ANALISIS FILOSOFIS PEMIKIRAN IBNU MISKAWAIH TENTANG PENDIDIKAN DAN RELEVANSINYA DENGAN DUNIA MODERN

ANALISIS FILOSOFIS PEMIKIRAN IBNU MISKAWAIH
TENTANG PENDIDIKAN
DAN RELEVANSINYA DENGAN DUNIA MODERN


Oleh:
Khairun Nisa
NIM. 17913032

Dosen Pengampu Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam:
 Prof. Dr. Maragustam, MA


A.    Pendahuluan
Muhammad SAW diutus di muka bumi membawa misi pokok untuk menyempurnakan akhlak mulia di tengah-tengah masyarakat. Misi Nabi ini bukan misi yang sederhana, tetapi misi yang besar dan agung yang ternyata untuk merealisasikannya membutuhkan waktu yang cukup lama, yakni lebih dari 22 tahun. Nabi melakukannya mulai dengan pembenahan aqidah masyarakat Arab, kurang lebih 13 tahun, lalu Nabi mengajak untuk menerapkan syariah setelah aqidahnya mantap. Dengan kedua sarana inilah (aqidah dan syariah), Nabi dapat merealisasikan akhlak yang mulia di kalangan umat Islam pada waktu itu.
Dapat disimpulkan bahwa datangnya Islam membawa misi yang sangat penting yaitu memperbaiki dan menyempurnakan akhlak manusia. Akhlaqul karimah yang diajarkan dalam Islam merupakan orientasi yang harus dipegang oleh setiap muslim. Seseorang yang hendak memperoleh kebahagiaan sejati (al-sa’adah al-haqiqiyah), hendaknya menjadikan akhlak sebagai landasannya dalam bertindak dan berperilaku. Di era modern seperti sekarang ini, sedikitnya terdapat tiga fungsi akhlak dalam kehidupan manusia. Pertama, ia dapat dijadikan sebagai panduan dalam memilih apa yang boleh diubah, dan apa pula yang harus dipertahankan. Kedua, dapat dijadikan sebagai obat penawar dalam menghadapi berbagai ideologi kontemporer (seperti materialisme, hedonisme, radikalisme, individualisme, konsumerisme dan lain-lain). Ketiga, dapat pula dijadikan sebagai benteng dalam menghadapi perilaku menyimpang akibat pengaruh negatif globalisasi.[1]
Pendidikan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan manusia yang sekaligus membedakan manusia dengan makhluk lainnya, karena manusia diberikan sebuah anugerah terbesar berupa akal pikiran, sehingga proses belajar mengajar merupakanusaha manusia dalam masyarakat yang berbudaya, dan dengan akal pikiran yang ia miliki akan mengetahui segala hakikat permasalahan dan sekaligus dapat membedakan mana yang baik dan buruk.
Tujuan dari pendidikan di Indonesia (baik pendidikan umum ataupun pendidikan Islam) dalam Pasal 3 UUSPN No.20 Tahun 2003, yaitu berfungsi untukmengambangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang bertanggung jawab.[2]
Ditinjau dari aspek sejarahnya, pendidikan Islam secara formal merupakan sistem pendidikan tertua di dunia, hal ini dikarenakan semenjak Islam masuk ke Indonesia, belum adanya lembaga-lembaga pendidikan-pendidikan formal. Lembaga pendidikan di Indonesia secara formal diperkenalkan pertama kali oleh umat Islam melalui Meunasah dan Rongkong di Aceh, Surau di Sumatera Barat dan Pesantren di Jawa. Melihat usia dan pengalaman yang cukup panjang ini seyogyanya dapat menjadikan pendidikan Islam di Indonesia semakin handal dan mapan. Namun, hingga dewasa ini lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia terkesan menjadi “lembaga pendidikan kelas dua” setelah lembaga pendidikan umum. Hal ini disebabkan belum ditemukannya konsep-konsep sistem pendidikan yang adaptif dan akomodatif dengan zamannya. Oleh karena itu, kajian-kajian komprehensif terhadap al-Qur’an, sunnah Nabi, tuntutan kehidupan dan pemikiran para filosof serta pakar pendidikan harus senantiasa dilakukan.[3]
Diskursus tentang pengembangan sistem pendidikan Islam yang diprakarsai para pakar pendidikan Islam serta para pengambil kebijakan selama ini telah memperkaya khazanah keilmuan dan bisa memberikan kontribusi pemikiran dalam pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Namun dalam realisasinya, kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan belum mampu memberikan hasil yang memuaskan, khususnya dalam membentuk moral bangsa. Meskipun bangsa Indonesia terdiri dari mayoritas Islam, pelaksanaan pendidikan agama Islam tampaknya belum menyentuh pada jiwa kaum muslim. Maka diperlukannya reformulasi dari pendidikan Islam, dimana pendidikan tersebut bukan hanya menjadikan seseorang menjadi pintar secara akademik, namun juga berakhlak secara kepribadian. Mengingat sekarang ini di Tanah Air kita sedang marak sekali perbincangan mengenai pendidikan karakter (akhlak) hal ini tentu karena dirasakan sekali di masyarakat betapa kemerosotan bangsa ini dalam bidang karakter. Bahkan sebetulnya pada saat Soekarno menjadi presiden beliau sering mengungkapkan perkataan “Nation and Character Building”, ketika itu beliau telah melihat bahwa salah satu yang amat penting dibangun pada masyarakat Indonesia adalah karakternya.[4]
Pembinaaan akhlak dan budi pekerti, bukanlah masalah yang baru muncul saat ini. Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, ditemukan beberapa tokoh yang menyibukan diri dalam bidang ini kepada Al-Kindi, Al-Farabi, Ikhwan al-Safa, Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Miskawaih dan lain-lain. Dan dari sekian banyak tokoh tersebut,Ibn Miskawaih adalah tokoh yang betul-betul berjasa dalam mengembangkan wacana etika Islami (akhlak al-karimah).Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai pemikiran pendidikan Ibn Miskawaih yang menurut penulis masih relevan untuk diterapkan dalam Sistem Pendidikan Islam mutakhir di Indonesia, mengingat bahwa masalah pendidikan sekarang yang baru berhasil mencetak generasi pintar namun belum berhasil mencetak generasi yang bermoral.
B.     Pembahasan
1.      Biografi Ibnu Maskawaih
Nama lengkap Ibnu Maskawaih ialah Abu Ali Al-Khazin Ahmad bin Ya’qub bin Miskawaih.Dikenal digelari Al-Khazin karena sebagai “guru ketiga” setelah Aristoteles dan Al-Farabi. Sebutan namanya yang lebih masyhur adalah Miskawaih, Ibnu Miskawaih atau Ibnu Maskawaih. Lahir di kota Ray (Iran) pada 320 H (932 M) dan wafat di Asfahan 9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M). Ibnu Maskawaih adalah filosof muslim yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam. Beliau  dikenal sebagai “Bapak Etika Muslim” dan “Bapak Psikologi Pendidikan Muslim”. Walaupun sebenarnya ia juga seorang sejarawan, tabib, ilmuwan, dan sastrawan. Setelah menjelajah berbagai ilmu pengetahuan, akhirnya ia memusatkan perhatiannya pada kajian sejarah dan etika.[5]

