Tafsir dan Para Penafsirnya

TAFSIR DAN PARA PENAFSIRNYA


Oleh:
Islahul Mawaddah

Dosen Pengampu: Dr. Suprianto Pasir, M.Ag

A.               Pendahuluan
Semasa Rasulullah hidup di tengah para sahabat, beliaulah yang berperan langsung sebagai mubayyin (pemberi penjelasan)[1] atas maksud dari ayat-ayat al-Qur’an. Setiap pertanyaan menyangkut al-Qur’an, beliaulah yang memberi jawaban dan penjelasan.[2] Jawaban, penjelasan, atau tafsir yang beliau berikan tidak berdasarkan pikiran pribadi, tetapi bersumber kepada wahyu atau ilham dari Allah, baik langsung dari-Nya maupun melalui Malaikat Jibril.[3]
Setelah beliau wafat, para sahabat[4] menafsirkan al-Qur’an dengan berpegang kepada (1) ayat-ayat al-Qur’an yang saling menafsirkan, (2) uraian Nabi dalam hadisnya, (3) ijtihad mereka, atau (4) khabar dari Ahli Kitab (Yahudi atau Nasrani yang telah memeluk Islam).[5] Begitu pula pada masa tabi’in, muncul nama-nama populer di bidang tafsir.[6] Dalam memahami al-Qur’an, para mufasir tabi’in berpegang kepada (1) al-Qur’an, (2) riwayat yang mereka ambil dari para sahabat yang diperoleh dari Rasulullah, (3) riwayat yang mereka ambil dari sahabat yang bersumber dari sahabat sendiri, (4) riwayat yang mereka ambil dari Ahli Kitab yang ada pada kitab-kitab mereka, dan (5) dari apa yang dibukakan oleh Allah (hidayah) kepada mereka melalui ijtihad dan penalaran terhadap kitabullah.[7]
Setelah masa tabi’in berakhir, ijtihad menyangkut ayat-ayat al-Qur’an tidak dapat dielakkan lagi sehingga muncullah berbagai corak penafsiran serta pendapat menyangkut ayat-ayat al-Qur’an.[8] Setelah masa tabi’in datanglah masa baru, yaitu pengodifikasian (tadwin) tafsir yang saat itu masih didominasi bentuk tafsir bi al-ma’tsur. Karena perubahan dan perkembangan zaman, terutama pada masa Daulah Abbasiyah, dikembangkanlah peran ra’yu (logika) dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Inilah yang kemudian disebut dengan tafsir bi al-ra’yi.[9]
Kegiatan penafsiran al-Qur’an terus berkembang dinamis seiring dengan tuntutan zaman. Keanekaragaman latar belakang individu dan kelompok manusia turut memperkaya ragam penafsiran yang ada.[10] Ini merupakan konsekuensi logis dari diktum yang dianut umat Islam bahwa al-Qur’an itu ṣāliḥ li kull al-zamān wa al-makān.[11] Namun demikian, tidak berarti setiap orang leluasa menafsirkan al-Qur’an sebebas-bebasnya. Jika ini yang terjadi maka akan timbul kekacauan dan atau pengacauan terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Karena itu, seorang mufasir harus memenuhi syarat atau kualifikasi tertentu, baik aspek pengetahuan maupun aspek kepribadian.[12]
Makalah ini akan menitikberatkan pembahasan seputar pengertian tafsir serta perbedaannya dengan takwil dan terjemah; metodologi penafsiran, yang meliputi macam-macam tafsir berdasarkan sumbernya, metodenya, dan coraknya; problem-problem di sekitar penafsiran; dan syarat serta etika mufasir.

