ISLAMISASI DAN INTEGRASI ILMU
(Kajian Buku Filsafat Ilmu
Karya Danial, M.A)
Disusun Oleh:
Andrigo
Wibowo
Diah Mahastuti
Nur Laili Mustaqimah
A. Latar Belakang
Pemikiran tentang integrasi dan Islamisasi ilmu
pengetahuan dewasa ini yang dilakukan oleh kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama.
Secara totalitas ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju
dapat menyusul orang-orang barat apabila mampu mentransformasikan dan menyerap
secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka memahami wahyu, atau mampu
memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Dipandang dari sisi aksiologis
ilmu dan teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan
manusia. Artinya ilmu dan teknologi menjadi instrumen penting dalam setiap
proses pembangunan sebagai usaha untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia
seluruhnya khususnya umat Islam. Dengan demikian, ilmu dan teknologi haruslah
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia dan bukan
sebaliknya.
Untuk mencapai sasaran tersebut
maka perlu dilakukan suatu upaya mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dengan
ilmu-ilmu keIslaman, sehingga ilmu-ilmu umum tersebut tidak bebas nilai atau
sekuler. Pendekatan interdisciplinary
dan inter koneksitas antara disiplin ilmu agama dan umum perlu dibangun dan
dikembangkan terus-menerus tanpa henti.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hubungan Ilmu Dan Agama?
2. Bagaimana Sikap Ilmuan Islam Terhadap Isu
Islamisasi Dan Intergrasi Ilmu?
3. Bagaimana Islamisasi Dan Integrasi Ilmu?
C. Pembahasan
1.
Hubungan Ilmu Dan Agama
Pada hakikatnya, teori integrasi ilmu menjelaskan tentang bagaimana
hubungan ilmu dan agama, dalam hal ini Islam. Menurut Ian Barbour ada 4 pola
hubungan antara ilmu dan agama, yaitu konflik, independen, dialog, dan
integrasi. Dalam bentuk konfllik hubungan ilmu dan agama diposisikan pada
posisi saling berhadap-hadapan, di mana yang satu menegasikan yang lain. Dalam
lintasan sejarah, hubungan ilmu dan agama semacam ini pernah terjadi pada
beberapa era dan dikalangan umat Islam dan juga kristen. Bagaimana konflik
filsafat dan ulama pada era kemunduran
Islam memadai untuk menjelaskan bagaimana hubungan konflik hampir serupa
terjadi antara ilmuan Galelio Galeli dengan pihak Gereja. Konflik terjadi akibat pengaburan
batas-batas sains dan agama. Keduanya bersaing dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang sama sehingga orang harus memilih salah satunya.
Pada fase selanjutnya hubungan ilmu dan agama bersifat independen,
dimana agama berjalan dan berkembang sendiri disatu sisi, sedangkan ilmu
pengetahuan berjalan dan berkembang sendiri disisi lain. Keduanya ditarik garis
pemisah untuk menunjukkan kontras atau independensi. Dalam situasi bentuk
hubungan seperti ini menggambarkan seolah-olah agama dan ilmu merupakan dua hal
yang berbeda dengan ilmu, karena itu tidak dapat disatuka. Sementara ilmu tetap
dianggap sebagai ilmu. Keduanya merupakan dua hal yang berjalan sendiri-sendiri
tidak saling menyapa apa lagi berdialog.
Baru pada era modern muncul gagasan untuk meningkatkan keintiman
hubungan ilmu dan agama dari taraf dialog ke jenjang integrasi. Hal ini
berupaya untuk mengukuhkan sains beserta asumsi metafisinya pada pandangan
dasar agama mengenai realitas yang akhirnya berakar pada wujud yang disebut
Tuhan. Di kalangan Muslim muncul beberapa tokoh yang mempelopori gerakan
integrasi atau Islamisasi ilmu, seperti Ziau’ al-Din Sadr, Ismail Al-Faruq.
Naquib Al-Attas, Abdullah Sa’ed, Mahdi Ghulsyani, Fazlurrahman,
M. Iqbal dan lainnya. Di indonesia
muncul tokoh yang menggerakkan proses islamisasi dan model integrasi
ilmu, antara lain Mulyadi Kertanegara, Hanna Djumhana Bastamam, Kuntowijoyo,
dan M, Amin Abdullah.
2.
