ISLAMISASI DAN INTEGRASI ILMU


ISLAMISASI DAN INTEGRASI ILMU
(Kajian Buku Filsafat Ilmu Karya Danial, M.A)



Disusun  Oleh:
Andrigo Wibowo
Diah Mahastuti
Imam Syafi’i
 Nur Laili Mustaqimah
                                               

A. Latar Belakang
Pemikiran tentang integrasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang dilakukan oleh kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara totalitas ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju dapat menyusul orang-orang barat apabila mampu mentransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Dipandang dari sisi aksiologis ilmu dan teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia. Artinya ilmu dan teknologi menjadi instrumen penting dalam setiap proses pembangunan sebagai usaha untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia seluruhnya khususnya umat Islam. Dengan demikian, ilmu dan teknologi haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia dan bukan sebaliknya.
Untuk mencapai sasaran tersebut maka perlu dilakukan suatu upaya mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu keIslaman, sehingga ilmu-ilmu umum tersebut tidak bebas nilai atau sekuler. Pendekatan interdisciplinary dan inter koneksitas antara disiplin ilmu agama dan umum perlu dibangun dan dikembangkan terus-menerus tanpa henti.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hubungan Ilmu Dan Agama?
2. Bagaimana Sikap Ilmuan Islam Terhadap Isu Islamisasi Dan Intergrasi Ilmu?
3. Bagaimana Islamisasi Dan Integrasi Ilmu?

C. Pembahasan
1.      Hubungan Ilmu Dan Agama
Pada hakikatnya, teori integrasi ilmu menjelaskan tentang bagaimana hubungan ilmu dan agama, dalam hal ini Islam. Menurut Ian Barbour ada 4 pola hubungan antara ilmu dan agama, yaitu konflik, independen, dialog, dan integrasi. Dalam bentuk konfllik hubungan ilmu dan agama diposisikan pada posisi saling berhadap-hadapan, di mana yang satu menegasikan yang lain. Dalam lintasan sejarah, hubungan ilmu dan agama semacam ini pernah terjadi pada beberapa era dan dikalangan umat Islam dan juga kristen. Bagaimana konflik filsafat  dan ulama pada era kemunduran Islam memadai untuk menjelaskan bagaimana hubungan konflik hampir serupa terjadi antara ilmuan Galelio Galeli dengan pihak  Gereja. Konflik terjadi akibat pengaburan batas-batas sains dan agama. Keduanya bersaing dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sama sehingga orang harus memilih salah satunya.
Pada fase selanjutnya hubungan ilmu dan agama bersifat independen, dimana agama berjalan dan berkembang sendiri disatu sisi, sedangkan ilmu pengetahuan berjalan dan berkembang sendiri disisi lain. Keduanya ditarik garis pemisah untuk menunjukkan kontras atau independensi. Dalam situasi bentuk hubungan seperti ini menggambarkan seolah-olah agama dan ilmu merupakan dua hal yang berbeda dengan ilmu, karena itu tidak dapat disatuka. Sementara ilmu tetap dianggap sebagai ilmu. Keduanya merupakan dua hal yang berjalan sendiri-sendiri tidak saling menyapa apa lagi berdialog.
Baru pada era modern muncul gagasan untuk meningkatkan keintiman hubungan ilmu dan agama dari taraf dialog ke jenjang integrasi. Hal ini berupaya untuk mengukuhkan sains beserta asumsi metafisinya pada pandangan dasar agama mengenai realitas yang akhirnya berakar pada wujud yang disebut Tuhan. Di kalangan Muslim muncul beberapa tokoh yang mempelopori gerakan integrasi atau Islamisasi ilmu, seperti Ziau’ al-Din Sadr, Ismail Al-Faruq. Naquib Al-Attas, Abdullah Sa’ed, Mahdi Ghulsyani, Fazlurrahman, M. Iqbal dan lainnya. Di indonesia  muncul tokoh yang menggerakkan proses islamisasi dan model integrasi ilmu, antara lain Mulyadi Kertanegara, Hanna Djumhana Bastamam, Kuntowijoyo, dan M, Amin Abdullah.