B.               Pengertian Tafsir, Tawil, dan Terjamah
Kata tafsir diambil dari kata fassara – yufassiru – tafsiran, yang secara etimologi mengandung arti, antara lain, menjelaskan atau menerangkan (الايضاح والتبيين), keterangan (الشرح)[13], menyingkap dan menampakkan (الكشف والاظهار), penjelasan (الابانة), dan menguak makna lafal yang rumit (كشف المراد عن اللفظ المشكل). Bahkan, ada pula yang menyebut kata ‘tafsir’ itu berdekatan maknanya dengan at-tafsirah (التفسرة), yang berarti alat-alat kedokteran yang digunakan untuk mendeteksi atau mengetahui penyakit yang diderita pasien. Kalau tafsirah merupakan alat kedokteran yang dapat digunakan untuk mengetahui penyakit seorang pasien, maka tafsir dapat mengetahui makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. [14]
Dari beragam arti tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pengertian tafsir secara etimologi tidak lepas dari kandungan makna al-idhah (menjelaskan), al-bayan (menerangkan), al-kasyf (mengungkap), al-izhar (menampakkan), al-syarh (menerangkan), dan al-ibanah (menjelaskan).
Dalam al-Qur’an, kata tafsir hanya diungkap satu kali.
وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَٰكَ بِالحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيْرًا
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (Q.S. al-Furqan [25]: 33)[15]
Adapun pengertian tafsir berdasarkan istilah (terminologi), para ulama mengemukakannya dengan redaksi yang berbeda-beda, di antaranya, menurut al-Kilabi dalam at-Tashil, tafsir ialah menjelaskan al-Qur’an, menerangkan maknanya, dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash, isyarat, atau tujuannya. Sementara al-Jazairi mendefinisikan dalam Shahih at-Taujih, bahwa pada hakikatnya tafsir adalah menjelaskan kata yang sukar dipahami oleh pendengar sehingga berusaha mengemukakan sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan salah satu dalalah-nya.[16] Al-Jurjani dalam at-Ta’rifat mengemukakan bahwa tafsir berarti menjelaskan makna ayat dari segi segala persoalannya, kisahnya, asbabun nuzulnya, dengan menggunakan lafal yang menunjukkan kepadanya secara terang. Menurut az-Zarkasi, tafsir ialah ilmu yang mengkaji tentang pemahaman kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, menerangkan makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukum yang dikandungnya serta ilmu-ilmu yang ada di dalamnya. Abdul Azhim az-Zarqani memberikan ta’rif, bahwa tafsir ialah ilmu yang di dalamnya membahas tentang al-Qur’an al-Karim dari segi dalalah-nya (yang berkenaan dengan pemahaman makna) menurut yang dikehendaki oleh Allah Swt, sesuai dengan kadar kemampuan manusia.[17]
Berdasarkan beberapa rumusan dan ta’rif di atas dapat ditegaskan bahwa tafsir adalah suatu usaha yang bertujuan menjelaskan al-Qur’an atau ayat-ayatnya atau lafal-lafalnya, agar yang tidak jelas menjadi jelas, yang samar-samar menjadi terang, dan yang sulit dapat dipahami dengan mudah, sehingga al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia benar-benar dapat dipahami, dihayati, dan diamalkan demi tercapainya kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.[18]
Term lain yang memiliki kedekatan makna dengan tafsir adalah ta’wil. Kata ta’wil secara bahasa terbentuk dari kata al-aul, yang berarti al-ruju’ (kembali atau mengembalikan).[19] Selain bermakna al-ruju’, ta’wil berarti pula al-sharfu (memalingkan) dan al-siyasah (menyiasati).[20]
Dalam al-Qur’an, kata ta’wil dapat ditemukan, di antaranya, dalam surah Ali Imran [3]: 7.[21]
هُوَ الَّذِي أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.[22]