2.      Riwayat Pendidikan Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih belajar sejarah terutama Tarikh al Thabari kepada Abu Bakr Ibnu Kamil al- Qadhi (350H/960M). Miskawaih juga banyak belajar ilmu-ilmu filsafat dari Ibnu al-Khammar dan memperkenalkan karya-karya Aristoteles. Selain itu Miskawaih menyerap ilmu kimia dari Abu al-Thayyib al Razi, seorang ahli kimia. Disiplin ilmunya meliputi kedokteran, bahasa, sejarah, dan filsafat. Akan tetapi, dia populer sebagai seorang filosof akhlak daripada filosof ketuhanan. Bisa jadi, hal ini dipicu oleh kekacauan masyarakat pada masanya.
Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Ibnu Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaih. Puncak prestasi atau zaman keemasan kekuasaan Bani Buwaih adalah pada masa ’Adhud Ad Daulah yang berkuasa dari tahun 367 hingga 372 H. Pada masa inilah Ibn Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan dan pada masa ini jugalah Ibn Maskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan dan pujangga.
Tetapi di samping itu, ada hal yang tidak menyenangkan hatinya, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya ia lalu tertarik untuk menitik beratkan perhatiannya pada bidang etika Islam. Setelah kematian Mu’izz, beliau telah dilantik menjadi Ketua Perpustakaan. Ini telah membuka peluang kepada Ibnu Maskawaih untuk menambah ilmu pengetahuan karena beliau berpeluang untuk membaca berbagai buku yang ditulis oleh para ilmuan Islam dan Yunani. Beliau kemudian dilantik menjadi Ketua Pemegang Amanah Khazanah yang bertanggungjawab menjaga perpustakaan Malik Adhdud Daulah.
Sehubungan dengan itu, hasil ketekunan dan kerajinan beliau dalam mencari ilmu pengetahuan akhirnya memberi hasil yang bernilai kepadanya. Ibnu Maskawaih telah berhasil membina dan membuktikan ketokohannya sebagai ilmuan yang mempunyai pengetahuan yang luas dalam berbagai bidang.
Riwayat detail mengenai riwayat pendidikan Ibn Maskawaih tidak diketahui dengan jelas. Maskawaih tidak menulis otobiografinya, dan para penulis riwayatnya pun tidak memberikan informasi yang jelas mengenai latar belakang pendidikannya. Namun dalam beberapa literatur di dapat ketemukan oleh penulis adalah sebagai berikut : Ia belajar sejarah, terutama Tarikh At Thabary, kepada Abu Bakar Ahmad bin Kamil al Qaghi (350 H/960 M). Ibn Al Khammar, mufassir kenamaan karya-karya Aristoteles, adalah gurunya dalam ilmu-ilmu filsafat. Maskawaih mengkaji alkimia bersama abu At Thayyib ar Razi, seorang ahli kimia.[6]

3.      Karya-Karya Ibnu Maskawaih    
Pada masa Ibn Miskawaih, filsafat dan sains warisan Yunani tumbuh subur sehingga wajar jika karya-karya Ibn Maskawaih dipengaruhi oleh para filsuf Yunani Klasik. Misalnya karya yang menyangkut filsafat manusia, jiwa dan etika. Ibn Maskawaih banyak merujuk pada karya-karya Galen, Phytagoras, Scocrates, terutama Plato dan Aristoteles. Ibnu Miskawaih merupakan seorang yang produktif menulis dilihat dari karya-karyanya sebagai berikut:[7]
Karya Ibnu Miskawaih yang telah dicetak
No.
Nama Kitab
Keterangan
1
Tahdzib al- Akhlaq wa Tathhir al- A’raq
Membahas tentang kesempurnaan etika
2
Tartib al- Sa’adat
Membahas tentang etika dan politik terutama mengenai pemeritahan Bani Abbas dan Bani Buwaih
3
Al-Fauz al-Asghar fi Ushul al- Diyanat
Membahas tentang metafisika, yaitu ketuahanan jiwa dan kenabian
4
Risalah fi al- Ladzdat wa al- A’lam
Membahas tentang masalah yang berhubungan dengan perasaan yang dapat membahagiakan dan menyengsarakan jiwa manusia.
5
Tajarib al- Umam
Membahas tentang pengalaman bangsa-bangsa mengenai sejarah, diantara isinya sejarah tentang banjir besar, yang ditulis tahun 369H/979M
6
Risalah al-Ajwibah wa al-As’ilah fi an-Nafs al-‘Aql
Membahas tentang Etika dan aturan hidup
7
Jawidzan Khirad
Membahas tentang masalah yang berhubungan dengan pemerintah dan hukum terutama menyangkut empat negara, yaitu Persia, Arab, India, dan Roma.
Karya Ibnu Miskawaih Berupa Manuskrip
1
Risalah fi Thabi’iyyah
Membahas tentang ilmu yang berhubungan dengan alam semesta.
2
Risalah fi al-Jauhar al-Nafs
Membahas tentang masalah yang berhubungan dengan imu jiwa.
3
Al- Jawab fi al- Masail al-Tsalats
Membahas tentang jawaban tiga   masalah
4
Thaharat al-Nafs
Membahas tentang etika dan peraturan hidup
Karya Ibnu Miskawaih yang dinyatakan Hilang
1
Al-Mushtofa
Berisi tentang syair-syair pilihan 
2
Uns al-Farid
Berisi tentang antologi cerpen, koleksi anekdot, syair, peribahasa, dan kata-kata hikmah
3
Al-Adawiyah al-Mufridah
Membahas tentang kimia dan obat-obatan
4
Tarkib al-Bijah min al-Ath’imah
Membahas tentang kaidah dan seni memasak
5
Al-Fauz al-Akbar
Membahas tentang etika dan peraturan hidup
6
Al-Jami’
Membahas tentang ketabiban
7
Al-Siyar
Membahas tentang tingkah laku dan kehidupan
8
Kitab al-‘Asyribah
Tentang minuman

