN
1.
Biografi
Syed Naquib Al-Attas
Syed Muhammad Naquib Al-Attas lahir di
Bogor, Jawa Barat, pada 5 September 1931. Pada waktu itu Indonesia berada di
bawah kolonialisme Belanda. Bila dilihat dari garis keturunannya, Al-Attas
termasuk orang yang beruntung. Sebab, dari kedua belah pihak, baik pihak ayah
maupun ibu, sama-sama merupakan orang-orang yang berdarah biru. Ibunya yang
asli Bogor itu masih keturunan bangsawan di Johor (Ambary, et.al, 1995:78).
Dalam tradisi Islam, orang yang mendapat gelar Syed tersebut merupakan
keturunan langsung dari Nabi Muhammad Saw.[3]
Sejarah pendidikannya dimulai sejak ia
masih masih berumur 5 (lima) tahun, yakni ketika ia berada di Johor Baru, saat
ia tinggal bersama pamannya (saudara ayahnya) yang bernama Encik Ahmad.
Kemudian selanjutnya ia ikut dan dididik oleh Ibu Azizah, sampai pecahnya
perang dunia kedua (1936-1941M). Ketika itu secara formal ia belajar di Ngee
Neng English Premary School di Johor Baru. Kemudian saat pendudukan Jepang ia
kembali ke Jawa Barat untuk belajar agama dan bahasa Arab di Madrasah
Al-Urwatul Utsqa di Sukabumi, Jawa Barat selama 4 (empat) tahun (1942-1945 M).
setelah itu pada tahun 1946 ia kembali lagi ke Johor Baru dan tinggal bersama
paman (saudara ayahnya) yang lain lagi yang bernama Engku Abdul Aziz (kala itu
menjabat sebagai Menteri Besar Johor Baru), lalu ikut dengan Datuk Onn yang
kemudian juga menjadi Menteri Besar Johor Baru yang sekaligus sebagai ketua
umum UMNO pertama.[4]
Naquib Al-Attas merupakan perwira Kadet
dalam laskar Melayu Inggris. Karena kecermalangannya ia dipilih untuk
menjautkan latihan dan studi ilmu militer di Eaton Hall, Chester Inggris dan kemudian di Royal Militery Academy Sandhurst Inggris pada tahun 1952-1955 M.
dengan pangkat terakhirnya Letnan, karena menjadi tentara bukan minatnya,
akhirnya ia keluar dan melanjutkan studi di Universitas Malaya pada tahun
1963-1964 M. Kemudian ia melanjutkan studinya di Universitas McGill Monttreal,
Canada, dimana ia mendapatkan gelar M.A. dengan nilai yang membanggakan dalam
bidang studi Islam pada tahun 1962 M. Naquib Al-Attas melalui sponsor Sir
Richard Winstert dan Sir Monimer Wheler dari British Academy, melanjutkan studi
pada progam Pasca Sarjana di University of London pada tahun 1963-1964 M dan ia
meraih gelar Ph.D. dengan predikat cumlaude
dalam bidang filsafat islam dan kesusastraan Melayu Islam pada tahun 1965 M.[5]
Memasuki tahapan pengabdian kepada
Islam, Al-Attas memulai dengan jabatan di jurusan Kajian Melayu pada
Universitas Malaya. Hal ini dilaksanakan pada tahun 1966-1970. Di sini dia
menekankan arti pentingnya kajian Melayu. Sebab mengkaji sejarah Melayu dengan
sendirinya juga mendalami proses islamisasi di Indonesia dan Malaysia.
Karya-karya pujangga Melayu banyak yang berisi ajaran-ajaran Islam dan
kebanyakan yang dibicarakan adalah ajaran-ajaran Islam terutama tasawuf.[6]
Kepakaran Al-Attas dalam berbagai ilmu
seperti filsafat, sejarah dan sastra sudah diakui dikalangan internasional.
Pada tahun 1970 M ia dilantik oleh para filosof Amerika sebagai Internasional Member of the Amerika
Philosophical Association. Ia juga pernah diundang mengisi cerama di Temple
University, Philadelpia, Amerika Serikat dengan topic Islam in Sounthest Asia: Rasionality Versus Iconography (1971) dan
Institut Vostokovedunia, Moskow, Rusia dengan topic The Role Islam in
History dan Culture of the Malays (1971). Ia juga menjadi pimpinan panel
bagian Islam di Asia Tenggara dalam XXIX Conggres International Des
Orientalistis, Paris (1973). Ia juga rajin menghadiri kongres seminar
internasional sebagai ahli panel mengenai Islam, filsafat dan kebudayaan (al-tamaddun)
baik yang diadakan UNESCO maupun yang diadakan oleh badan ilmiah dunia lainnya.