Dalam pandangan ulama mutaqaddimin (salaf/terdahulu), pengertian ta’wil adalah sama dengan tafsir; ta’wil adalah muradif (sinonim) dari kata tafsir. Sementara ulama muta’akhkhirin (khalaf/terkemudian) berpendapat bahwa antara tafsir dan tawil mempunyai perbedaan substansial yang tegas dan jelas. Tafsir adalah makna lahir (zhahir) dari ayat al-Qur’an, sedangkan ta’wil adalah menguatkan sebagian makna dari beberapa makna yang tercakup dalam pengertian ayat yang mungkin mempunyai beberapa pengertian.[23] Dalam ungkapan al-Jurjani, ta’wil adalah memalingkan lafal dari makna yang zhahir (tersurat) kepada makna yang lain (makna bathin/tersirat), jika memang makna tersirat itu sejalan dengan al-Qur’an dan sunnah.[24] Jadi, menta’wil al-Qur’an berarti membelokkan atau memalingkan lafal-lafal atau kalimat-kalimat yang ada dalam al-Qur’an dari makna lahirnya ke makna lain (makna batin)[25] sehingga dengan cara demikian pengertian yang diperoleh lebih cocok dan sesuai dengan jiwa ajaran al-Qur’an dan sunnah Rasul. [26]
Taufiq Adnan Amal menyebut bahwa ta’wil adalah istilah teknis untuk penjelasan alegoris dan metaforis terhadap (kata-kata dalam) al-Qur’an.[27] Pena’wilan biasanya terjadi atas ayat-ayat mutasyabihat, yakni ayat-ayat yang mempunyai sejumlah kemungkinan makna yang dikandung. [28]
Di antara contoh ta’wil al-Qur’an adalah:
   يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
“Tangan (kekuasaan) Allah di atas tangan (kekuasaan mereka).” (Q.S. al-Fath [48]: 10)
Arti yang zhahir, qarib, dan rajih dari kata (يد) adalah tangan, sedangkan makna bathin --walaupun ba’id-- yang dianggap kuat (marjuh) adalah kekuasaan. Mengalihkan makna tangan kepada makna kekuasaan karena alasan kemustahilan Allah memiliki tangan dalam arti inderawi. Pun lafal-lafal lain yang jika diartikan secara lahiriah, menggambarkan Allah sebagai jisim; bertempat di atas Arsy, turun ke bumi, memiliki tangan, wajah dan lainnya.
Term lain yang sering disandingkan pula dengan pembahasan tafsir dan ta’wil adalah tarjamah atau terjemah. Dalam bahasa Arab, kata tarjamah (ترجمة) mengandung berbagai konotasi; antara lain bermakna ‘biografi’, ‘kata pengantar’, dan ‘alih bahasa’. Adapun orang yang melakukan penerjemahan disebut turjumān, tarjumān,[29] atau mutarjim[30] (penerjemah atau juru bicara). Dalam makalah ini, term tarjamah yang dimaksud adalah alih bahasa.
Terjamah dibagi menjadi dua macam.
Pertama, terjemah harfiah (letterlijk), yaitu memindahkan sejumlah kata (kalimat) dari suatu bahasa kepada bahasa lain dengan kosakata dan susunan bahasa yang sesuai dengan bahasa aslinya,[31] walaupun makna yang dikehendaki ternyata menyimpang dari “pesan” bahasa pertama, mengingat adanya perbedaan langgam bahasa.[32] Hampir semua ulama berpendapat bahwa terjemah harfiah mustahil dilakukan karena ada syarat-syarat yang tidak mungkin diwujudkan.[33]
Kedua, terjemah tafsiriah (ma’nawiyah), yaitu mengungkapkan arti kata per kata ke dalam bahasa lain tanpa terikat kosakata dan susunan bahasa aslinya. Dalam terjemah ini yang terpenting adalah bagaimana mengungkap makna-makna yang dikehendaki dengan sebaik-baiknya. [34]
Tidak ada satu pun pendapat yang mengatakan bahwa terjemahan al-Qur’an adalah kalam Allah. Sebab Allah tidak berfirman, kecuali dengan al-Qur’an dalam bahasa Arab. Kemukjizatannya pun tidak akan terjadi dalam terjemahan. Begitu pula yang dipandang sebagai ibadah saat membacanya adalah al-Qur’an yang berbahasa Arab, bukan terjemahannya.[35]

C.               Perbedaan Antara Tafsir, Tawil, dan Terjamah
Mencermati beberapa definisi di atas, dapat ditarik beberapa titik perbedaan di antara ketiganya.
·      Tafsir: menjelaskan makna ayat yang seringkali panjang lebar, lengkap dengan penjelasan hukum-hukum dan hikmah yang dapat diambil dari ayat itu dan seringkali disertai dengan kesimpulan kandungan ayat-ayat tersebut.
·      Ta’wil: mengalihkan lafal-lafal ayat al-Qur’an dari arti yang lahir (qarib dan rajah) kepada arti lain yang samar (ba’id dan marjuh).
·      Terjemah: hanya mengubah kata-kata dari bahasa Arab ke dalam bahasa lain tanpa memberikan penjelasan arti kandungan secara panjang lebar dan tidak pula menyimpulkan isi kandungannya.
Sedangkan perbedaan yang spesifik antara tafsir dan ta’wil adalah:
·      Tafsir lebih umum daripada ta’wil, karena ta’wil berkenaan dengan ayat-ayat yang khusus, misalnya ayat-ayat mutasyabihat. Jadi, mena’wilkan ayat-ayat al-Qur’an yang mutasyabihat itu termasuk tafsir, tetapi tidak setiap menafsirkan ayat disebut dengan ta’wil.
·      Tafsir merupakan penjelasan lebih lanjut dari ta’wil, dan sejauh terdapat dalil-dalil yang menguatkan penafsiran boleh dinyatakan: demikian yang dikehendaki oleh Allah. Adapun ta’wil hanya menguatkan salah satu makna dari sejumlah kemungkinan makna yang dipunyai ayat (lafal) dan tidak boleh dinyatakan: demikianlah yang dikehendaki oleh Allah. Demikian salah satu pendapat al-Maturidi.
·      Tafsir merupakan makna lafal ayat melalui pendekatan riwayat, sedangkan tawil melalui pendekatan dirayah (kemampuan ilmu/penalaran).
·      Tafsir menerangkan makna-makna yang diambil dari bentuk yang tersurat, sedangkan tawil dari yang tersirat.
·      Tafsir berhubungan dengan makna-makna ayat atau lafal yang biasa-biasa saja, sedangkan tawil berhubungan dengan makna-makna yang kudus.