4.      Corak Pemikiran Ibnu Miskawaih
Dari berbagai karyanya, Ibn Maskawaih banyak merujuk kepada filsafat jiwa, akhlak dan manusia.
a.       Filsafat Jiwa
Menurut Ibn Maskawaih, Jiwa yang terdapat pada diri manusia yang merupakan substansi yang tidak dapat diindra, terdiri atas jiwa rasional  (an-natiqoh), apetitif (asy-syahu’iyah) dan syahwat (al-bahimiyah) dengan dayanya masing-masing. Ketika aktivitas ketiga jiwa di atas berjalan dengan serasi, normal dan patuh kepada jiwa rasional, muncullah keutamaan-keutamaan ilmu dan filsafat, kesantunan, keberanian, kesederhanaan dan kedermawanan. Dari keutamaan tersebut, lahirlah keadilan (al-adalah).
b.      Filsafat Akhlak
Akhlak merupakan keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas secara spontan. Ada beberapa hal pokok dalam filsafat akhlak Ibn maskawaih diantaranya :
1)      Kebaikan dan Kebahagiaan
Terma kebaikan menurut Ibn Miskawaih berbeda dengan kebahagiaan, yaitu kebaikan menjadi milik semua orang, sedangkan kebahagiaan adalah milik individu.
2)      Keutamaan (fadhilah)
Menurut Ibn Miskawaih terdapat emapat keutamaan, yakni hikmah, iffah, syaja’ah dan ‘adalah.
3)      Keadilan (al-adalah)
Ibn Miskawaih mengelompokkan keadilan pada tiga kategori, yaitu alami (tabi’iyyu), konvensional (wada’iyyu) dan ketuhanan (ilahiyyu). Manusia yang benar-benar adil ialah manusia yang dapat mengharmoniskan semua daya, aktivitas, dan kondisi dirinya sehingga salah satunya tidak mendominasi yang lain.
4)      Cinta dan persahabatan (al-mahabbah wa as-sadaqah). Ibn Miskawaih membagi cinta menjadi dua, yaitu cinta manusia pada sesamanya dan cinta manusia kepada Tuhan. Persahabatan adalah bagian dari cinta. Secara esensial, persahabatan berarti kasih sayang.


c.       Filsafat Manusia
Dalam karyanya Tahzib Ibn Miskawaih menjelaskan bahwa manusia terdiri dari jasmani dan rohani dengan mengakui adanya potensi atau kemampuan dasar yang tabi’i, namun dapt berubah karena pengaruh dari dalam diri dan luar diri manusia, yaitu melalui pendidikan.
Ibn Miskawaih membagi manusia menjadi 4 tingkatan, sejalan dengan kemampuan akalnya, yakni : pertama,manusia tingkat hewan, yakni manusia yang tidak mempunyai peradaban,Kedua, manusia indriawi yaitu manusia yang sudah mampu memahami dan membedakan sesuatu tetapi mereka masih terkungkung oleh kemampuan indrawinya, Ketiga,manusia intelektual yakni manusia yang telah dirupaya dengan akalnya menemukan keutamaan atau fadilah dengan segala kemampuan, Keempat, manusia filsuf ialah tingkatan paling tinggi bagi manusia karena manusia yang paling sempurna kemanusiaannya yakni mereka benar dan tepat cara berpikirnya dan manusia yang baik yakni manusia yang mampu melakukan tindakan yang tepat.[8]

5.      Pemikiran Ibn Miskawaih tentang pendidikan
a.      Akhlak menurut Ibn Miskawaih
Pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak termasuk salah satu yang mendasari konsepnya dalam bidang pendidikan. Konsep akhlak yang ditawarkannya berdasar pada doktrin jalan tengah. Ibn Miskawaih secara umum memberi pengertian pertengahan (jalan tengah) tersebut antara lain dengan keseimbangan atau posisi tengah antara dua ekstrim. Ibn Miskawaih cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrim kelebihan dan ekstrim kekurangan masing-masing jiwa manusia. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa jiwa manusia ada tiga yaitu jiwa nafsu (al-bahimmiyah), jiwa berani (al-Ghadabiyyah) dan jiwa berpikir (an-nathiqah).
Menurut Ibn Miskawaih posisi tengah jiwa nafsu (al-bahimmiyah) adalah al-iffah yaitu menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat seperti berzina. Selanjutnya posisi tengah jiwa berani adalah pewira atau keberanian yang diperhitungkan dengan matang untung dan ruginya. Sedangkan posisi tengah dari jiwa pemikiran adalah kebijaksanaan. Adapun perpaduan dari ketiga posisi tengah tersebut adalah keadilan atau keseimbangan.
Ketiga keutamaan akhlak tersebut merupakan pokok atau induk akhlak yang mulia. Akhlak-akhlak mulia lainnya seperti jujur, ikhlas, kasih sayang, hemat, dan sebagainya merupakan cabang dari ketiga induk ahklak tersebut.
Dalam menguraikan sikap tengah dalam bentuk akhlak tersebut, Ibnu Miskawaih tidak membawa satu ayat pun dari al-Qur’an dan tidak pula membawa dalil dari hadits akan tetapi spirit doktrin ajaran tengah ini sejalan dengan ajaran islam. Hal ini karena banyak dijumpai ayat-ayat al-Qur’an yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak boleh boros tetapi juga tidak boleh kikir melainkan harus bersifat diantara kikir dan boros. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu dalam gerak dinamis mengikuti gerak zaman. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, ekonomi dan lainnya merupakan pemicu bagi gerak zaman. Ukuran akhlak tengah selalu mengalami perubahan menurut perubahan ekstrim kekurangan dan ekstrim kelebihan. Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang materi misalnya, pada masyarakat desa dan kota tidak dapat disamakan.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa doktrin jalan tengah ternyata tidak hanya memiliki nuansa dinamis tetapi juga flexibel. Oleh karena itu, doktrin tersebut dapat terus menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya tanpa menghilangkan pokok keutamaan akhlak.[9]