Sikap Ilmuan Islam Terhadap Isu Islamisasi Dan Integrasi Ilmu
Menyadari berbagai kelemahan dan kekurangan yang dimiliki sains
modern, baik pada level ontologis, epistemologis, maupun aksiologis, maka
ilmuan muslim menggagas konsep dan gerakan islamisasi dan integrasi ilmu. Sikap
ilmuan Muslim dalam mensikapi isu beragam. Dibawah ini akan dikemukakan
bagaimana sikap ilmuan Muslim dalam mensikapi gagasan islamisasi dan integrasi
ilmu.
Ziau’ al-Din Sadr mencatat bahwa dalam menghadapi sains modern dan
mensikapi isu sains Islam, kaum ilmuan Muslim terbagi kepada 3 kelompok, pertama kelompok Muslim apologetik kelompok ini menganggap sains
modern bersifat universal dan netral. Karena itu mereka berupaya untuk
melegtimasi hasil-hasil sains modern dengan mencari dasar-dasar agama Islam
atau ayat-ayat dan hadis yang sesuai dengan berbagai teori sains modern. Kedua kelompok yang masih bekerja dengan
sains modern, dan pada waktu yang
bersamaan berusaha mempelajari sejarah dan filsafat ilmunya untuk dapat
menyeleksi aspek-aspek sains modern yang sesuai dengan ajaran Islam dan
menyimpang darinya. Kelompok ini berpendapat, saat sains modern berada di dalam
masyarakat Islam fungsinya termodifikasi , sehingga dapat digunakan untuk melayani
kebutuhan dan cita-cita Islam. Ketiga , kelompok yang meyakini adanya sains
Islam dan berusaha untuk membangunnya. Kelompok ini berpandangan bahwa Islam
dengan segenap ajaran dan nilai yang kandungnya memiliki kekayaan luar biasa
untuk membangun sains Islam yang tidak hanya sesuai dengan fitrah manusia,
tetapi juga predektif dalam merespon dinamika dan kompleksitas pesoalan yang
dihadapi manusia dalam hidupnya. Di antara sampel yang dapat kita tunjukkan
untuk mewakili kelompok ini adalah sayyed Hussein Nasr, Baqir Sadr, Kursid
Ahmad, Ismail Raji Al-faruqi, Fazl al-Rahman, Muhammad Nejetullah Shiddiqie, Sayyed
Naquib Al-Attas, Ali Syari’ati, dan banyak lagi tokoh lainnya.
Dalam konteks tahap hubungan ilmu dan agama sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, maka usaha yang dilakukan ketiga kelompok ini masih pada tahap
independensi dan dialog, belum pada taraf integrasi. Karena itulah, maka muncul
kelompok keempat, yaitu kelompok yang
berupaya melakukan ijtihad untuk mengintegrasikan ilmu dan agama gyna
menyempurnakan ketiga pandangan diatas. Kelompok keempat ini antara lain
diwakili oleh Muhammad Amin Abdullah, Armahedi Mahzar, Azyumardi Azra, dan
terakhir Abdullah Sa’ed dan Jasser ‘Audah.
Selain itu,telah banyak lembaga yang hadir untuk mendedikasikan
dirinya kepada gerakan Islamisasi dan integrasi ilmu. Salah satu di antaranya
adalah lembaga yang didirikan oleh Ismail Raji Al-Faruqi pada tahun 1981 M yang
diberi nama International Institute of
Islamic Thought (IIIT). Lembaga ini telah melakukan banyak kajian, seminar,
dan penerbitan buku-buku yang bertemakan menurut istilah Al-Faruqi sendiri “Islamisasi ilmu pengetahuan”. Pada tahun
1985 M , Mansell publishing Limited di london menerbitkan buku-buku serial Islamic Futures and Policy Studies, di
mana Zia’ al-Din Sardar sebagai editornya.
3.
Islamisasi Dan Integrasi Ilmu
a. Islamisasi
Ilmu (Islamization of Knowledge)
Islmail Raji Al-Faruqi adalah ilmuan Muslim terkemuka yang paling
gigih memperjuangkan cita-cita dalam mewujudkan Islamisasi ilmu pengetahuan
dunia. Gerakan ini ia lakukan melalui lembaga yang didirikan sejakn tahun 1981,
yakni Institute of Islamic Thought
(IIIT). Lembaga ini telah banyak melakukan kajian,seminar,dan menerbitkan
beragam buku tentang tema Islamisasi
ilmu pengetahuan. Di front politik umat islam terpecah-pecah. Secara internal
setiap Negara Muslim selanjutnya dipecah-pecah karena populasinya hiterogen.