D.               Metodologi Penafsiran al-Qur’an
Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, MA. menyebut bahwa metodologi penafsiran al-Qur’an mencakup tiga hal pokok, yaitu sumber penafsiran, metode penafsiran, dan corak penafsiran. Berdasarkan sumber penafsirannya tafsir dibagi menjadi tiga: tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi al-dirayat, dan tafsir bi al-isyari. Ditinjau dari metodenya tafsir dibagi menjadi empat, yaitu tafsir ijmali (global), tafsir tahlili (analitik), tafsir muqaran (komparatif), dan tafsir maudhu’i (tematik). Sementara ditelisik dari coraknya tafsir memiliki banyak ragam, di antaranya tafsir sufi, tafsir falsafi, tafsir fiqhi, tafsir lughawi, tafsir adabi ijtima’i, tafsir kalami, tafsir haraki, dan tafsir maqashidi.[36] Masing-masing bagian akan dijelaskan secara rinci di pembahasan berikut.

Macam-macam Tafsir Berdasarkan Sumbernya
Berdasarkan sumbernya[37] atau pola pendekatannya[38], tafsir dibagi menjadi tiga macam.
1.      Tafsir bi al-riwayat (disebut juga tafsir bi al-naqli atau tafsir bi al-ma’tsur)
Maksud dari tafsir bi al-ma’tsur adalah penjelasan terhadap makna ayat dengan (memanfaatkan) apa yang dikemukakan (Allah) dalam al-Qur’an, as-Sunnah, maupun pernyataan (atsar) para sahabat.[39] Berdasarkan penjelasan tersebut dapat kita ketahui bahwa bentuk tafsir bi al-ma’tsur adalah sebagai berikut.
a.       Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an
Di antara contohnya adalah:
فَتَلَقَّىٰ ءَادَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَٰتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّهُ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 37)[40]
Kata كَلِمَٰتٍ ditafsirkan dengan ayat berikut.
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ
Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S. al-A’raf [7]: 23) [41]
b.      Penafsiran al-Qr’an dengan as-Sunnah
Contohnya adalah kalimatٱلْمَغْضُوبِ عَلَيهِمْ  yang ditafsirkan sebagai orang-orang Yahudi, dan ٱلضَّالِّينَ  yang ditafsirkan sebagai orang-orang Nasrani, dengan berpijak pada hadits cukup panjang yang sebagian penggalannya adalah sebagai berikut.
...المغضوب عليهم اليهود ، وإن الضالين النصارى[42] ...
c.       Penafsiran al-Qur’an menurut atsar para sahabat
Apabila tidak terdapat penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an dan tidak pula penafsiran al-Qur’an dengan as-Sunnah maka digunakanlah penafsiran al-Qur’an dengan mengacu kepada perkataan para sahabat. Contohnya adalah ayat berikut.
وَآتُوا الْيَتَامَىٰ أَمْوَالَهُمْ ۖ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ ۖ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَىٰ أَمْوَالِكُمْ ۚ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar.” (Q.S. an-Nisa’ [4]: 2) [43]
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim, bahwa Ibnu Abbas menafsirkan kata “Ḥūb” sebagai “itsman ‘azhīman (dosa besar)”.[44]
Adapun tentang kedudukan tafsir tabi’in, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama, seperti al-Zarqani, tidak membilang tafsir tabi’in sebagai al-ma’tsur. Al-Zarqani beralasan karena banyak di antara tabi’in yang terlalu terpengaruh oleh riwayat-riwayat isra’iliyat[45] yang berasal dari kaum Yahudi dan Ahli Kitab lainnya.[46] Kelompok ini berpendapat bahwa tafsir tabi’in termasuk tafsir bi al-ra’yi (tafsir dengan akal atau ijtihad), dan kedudukan mereka sama dengan kedudukan mufasir lainnya, selain Nabi dan sahabat.[47] Perkataan mereka selevel dengan perkataan ulama (fatwa).[48]
Sementara di bilah pendapat yang lain, seperti al-Dzahabi, memasukkan tafsir tabi’in ke dalam al-ma’tsur. Al-Dzahabi berargumentasi, walaupun tabi’in tidak menerima tafsir langsung dari Nabi, tetapi kitab-kitab tafsir bi al-ma’tsur memuat tafsiran mereka. Tafsir al-Thabari, misalnya, di dalamnya tidak hanya berisi tafsiran dari Nabi dan sahabat, tetapi memuat juga tafsiran tabi’in.[49] Argumentasi lainnya, tafsir tabi’in dinilai termasuk tafsir bi al-ma’tsur karena sebagian besar pengambilannya bersumber dari para sahabat,[50] yang tentunya para sahabat mengambilnya dari Nabi.
Di antara kitab tafsir bi al-ma’tsur adalah Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (disebut juga Tafsir ath-Thabari atau Tafsir Ibnu Jarir)  karya Muhammad ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H), Bahrul Ulum (masyhur disebut Tafsir as-Samarqandi) karya Nashr bin Muhammad as-Samarqandi (w. 373 H), dan al-Kasyfu wa al-Bayan ‘an Tafsir al-Qur’an atau Tafsir ats-Tsa’labi karya Ahmad bin Ibrahim ats-Tsa’labi an-Naisaburi (w. 427 H).[51]