Ia ikut menyumbangkan pikirannya untuk pendirian universitas Islam kepada
organisasi konferensi negara-negara Islam di Jeddah, Saudi Arabia. Ia juga
pernah ditawari untuk menjadi Profesor program Pasca Sarjana dalam bidang Islam
di Temple University dan profesor tamu di Berkeley University, California,
Amerika Serikat.[7]
Pada tahun 1988 ia dilantik oleh menteri
Pendidikan Malaysia, yang sekaligus sebagai Presiden Universitas Islam
Malaysia, yang sekaligus sebagai Presiden Universitas Islam Internasional
Malaysia, sebagai Profesor dalam bidang pemikiran dan dan tamaddun Islam dan
diangkat pula sebagai direktur The
International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).[8]
Naquib Al-Attas tergolong kepada
intelektual yang produktif dalam menghasilkan karya-karya berupa tulisan dalam
berbagai bidang keilmual, yang jumlahnya mencapai sekitar 22 buku dengan 30
makalah. Yang secara global dapat diklasifikasikan kepada dua klasifikasi,
yaitu karya-karya kesarjanaan (scholarly
writing), dan karya-karya pemikiran lainnya. Adapun karya-karya Naquib
Al-Attas tersebut yang antara lain:
a. Rangkaian
Ruba’iyyat, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1959).
b. Some Aspect of Sufism
as Understood and Practiced Among the Malays,
(Singapore:MSRI, 1963).
c. Raniri and the
Wujudiyyah of 17th Century Acheh, Monograph of the Royal Asiatic
No. III, (Singapore: Malaysian Branch, 1966).
d. The Origian of
the Malay Shair, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 1968).
e. Preleminary
Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesia
Archipelago, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969).
f. The Mysticism of
Hamzah Fansuri, (Kuala Lumpur: Universitas Malaya
Press, 1969).
g. Concluding
Postacript to the Malay Shair, (Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1971).
h. The Correct date
of the Trengganu Inscription, (t.k.: The Muzeums
Departement, 1971).
i.
Islam
dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Kuala Lumpur:
Penerbit Universitas Kebangsaan Malaysia, 1972); sedangkan untuk edisi
Indonesia diterbitkan (Bandung: Untuk Kaum Muslimin, (belum diterbitkan).
j.
Comments
on the Re-examination of al-Raniry’s Hujjat al-Shiddiq, A Refutation, (Kuala
Lumpur: Muzium Departemen Paninsular, Malaysia, 1975).[9]
Disamping yang telah dituliskan di atas,
masih banyak lagi karya-karya Naquib Al-Attas yang telah dipresentasikannya
dalam berbagai seminar, simposum, konferensi dan lain-lainnya, baik dalam
negeri maupun luar negri yang belum diterbitkan. Disamping itu karya-karyanya
ini sudah diterjemahkan dalam beberapa bahasa yang antara lainnya seperti:
Jerman, Perancis, Arab, Urdu, Turki, Persia, Korea, Jepang, dan Indonesia dan
lain-lain.
2.
Pemikiran
Pendidikan Syed Naquib Al-Attas
Al-Attas di samping terkenal sebagai
ahli pengkaji sejarah, kebudayaan, teologi, tasawuf, dan filsafat, juga dikenal
sebagai pengkaji pendidikan Islam yang brilian yang telah menggagas formula-formula
besar, seperti Islamisasi ilmu, standardisasi pengertian-pengertian dasar
istilah dalam Islam, epistimologi Islam, konsep pendidikan Islam dan lain-lain.[10]
Menurut Al-Attas, Islam itu harus selalu
memberi arah terhadap hidup kita, agar umat Islam terhindar dari serbuan
pengaruh pemikiran Barat dan Orientalis yang menyesatkan itu. Di samping itu
Al-Attas sebagai penggagas Islamisasi ilmu sebelum al-Faruqi, berpendapat bahwa
perlunya ditimbulkan kesadaran terhadap ilmu dan pendidikan dalam dunia Islam.[11]
a.
Gagasan
pendidikan Islam
Terma tarbiyah, ta’lim dan ta’dib adalah suatu terma yang
disepakati kalangan dunia pendidikan islam, untuk dijadikan istilah pendidikan
islam, dan yang terbanyak dipakai adalah terma tarbiyah. Hal ini dapat
dibuktikan dengan berbagai kitab, lembaga dan lain-lain yang berhubungan dengan
pendidikan yang telah ada selama ini, seperti al-Tarbiyah al-Islamiyah, Kulliyah al-Tarbiyah, dan qaumus al-Tarbiyah.
Kemudian terma tarbiyah ini dipakai oleh para inyelektual muslim seperti;
Muhammad Fadhil al-Jamaly, Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Abdurahman al-Nahlawi,
Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, dan lain-lain.[12]
Dalam bahasa Inggris disebut education atau educate dan latinnya educatio
dan educare yang menurut Al-Attas
berarti mengahasilkan, mengembangkan dan mengacu kepada segala sesuatu yang
bersifat fisik dan material. Al-Attas mengkritik orang-orang yang mengunakan
istiilah tarbiyah dan ta’lim. Terma tarbiyah katanya bukanlah terma yang tepat
dan benar untuk pendidikan islam, karenanya perlu segera ditinjau ulang.
Tarbiyah katanya terjemahan dari kata education
yang katanya hanya mementingkan fisik material saja sesuai dengan masyarakat,
manusia dan negaranya yang bersifat sekuler, karena dalam kajiannya terhadap
kitab-kitab klasik ternyata tidak ada yang menggunakan terma tarbiyah dengan
makna pendidikan.[13]
Dalam bahasa Arab dikenal istilah medan
semantic, yakni medan pengertian tempat diuraikannya struktur konseptual yang
disimbolkan dengan sebuah kata atau istilah sentral dan penggunaan kat-kata
atau istilah harus diterapkan dengan tepat dalam konteks medan semantiknya.