Kepada kelompok tertentu di berikan hegemoni atas kelompok lainnya oleh
tiran-tiran kolonial. Tidak ada negara yang diberikan wadah untuk menitegrasikan warganya menjadi
satu entitas tunggal.
Di bidang ekonomi, umat Islam
masih terbelakang dalam banyak hal. Produksi barang dan jasa berada jauh dibawah
tingkat kebutuhan umat. Akibatnya, mereka mengimpor barang jadi dari
Negara-Negara kolonial. Ironisnya, untuk kebutuhan hidup pokok dan strategis pun tidak ada Negara Islam yang
memenuhi atau mampu mencukupi dirinya sendiri.
Di bidang agama dan budaya umat Islam juga mengalami hal tidak jauh
berbeda dengan dua bidang sebelumnya.
Masih banyaknya umat yang buta huruf,
rendahnya indeks sumbar daya manusia merupakan fakta yang tak terbantahkan.
Kondisi ini menyebabkan Muslim awam lari ke dalam keyakinan buta, bersandar
kepada literalisme dan legalisme.
Oleh karena itu , maka tugas terberat umat Islam adalah memperbaiki
dunia pendidikan umat Islam. Dalam rangka memperbaiki sistem pendidikan inilah,
al-Faruqi mengusulkan pertama,memadukan
sistem pendidikan islam dan sistem pendidikan barat atau modern. Kedua, menanamkan wawasan dan visi Islam dalam diri anak didik. Untuk
mewujudkan tujuan dimaksud, maka umat Islam perlu melakukan dua hal, yaitu; (1)
kewajiban mempelajari kebudayaan islam; dan (2) Islamisasi ilmu pengetahuan
modern.
Metodologi yang ditawarkan al-Faruqi
untuk melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan modern adalah kembali kepada
prinsip-prinsip pokok metologi islam, yaitu; (1) tauhid atau aqidah; (2)
kesatuan alam semesta, yang meliputi pemahaman tentang (a) tata kosmis, (b)
tujuan ukhrawi penciptaan, (c) kentundukan alam semesta kepada manusia; (3)
kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan; (4) kesatuan hidup, yang mencakup hidup
sebagai (a) amanah Tuhan (b) khalifah, dan (c) kelengkapan serta (5) kestuan
umat manusia.
Berdasarkan prinsip-prinsip metodogi di atas , al-Faruqi
menngusulkan 5 (lima) rencana kerja dan 12 (dua
belas) langkah-langkah gerakan islamisasi ilmu pengetahuan. Kelima
rencana kerja dimaksud adalah sebagai berikut; (1) menguasai disiplin ilmu modern,
(2) menguasai khasanah Islam, (3) menentukan relevansi islam bagi setiap bidang
ilmu modern, (4) mencari sintesa kreatif antara khasanah Islam dan modern, dan
(5) mengarahkan aliran pemikiran Islam ke jalan yang mencapai pemenuhan pola
rencana Allah SWT.
Adapun 12 langkah yang diintrodusir al-Faruqi
adalah sebagaimana akan dijelaskan berikut ini:
1) penguasaan ilmu pengetahuan modern
secara kategoris
2) Survey disiplin ilmu
3) penguasaan khasanah Islam
4) penguasaan khasanah ilmiah Islam
tahap analisa
5) penentuan relevansi Islam yang khas
terhadap disiplin ilmu
6) penelitian kritis terhadap disiplin
ilmu modern dan tingkat perkembangan di masa kini
7) penilaian kritis terhadap khasanah
Islam dan tingkat perkembangannya di masa kini
8) survey terhadap permasalahan yang
dialami umat Islam
9) survey terhadap permasalahan yang
dihadapi umat manusia
10) analisa kreatif dan sintesa
11) penuangan kembali disiplin ilmu
modern ke dalam kerangka Islam melalui buku-buku daras tingkat universitas.