2.      Tafsir bi al-dirayat (disebut juga tafsir bi al-aqli atau tafsir bi al-ra’yi)
Tafsir bi al-dirayat ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara ijtihad, yakni penjelasan mengenai al-Qur’an didasarkan pada kaidah-kaidah ijtihad murni, ketentuan-ketentuan ilmu al-Qur’an, dan kaidah-kaidah bahasa Arab. Walaupun penafsiran ini bertitik tolak dari akal, pendapat, atau ijtihad sang mufasir, dan tidak didasarkan pada nukilan dari para sahabat secara mutlak, tidaklah berarti penafsiran ini semata-mata dengan akal, rasio secara murni, atau terserah kata hati dan hawa nafsu sang mufasir. Penafsiran dengan menggunakan akal atau rasio secara serampangan tentu sangat berbahaya, karena dapat merusak kesucian al-Qur’an dan membelokkan manusia dari jalan lurus menuju kesesatan.[52]
Atas dasar itulah tafsir bi al-ra’yi dibagi menjadi dua: tafsir bi al-ra’yi al-mahmud (terpuji) dan tafsir bi al-ra’yi al-madzmum (tercela). Bagian yang pertama (al-mahmud) menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan tujuan syara’, jauh dari kejahilan dan kesesatan, sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami teks al-Qur’an. Adapun bagian yang kedua (al-madzmum) menafsirkan al-Qur’an tanpa dilandasi ilmu, dilakukan sekehendak hati atau sesuai selera sang mufasir, tanpa mengetahui dasar-dasar bahasa Arab dan syariat.[53] Hukum menafsirkan al-Qur’an dengan cara yang kedua ini (al-madzmum) adalah haram. Tidak boleh bagi kita menerima dan mengikutinya. Penetapan hukum ini berdasarkan beberapa dalil, di antaranya sebagai berikut.
Firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (Q.S. al-Isra’ [17] 36)[54]
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda:
من قال في القرآن برأيه - أو بما لا يعلم - فليتبوأ مقعده من النار
“Siapa berkata tentang al-Qur’an dengan logikanya (semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. at-Tirmidzi no. 2951)[55]
Dengan demikian jelas bahwa penafsiran bi al-ra’yi tidak boleh dilakukan sekehendak hati sang mufasir secara serampangan. Setidaknya ada empat langkah pokok yang harus ditempuh dalam menafsirkan al-Qur’an bi al-ra’yi, sebagaimana dikemukakan al-Zarkasi dalam kitabnya al-Burhan yang dikutip oleh as-Suyuthi dalam kitabnya al-Itqan.[56]
Pertama
:
Mengutip hadits Nabi dengan memperhatikan hadits-hadits dhaif dan maudhu’.
Kedua
:
Mengambil pendapat sahabat dalam hal tafsir karena kedudukan mereka adalah marfu’ (sampai kepada Nabi).
Ketiga
:
Berpegang pada kemutlakan bahasa Arab ... dengan membuang alternatif yang tidak tepat dalam bahasa Arab.
Keempat
:
Pengambilan berdasarkan ucapan yang populer di kalangan orang Arab yang sesuai dengan ketentuan syara’.
Di antara kitab tafsir bi al-ra’yi yang populer adalah Mafatih al-Ghaib (Tafsir ar-Razi) karya Muhammad bin Umar bin Husain ar-Razi (w. 606 H), Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (Tafsir al-Baidhawi) karya Abdullah bin Umar al-Baidhawi (w. 685 H), Tafsir al-Jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli (791 – 864 H) dan Jalaluddin as-Suyuthi (849 – 911 H),[57] dan Fi Zhilal al-Qur’an karya Sayid bin al-Haj Quthub bin Ibrahim (1906 – 1966 H).[58]