2.    Sikap Ilmuan Islam Terhadap Isu Islamisasi Dan Integrasi Ilmu
Menyadari berbagai kelemahan dan kekurangan yang dimiliki sains modern, baik pada level ontologis, epistemologis, maupun aksiologis, maka ilmuan muslim menggagas konsep dan gerakan islamisasi dan integrasi ilmu. Sikap ilmuan Muslim dalam mensikapi isu beragam. Dibawah ini akan dikemukakan bagaimana sikap ilmuan Muslim dalam mensikapi gagasan islamisasi dan integrasi ilmu.
Ziau’ al-Din Sadr mencatat bahwa dalam menghadapi sains modern dan mensikapi isu sains Islam, kaum ilmuan Muslim terbagi kepada 3 kelompok, pertama kelompok Muslim  apologetik kelompok ini menganggap sains modern bersifat universal dan netral. Karena itu mereka berupaya untuk melegtimasi hasil-hasil sains modern dengan mencari dasar-dasar agama Islam atau ayat-ayat dan hadis yang sesuai dengan berbagai teori sains modern. Kedua kelompok yang masih bekerja dengan sains modern, dan pada waktu  yang bersamaan berusaha mempelajari sejarah dan filsafat ilmunya untuk dapat menyeleksi aspek-aspek sains modern yang sesuai dengan ajaran Islam dan menyimpang darinya. Kelompok ini berpendapat, saat sains modern berada di dalam masyarakat Islam fungsinya termodifikasi , sehingga dapat digunakan untuk melayani kebutuhan dan cita-cita Islam. Ketiga , kelompok yang meyakini adanya sains Islam dan berusaha untuk membangunnya. Kelompok ini berpandangan bahwa Islam dengan segenap ajaran dan nilai yang kandungnya memiliki kekayaan luar biasa untuk membangun sains Islam yang tidak hanya sesuai dengan fitrah manusia, tetapi juga predektif dalam merespon dinamika dan kompleksitas pesoalan yang dihadapi manusia dalam hidupnya. Di antara sampel yang dapat kita tunjukkan untuk mewakili kelompok ini adalah sayyed Hussein Nasr, Baqir Sadr, Kursid Ahmad, Ismail Raji Al-faruqi, Fazl al-Rahman, Muhammad Nejetullah Shiddiqie, Sayyed Naquib Al-Attas, Ali Syari’ati, dan banyak lagi tokoh lainnya.
Dalam konteks tahap hubungan ilmu dan agama sebagaimana dijelaskan sebelumnya, maka usaha yang dilakukan ketiga kelompok ini masih pada tahap independensi dan dialog, belum pada taraf integrasi. Karena itulah, maka muncul kelompok keempat, yaitu kelompok yang berupaya melakukan ijtihad untuk mengintegrasikan ilmu dan agama gyna menyempurnakan ketiga pandangan diatas. Kelompok keempat ini antara lain diwakili oleh Muhammad Amin Abdullah, Armahedi Mahzar, Azyumardi Azra, dan terakhir Abdullah Sa’ed dan Jasser ‘Audah.
Selain itu,telah banyak lembaga yang hadir untuk mendedikasikan dirinya kepada gerakan Islamisasi dan integrasi ilmu. Salah satu di antaranya adalah lembaga yang didirikan oleh Ismail Raji Al-Faruqi pada tahun 1981 M yang diberi nama International Institute of Islamic Thought (IIIT). Lembaga ini telah melakukan banyak kajian, seminar, dan penerbitan buku-buku yang bertemakan menurut istilah Al-Faruqi sendiri “Islamisasi ilmu pengetahuan”. Pada tahun 1985 M , Mansell publishing Limited di london menerbitkan buku-buku serial Islamic Futures and Policy Studies, di mana Zia’ al-Din Sardar sebagai editornya.