b.      Dasar pendidikan
Ada beberapa komponen pendidikan Islam yakni tujuan, metode, pendidik dan peserta didik yang merupakan satu kesatuan utuh yang disebut sebagai sistem pendikan Islam[10]. Adapun komponen pendidikan yang dikemukakan Ibn Miskawaih ialah; Dasar pendidikan, Tujuan Pendidikan, pendidik dan peserta didik, fungsi pendidikan, materi pendidikan dan metode serta media pendidikan.
Dasar merupakan landasan bagi berdirinya sesuatu dan ia berfungsi sebagai pemberi arah terhadap tujuan yang akan dicapai. Menurut Ibn Miskawaih ada 2 yaitu;
1)      Syariat sebagai dasar pendidikan. Ibn Miskawaih tidak menjelaskan secara pasti apa yang menjadi dasar pendidikan. Akan tetapi, ia menyatakan bahwa syariat agama merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia. Dengan syariat, manusia terbiasa untuk melakukan perbuatan terpuji, menjadikan jiwa mereka siap menerima al-hikmah dan fadilah. Karena rujukan syariat agamaadalah Al-Quran dan As-Sunnah, dua hal terakhir menjadi sumber yang paling asasi.
2)      Pengetahuan psikologi sebagai dasar pendidikan. Ibn Miskawaih pada awal tulisannya dalam Tahzib menegaskan adanya hubungan antara pendidikan dan pengetahuan tentangjiwa. Untuk memiliki karakter yang baik,manusia harus melalui perekayasaan (sina'ah) dan pengarahan pendidikan secara sistematis (ala tartib ta 'limy) Pembentukan karakter baik tersebut dapat tercapai jika kita memahami makna jiwa, mulai penciptaan, tujuan, kekuatan atau daya, dan malakah-nya. Jiwayang dibina dengan tepat akan menjadikan manusia tersebutmencapai kesempunaan. Pembinaan jiwa tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan.

c.       Tujuan Pendidikan
Corak pemikiran pendidikan Ibn Miskawaih lebih bertendensi etis dan moral. Hal ini terlihat dalam merumuskan pendapatnya tentang tujuan pendidikan sebagai berikut ;
1)      Tercapainya akhlak mulia
Ibn Miskawaih mengisyaratkan bahwa tujuan pendidikan adalah terbentuknya pribadi yang berakhlak mulia, yang disebutnya isabah al-khuluq asy-syarif, yaitu pribadi yang mulia secara substansial dan essensial, bukan kemuliaan yang temporal dan aksidental, seperti pribadi yang materialistis dan otokratis.
Hal ini sejalan dengan pandangannya bahwa kemuliaan dan keistimewaan manusia terletak pada jiwa rasionalnya. Menurutnya, manusia yang paling mulia adalah manusia yang paling besar kadar rasionalnya dan terkendali olehnya. Olehkarena itu, pembentukan individu yang berakhlak mulia terletak pada caramenjadikan jiwa rasional yang unggul dan bisa dapat menetralisasikan jiwa-jiwa lainnya.
2)      Kebaikan, kebahagiaan, dan kesempurnaan
Pada hakikatnya, tujuan pendidikan itu identik dengan tujuan hidup manusia. Tercapainya tujuan merupakan langkah bagi tercapainya tujuan hidup manusia yang terakhir, yaitu kebaikan, kebahagiaan, dan kesempurnaan.
Ibn Miskawaih membagi kedudukan manusia dalam hubungannya dengan Allah SWT, pada:
a)      kedudukan orang yang yakin, yaitu tingkat filsuf dan ulama;
b)      kedudukan orang yang baik, yaitu orang yang mengamalkan pengetahuannya;
c)      kedudukan orang yang beruntung. yakni orang-orang yang saleh;
d)     kedudukan orang yang menang, yaitu tingkatan orang yang tulus.
Untuk mencapai semua tingkatan di atas, harus dimiliki empat kualitas, yaitu: (1) kemampuan dan semangat yang kuat, (2) ilmu-ilmu yang hakiki dan pengetahuan yang esensial-substansial, (3) malu akan kebodohan dan kekurangwaspadaan, dan (4) tekun melakukan kebajikan.[11]