12) penyebaran ilmu yang telah
diIslamisasikan
Gambar 1.1. Model Islamisasi Ilmu al-Faruqi
Tokoh yang hampir senada dengan al-Faruqi
adalah Sayyed Naquib al-Attas. Ia menjelaskan bahwa Islamisasi ilmu di kalangan
umat Islam meliputi aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Ia mengakui
bahwa tidak semua aspek yang dimiliki sains Barat bertentangan dengan Islam,
karenanya perlu di Islamisasikan.
Akan tetapn sebagian besar aspek sains meniscayakan adanya proses Islamisasi.
Menurut al-Attas, dalam Islam ada dua obyek sains, yaitu alam
material dan alam immaterial. Dunia fisik yang tampak dalam berbagai fenomena
adalah sesuatu yang nyata. Realitas yang absolut adalah wujud nyata yang
tunggal, yakni sang kebenaran Allah SWT. Sedangkan realitas fisik hanyalah turunan
kelima realitas absolut. Skema derivasinya, yaitu:
1.
Kesatuan
ilahi (wahidiyyah)
2.
Nama-nama
dan sifat-sifat (al-asma’wa al-sifat)
3.
Arketip-arketip
permanen (al-a’yan al-thabitah)
4.
Arketip-arketip
eksterior (al-a’yan al-kharijiyyah)
5.
Alam
inderawi (‘alam al-syahadah)
Secara epistemologis, al-Attas mengatakan bahwa atara metode ilmu
yang diterapkan dalam sains Barat relatif sama dengan Islam. Barat memfokuskan
sumber ilmu pada hal-hal yang bersifat empiris-teramati, sementara Islam
melampaui wilayah yang teramati. Pandangan al-Attas tidak hanya indera lahir,
namun juga mencakup indera batin. Indera lahir memiliki kualitas penglihatan,
pendengaran, penciuman, perasa lidah, dan perasa tubuh. Sementara indera batin
meliputi, His al-Musytarak (lima
indera batin), khayaliyyah
(representasi), wahmiyyah (estimasi),
hafidh/zakir (peringatan, dan mutakhayyilah
(imajinasi). Berita yang benar dimaksudkan adalah berita yang berasal dari
pemegang otoritas mutlak, yaitu Allah SWT. dan Nabi dan otoritas relative,
yaitu ulama atau ilmuan.
Pada hakikatnya, sumber ilmu hanya satu yaitu Allah SWT.
sumber-sumber yang dikemukakan di atas hanyalah saluran-saluran yang harus
dilalui untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Indera lahir hanyalah penangkap
pertama dari realitas, setelah itu di proses oleh indera batin.
b. Ilmunisasi Islam (Scientification of Islam)
Para ilmuan Muslim yang menempuh upaya ilmuisasi islam adalah Mahdi
Ghulsyani, Ziau’ al-Din Sadr, dan Kuntowijoyo. Ia melakukan langkah dan metode
dengan al-Faruqi dalam membangun sains islam. Ia tidak mencoba menyesuaikan
berbagai produk sains modern dengan ajaran islam, melainkan menggali langsung
dari sumber otentik Islam, yaitu Al-Qur’an dalam merumuskan gagasannya tentang
sains islam. Langkahnya ini disebut sebagai ilmuisasi Islam. Ada lima kritik
penting Sardar terhadap islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu:
1)
Kata
Al-Faruqi, Tuhan adalah kebenaran satu-satunya yang mutlak. Tujuan ilmu
pengetahuan adalah untuk mencari kebenaran seperti itu.
2)
Tidak
benar jika dunia disusun berdasarkan pandangan ilmu pengetahuan sosial Barat
terhadap realitas manusia. Yang benar adalah sains Dan teknologilah yang
menjaga struktur sosial, ekonomi, dan politik yang menguasai dunia.
3)
Tujuan
yang hendak dicapai dengan menghembuskan nafas semangat islam ke dalam disiplin
yang dibentuk oleh persepsi, ideology, konsep, bahasa, dan paradigma Barat.
4)
Para
ilmuan Muslim yang bekerja dalam paradigm-paradigma yang berbeda, bisa
memadukan berbagai disiplin mereka dengan kaum ilmuan Barat.
5)
Pembagian
berbagai disiplin ilmu pengetahuan modern (Barat) tidak bisa kita terima, karena
menganggap pandangan dunia Islam lebih rendah daripada Barat.
Konsep Ilmu Menurut Mahdi Ghulsyani
Ghulsyani tidak sependapat dengan para ulama termasuk Al-Ghazali.