Menurut Al-Attas tarbiyah pada
dasarnya berarti mengasuh, menanggung,
memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat, menjadikan bertambah dalam
pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang dan
menjinakkan. Penerapannya Dalam bahasa Arab tidak hanya terbatas pada manusia
saja, dan medan semantiknya meluas kepada spesies-spesies lain, untuk mineral,
tanaman, dan hewan. Tarbiyah sebagai sebuah istilah dan konsep bisa diterapkan
untuk berbagai spesies dan tidak terbatas pada manusia, sedangkan pendidikan
adalah sesuatu yang khas untuk manusia. Oleh karena itu, Al-Attas beranggapan
bahwa istilah tarbiyah dari segi
semantic tidak memadai untuk menunjuk arti pendidikan Islam. Ia menegaskan:
secara semantic, istilah tarbiyah
tidak tepat dan tidak memadai untuk membawakan konsep pendidikan dalam
pengertian Islam.[14]
Jika dilihat dari perspektif Al-Attas
bahwa tarbiyah tidaklah tepat untuk membawakan atau berarti konsep pendidikan
Islam. Begitu juga dengan ta’lim yang hanya diartikan sebagai pengajaran. Jadi
kata ta’lim itu lebih sempit dari pendidikan. Akan tetapi ia tidak menjelaskan
terma ini lebih lanjut.
Dalam literatur-literatur lain dikatakan
bahwa kata-kata ta’lim terdapat dalam
Al Qur’an sebanyak 41 kali (25 Fi’il Madi
dan Mudari’), yang mengandung
arti banyak sekali, yang diantaranya: informasi, nasehat, pengajaran,
bimbingan, ajaran, pendidikan formal, latihan, pendidikan, dan pekerjaan
magang. Dalam hal ini Abdul Fattah Jalal lebih setuju dengan terma ta’lim untuk digunakan sebagai istilah
pendidikan Islam. Berdasarkan firman Allah yang antara lain berbunyi: “Sebagaimana kami telah mengutus kepada kalian
Rasul diantara kalian yang membaca ayat-ayat Kami dan mengajarkan al-kitab dan
al-hikmah serta apa-apa yang belum kalian ketahui,” (QS. Al-Baqarah:151).
Dan hadis nabi: “Ketahuilah sesungguhnya
al-Khaliq telah memerintahkan kepadaku agar aku mengajarkan kepada kalian
apa-apa yang tidak kalian ketahui, sebagaimana yang telah diajarkan kepadaku,”
(HR. Muslim).[15]
Menurut M. Nasir Budiman, istilah ta’lim yang mempunyai jangkauan arti
yang lebih luas dan umum. Ta’lim
mencakup aspek-aspek pengetahuan dan ketrampilan (skill) yang diperlukan oleh seseorang dalam kehidupannya serta
pedoman perilaku yang baik. Ta’lim
merupakan suatu proses yang terus menerus diusahakan manusia semenjak
dilahirkan, sebab manusia dilahirkan dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apa
pun. Jadi ta’lim digunakan untuk
menanamkan ilmu dalam artian yang sangat luas. Bahkan dari ayat (QS.
Al-baqarah:151) menurut M. Nasir Budiman “Islam memandang proses ta’lim lebih universal dari pada proses
tarbiyah.[16]
Al-hikmah
tidak dapat dipelajari secara parsial atau secara sederhana, melainkan mencakup
keselurahan ilmu secara integrative. Al-hikmah
berakar dari kata al-hikam, yang
berarti kesungguhan dalam ilmu, imam dan amal saleh, yang dalam istilah
paedagogik disebut kognitif, afektif dan psikomotor. Karena itu Allah
memberikannya kepada para orang-orang pilihan, yaitu ulul albab (cendekiawan) muslim. Kendati pendapat Abdul Fattah
Jalal itu kuat, tapi menurut al-Attas, tetap tidak bisa mewakili pengertian
pendidikan Islam. Karena kata ta’lim
dalam Al Qur’an juga digunakan untuk selain manusia, sementara pendidikan itu
hanya untuk species manusia saja.[17]
Dalam hal ini Al-Attas berpendapat bahwa
terma yang paling tepat dan benar untuk membawakan konsep pendidikan Islam
adalah ta’dib. Secara bahasa ta’dib merupakan bentuk mashdar dari
kata addaba (bahasa Arab) yang
berarti adab, mendidik. Sedangkan Al-Zajjaj, sebagaimana dikutip Al-Attas,
mengartikannya sebagai cara Tuhan mengajarkan Nabinya. Al-Attas sendiri
memberikan makna ta’dib dengan
pendidikan. Dalam bukunya Islam dan
Sekularisme, ia menulis bahwa pendidikan adalah meresapkan dan menanamkan
adab pada manusia yaitu ta’dib. Dari
sini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan ta’dib dalam terminologi Al-Attas secara sederhana dapat dipahami
sebagai suatu muatan atau kekurangan yang mesti ditanamkan dalam proses
pendidikan islam (ta’dib).[18]
Selanjutnya Al-Attas mengatakan bahwa
adab yang diturunkan dari akar kata yang sama dengan ta’dib, secara singkat dapat dikatakan sebagai lukisan keadilan
yang dicerminkan oleh kearifan, ini adalah pengakuan atas berbagai hierarki
dalam tata tingkat wujud, eksistensi, pengetahuan, dan perbuatan, seiring yang
sesuai dengan pengakuan itu. Adab berarti pula melibatkan tindakan untuk
mendisiplinkan pikiran dan jiwa yakni pencapaian dan sifat-sifat yang baik oleh
pikiran jiwa untuk meenunjukkan yang betul melawan yang keliru, yang benar
melawan yang salah, agar terhindar dari noda dan cela. Menurut Al-Attas,
pengajaran dan proses mempelajari keterampilan, betapa pun ilmiahnya, tidak
dapat diartikan sebagai pendidikan bilamana di dalamnya tidak ditanamkan
sesuatu.[19]
Mengenai adab (ta’dib) dalam konteks ini, Al-Attas mendefinisikan sebagai berikut:
“Adab berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan
wujud bersifat terartur secara hierarki sesuai dengan berbagai tingkatan dan
derajat mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan
hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual, dan
ruhaniah seseorang”. Adapun tentang pengertian pengenalan dan pengakuan,
Al-Attas menjelaskan sebagai berikut. “Pengenalan berarti menemukan tempat yang
sehubungan dengan apa yang dikenalinya, dan pengakuan berarti tindakan yang
bertalian dengan itu (amal) yang lahir sebagai akibat menemukan tempat yang
tepat dari apa yang dikenalinya. Pengenalan saja tanpa pengakuan adalah
kecongkakan karena hak pengakuanlah untuk diakui, pengakuan apa saja tanpa
pengenalan hanyalah kejahilan belaka, karena hak pengakuanlah untuk mewujudkan
pengenalan. Adanya salah satu saja tanpa yang lain adalah batil, karena dalam
islam ilmu tak berguna apa-apa tanpa amal yang menyertai, begitu pula amal
tidak berguna tanpa ilmu yang membimbingnya. Manusia yang adil adalah yang
menjalankan adab dalam dirinya sehingga menghasilkan manusia yang baik.