3.      Tafsir bi al-isyarat (disebut juga al-tafsir al-isyari)
Ash-Shabuniy mendefinisikan tafsir isyari sebagai penafsiran al-Qur’an yang berlainan menurut zahir ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat dan hanya diketahui oleh sebagian ulama, atau hanya diketahui oleh orang yang mengenal Allah, yaitu orang yang berpribadi luhur dan telah terlatih jiwanya (mujahadah) dan mereka yang diberi sinar oleh Allah sehingga dapat menjangkau rahasia-rahasia al-Qur’an, pikirannya penuh dengan arti-arti yang dalam dengan perantaraan ilham ilahi atau pertolongan Allah, sehingga mereka bisa menggabungkan antara pengertian yang tersirat dengan maksud yang tersurat dari ayat al-Qur’an.[59]
Al-Ghazali juga memberikan definisi yang tidak jauh berbeda, bahwa tafsir isyari ialah usaha menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an bukan dengan makna zahirnya, melainkan dengan suara hati nurani setelah sebelumnya menafsirkan makna zahir dari ayat yang dimaksud.[60]
Tafsir ini banyak dilakukan oleh kaum sufi (ahli tasawuf), karenanya sering disebut juga tafsir sufi, yaitu penafsiran al-Qur`an dengan melibatkan kapasitas sufistik atau tasawuf. Dalam hal ini para sufi mencoba memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan mengungkapkan makna atau isyarat di balik makna lahiriah ayat. Dalam melakukan penafsiran isyari, pada umumnya mereka berpedoman pada hadits ini.
لكل أية ظهر و بطن و لكل حرف حد ولكل حد مطلع
“Setiap ayat (al-Qur’an) memiliki lahir dan batin; setiap huruf memiliki batas; dan setiap batas memiliki titik pijakan (mathla’)[61].”[62]
Menurut ashShabuniy, tafsir isyari tidak bersifat kasbi, yakni tidak dapat diperoleh melalui penelitian dan kajian, tetapi bersifat ladunni (diberi langsung oleh Allah sebagai buah dari ketakwaan, keistiqamahan, dan kesalehan seseorang) sebagaimana firman Allah:[63]
وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 282)[64]
Para ulama berbeda pendapat mengenai tafsir isyari, di antaranya ada yang membolehkan (dengan syarat), dan ada yang menolak atau melarang. Ada pula yang beranggapan sebagai kesempurnaan iman dan kebersihan kemakrifatan, namun ada pula yang berasumsi sebagai suatu penyelewengan dan penyesatan dari ajaran Allah. Jika tujuan dari tafsir ini adalah menuruti hawa nafsu dan mempermainkan ayat-ayat Allah sebagaimana dilakukan oleh aliran kebatinan maka tercela dan menyeleweng. Sebaliknya, jika tujuan tafsir untuk menunjukkan bahwa kalam Allah tidak dapat dikuasai secara penuh oleh manusia karena merupakan ucapan dari Yang Maha Pencipta segala kekuatan dan kemampuan, serta mengandung beberapa pengertian dan rahasia, tentunya hal itu termasuk pemurnian makrifat dan kesempurnaan iman.[65]
Tafsir isyari dapat diterima dan dibenarkan selama menetapi syarat-syarat berikut.[66]
a.       Tidak bertentangan dengan dalil syar’i maupun dalil aqli.
b.      Tidak berkenaan dengan penetapan hukum syara’.
c.       Maknanya tidak berlawanan dengan makna lahiriah al-Qur’an.
d.      Ada dalil syar’i yang bisa dijadikan penguat atas penafsiran isyari tersebut.
e.       Tidak mengeklaim bahwa tafsir itulah yang benar dan satu-satunya yang dimaksudkan oleh al-Qur’an.
f.       Penakwilannya tidak melampaui batas kewajaran sehingga tidak berkorelasi sama sekali dengan susunan bahasa atau makna lahiriahnya.
Di antara kitab tafsir isyari yang masyhur adalah Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Sahl bin Abdullah at-Tustari (w. 283 H), Haqaiq al-Tafsir karya Abu Abdirrahman Muhammad bin Husain as-Sulami (w. 412 H), al-Kasyfu wa al-Bayan karya Ahmad bin Ibrahim an-Naisaburi, Tafsir Ibnu ‘Arabi karya Muhyiddin bin Arabi (w. 638 H), dan Ruh al-Ma’ani karya Syihabuddin Muhammad al-Alusi (w. 1270 H).[67]