Ilmu agama diklasifikasikan Al-Ghazali menjadi ilmu yang terpuji dan ilmu yang
tercela. Ilmu agama yang terpuji dibagi empat kelompok, yaitu:
1)
Usul
(ilmu dasar), meliputi Al-Qur’sn, al-sunnah, ijma’, dan tradisi para sahabat
Nabi SAW.
2)
Furu’
(ilmu cabang atau sekunder), meliputi ilmu fikih, akhlak, dan pengalaman mistik
atau tasawuf.
3)
Muqaddimat
(studi-studi pengantar), meliputi bahasa arab, dll.
4)
Takmilat
(studi-studi pelengkap), meliputi prinsip-prinsip fikih, ilmu rijal al-hadith
(biografi perawi hadis), dll.
Klasifikasi ilmu yang dikemukakan Al-Ghazali diatas dikritik oleh
Ghulsyani dengan beberapa argument, yaitu:
1)
Memandang
bahwa “ilmu non-agama” terpisah dari islam, karena tidak sesuai dengan
keuniversalan islam yang merahmati kebahagiaan penuh dengan kemanusiaan.
2)
Untuk
mempercayai bahwa ilmu terpuji bukan hanya ilmu tauhid atau hukum-hukum
syari’ah yang berhubungan dengan nilai haram dan halal saja, melainkan mencakup
segenap warisan tak ternilai yang diwariskan oleh para ulama terdahulu satu
abad setelah hijrah.
3)
Memilah-milah
kelompok ilmu dengan alas an ilmu tidak memiliki kesamaan nilai dengan studi
keagamaan tidaklah benar.
Berdasarkan berbagai argumentasi diatas, maka Ghulsyani
menyimpulkan bahwa umat Islam harus mempelajari semua ilmu yang berguna bagi
manusia. Ilmu yang berguna memiliki kriteria diantaranya, yaitu:
1.
Dapat
meningkatkan pengetahuan manusia akan Allah SWT.
2.
Efektif
dalam mengembangan masyarakat muslim dan merealisasikan tujuannya.
3.
Dapat
membimbing orang lain.
4.
Dapat
memecahkan berbagai problematika kemanusiaan.
Ghulsyani
menegaskan sains Islam sains yang sesuai dengan pandangan dunia Islam.
Pandangan dunia Islam tentang realitas yang harus menjadi pra anggapan metafisis
sains Islam, yaitu (1) alam diciptakan Tuhan dan ia pula yang memeliharanya,
(2) realitas tidak hanya dibatasi dengan yang fisik material saja, (3)
menisbatkan tujuan pada alam semesta, (4) mengakui ada tertip moral bagi alam
semesta. Gagasan ini untuk menunjukan bahwa kritiknya tentang sains modern dan
gagasannya tentang sains Islam terlihat lebih luas.
Terdapat
tiga langkah
yang dilakukan Ghulsyani dalam menunjukan gagasannya mengenail ilmu yang
bersumber dari al-Qur’an
(Ilmuisasi Islam). Langkah Pertama, rekonstruksi terhadap pra-anggapan
metafisik. Dengan memasukkan asumsi atau
pandangan dunia metafisik sebagai dari sains, maka berarti memasukan pandangan
Islam sebagai pengganti pandangan dunia sekular yang disebut sebagai model
integritas metafisik. Langkah Kedua, memasukan epistimologi sains yang
berbicara tentang sumber ilmu pengetahuan dan objek yang menjadi kajian sains.
Menurut Ghulsyani, objek kajian yaitu alam (realitas fisik) yang dikaji dengan
pandangan islam. Point penting yang ditekankan oleh Ghulsyani bahwa dalam
mempelajari alam tidak boleh terlepas dari spirit teologis (tauhid). Kemudian
Ghulsyani beranggapan bahwa sumber pengetahuan bukan hanya panca indra saja.
Menurutnya ilmu meliputi indra-indra external, intelektual, wahyu dan inspirasi.
Ghulsyani merumuskan perinsip penting yang harus dijadikan pijakan dalam
memahami alam, yaitu iman dan prinsip kesatuan ilahi, keyakinan terhadap
realitas dunia eksternal, dan keyakinan terhadap realitas suprafisik dan
keterbatasan pengetahuan manusia. Langkah Ketiga, merumuskan aksiologi
sains. Menurutnya, sains Islam memiliki dua tujuan yaitu untuk mengenal Allah
SWT dan untuk melestarikan stabilitas kehidupan serta pengembangan masyarakat
Islam.