Al-Attas melihat bahwa adab telah banyak terlibat dalam sunnah Nabi SAW, dan secara
konsseptual ia terlebur bersama ilmu dan amal. Ia menemukan bahwa pendidikan
adalah tepat dengan apa yang dimaksudkan dengan adab oleh Nabi Saw. Dalam
sabdanya, “Tuhanku telah mendidikku (adaba),
dengan demikian membuat pendidikanku (ta’dib)
yang paling baik”.
Al-Attas melanjutkan bahwa pendidikan
adalah meresapkan dan menanamkan adab pada manusia, ini adalah ta’dib. Jadi
adab adalah apa yang diterapkan kepada manusia bila ia harus melakukannya
dengan berhasil dan baik dalam hidup ini atau di hari kemudian. Penekanan pada
adab yang mencakup amal dalam pendidikan dan proses pendidikan dimaksudkan
untuk menjamin bahwa ilmu dipergunakan secara baik di dalam masyarakat. Karena
alasan inilah orang-orang bijak, para cerdik-cendekia, dan para sarjana di
antara orang-orang islam terdahulu telah mampu mengombinasikan ilmu, amal, dan
adab, dan menganggap kombinasi harmonis ketiganya sebagai pendidikan.
Pendidikan dalam kenyataannya adalah ta’dib,
karena adab, sebagaimana didefinisikan telah mencakup konsep ilmu dan amal
sekaligus. [20]
Bagi Al-Attas, pendidikan dalam arti
islam adalah sesuatu yang khusus untuk manusia, maka pengenalan dan pengakuan
mesti diterapkan. Lebih lanjut, ia mengatakan. “Mengingat makna pendidikan dan
pengetahuan hanya berkenaan dengan manusia saja, dan sebagai terusannya dengan
masyarakat pula, maka pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang tepat dari
segala sesuatu di dalam tatanan pencipataan mesti paling utama diterapkan pada
pengenalan dan pengakuan manusia itu sendiri tentang tempatnya yang tepat,
yaitu kedudukannya dan kondisinya dalam kehidupan sehubungan dengan dirinya
keluarganya, kelompoknya, komunitasnya, serta kepada disiplin pribadinya, di
dalam mengaktualisasikan dalam diri pengenalan dengan pengakuan”.
Dari acuan di atas dapat dipahami bahwa
hakikat pendidikan islam adalah ta’dib,
penananam adab itu sendiri pada manusia. Oleh karenanya, dia menganjurkan
menggunakan istilah ta’dib untuk
menunjuk pengertian pendidikan Islam. Dia menegaskan, tidak ada lagi
kebimbangan maupun keraguan dalam menerima proposisi bahwa konsep pendidikan
dan proses pendidikan telah tercakup di dalam istilah ta’dib dan bahwa istilah yang tepat untuk menunjuk pendidikan dalam
islam sudah terungkap olehnya.
Terlihat bahwa Al-Attas menekankan
kepada segi adab. Maksudnya agar ilmu yang diperoleh diamalkan secara baik dan
tidak disalahgunakan menurut kehendak bebas pemilik ilmu. Karena ilmu itu tidak
bebas nilai (value free), tetapi ia
sangat sarat nilai (value laden),
yakni nilai-nilai islami yang mengharuskan pemiliknya untuk mengamalkan demi
kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.
b.
Tujuan
Pendidikan Islam
Berbicara tentang tujuan pendidikan,
tidak bisa dilepaskan dari pembahasan tentang manusia, sebab pada hakikatnya
yang menjadi objek sekaligus subjek pendidikan itu adalah manusia itu sendiri. Oleh
karena itu, bila ingin membahas tujuan pendidikan Islam secara mendalam, perlu
dikupas lebih dahulu hakikat manusia menurut islam.