d.      Pendidik dan Peserta didik
Ibn Miskawaih mengelompokkan pendidik kepada orangtua, guru atau filsuf, pemuka masyarakat, dan raja atau penguasa. Ibn Miskawaih menjelaskan bahwa kewajiban orangtua mendidik anak-anak mereka supaya menaati syariat dan seluruh sopan santun dengan berbagai cara.
Menurut Ibn Miskawaih, guru atau filsuf adalah penyebab eksistensi intelektual manusia karena pendidikan yang mereka berikan dan ilmu yang mereka kembangkan. Tugas pemuka masyarakat, yaitu pertama, meluruskan dan memandu manusia dengan ilmu-ilmu rasional dengan melatih daya-daya analisis potensinya. Kedua, memandu manusia dengan keterampilan praktis sesuai dengan kemampuannya.
Pengertian peserta didik bagi Ibn Miskawaih cukup luas, yaitu semua orang yang memperoleh atau memberikan bimbingan, bantuan, dan latihan dari orang lain, baik berupa ilmu pengetahuan maupun keterampilan guna mengembangkan diri. Menurutnya, manusia memiliki watak yang berbeda. Ada yang memiliki sifat baik sejak awal dan ada juga yang tidak memiliki sifat tersebut. Akan tetapi, pembawaan sifat tersebut dapat berubah, jika ia memiliki kesungguhan untuk menemukan kebenaran yang hakiki. Jika perbedaan watak ini diabaikan, setiap orang akan tumbuh sesuai dengan watak individun yang tabi'i, di sinilah letak pentingnya pendidikan agama. Ibn Miskawaih mengemukakan bahwa respons individudalam menerima pendidikan ada yang harus dengan paksaan. Ada pula manusia yang responnya sangat mudah dan cepat karena ia mempunyai watak yang baik, potensi unggul.
Mengenai tahapan perkembangan kejiwaan manusia, menurut Ibn Miskawaih, berkembang dari tingkat sederhana pada tingkat yang tinggi. Awalnya, daya yang muncul berhubungan dengan makanan, untuk bertahan hidup lalu berkembang daya yang bersifat syahwiyah, yang membuatnya cendrung pada kesenangan. Kemudian, berkembang daya imajinasi melalui pancaindra, selanjutnya muncul daya gadhabiyah. Ia mencoba mengatasi apa-apa yang merusak diri dan mencari yang bermanfaat dari dirinya. Setelah itu, muncul secara berangsur daya atau kekuatan natiqah yang ditandai dengan rasa malu. Pada tahap ini, manusia akan merasakan mana yang baik dan mana yang buruk. Pada saat ini jiwa sudah siap menerima pendidikan. Ibn Miskawaih juga berpendapat bahwa pendidikan dapat diperolah melalui latihan dan pembiasaan pada anak. Hal ini karena jiwa anak pada awalnya masih sederhana. Jika ia mendapat gambar tertentu, ia akan tumbuh bersama dengan gambar tersebut, dan terbiasa dengannya.
Hubungan pendidik dengan subjek haruslah didasarkan pada cinta, kasih sayang, persahabatan, keadilan, kebaikan, dan fadilah. Hal ini karena menurut ibn Miskawaih manusia adalah makhluk sosial yang harus membagi cinta dan kasih sayang, bersahabat, menegakkan keadilan dankebaikan serta berupaya memperoleh keutamaan. Untuk itu, dalam pendidikan diperlukan komunikasi dua arah (interaksi) dan multiarah (transaksi).
e.       Fungsi pendidikan
Menurut Ibnu Miskawaih, fungsi pendidikan adalah:
1)      Menanamkan akhlak mulia
Bagi Ibn Miskawaih, pembentukan akhlak mulia sebagai tujuan pendidikan, sekaligus sebagai fungsi pendidikan. Nilai-nilai akhlak mulia yang perlu ditanamkan dan dibiasakan itu pada aspek spiritual seperti jujur, tabah, sabar, dan lain-lain. Juga pada aspek jasmani seperti adab berpakaian, berbicara, dan lain-lain.
2)      Memanusiakan manusia
Ibn Miskawaih menyatakan bahwa tugas pendidikan adalah menundukkan manusia sesuai dengan substansinya sebagai makhluk yang termulia. Selain itu, pendidikan bertugas mengangkat manusia dari tingkat terendah pada tingkat tinggi.
3)      Sosialisasi individu
Ibn Miskawaih menyatakan bahwa kebajikan dan malakah manusia sangat banyak jumlahnya, dan seorang individu tidak dapat mencapainya sendirian. Sejumlah individu harus bersatu untuk mencapai kebahagiaan bersama sehingga satu sama lainrya saling menyempumakan. Masing-masing individu menjadikan dirinya seperti satu tubuh yang saling menunjang.
Manusia, menurut Ibn Miskawaih, tidak dapat mandiri dalam menyempumakan esensi dan substansinya sebagai insan tanpa berintegrasi dengan individu lainnya. Oleh karena itu, diperlukan segala bentuk hubungan sosial lainnya, di antaranya melalui interaksi pendidik-subjek didik dalam proses pendidikan.
f.       Materi pendidikan
Ibn Miskawaih tidak menjelaskan dengan tegas materi apa yang harus diajarkan kepada peserta didik. Akan tetapi, dapat dipahami bahwa ia menekankan materi pendidikan itu haruslah bermanfaat bagi terciptanya akhlak mulia dan menjadikan manusia sesuai dengan substansi serta esensinya.
Mengenai urutan yang harus diajarkan pada peserta didik, yang pertama sekali adalah kewajiban-kewajiban syariat, sehingga peserta didik terbiasa. Kemudian,materi yang berhubungan dengan akhlak sehinggaakhlak dan kualitas terpuji merasuk dalam dirinya, dan terbiasa dengan perkataan yang benar dan argumentasi yang tepat.Kemudian,meningkat setahap demi setahap pada materi ilmu lainnya sehingga subjek didik mencapai tingkat kesempurnaan.