3.    Islamisasi Dan Integrasi Ilmu
a. Islamisasi Ilmu (Islamization of Knowledge)
Islmail Raji Al-Faruqi adalah ilmuan Muslim terkemuka yang paling gigih memperjuangkan cita-cita dalam mewujudkan Islamisasi ilmu pengetahuan dunia. Gerakan ini ia lakukan melalui lembaga yang didirikan sejakn tahun 1981, yakni Institute of Islamic Thought (IIIT). Lembaga ini telah banyak melakukan kajian,seminar,dan menerbitkan beragam buku  tentang tema Islamisasi ilmu pengetahuan. Di front politik umat islam terpecah-pecah. Secara internal setiap Negara Muslim selanjutnya dipecah-pecah karena populasinya hiterogen. Kepada kelompok tertentu di berikan hegemoni atas kelompok lainnya oleh tiran-tiran kolonial. Tidak ada negara yang diberikan  wadah untuk menitegrasikan warganya menjadi satu entitas tunggal.
Di bidang ekonomi, umat Islam masih terbelakang dalam banyak hal. Produksi barang dan jasa berada jauh dibawah tingkat kebutuhan umat. Akibatnya, mereka mengimpor barang jadi dari Negara-Negara kolonial. Ironisnya, untuk kebutuhan hidup pokok dan  strategis pun tidak ada Negara Islam yang memenuhi atau mampu mencukupi dirinya sendiri.
Di bidang agama dan budaya umat Islam juga mengalami hal tidak jauh berbeda dengan dua  bidang sebelumnya. Masih banyaknya umat  yang buta huruf, rendahnya indeks sumbar daya manusia merupakan fakta yang tak terbantahkan. Kondisi ini menyebabkan Muslim awam lari ke dalam keyakinan buta, bersandar kepada literalisme dan legalisme.
Oleh karena itu , maka tugas terberat umat Islam adalah memperbaiki dunia pendidikan umat Islam. Dalam rangka memperbaiki sistem pendidikan inilah, al-Faruqi mengusulkan pertama,memadukan sistem pendidikan islam dan sistem pendidikan barat atau modern. Kedua, menanamkan wawasan  dan visi Islam dalam diri anak didik. Untuk mewujudkan tujuan dimaksud, maka umat Islam perlu melakukan dua hal, yaitu; (1) kewajiban mempelajari kebudayaan islam; dan (2) Islamisasi ilmu pengetahuan modern.
Metodologi  yang ditawarkan al-Faruqi untuk melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan modern adalah kembali kepada prinsip-prinsip pokok metologi islam, yaitu; (1) tauhid atau aqidah; (2) kesatuan alam semesta, yang meliputi pemahaman tentang (a) tata kosmis, (b) tujuan ukhrawi penciptaan, (c) kentundukan alam semesta kepada manusia; (3) kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan; (4) kesatuan hidup, yang mencakup hidup sebagai (a) amanah Tuhan (b) khalifah, dan (c) kelengkapan serta (5) kestuan umat manusia.
Berdasarkan prinsip-prinsip metodogi di atas , al-Faruqi menngusulkan 5 (lima) rencana kerja dan 12 (dua  belas) langkah-langkah gerakan islamisasi ilmu pengetahuan. Kelima rencana kerja dimaksud adalah sebagai berikut; (1) menguasai disiplin ilmu modern, (2) menguasai khasanah Islam, (3) menentukan relevansi islam bagi setiap bidang ilmu modern, (4) mencari sintesa kreatif antara khasanah Islam dan modern, dan (5) mengarahkan aliran pemikiran Islam ke jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah SWT.
Adapun 12 langkah yang diintrodusir al-Faruqi adalah sebagaimana akan dijelaskan berikut ini:
1)      penguasaan ilmu pengetahuan modern secara kategoris
2)      Survey disiplin ilmu
3)      penguasaan khasanah Islam
4)      penguasaan khasanah ilmiah Islam tahap analisa
5)      penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin ilmu
6)      penelitian kritis terhadap disiplin ilmu modern dan tingkat perkembangan di      masa kini
7)      penilaian kritis terhadap khasanah Islam dan tingkat perkembangannya di masa kini
8)      survey terhadap permasalahan yang dialami umat Islam
9)      survey terhadap permasalahan yang dihadapi umat manusia
10)  analisa kreatif dan sintesa
11)  penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam melalui buku-buku daras tingkat universitas.
12)   penyebaran ilmu yang telah diIslamisasikan