Sebelum tujuan pendidikan Islam
dikemukakan, perlu disampaikan konsep tujuan pendidikan, yaitu perubahan yang
diinginkan yang akan diupayakan oleh proses pendidikan atau usaha pendidikan
untuk mencapainya baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya,
ataupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya dimana individu itu hidup,
atau pada proses pendidikan itu sendiri dan proses pengajaran sebagai suatu
aktifitas asasi di antara profesi-profesi dalam masyarakat.[21]
Berbicara tentang tujuan pendikan Islam
berarti berbicara tentang nilai-nilai ideal yang bercorak islami. Dalam hal
ini, Al-Attas mengemukakan konsepnya sebagai berikut: “Tujuan mencari
pengetahuan dalam Islam adalah menanamkan kebaikan dalam diru manusia sebagai
manusia dan sebagai diri individual. Tujuan akhir pendidikan dalam islam adalah
menghasilkan manusia yang baik, dan bukan seperti peradaban Barat, menghasilkan
warga Negara yang baik. “Baik” dalam konsep manusia, yang baik berarti tepat
sebagai manusia, adab dan pengertian yang dijelaskan di sini, yakni meliputi
kehidupan material dan spiritual manusia”.[22]
Al-Attas dan memformulasikan tujuan
pendidikan Islam sepertinya lebih
menitikberatkan pada pembentukan aspek pribadi individu, tetapi tidak berarti
mengabaikan terbentuknya sebuah masyarakat yang ideal. Sebagaimana
dikemukakannya, karena masyarakat terdiri dari perseorangan maka membuat setiap
orang atau sebagaian besar di antaranya menjadi orang-orang baik, berarti pula
menghasilkan suatu masyarakat yang baik.[23]
Konsep pendidikan Islam pada dasarnya
berusaha mewujudkan manusia yang baik atau manusia universa (al-insan al-kamil), yakni sesuai dengan
fungsi dicipatkannya manusia di mana ia membawa dua misi, yaitu (a) sebagai Abdullah (hamba Allah) dan (b) Khalifatullah fi al-ardh (wakil Tuhan di muka bumi). Oleh karena itu, seharusnya
system pendidikan Islam merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku Rasulullah
Saw serta berkewajiban mewujudkan umat Muslim yang menampilkan kualitas
keteladanan Rasulullah semaksimal mungkin sesuai dengan potensi dan kecakapan
masing-masing. Posisi normatif ini didasarkan pada diktum Al-Qur’an yang
menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah teladan terbaik (uswah khasanah) bagi umat Islam dan juga berdasarkan pengetahuan
dan keteladanannya yang merupakan manusia paling takwa dan paling mulia.[24]
Dari deskripsi di atas bisa dipahami
bahwa Al-Attas menghendaki agar pendidikan Islam mampu mewujudkan insan kamil yang bercirikan universalis dalam
wawasan dan otoritatif dalam ilmu pengetahuan, dengan kata lain manusia yang
mencerminkan pribadi Nabi Saw. Selain itu, tampak bahwa ia lebih melihat
dominasi individu terhadap masyarakat daripada kebalikannya, dan tidak tampak
kea rah sintesis dari keduanya, sebab ia meyakini pandangan yang menyatakan
bahwa masyarakat akan menjadi baik apabila individu baik. Hal tersebut
merupakan akibat logis dari pandangan dunianya, yakni secara emanisi kebaikan
dan kebenaran yang bersumber dari Tuhan melimpah lebih dahulu melalui individu,
karena individu menempati posisi yang lebih tinggi dalam hierarki realitas
dibandingkan dengan masyarakat.
c.
Sistem
Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam seperti telah
dideskripsikan di atas pada intinya adalah mewujudkan insan kamil. Maka sistem pendidikan Islam harus mencerminkan aspek
manusia itu sendiri. Perwujudan paling tinggi dan sempurna dari system
pendidikan adalah universitas. Menurut Al-Attas, universitas yang dirancang
untuk mencerminkan yang universal, harus pula merupakan pencerminan manusia itu
sendiri. Universitas Islam tidak begitu saja mencontoh universitas Barat, sebab
secara konseptual keduanya berbeda. Universitas Barat diyakni tidak
mencerminkan manusia, tetapi lebih mencerminkan unsure-unsur yang seekuler. Hal
ini terjadi karena dalam peradaban Barat atau lainnya di luar Islam tidak
pernah ada seorang manusia sempurna yang bisa menjadi model untuk diteladani
dalam hidup dan dipakai untuk memproyeksikan ilmu pengetahuan dan tindakan yang
benar dalam bentuk universal sebagai universitas. Al-Attas menegaskan bahwa
Universitas Islam harus mencerminkan pribadi Nabi dalam hal ilmu pengetahuan
dan tindakan yang benar, yang berfungsi menghasilkan manusia laki-laki dan
perempuan yang kualitasnya sedekat mungkin menyerupai beliau, yakni manusia
yang beradab.[25]
Bila dilihat dari pernyataan Al-Attas
selanjutanya bahwa pada proses dewesternisasi dan Islamisasi di atas menjadi
kendala utama adalah manusia. Jika melalui suatu tafsiran alternative
pengetahuan tersebut manusia mengetahui hakikat dirinya serta tujuan sejati
hidupnya dan dengan mengetahui itu ia mencapai kebahagiaannya, maka pengetahuan
itu walaupun tercelup dengan unsure-unsur tertentu yang menentukan bentuk
karakteristik di mana pengetahuan itu dikonsepsikan, dievaluasi, dan
ditafsirkan sesuai dengan suatu pandangan tertentu, dapat disebut sebagai
pengetahuan yang sejati, karena pengetahuan seperti itu telah memenuhi tujuan
manusia dalam mengetahui segalanya.[26]
Al-Attas berpandangan bahwa seperti
manusia yang terdiri dari dua unsur yakni jasmani dan ruhani, maka ilmu juga
terbagi ke dalam dua kategori, yaitu (a) ilmu pemberian Allah (melalui wahyu
ilahi) dan (b) ilmu capaian (yang diperoleh melalui usaha, pengamatan,
pengalaman, dan riset manusia). Namun demikian, pada hakikatnya dalam Islam
ilmu itu hanya suatu sumber, yaitu dari Allah Swt. Perbedaannya terletak pada
cara kedatangannya, melalui wahyu ilahi atau diperoleh melalui usaha,
pengamatan, pengalaman, dan riset manusia, serta indera yang menerimanya.