g.      Metode dan media pendidikan
1)      Metode alami (tab'iy)
Sebagaimana diuraikan terdahulu, bagi lbn Miskawaih, setiap individu mempunyai perbedaan dengan individu lainnya, termasuk tahapan perkembangannya. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan budi pekerti harus berjenjang, setahap demi setahap sehingga sampai pada kesempurnaan. Dengan demikian, ide pokok dari metode alami ini adalah dalam pelaksanaan kerja dan proses mendidik itu hendaknya didasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan manusia lahir batin,jasmaniah dan rohaniah. Setiap tahapan pertumbuhan dan perkembangan manusia membutuhkan pemenuhan psiko-fisiologis, dan cara mendidik hendaknya memerhatikan kebutuhan-kebutuhan ini sehingga sesuai tuntutan tahapan pertumbuhan dan perkembangan setiap pribadi.
2)      Nasihat dan tuntunan sebagai metode pendidikan
Ibn Miskawaih menyatakan, supaya anak menaati syariat dan berbuat baik, diperlukan nasihat dan tuntunan. Subjek didik tidak terarah pada tujuan pendidikan yang diharapkan jika mereka tidak diberi nasihat dan pengajaran lainnya. Dalam Al-Quran, apa yang dikemukakan Ibn Miskawaih banyak ditemukan, seperti dalam surat Luqmän: 13-19. Ini menunjukkan betapa pentingnya nasihat dalam interaksi pendidik dengan subjek didik.
3)      Ancaman, hardikan, pukulan, dan hukuman sebagai metode pendidikan.
Ibn Miskawaih mengindikasikan banyak sekali yang dapat dilakukan, seperti tertera di atas dan dilaksanakan secara akurat sesuai dengan tuntutan yang diperlukan. Artinya, jika subjek didik tidak melaksanakan tata nilai yang telah diajarkan, mereka diberi sanksi berbagai cara sehingga mereka kembali pada tatanan nilai yang ada. Akan tetapi, pemberian sanksi harus bertahap dalam pelaksanaannya, yaitu ancaman, hardikan, kemudian pukulan (bersifat jasmani), dan hukuman (baik bersifat jasmani maupun rohani).
Akan tetapi, penulis mengaris bawahi mengenai metode pendidikan dari Ibn Maskawaih terkait ancaman, hardikan, pukulan, dan hukuman karena terdapat bias antara upaya menanaman disiplin dengan melakukan kekerasan terhadap anak. Menurut penulis ada bebarapa cara atau metode dalam pendidikan diantaranya melalui contoh tingkah laku atau teladan baik dari keluarga maupun sekolah (guru), menentukan kesepakatan atau perjanjian di dalam keluarga, menawarkan kepada anak imbalan atau tingkah laku anak yang baik, menentukan batasan yang jelas dalam hal menggunakan konsekuensi, konsekuensi berbeda dengan hukuman. Hukuman dapat menyakiti anak, tidak hanya fisik tetapi juga psikis sedangkan konsekuensi mengajari anak bahwa segala sesuatu ada resikonya dan tidak lupa merepakan sistem demokrasi dalam keluarga bahwa anak juga memiliki pendapat yang perlu didengarkan. Apabila ditarik dalam dunia pendidikan bahwa ancaman, hukuman diberikan berdasarkan perspektif dunia pendidikan itu sendiri.
4)      Sanjungan dan pujian sebagai metode pendidikan
Ibn Miskawaih menandaskan, jika peserta didik melaksanakan syariat dan berperilaku baik, dia perlu dipuji. Selanjutnya, Ibn Miskawaih menyatakan,jika ia didapati melakukan perbuatan yang melanggar syariat dan budi pekerti mulia, anak didik jangan langsung dicerca, apalagi di depan orang banyak.
5)      Mendidik berdasarkan asas-asas pendidikan
Bila pemikiran Ibn Miskawaih dalam Tahzib mengenai asas-asas pendidikan diteliti, akan ditemukan berbagai konsep yang dapat dirangkum padaa: asas bertahap, perbedaan, kesiapan, gestalt, keteladanan, kebebasan, akivitas, keadilan, cinta, dan persahabatan serta pembiasaan dan pergaulan.
Dalam asas kesiapan, Ibn Miskawaih menyatakan bahwa manusia mempunyai bermacam-macam kesiapan untuk memperoleh bermacam-macam tingkatan. Dengan modal kesiapan ini, manusia mempunyai harapan untuk meningkatkan kualitas dirinya. Hanya saja, hal ini tidak sama untuk semua individu.
Asas Gestalt adalah mendahulukan pengetahuan yang umum kemudian merincinya.
Asas keteladanan adalah pemberian contoh yang baik bagi peserta didik. Asas kebiasaan bagi Ibn Miskawaih sangat penting dan menjadi perhatiannya. Dikatakannya, subjek didik boleh bebas memilih, apakah menjadi makhluk mulia atau menjadi makhluk hina seperti binatang, atau menjadi manusia sederajat malaikat, bahkan menyatu dengan Tuhan. Itu semua terserah pada manusia sebagai subjek dari pendidikan.
Asas pembiasaan adalah upaya praktik dalam pembinaan dan pembentukan subjek didik. Ibnu Miskawaih berulang-ulang menyatakan untuk membiasakan perbuatan baik dan taat kepada orangtua, guru, dan pendidik biasakanlah untuk tidak berbohong, sering berjalan , bergerak, rekreasi, olahraga, dan seterusnya.
Demikianlah, beberapa asas pendidikan dari pemikiran Ibn Miskawaih. Pemikiran tersebut didasari oleh hakikat jati diri subjek didik sehingga sangat penting untuk dipahami dan diterapkan dalam usaha pendidikan.[12]