Gambar 1.1. Model Islamisasi Ilmu al-Faruqi


                              
Tokoh yang hampir senada dengan al-Faruqi adalah Sayyed Naquib al-Attas. Ia menjelaskan bahwa Islamisasi ilmu di kalangan umat Islam meliputi aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Ia mengakui bahwa tidak semua aspek yang dimiliki sains Barat bertentangan dengan Islam, karenanya perlu  di Islamisasikan. Akan tetapn sebagian besar aspek sains meniscayakan adanya proses Islamisasi.
Menurut al-Attas, dalam Islam ada dua obyek sains, yaitu alam material dan alam immaterial. Dunia fisik yang tampak dalam berbagai fenomena adalah sesuatu yang nyata. Realitas yang absolut adalah wujud nyata yang tunggal, yakni sang kebenaran Allah SWT. Sedangkan realitas fisik hanyalah turunan kelima realitas absolut. Skema derivasinya, yaitu:
1.      Kesatuan ilahi (wahidiyyah)
2.      Nama-nama dan sifat-sifat (al-asma’wa al-sifat)
3.      Arketip-arketip permanen (al-a’yan al-thabitah)
4.      Arketip-arketip eksterior (al-a’yan al-kharijiyyah)
5.      Alam inderawi (‘alam al-syahadah)
Secara epistemologis, al-Attas mengatakan bahwa atara metode ilmu yang diterapkan dalam sains Barat relatif sama dengan Islam. Barat memfokuskan sumber ilmu pada hal-hal yang bersifat empiris-teramati, sementara Islam melampaui wilayah yang teramati. Pandangan al-Attas tidak hanya indera lahir, namun juga mencakup indera batin. Indera lahir memiliki kualitas penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa lidah, dan perasa tubuh. Sementara indera batin meliputi, His al-Musytarak (lima indera batin), khayaliyyah (representasi), wahmiyyah (estimasi), hafidh/zakir (peringatan, dan mutakhayyilah (imajinasi). Berita yang benar dimaksudkan adalah berita yang berasal dari pemegang otoritas mutlak, yaitu Allah SWT. dan Nabi dan otoritas relative, yaitu ulama atau ilmuan.
Pada hakikatnya, sumber ilmu hanya satu yaitu Allah SWT. sumber-sumber yang dikemukakan di atas hanyalah saluran-saluran yang harus dilalui untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Indera lahir hanyalah penangkap pertama dari realitas, setelah itu di proses oleh indera batin.
b. Ilmunisasi Islam (Scientification of Islam)
            Para ilmuan Muslim yang menempuh upaya ilmuisasi islam adalah Mahdi Ghulsyani, Ziau’ al-Din Sadr, dan Kuntowijoyo. Ia melakukan langkah dan metode dengan al-Faruqi dalam membangun sains islam. Ia tidak mencoba menyesuaikan berbagai produk sains modern dengan ajaran islam, melainkan menggali langsung dari sumber otentik Islam, yaitu Al-Qur’an dalam merumuskan gagasannya tentang sains islam. Langkahnya ini disebut sebagai ilmuisasi Islam. Ada lima kritik penting Sardar terhadap islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu:
1)      Kata Al-Faruqi, Tuhan adalah kebenaran satu-satunya yang mutlak. Tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk mencari kebenaran seperti itu.
2)      Tidak benar jika dunia disusun berdasarkan pandangan ilmu pengetahuan sosial Barat terhadap realitas manusia. Yang benar adalah sains Dan teknologilah yang menjaga struktur sosial, ekonomi, dan politik yang menguasai dunia.
3)      Tujuan yang hendak dicapai dengan menghembuskan nafas semangat islam ke dalam disiplin yang dibentuk oleh persepsi, ideology, konsep, bahasa, dan paradigma Barat.
4)      Para ilmuan Muslim yang bekerja dalam paradigm-paradigma yang berbeda, bisa memadukan berbagai disiplin mereka dengan kaum ilmuan Barat.