3.
Relevansi
Implikasi Pemikiran Pendidikan Syed Naquib Al-Attas di era Modern
Pendidikan
merupakan system dan cara meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspek kehidpan manusia.
Dalam sejarah umat manusia,[27]
hampir tidak ada kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai
alat pembudayaan dan peningkatan kualitasnya, sekalipun masyarakat yang masih
terbelakang (primitive). Pendidikan merupakan bagian terpenting dari kehidupan
manusia yang sekaligus membedakan manusia dengan hewan. Oleh karena itu,
pendidikan sebagai usaha untuk melestarikan dan mengalihkan serta
mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspek kehidupan guna
mengangkat harkat dan martabat manusia.
Oleh
sebab itu, pendidikan merupakan kebutuhan penting bagi setiap manusia, negara,
dan maupun pemerintah. Maka, pendidikan di harapkan elastic dan terus
ditumbuhkembangkan secara sistematis oleh para pengambil kebijakan yang
berwewenang yang biasa diistilahkan dengan kebijakan pendidikan atau politik
pendidikan. Dari kerangka ini, upaya pendidikan yang dilakukan suatu bangsa
selalu memiliki hubungan yang signifikan. Sebab, pendidikan akan dihadapkan
pada perubuhan, baik perubahan zaman maupun perubahan masyarakat yang
membutuhkan skill baru bagi generasi selanjutnya. Oleh karena itu, mau
tidak mau pendidikan harus didesain mengikuti irama perubahan tersebut, kalau
tidak, pendidikan akan ketinggalan. Tuntutan pembaruan atau modernisasi[28]
pendidikan menjadi suatu keharusan dan modernisasi pendidikan pula yang akan
mengikuti dan menempatkan pendidikan untuk tetap relevan dengan kebutuhan
masyarakat, baik pada konsep kurikulum, proses, fungsi, tujuan, manajemen
lembaga-lembaga pendidikan, dan sumber daya pengelolaan pendidikan.[29]
Menurut
hemat penulis, problema pendidikan islam dapat dikategorikan menjadi 2 (dua), pertama, problem internal yang berkaitan
dengan segi-segi konseptual dan praktikal. kedua,
problem eksternal yang terletak pada tantangan peradaban modern. Sudah muncul
cendekiawan muslim untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut seperti, Ismail
Raji al-Faruqi, Hamid Hasan al-Bilgrami, Syed Ali Ashraf, Hasan Langgulung,
Syed Sajjad Husein, Ziaduddin Sardar dan Syed Muhammad al-Naquib al-Attas.
Mereka semuanya itu sangat memberikan arti penting, yakni memfungsikan potensi
dirinya serta bertanggung jawabnya sebagai khalifah
Allah fi al-Ardii dalam rangka membebaskan belenggu kehidupan yang dapat
mengecam keterasingan umat Islam di tengah-tengah percaturan dunia modern.
Kehadiran mereka sangat penting karena meminjam pendapat Fazlurrahman bahwa:
Umat Islam akhir-akhir ini dengan nyata telah menunjukkan kekurangmampuan
dirinya untuk memenuhi tuntutan dunia modern secara kreatif. Mereka yang
memahami tradisi tidak memilki pemahaman lengkap tentang situasi dunia
mutaakhir ini. Di lain pihak mereka yang memahami dunia modern secara tepat,
hampir-hampir tidak memiliki pengetahuan tentang tradisi dan sejarah
perkembangan tradisi tersebut. Upaya untuk mengubah situasi yang sama sekali
tidak diinginkan dan sangat berbahaya itu, tentu saja terletak pada pembaruan
pendidikan dari dunia muslim.[30]
Kondisi
pendidikan dewasa ini secara makro ternyata telah terkontaminasi dan
terintervensi oleh konsep-konsep pendidikan Barat, yang hanya mengutamakan
penguasaan pengetahuan secara ansich,
menitikberatkan pada segi teknis empiris, dan tidak mengakui sama sekali
eksistensi jiwa. Ia tidak memiliki arah dan tujuan yangjelas, bahkan sangat
jauh dari sentuhan dan landasan spiritual, ia tidak memperhatikan masalah
moral, ataupun etika (nilai-nilai
ilahiyah) kalaupun ada nilai, itu hanyalah nilai humanistic yang bersifat antroposentris belaka. Akibatnya
hilanglah nilai-nilai etik dan transcendental, yang justru melahirkan
dehumanisasi, dan bukannya humanizing of
human being. Makanya peniruan secara membabibuta terhadap konsep pendidikan
Barat harus segera dihentikan, untuk kemudian mencari paradigm baru yang sesuai
dengan tujuan pendidikan bagi suatu masyarakat maupun Negara itu harus muncul
dan berkembang dari dalam masyarakat itu sendiri. Ibaratnya pendidikan adalah
pakaian yang harus diukur dan dijahit sesuai dengan bentuk dan ukuran
pemakainya, berdasarkan indentitas pandan hidup, serta nilai-nilai yang
terdapat dalam masyarakat atau Negara tersebut.[31]
Kondisi