Di
samping langkah-langkah filosofis diatas, untuk melahirkan sains Islam. Yang
bertujuan mengejar ketertinggalan dari dunia barat serta mencegah dampak
negatif sains moderen, Ghulsyani mengusulkan hal-hal sebagai berikut : (1)
mempelajari seluruh ilmu pengetahuan yang berguna dari orang lain; (2)
membangun integrasi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu umum; (3) mengambil
langkah-langkah untuk melatih para spesialis di berbagai bidang keilmuan; (4)
mencari ilmu adalah sesuatu yang wajib; (5) kerjasama antara Negara Muslim di
bidang penelitian dan teknologi; (6) Pemberian perhatian khusus pada problem
pembangunan moral para siswa.
Jika
Mahdi melakukan ilmuisasi Islam melalui perspektif ilmu alam, maka Kuntowijoyo
mengintrodusir konsep ilmuisasi Islam lewat ilmu sosial-budaya. Keseluruhan
gagasan Kuntowijoyo dapat diidentifikasi berkisar pada aspek epistimologi,
metodologi, dan etika. Kuntowijoyo memiliki tiga alasan utama yaitu orang islam
harus melihat realitas melalui Islam dan eksistensi humaniora dalam Islam,
ilmu-ilmu sekuler tidak semua objektif, tanpa mengakui faktor manusia
konstruksi pengalaman manusia menjadi ilmu tidak akan lengkap.
Ada
tujuh langkah Ilmuisasi Islam yang pertama adalah melakukan
demistifikasi Islam, kedua merumuskan teori berdasarkan al Qur’an dan
menjadikan Al Quran sebagai paradigma ilmu, ketiga memilih pendekatan, keempat
adalah mencari metode yang tepat untuk menetapkan teks al Qur’an yang
merujuk pada berbagai gejala sosial, kelima menerapkan metodologi
pengilmuan Islam melalui langkah-langkah integralisasi dan obyektifikasi. Keenam
etika paradigma ilmuisasi Islam, ketujuh sosialisasi paradigma Islam
melalui jalur ganda, yaitu jalur bawah dan atas.
Konsep Kuntowijoyo tentang ilmuisasi Islam,
pada prinsipnya senada dengan apa yang digagas Mahdi Ghulsyani. Bila Mahdi
merumuskan konsepsi ontologisme, epistemologis, dan aksiologis untuk memahami
alam melalui kacamata fisika. Sedangakan kunto menawarkan metode ilmu social
dan pentingnya ilmu social profetik untuk meredam sekulerisasi kehidupan umat
Islam. Gagasan ilmuisasi Islam berbeda dengan ide tentang Islamisasi ilmu.
Bedanya adalah, jika Islamisasi ilmu dimulai dari konteks ke teks, maka
ilmuisasi Islam berangkat dari teks ke konteks.
c. Integrasi Ilmu
Mengatasi dan menyempurnakan berbagai
kelemahan dan kekurangan dua medel di atas, maka muncullah tawaran integrasi
antara ilmu dan agama. Tawaran model integrasi oleh kaum ilmuan muslim inipun
sangat bervariasi. Namun salah satu model yang akan di
ketengahkan di sini adalah apa yang digagas oleh Muhammad Amin Abdullah dengan
julukan jarring laba-laba. Menurut Amin, model ini sangat dibutuhkan untuk
menhadapi berbagai perubahan global yang disodorkan ke hadapan umat Islam.
Diantaranya adalah globalisasi, migrasi, revolusi ilmu pengetahuan dan
teknologi, eksplorasi ruang angkasa, pesatnya perkembangan dunia pendidikan,
bertambahnya kesadaran tentang harkat dan martabat manusia, semakin dekatnya
hubungan antar agama, munculnya konsep Negara bangsa, dan isu gender.
Berbagai isu di atas merupakan perkembangan
mutakhir dari realitas kehidupan manusia, sekaligus menunjukkan terjadinya
perubahan dalam seluruh kehidupan manusia. Maka perlu adanya perubahan metode
berpikir dan memahami ajaran Islam yang selama ini berwatak normative-tekstualistik
menuju kepada pemahaman yang bersifat historis-kontekstual. Hal ini penting
dilakukan, agar Islam tidak tersaing dari realitas kehidupan manusia atau umat
Islam. Dalam konteks inilah dibutuhkan rekontruksi paradigm dan epistemology
ke-Islaman. Berkaitan dengan ini, Amin mengintrifodusir model paradigm
integrase-interkoneksi sebagai alternatif.