5)      Pembagian berbagai disiplin ilmu pengetahuan modern (Barat) tidak bisa kita terima, karena menganggap pandangan dunia Islam lebih rendah daripada Barat.
Konsep Ilmu Menurut Mahdi Ghulsyani
Ghulsyani tidak sependapat dengan para ulama termasuk Al-Ghazali. Ilmu agama diklasifikasikan Al-Ghazali menjadi ilmu yang terpuji dan ilmu yang tercela. Ilmu agama yang terpuji dibagi empat kelompok, yaitu:
1)   Usul (ilmu dasar), meliputi Al-Qur’sn, al-sunnah, ijma’, dan tradisi para sahabat Nabi SAW.
2)   Furu’ (ilmu cabang atau sekunder), meliputi ilmu fikih, akhlak, dan pengalaman mistik atau tasawuf.
3)   Muqaddimat (studi-studi pengantar), meliputi bahasa arab, dll.
4)   Takmilat (studi-studi pelengkap), meliputi prinsip-prinsip fikih, ilmu rijal al-hadith (biografi perawi hadis), dll.
Klasifikasi ilmu yang dikemukakan Al-Ghazali diatas dikritik oleh Ghulsyani dengan beberapa argument, yaitu:
1)   Memandang bahwa “ilmu non-agama” terpisah dari islam, karena tidak sesuai dengan keuniversalan islam yang merahmati kebahagiaan penuh dengan kemanusiaan.
2)   Untuk mempercayai bahwa ilmu terpuji bukan hanya ilmu tauhid atau hukum-hukum syari’ah yang berhubungan dengan nilai haram dan halal saja, melainkan mencakup segenap warisan tak ternilai yang diwariskan oleh para ulama terdahulu satu abad setelah hijrah.
3)   Memilah-milah kelompok ilmu dengan alas an ilmu tidak memiliki kesamaan nilai dengan studi keagamaan tidaklah benar.
Berdasarkan berbagai argumentasi diatas, maka Ghulsyani menyimpulkan bahwa umat Islam harus mempelajari semua ilmu yang berguna bagi manusia. Ilmu yang berguna memiliki kriteria diantaranya, yaitu:
1.      Dapat meningkatkan pengetahuan manusia akan Allah SWT.
2.      Efektif dalam mengembangan masyarakat muslim dan merealisasikan tujuannya.
3.      Dapat membimbing orang lain.
4.      Dapat memecahkan berbagai problematika kemanusiaan. 
Ghulsyani menegaskan sains Islam sains yang sesuai dengan pandangan dunia Islam. Pandangan dunia Islam tentang realitas yang harus menjadi pra anggapan metafisis sains Islam, yaitu (1) alam diciptakan Tuhan dan ia pula yang memeliharanya, (2) realitas tidak hanya dibatasi dengan yang fisik material saja, (3) menisbatkan tujuan pada alam semesta, (4) mengakui ada tertip moral bagi alam semesta. Gagasan ini untuk menunjukan bahwa kritiknya tentang sains modern dan gagasannya tentang sains Islam terlihat lebih luas.
Terdapat tiga langkah yang dilakukan Ghulsyani dalam menunjukan gagasannya mengenail ilmu yang bersumber dari al-Quran (Ilmuisasi Islam). Langkah Pertama, rekonstruksi terhadap pra-anggapan metafisik. Dengan  memasukkan asumsi atau pandangan dunia metafisik sebagai dari sains, maka berarti memasukan pandangan Islam sebagai pengganti pandangan dunia sekular yang disebut sebagai model integritas metafisik. Langkah Kedua, memasukan epistimologi sains yang berbicara tentang sumber ilmu pengetahuan dan objek yang menjadi kajian sains. Menurut Ghulsyani, objek kajian yaitu alam (realitas fisik) yang dikaji dengan pandangan islam. Point penting yang ditekankan oleh Ghulsyani bahwa dalam mempelajari alam tidak boleh terlepas dari spirit teologis (tauhid). Kemudian Ghulsyani beranggapan bahwa sumber pengetahuan bukan hanya panca indra saja. Menurutnya ilmu meliputi indra-indra external, intelektual, wahyu dan inspirasi. Ghulsyani merumuskan perinsip penting yang harus dijadikan pijakan dalam memahami alam, yaitu iman dan prinsip kesatuan ilahi, keyakinan terhadap realitas dunia eksternal, dan keyakinan terhadap realitas suprafisik dan keterbatasan pengetahuan manusia. Langkah Ketiga, merumuskan aksiologi sains. Menurutnya, sains Islam memiliki dua tujuan yaitu untuk mengenal Allah SWT dan untuk melestarikan stabilitas kehidupan serta pengembangan masyarakat Islam.