Macam-Macam Tafsir Berdasarkan Metodenya
Abd al-Hayy al-Farmawy mengutip pendapat Sayyid Qummi, dikutip juga oleh Mursi Ibrahim al-Fayumi, bahwa metode tafsir dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu tahlili (analitik), metode ijmali (global), muqaran (komparatif), dan maudhu’i (tematik).[68]
Masing-masing metode dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut.
1.      Metode Tahlili (Analitik)
Metode tahlili adalah metode penafsiran yang berusaha menjelaskan al-Qur’an dengan menguraikan berbagai aspeknya serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir. Dalam hal ini seorang mufasir menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan tertib susunan al-Qur’an, ayat demi ayat kemudian surah demi surah dari awal surah al-Fatihah sampai akhir surah an-Nas.[69] Aspek-aspek yang diteliti dan disingkap biasanya mulai dari uraian makna kosakata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antarpemisah (munasabat), hingga sisi keterkaitan antarpemisah itu (wajh al-munasabat) dengan bantuan asbab an-nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi, sahabat, dan tabi’in. Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan generasi Nabi sampai tabi’in; terkadang pula diisi dengan uraian-uraian kebahasaan dan materi-materi khusus lainnya yang kesemuanya ditujukan untuk memahami al-Qur’an.[70]
Metode ini merupakan yang paling tua usianya daripada metode-metode lainnya. Di antara kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah: Ruh al-Ma’ani karya al-Alusi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi, al-Tafsir al-Kabir (Mafatih al-Ghaib) karya al-Fakh al-Razi, al-Manar karya Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an karya Ahmad al-Maraghi, dan Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Mahmud Syaltut.

2.      Metode Ijmali (Global)
Metode ijmali ialah menafsirkan makna-makna ayat-ayat al-Qur’an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud pada setiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Metode ini sebenarnya hampir sama dengan metode tahlili, yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan urutan ayat dan surah. Perbedaannya, tafsir ijmali mengungkapkan makna ayat secara global dan ringkas, sedangkan tafsir tahlili menguraikan makna ayat secara terinci dan panjang lebar dengan tinjauan dari berbagai segi dan aspek.[71]
Di antara kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah: Tafsir al-Jalalain karya Jalal al-Din al-Suyuthi dan Jalal al-Din al-Mahalli, Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Muhammad Farid Wajdi, Shafwah al-Bayan li Ma’aniy al-Qur’an karya Husanain Muhammad Makhlut, al-Tafsir al-Washith karya Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah (Lembaga Pengkajian Universitas Al-Azhar Mesir), dan Taj al-Tafasir karya Muhammad Ustman al-Mirghani.

3.      Metode Muqaran (Komparatif)
Metode ini menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an atau surah tertentu dengan cara membandingkan ayat dengan ayat, atau antara ayat dengan hadis, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu dan objek yang dibandingkan. Dengan metode ini mufasir membandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang tema tertentu, atau membandingkan ayat-ayat a-Qur’an dengan hadits-hadits Nabi, termasuk hadits-hadits yang makna tekstualnya tampak kontradiktif dengan al-Qur’an, atau membandingkan al-Qur’an dengan kajian-kajian lainnya.[72]
Di antara kitab yang menggunakan metode ini adalah: Durrah al-Tanzil wa al-Gurrah al-Ta‘wil karya al-Iskafi (w. 420 H), Jami‘ Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi,[73] al-Burhan fi Tawjih Mutasyabih al-Qur’an karya Taj al-Qurra al-Karmani (w. 505 H).[74]

4.      Metode Maudhu’i (Tematik)
Yang dimaksud dengan metode maudhu’i adalah membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema, topik, atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspeknya, seperti asbab al-nuzul, kosakata, dan sebagainya.[75]
Metode ini terbilang baru bila dibandingkan dengan metode-metode tafsir lainnya. Orang yang pertama kali memperkenalkan metode ini adalah al-Jalil Ahmad as-Sa’di al-Kumi, dari Universitas al-Azhar Mesir.[76] Menurut al-Farmawi, pencetus metode maudhu’i adalah Syekh Muhammad Abduh, kemudian ide-ide pokoknya dilontarkan oleh Syekh Mahmud Syaltut, lalu diintroduksikan secara kongkrit oleh Sayyid Ahmad Kamal al-Kumi. Al-Kumi mengintroduksikan metode tafsir jenis ini dalam bukunya yang berjudul al-Tafsir al-Maudhu’i.[77]
Beberapa kitab tafsir yang menggunakan metode tematik antara lain: al-Futuhat al-Rabbaniyah fi al-Tafsir al- Maudhu’i li al-Ayat al-Qur’aniyah karya al-Husaini Abu Farhah dan al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i karya Abdul Hayyi al-Farmawi.[78]