6.      Relevansinya Pemikiran Pendidikan Ibnu Miskawaih di Era Modern
Pendidikan akhlak oleh Ibn Miskawaih memiliki urgensi nilai yang cukup signifikan dalam membentuk kepribadian bangsa. Sebagaimana kita ketahui bahwa semua krisis yang terjadi dewasa ini baik ekonomi, politik dan sosial budaya itu disebabkan karena akhlak tidak lagi menjadi kerangka atau bingkai kehidupan. Perilaku korupsi, kolusi, perjudian, perzinahan, narkoba, dan kekerasan yang terjadi selama ini disebabkan hancurnya pendidikan moral dan akhlak. Sebagaimana juga dikatakan oleh Syauqi Baiq dalam kata-kata hikmahnya: “Sesungguhnya mati dan hidup bangsa itu sangat bergantung pada akhlaknya, jika baik, maka akan kuat bangsa itu, dan jika rusak maka hancurlah bangsa itu”.[13]
Selain daripada hal di atas, globalisasi pun menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam dewasa ini.  Globalisasi telah menyebarkan arus informasi yang begitu banyak dan beragam. Dan arus informasi tersebut tidak hanya berupa pengetahuan tetapi juga berbagai nilai, dan nilai-nilai yang sepintas lalu terasa baru dan asing. Apakah nilai-nilai itu bersifat positif atau negatif tergantung pada nilai-nilai budaya dan tradisi yang telah berlaku didalam masyarakat. Dan yang lebih penting lagi pengaruh globalisasi adalah pengaruh nilai-nilai seperti materialisme, konsumerisme, hedonisme, penggunaan kekerasan, dan narkoba yang dapat merusak moral masyarakat.
Menghadapi Globalisasi itu, seyogyanya kita sebagai umat Islam tidak menyikapinya dengan sikap apriori (menolak) apa saja yang berasal dari efek globalisasi dengan dalih semua itu berasal dari Barat yang bersifat negatif. Ingat tidak ada hal negatif yang sepenuhnya negatif, dan juga tidak ada hal positif yang sepenuhnya positif. Oleh, karena itu kita haruslah bersikap selektif dan memfilter nilai-nilai dan menanamkan nilai-nilai (akhlak) pada peserta didik agar dapat mempersiapkan mereka dalam menghadapi tantangan globalisasi yang mereka hadapi dan alami.
Dalam rangka penanaman nilai-nilai (akhlak) tersebut pendidikan menjadi kunci utama, tentu saja penanaman nilai-nilai tersebut tidak akan dapat diwujudkan bila ia hanya mengandalkan pendidikan formal semata, setiap sektor pendidikan lain baik formal, informal maupun non formal harus difungsikan secara integral. Di samping itu, pendidikan harus diarahkan secara seimbang antara aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Pendidikan mempunyai peran penting dalam sosialisasi nilai-nilai (akhlak) kepada peserta didik, maka diperlukan sistem pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Membangun manusia seutuhnya merupakan tujuan ideal dari pendidikan di Indonesia. Untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya tersebut, diawali dengan melihat manusia itu memiliki dua aspek, yaitu aspek fisik dan aspek psikis (jiwa). Didalam aspek psikis inilah duduknya pendidikan karakter. Lahirnya sebuah sikap dan perilaku itu dimotori penggeraknya dalam jiwa seseorang. Karena itulah membangun jiwa seutuhnya haruslah berawal dari pembangunan jiwa manusia. Dan dalam hal ini, Ibn Miskawaih menekankan pendidikan moral (moral education) bagi pembangunan manusia. Karena sejatinya pembangunan manusia adalah pembangunan jiwa dengan keutamaan (ahsan taqwîm) harus berbanding lurus dengan kenikmatan jasmani, harta dan kekuasaan. Kehidupan manusia bukanlah kehidupan zuhud dan penolakan, melainkan kompromi dan penyesuaian antara tuntutan jasad dan ruh (jasmani dan rohani). Orang bijak bukanlah orang yang meninggalkan kenikmatan dunia sepenuhnya akan tetapi menghubungkannya dengan kenikmatan spiritual dengan etika sebagai kontrolnya. Hal ini cukup relevan jika kita jadikan acuan di era masa kini, agar kita tidak hanya mementingkan kehidupan duniawi saja ataupun sebaiknya, melainkan kita harus mengkombinasikan keduanya dan mengaturnya sedemikian rupa agar segala yang kita kerjakan di dunia ini semata-mata hanyalah untuk kehidupan akhirat kelak yang sifatnya lebih kekal.
Nilai-nilai pendidikan seperti itu harus mulai ditanamkan sejak usia dini. Karena hal itu tidak bersifat alami dalam diri manusia tapi harus diusahakan jadi merupakan suatu kewajiban untuk mengajarkan dasar-dasar pengetahuan dan etika pergaulan dalam proses pembelajaran dan pendidikan. Mengacu dari tridomain pendidikan (domain kognitif, domain afektif, dan domain psikomotorik), tatanan nilai yang tertuang dalam pembukaan UUD’45 khususnya yang tertuang dalam UU No.2/1989 dan UU No. 20/2003 lebih banyak didominasi oleh domain afektif atau cenderung kepada pembentukan sikap. Hal ini menunjukkan bahwa tatanan nilai (keperibadian yang luhur) berfungsi sebagai pengayom domain lainnya. Artinya, kecerdasan dan keterampilan harus berasaskan nilai-nilai luhur yang dianut bangsa. Di antara sekian banyak nilai-nilai luhur tersebut yaitu beriman, berakhlakul karimah, dan berama shaleh utamanya yang bersumber pada nilai-nilai ajaran agama (Islam) adalah bagian dari nilai luhur itu.[14]
Dari dua metode yang ditawarkan oleh Ibn Miskawaih yaitu melalui pembiasaan dan pelatihan secara kontinyu serta peneladanan dan peniruan dari orang yang ada di sekitarnya. Dapat dilihat perlu adanya upaya dari para pendidik baik orang tua maupun guru-guru yang patut dijadikan panutan bagi peserta didiknya. Karena peran yang mulai itulah agama menempatkan orang tua sebagai manusia yang harus di taati setelah Allah SWT dan rasulnya. Selain orang tua yang memiliki peran yang sangat urgen, guru juga tidak kalah penting peranannya sebagai wakil dari orang tuanya. Apalagi saat ini tidak sedikit orang tua yang sibuk dengan aktifitasnya di luar rumah sehingga anak-anaknya lebih banyak menghabiskan waktunya dengan guru dan teman-temannya di sekolah. Dari situ guru di tuntut untuk profesional dibidangnya selain itu juga ia harus memiliki kasih sayang sebagaimana yang dimiliki oleh para orang tua. Oleh sebab itu, seorang guru diharapkan tidak hanya melakukan transfer of knowledge tetapi harus melakukan transformasi keilmuan dan kependidikan bagi anak didiknya. Apapun sistem ataupun pendidikan etika yang diajarkannya, menurut Ibn Miskawaih guru merupakan centre of learning yang menentukan berhasil tidaknya proses pendidikan. Namun eksistensinya tidak bertumpu pada ilmu yang dimilikinya, melainkan pada perilakunya yang baik dan strategi ataupun metodologi yang digunakannya dalam pendidikan.
Dari pembiasaan dan pelatihan diharapkan membentuk manusia karakter, ada tujuh stategi dalam membentuk karakter yakni habituasi (pembiasaan) dan pembudayaan yang baik, mempelajari hal-hal yang baik, moral feeling dan loving (merasakan dan mencintai yang baik), moral acting (tindakan yang baik), moral model(keteladanan) dari lingkungan sekitar, dan tobat (kembali) kepada Allah SWT setelah melakukan kesalahan.[15]