Di samping langkah-langkah filosofis diatas, untuk melahirkan sains Islam. Yang bertujuan mengejar ketertinggalan dari dunia barat serta mencegah dampak negatif sains moderen, Ghulsyani mengusulkan hal-hal sebagai berikut : (1) mempelajari seluruh ilmu pengetahuan yang berguna dari orang lain; (2) membangun integrasi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu umum; (3) mengambil langkah-langkah untuk melatih para spesialis di berbagai bidang keilmuan; (4) mencari ilmu adalah sesuatu yang wajib; (5) kerjasama antara Negara Muslim di bidang penelitian dan teknologi; (6) Pemberian perhatian khusus pada problem pembangunan moral para siswa.
Jika Mahdi melakukan ilmuisasi Islam melalui perspektif ilmu alam, maka Kuntowijoyo mengintrodusir konsep ilmuisasi Islam lewat ilmu sosial-budaya. Keseluruhan gagasan Kuntowijoyo dapat diidentifikasi berkisar pada aspek epistimologi, metodologi, dan etika. Kuntowijoyo memiliki tiga alasan utama yaitu orang islam harus melihat realitas melalui Islam dan eksistensi humaniora dalam Islam, ilmu-ilmu sekuler tidak semua objektif, tanpa mengakui faktor manusia konstruksi pengalaman manusia menjadi ilmu tidak akan lengkap.
Ada tujuh langkah Ilmuisasi Islam yang pertama adalah melakukan demistifikasi Islam, kedua merumuskan teori berdasarkan al Qur’an dan menjadikan Al Quran sebagai paradigma ilmu, ketiga memilih pendekatan, keempat adalah mencari metode yang tepat untuk menetapkan teks al Qur’an yang merujuk pada berbagai gejala sosial, kelima menerapkan metodologi pengilmuan Islam melalui langkah-langkah integralisasi dan obyektifikasi. Keenam etika paradigma ilmuisasi Islam, ketujuh sosialisasi paradigma Islam melalui jalur ganda, yaitu jalur bawah dan atas.
Konsep Kuntowijoyo tentang ilmuisasi Islam, pada prinsipnya senada dengan apa yang digagas Mahdi Ghulsyani. Bila Mahdi merumuskan konsepsi ontologisme, epistemologis, dan aksiologis untuk memahami alam melalui kacamata fisika. Sedangakan kunto menawarkan metode ilmu social dan pentingnya ilmu social profetik untuk meredam sekulerisasi kehidupan umat Islam. Gagasan ilmuisasi Islam berbeda dengan ide tentang Islamisasi ilmu. Bedanya adalah, jika Islamisasi ilmu dimulai dari konteks ke teks, maka ilmuisasi Islam berangkat dari teks ke konteks.
c. Integrasi Ilmu
Mengatasi dan menyempurnakan berbagai kelemahan dan kekurangan dua medel di atas, maka muncullah tawaran integrasi antara ilmu dan agama. Tawaran model integrasi oleh kaum ilmuan muslim inipun sangat bervariasi. Namun salah satu model yang akan di ketengahkan di sini adalah apa yang digagas oleh Muhammad Amin Abdullah dengan julukan jarring laba-laba. Menurut Amin, model ini sangat dibutuhkan untuk menhadapi berbagai perubahan global yang disodorkan ke hadapan umat Islam. Diantaranya adalah globalisasi, migrasi, revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi, eksplorasi ruang angkasa, pesatnya perkembangan dunia pendidikan, bertambahnya kesadaran tentang harkat dan martabat manusia, semakin dekatnya hubungan antar agama, munculnya konsep Negara bangsa, dan isu gender.
Gamabar  3.1. Model Jaring Laba-laba Amin Abdullah