pendidikan Islam di Indonesia, sebenarnya meghadapi nasib yang sama. Artinya,
jika ditilik secara mikro, pendidikan Islam menghadap berbagai persoalan dan
kesenjangan dari berbagai aspek yang sangat kompleks, yaitu berupa persoalan
dikotomi pendidikan, kurikulum, tujuan, sumber daya, serta manajemen pendidikan
Islam. Upaya perbaikan internalitas tersebut belum dilakukan secara mendasar
sehingga terkesan seadanya saja atau bahkan asal-asalan yang tidak memberikan
alternative yang solutif. Usaha modernisasi dan peningkatan pendidikan Islam
sering bersifat sepotong-sepotong (parsial) atau tidak komperhensif dan
menyeluruh (holistic) serta sebagaian besar system dan lembaga pendidikan islam
belum dikelola secara professional.[32]
Di Indonesia,
kita kenal berbagai bentuk dan jenis lembaga pendidikan islam, seperti pondok
pesantren, madrasah, sekolah umum yang bercirikan Islam, perguruan tinggi
Islam, dan jenis-jenis pendidikan Islam luar sekolah, seperti Taman Pendidikan
Al Qur’an (TPA), majelis taklim, dan lain sebagainya. Semua lembaga pendidikan
Islam itu merupakan asset khazanah dan salah satu dari konfigurasi sistem pendidikan
nasional Indonesia yang juga memberikan kontribusi terhadap pembentukan
kepribadian generasi bangsa. Melalui keberadaan lembaga pendidikan Islam
tersebut, diharapkan dapat membangun dan memberdayakan generasi bangsa dan umat
Islam secara khusus di Indonesia secara optimal.
Apabila ditelaah dengan cermat, format
pendidikan yang ditawarkan oleh Al-Attas di atas tampak jelas bahwa dia
berusaha menampilkan wajah pendidikan Islam sebagai suatu system pendidikan
terpadu. Hal tersebut dapat secara jelas dilihat dari tujuan pendidikan dalam
Islam harus mewujudkan manusia yang baik, yaitu manusia yang universal. Insan
kamil yang dimaksud adalah (1) Manusia yang seimbang, memiliki keterpaduan dua
dimensi kepribadian: (a) dimensi isoterik vertical yang intinya tunduk dan
patuh kepada Allah Swt, dan (b) dimensi eksoterik, dialektikal, horizontal,
yaitu membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya. (2) Manusia
seimbang dalam kualitas pikir, dzikir, dan amalnya. Untuk menghasilkan manusia
yang dimaksud, merupakan suatu keniscayaan adanya suatu upaya maksimal dalam
mengondisikan lebih dahulu paradigma pendidikan yang terpadu.
Indikasi lain yang mempertegas bahwa
paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas menghendaki terealisasinya sistem
pendidikan terpadu tersebut tertuang dalam rumusan system pendidikan yang
diformulasikannya, di mana tampak sangat jelas upaya Al-Attas untuk
mengintegrasikan ilmu dalam sistem pendidikan Islam. Artinya, pendidikan Islam
harus menghadirkan dan mengajarkan dalam proses pendidikannya tidak hanya
ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu rasional, intelektual, dan filsafat.
Dari deskripsi di atas, dapat
disimpulkan bahwa pemikiran pendidikan Al-Attas mengarah pada pendidikan yang
bercorak moral religious yang tetap menjaga keseimbangan dan keterpaduan sistem.
Hal tersebut terlihat dalam konsep tentang ta’dib,
yang menurutnya telah mencakup konsep ilmu dan amal. Dalam hal ini dijelaskan
jika setelah manusia dikenalkan akan posisinya dalam tatanan kosmik lewat
proses pendidikan, ia diharapkan dapat mengamalkan ilmunya yang didapat dengan
baik kepada masyarakat.
Bila dilihat secara substantive,
pemikiran Al-Attas termasuk kategori tradisionalis. Jika dianalis secara
metodologis, ia tergolong skriptualis, dan jika ditinjau secara historis ia
tercakup dalam tipologi pemikirannya. Walaupun demikian, menurut penulis,
Al-Attas merupakan ilmuwan yang termasuk tiplogi reformis skriptualis. Meskipun
pemikiran-pemikiran Al-Attas mendasarkan pada teks-teks klasik, ia telah
melakukan reaktualisasi dan reformasi agar sesuai dengan konteks era kontemporer.
C.
KESIMPULAN
Al-Attas sebagaimana yang telah
dideskripsikan, telah menampilkan reformulasi wajah pendidikan Islam sebagai
sesuatu system pendidikan yang terpadu secara utuh. Hal ini terlihat dari:
Pertama,
tujuan pendidikannya yang ingin mewujudkan individu manusia yang universal (al insan al-kamil) yang bercirikan,
disamping manusia yang seimbang yang memiliki keterpaduan dua dimensi
kepribadian yaitu, (1) dimensi yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah Swt,
dan (2) dimensi membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya. Juga
sebagai manusia seimbang dalam kualitas pikir,dzikir, dan amalnya.