C.    Kesimpulan
Pendidikan akhlak oleh Ibn Miskawaih memiliki urgensi nilai yang cukup signifikan dalam membentuk kepribadian bangsa ke depan. Sebagaimana kita ketahui bahwa semua krisis yang terjadi dewasa ini baik ekonomi, politik dan sosial budaya itu disebabkan karena akhlak tidak lagi menjadi kerangka atau bingkai kehidupan. Perilaku korupsi, kolusi, perjudian, perzinahan, narkoba, dan kekerasan yang terjadi selama ini disebabkan hancurnya pendidikan moral dan akhlak.
Selain daripada hal di atas, globalisasi pun menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam dewasa ini.  Globalisasi telah menyebarkan arus informasi yang begitu banyak dan beragam. Dan arus informasi tersebut tidak hanya berupa pengetahuan tetapi juga berbagai nilai, dan nilai-nilai yang sepintas lalu terasa baru dan asing. Apakah nilai-nilai itu bersifat positif atau negatif tergantung pada nilai-nilai budaya dan tradisi yang telah berlaku didalam masyarakat. Dan yang lebih penting lagi pengaruh globalisasi adalah pengaruh nilai-nilai seperti materialisme, konsumerisme, hedonisme, penggunaan kekerasan, dan narkoba yang dapat merusak moral masyarakat. Menghadapi Globalisasi itu, seyogyanya kita sebagai umat Islam tidak menyikapinya dengan sikap apriori (menolak) apa saja yang berasal dari efek globalisasi dengan dalih semua itu berasal dari Barat yang bersifat negatif. Ingat tidak ada hal negatif yang sepenuhnya negatif, dan juga tidak ada hal positif yang sepenuhnya positif. Oleh, karena itu kita haruslah bersikap selektif dan memfilter nilai-nilai dan menanamkan nilai-nilai (akhlak) pada peserta didik agar dapat mempersiapkan mereka dalam menghadapi tantangan globalisasi yang mereka hadapi dan alami.
Dalam rangka penanaman nilai-nilai (akhlak) tersebut pendidikan menjadi kunci utama, tentu saja penanaman nilai-nilai tersebut tidak akan dapat diwujudkan bila ia hanya mengandalkan pendidikan formal semata, setiap sektor pendidikan lain baik formal, informal maupun non formal harus difungsikan secara integral. Di samping itu, pendidikan harus diarahkan secara seimbang antara aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Pendidikan mempunyai peran penting dalam sosialisasi nilai-nilai (akhlak) kepada peserta didik, maka diperlukan sistem pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan perkembangan zaman.  Membangun manusia seutuhnya merupakan tujuan ideal dari pendidikan di Indonesia. Untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya tersebut, diawali dengan melihat manusia itu memiliki dua aspek, yaitu aspek fisik dan aspek psikis (jiwa). Didalam aspek psikis inilah duduknya pendidikan karakter. Lahirnya sebuah sikap dan perilaku itu dimotori penggeraknya dalam jiwa seseorang. Karena itulah membangun jiwa seutuhnya haruslah berawal dari pembangunan jiwa manusia. Dan dalam hal ini, Ibn Miskawaih menekankan pendidikan moral (moral education) bagi pembangunan manusia. Karena sejatinya pembangunan manusia adalah pembangunan jiwa dengan keutamaan (ahsan taqwîm) harus berbanding lurus dengan kenikmatan jasmani, harta dan kekuasaan. Kehidupan manusia bukanlah kehidupan zuhud dan penolakan, melainkan kompromi dan penyesuaian antara tuntutan jasad dan ruh (jasmani dan rohani). Orang bijak bukanlah orang yang meninggalkan kenikmatan dunia sepenuhnya akan tetapi menghubungkannya dengan kenikmatan spiritual dengan etika sebagai kontrolnya.
Hal ini cukup relevan jika kita jadikan acuan di era masa kini, agar kita tidak hanya mementingkan kehidupan duniawi saja ataupun sebaiknya, melainkan kita harus mengkombinasikan keduanya dan mengaturnya sedemikian rupa agar segala yang kita kerjakan di dunia ini semata-mata hanyalah untuk kehidupan akhirat kelak yang sifatnya lebih kekal.


DAFTAR PUSTAKA

Azhar Basyir, Ahmad., 1983,Miskawaih: Riwayat Hidup dan Pemikiran Filsafatnya, Yogyakarta: Nur Cahaya.

Madjidi, Busyairi.,1997,Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, Yogyakarta: Al-Amin Press.

Mahmud., 2011, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia.

Maragustam., 2010, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Mengahadapi Arus Global, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta.

___________., 2010, Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam), Yogyakarta: Nuha Litera.

Magin SusenoFranz., 1987, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanasius.

Rahmaniyah, Istigfarotur., 2010, Pendidikan Etika Konsep Jiwa dan Etika Perspektif Ibnu Miskawaih dalam Kontribusinya di bidang Pendidikan, Malang: UIN-Maliki Press.

SahlanAsmaun., 2009, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah : Upaya Mengembangkan PAI dari Teori ke Aksi, Uin Maliki Press, Malang.

Suharto, Toto., 2013, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Zurqoni dan Mukhibat., 2014, Menggali Islam Membumikan Pendidikan Upaya Membuka Wawasan Keislaman & Pemberdayakan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.



MAKALAH PRAREVISI

[1] Franz Magin Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanasius, 1987, hlm. 15.
[2] Asmaun Sahlan, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah : Upaya Mengembangkan PAI dari Teori ke Aksi, 2009, Uin Maliki Press, Malang, hlm. 1
[3]Nor Muslim Az, Himmah Vol. IV No. 9 : Pemikiran Pendidikan Ibnu Misakwaih dan al-Qabisi, Relevansinya dengan Pendidikan Kontemporer, 2003, STAIN Palangkaraya, Palangkaraya, hlm. 21.
[4]Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, 2012, Kencana, Jakarta, hlm. 185.
[5]Ahmad Azhar Basyir, Miskawaih: Riwayat Hidup dan Pemikiran Filsafatnya, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983, hlm. 3.
[6]Busyairi madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, Yogyakarta: Al Amin Press, 1997, hlm. 25.
[7]Busyairi madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, Yogyakarta: Al Amin Press, 1997, hlm. 27.
[8]Mahmud, Pemikiran pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2011, hlm.278.
[9]Istighfarotur Rahmaniyah, Pendidikan etika Konsep Jiwa dan Etika Perspektif Ibnu Miskawaih dalam Kontribusinya di bidang Pendidikan, Malang: UIN-Malik, 2010, hlm.15.
[10]Maragustam, Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam), Yogyakarta: Nuha Litera.
[11]Ahmad Azhar Basyir, Miskawaih: Riwayat Hidup dan Pemikiran Filsafatnya, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983, hlm. 20.
[12]Ahmad Azhar Basyir, Miskawaih: Riwayat Hidup dan Pemikiran Filsafatnya, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983, hlm. 280.
[13]Toto Suharto,  Filsafat Pendidikan Islam,Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013, hlm. 162.

[14]Asmaun Sahlan, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah : Upaya Mengembangkan PAI dari Teori ke Aksi, 2009, Uin Maliki Press, Malang, hlm. 3.
[15]Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Mengahadapi Arus Global,Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2010, hal.265.


Komentar