           
Berbagai isu di atas merupakan perkembangan mutakhir dari realitas kehidupan manusia, sekaligus menunjukkan terjadinya perubahan dalam seluruh kehidupan manusia. Maka perlu adanya perubahan metode berpikir dan memahami ajaran Islam yang selama ini berwatak normative-tekstualistik menuju kepada pemahaman yang bersifat historis-kontekstual. Hal ini penting dilakukan, agar Islam tidak tersaing dari realitas kehidupan manusia atau umat Islam. Dalam konteks inilah dibutuhkan rekontruksi paradigm dan epistemology ke-Islaman. Berkaitan dengan ini, Amin mengintrifodusir model paradigm integrase-interkoneksi sebagai alternatif.
Model ini mencoba mengilustrasikan model integrasi-interkoneksi antara ilmu dan agama atau anatara sains modern dan khasanah intelektual Islam. Beberapa aspek penting yang terkandung dalam model ini adalah al-Qur’an dan Hadits, metode dan pendekatan, khasanah ke-Islaman, sains modern dan isu actual.
Model integrasi yang diusulkan adalah model triadic-dialektis antara hadharah al-nas (ilmu keIslaman), hadharah al-‘ilm (sains modren), dan hadharah al-falsafah (filsafat). Model ini oleh Amin disebut dengan interconnected entities. Menurut Amin ketiga entitas tidak lagi terpisah satu sama lain, melainkan sudah terintegrasi-interkoneksi. Dialektika antara khasanah keIslaman, sains modern, dan filsafat merupakan model yang lebih rasional, realistis, dan visible dalam menghadapi era kontemporer. Berbagai problematika baru yang muncul menghadang umat Islam khususnya dan manusia pada umumnya, meniscayakan tumbuhnya keasadaran baru umat Islam (ilmuan Islam).
Kesadaran baru tersebut adalah kesadaran bahwa ada 3 entitas disiplin ilmu yang perlu dikoneksikan yaitu ilmu alam dan teknologi, ilmu humaniora, dan studi agama. Ketiga disiplin ilmu di atas tidak berada secara terpisah, melainkan saling terkait satu sama lain. Dalam memahami agama memerlukan analisis atau kontribusi ilmu sosial, humaniora, alam, dan teknologi.
Dalam memecahkan berbagai masalah actual umat Islam tetap berpijak kepada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan Hadits. Dalam memahami al-Qur’an dan Hadits harus dengan pendekatan dan metodologi yang tepat dan akurat. Dengan pendekatan meniscayakan setiap ilmuan bersedia dan mampu melakukan penelitian atau studi perbandingan dengan cara melibatkan disiplin ilmu-ilmu lain untuk memberikan inspirasi dan membangun kemampuan untuk melakukan inovasi, rekontruksi, dan transformasi. Tentu saja dengan tidak mengabaikan khasanah keIslaman yang ada.
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa model Islamisasi ilmu, ilmuisasi Islam, dan integrasi yang ditawarkan para ilmuan di atas berangkat dari spirit yang sama yaitu hasrat untuk menjadi Islam dan umatnya sebagai umat terbaik melaui langkah pembangun ilmu pengetahuan dan ideology yang shahih,valid, dan visible dalam memecahkan berbagai persoalan kontemporer. Sehingga umat Islam menjadi pemain, tidak hanya penonton dalam dalam panggung kehidupan ini.
Setiap model yang digagas memiliki kelebihan dan kelemahan, sehingga semuanya dapat saling melengkapi. Jika pemikiran mereka dirajut satu sama lain, maka terbentuklah sebuah konstruksi filosofis pembangunan umat Islam dan ilmu pengetahuan serta teknologi, sekaligus langkah praktis untuk mewujudkannya. Rekontruksi aspek ontologies dan aspek aksiologis sains modern yang diintrodusir antara lain oleh Mahdi Ghulsyani dan Sayyed Naquib al-Attas, dan Kuntowijoyo dirajut dengan rekontruksi epistemology Muhammas Amin Abdullah, serta langkah-langkah praktis yang digagas al-faruqi, maka akan melahirkan sebuah bangunan ilmu pengetahuan yang mampu mengoreksi kelemahan yang dimiliki sains modern sekaligus menjamin kemaslahatan manusia dunia dan sekaligus akhirat.  
Daftar Pustaka
Danial, 2014, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Kaukaba Dipantara

Komentar

  1. terima kasih kak, tulisan kakak sangat berguna bagi kami PI angkatan 2020. semoga ilmu nya bermanfaat. karena buku nya susah dicari, alhamdulillah nemu artikel kakak. syukron katsiran.

    BalasHapus

Posting Komentar