Kedua,
usaha-usahanya dalam mengintegrasikan ilmu dalam system pendidikan Islam, dalam
artian bahwa pendidikan Islam itu harus menurut ilmu-ilmu agama, ilmu rasional,
intelektual dan fiolosofis.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi.
Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara abad XVII dab XVIII. Bandung: Mizan, 1994.
Badaruddin, Kemas.
Filsafat Pendidikan Islam (Analisis
Pemikiran Prof. Dr. Syed Muhammad Al-Naquib Aal-Attas). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007.
Fazlurrahman. Islam modern, Tantangan Pembaharuan Islam.
Yogyakarta: Shalahudin Press, 1987.
Kurniawan, Syamsul
& Erwin Mahrus. Jejak Pemikiran Tokoh
Pendidikan Islam. Yogyakarta:Ar-Ruzz Media, 2016.
Masruroh, Ninik
& Umiarso. Modernisasi Pendidikan
Islam Ala Azyumardi Azra. Jogjakarta:Ar-Ruzz Media, 2011.
Shihab, M.
Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan
Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Editor Ihsan Al Fauzi. Bandung:
Mizan, 1992.
MAKALAH PRAREVISI
[1] Kemas Badaruddin. Filsafat Pendidikan Islam (Analisis
Pemikiran Prof. Dr. Syed Muhammad Al-Naquib Aal-Attas). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007. Hlm. 1.
[3] Syamsul Kurniawan & Erwin
Mahrus. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan
Islam. Yogyakarta:Ar-Ruzz Media, 2016. Hlm. 175.
[4] Ibid., Kemas Badaruddin. Filsafat
Pendidikan Islam….. hlm. 9.
[5] Ibid., Kemas Badaruddin. Filsafat
Pendidikan Islam….. hlm. 10.
[6]
Ibid.,
Syamsul Kurniawan &
Erwin Mahrus. Jejak Pemikiran Tokoh
Pendidikan Islam….hlm. 177. Lihat Ramayulis & Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem
Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya. Yogyakarta: Kalam Mulia, 2009. Hlm.
301.
[7] Ibid., Kemas Badaruddin. Filsafat
Pendidikan Islam….. hlm. 12.
[8] Ibid., Kemas Badaruddin. Filsafat
Pendidikan Islam….. hlm. 14.
[9] Ibid., Kemas Badaruddin. Filsafat
Pendidikan Islam….. hlm. 16.
[10] Ibid., Kemas Badaruddin. Filsafat
Pendidikan Islam….. hlm. 18.
[11] Ibid., Kemas Badaruddin. Filsafat
Pendidikan Islam….. hlm. 18. Lihat M.A. Jawahir. Syed Muhammad al-Naquib Al-Attas, Pakar Agama, Pembela Aqidah dan
Pemikir Islam yang dipengaruhi paham Orientalis. Dalam Panji Masyarakat, no. 603, Edisi 21-28 Februari 1989, hlm. 32.
[12] Ibid., hlm. 24.
[13] Ibid., hlm. 24.
[15] Ibid., Kemas Badaruddin. Filsafat
Pendidikan Islam….. hlm. 28.
[16] Ibid., Kemas Badaruddin. Filsafat
Pendidikan Islam….. hlm. 29.
[27] A. Syafi’i Ma’arif menyatakan
apabila dilihat dari sejarahnya, pendidikan merupakan suatu gerakan yang telah
berumur tua. Dalam bentuk sederhana, dapat dipahami bahwa pendidikan telah
dijalankan sejak dimulainya manusia di muka bumi ini. Penguasaan alam semesta,
memberikan contoh pendidikan kepada manusia dan dilanjutkan dengan mendidik
keluarga. A. Syafi’I Ma’arif, “Pendidikan Islam sebagai Proses Pemberdayaan
Umat,” Jurnal Pendidikan Islam No.2 FakultasTarbiayah UII, 1 Oktober 1996, hlm.
6.
[28]Perkataan modern merupakan
pengertian yang kurang menentu sehingga dapat dipergunakan untuk menyifati
segala macam ide, cita-cita atau keinginan-keinginan. Istilah modernisasi lebih
sering dipergunakan untuk menunjukkan pertumbuhan pemikiran atau
penemuan-penemuan yang serba rasional. Harun Nasution, menyatakan bahwa dalam
Bahasa Indonesia telah dan selalu dipakai kata modern, modernisasi, dan
modernism. Menurutnya, modernisasi dalam masyarakat Barat mengandung
arti pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, ada
institusi-institusi lama, dan sebagainya. Untuk disesuaikan dengan suasana baru
yang ditimbulkan oleh kemajuan pengetahuan dan teknologi.
[29]Ninik Masruroh & Umiarso. Modernisasi
Pendidikan Islam Ala Azyumardi Azra.
Jogjakarta:Ar-Ruzz Media, 2011. Hlm. 201.
[30] Lihat Fazlurrahman. Islam modern, Tantangan Pembaharuan Islam.
Yogyakarta: Shalahudin Press, 1987. Hlm. 108.
[31] Lihat M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat. Editor Ihsan Al Fauzi. Bandung: Mizan, 1992.
Hlm. 173.
[32]AzyumardiAzra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara abad XVII dab XVIII. Bandung: Mizan, 1994. Hlm. 57.
Komentar
Posting Komentar