Model ini mencoba mengilustrasikan model
integrasi-interkoneksi antara ilmu dan agama atau anatara sains modern dan
khasanah intelektual Islam. Beberapa aspek penting yang terkandung dalam model
ini adalah al-Qur’an dan Hadits, metode dan pendekatan, khasanah ke-Islaman,
sains modern dan isu actual.
Model integrasi yang diusulkan adalah model
triadic-dialektis antara hadharah al-nas
(ilmu keIslaman), hadharah al-‘ilm
(sains modren), dan hadharah al-falsafah
(filsafat). Model ini oleh Amin disebut dengan interconnected entities. Menurut Amin ketiga entitas tidak lagi
terpisah satu sama lain, melainkan sudah terintegrasi-interkoneksi. Dialektika antara
khasanah keIslaman, sains modern, dan filsafat merupakan model yang lebih
rasional, realistis, dan visible dalam
menghadapi era kontemporer. Berbagai problematika baru yang muncul menghadang
umat Islam khususnya dan manusia pada umumnya, meniscayakan tumbuhnya
keasadaran baru umat Islam (ilmuan Islam).
Kesadaran baru tersebut adalah kesadaran
bahwa ada 3 entitas disiplin ilmu yang perlu dikoneksikan yaitu ilmu alam dan
teknologi, ilmu humaniora, dan studi agama. Ketiga disiplin ilmu di atas tidak
berada secara terpisah, melainkan saling terkait satu sama lain. Dalam memahami
agama memerlukan analisis atau kontribusi ilmu sosial, humaniora, alam, dan
teknologi.
Dalam memecahkan berbagai masalah actual
umat Islam tetap berpijak kepada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan
Hadits. Dalam memahami al-Qur’an dan Hadits harus dengan pendekatan dan
metodologi yang tepat dan akurat. Dengan pendekatan meniscayakan setiap ilmuan
bersedia dan mampu melakukan penelitian atau studi perbandingan dengan cara
melibatkan disiplin ilmu-ilmu lain untuk memberikan inspirasi dan membangun
kemampuan untuk melakukan inovasi, rekontruksi, dan transformasi. Tentu saja
dengan tidak mengabaikan khasanah keIslaman yang ada.
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan analisis di atas,
dapat disimpulkan bahwa model Islamisasi ilmu, ilmuisasi Islam, dan integrasi
yang ditawarkan para ilmuan di atas berangkat dari spirit yang sama yaitu
hasrat untuk menjadi Islam dan umatnya sebagai umat terbaik melaui langkah
pembangun ilmu pengetahuan dan ideology yang shahih,valid, dan visible dalam
memecahkan berbagai persoalan kontemporer. Sehingga umat Islam menjadi pemain,
tidak hanya penonton dalam dalam panggung kehidupan ini.
Setiap model yang digagas memiliki
kelebihan dan kelemahan, sehingga semuanya dapat saling melengkapi. Jika
pemikiran mereka dirajut satu sama lain, maka terbentuklah sebuah konstruksi
filosofis pembangunan umat Islam dan ilmu pengetahuan serta teknologi,
sekaligus langkah praktis untuk mewujudkannya. Rekontruksi aspek ontologies dan
aspek aksiologis sains modern yang diintrodusir antara lain oleh Mahdi
Ghulsyani dan Sayyed Naquib al-Attas, dan Kuntowijoyo dirajut dengan
rekontruksi epistemology Muhammas Amin Abdullah, serta langkah-langkah praktis
yang digagas al-faruqi, maka akan melahirkan sebuah bangunan ilmu pengetahuan
yang mampu mengoreksi kelemahan yang dimiliki sains modern sekaligus menjamin
kemaslahatan manusia dunia dan sekaligus akhirat.
Daftar Pustaka
Danial, 2014, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Kaukaba Dipantara
terima kasih kak, tulisan kakak sangat berguna bagi kami PI angkatan 2020. semoga ilmu nya bermanfaat. karena buku nya susah dicari, alhamdulillah nemu artikel kakak. syukron katsiran.
BalasHapus