Macam-Macam Tafsir Berdasarkan Coraknya[79]
Quraish Shihab menyebut beberapa corak penafsiran yang dikenal luas dewasa ini, yakni corak sastra bahasa (lughawi), corak filsafat dan teologi (falsafi-kalami), corak penafsiran ilmiah (‘ilmi), corak fiqih atau hukum (fiqhi), corak tasawuf (sufi), corak sastra budaya kemasyarakatan (adabi ijtima’i).[80] Corak pertama timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam serta akibat kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra yang membutuhkan penjelasan tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan al-Qur’an di bidang ini. Pada era sekarang muncul gairah baru mengkaji kandungan al-Qur’an dengan memanfaatkan ilmu kebahasaan yang dikenal dengan filologi dan semantik.[81]
Corak filsafat dan teologi muncul akibat penerjemahan buku filsafat yang memengaruhi sementara pemikir muslim dan masuknya penganut-penganut agama lain ke dalam Islam dengan membawa kepercayaan lama mereka yang menimbulkan pendapat yang tercermin dalam tafsir mereka.[82] Corak penafsiran ini, menurut al-Dzahabi, antara lain tampak dalam kitab Fushul al-Hikam karya al-Farabi dan Rasa’il Ibnu Sina karya Ibnu Sina.[83]
Corak penafsiran ilmiah muncul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu.[84] Di antara pendukung corak penafsiran ini adalah Imam al-Ghazali dalam karyanya Jawahir al-Qur’an dan Thanthawi Jauhari dalam tafsirnya al-Jawahir.[85]
Corak fiqih muncul karena berkembangnya ilmu fiqih dan terbentuknya madzhab-madzhab fiqih yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapat mereka berdasarkan penafsiran-penafsiran ayat-ayat hukum.[86] Di antara kitab tafsir yang bercorak demikian adalah Ahkam al-Qur’an karya Ibnu al-Arabi dan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi.[87]
Corak tasawuf, sering disebut juga tafsir isyari, timbul akibat lahirnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi kecenderungan terhadap materi atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.[88] Adapun corak sastra budaya kemasyarakatan (adabi ijtima’i) lahir didorong oleh keinginan untuk menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat al-Qur’an yang beraitan langsung dengan kehidupan masyarakat dan usaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk al-Qur’an dalam bahasa yang mudah dimengerti dan indah didengar.[89] Corak penafsiran ini dipelopori oleh Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar, kemudian diikuti pula antara lain oleh Musthafa al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi dan Mahmud Syaltut dalam Tafsir al-Qur’an al-Karim.[90]
Sepanjang perkembangan zaman, corak atau lawn penafsiran kemungkinan akan mengalami perkembangan juga. Di antara corak baru yang muncul dewasa ini adalah corak haraki (gerakan) dan corak maqashidi (pendekatan maqashid al-syari’ah). Corak tafsir haraki ditulis dan disusun oleh mufasir yang merupakan tokoh pergerakan umat Islam. Tafsir haraki tidak hanya bertujuan menafsirkan al-Qur’an, tetapi lebih dari itu juga mengajak umat untuk mengikuti gerakan sang mufasir dalam memperbaiki keadaan sosial. Contoh tafsir haraki adalah Fi Zhilal al-Qur’an karya Sayyid Quthub.
Adapun tafsir maqashidi cenderung menitikberatkan penafsirannya atas ayat-ayat al-Qur’an kepada aspek maqashid al-syari’ah. Muhammad al-Thahir ibn ‘Asyur adalah salah satu contoh mufasir yang menggunakan corak ini, melalui karyanya Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir.

E.               Simpulan
Dalam pandangan ulama mutaqaddimin (salaf/terdahulu), ta’wil merupakan muradif (sinonim) dari kata tafsir sehingga keduanya memiliki pengertian yang sama. Akan tetapi, dalam perkembangannya, ulama muta’akhkhirin (khalaf/terkemudian) melihat bahwa antara tafsir dan ta’wil memiliki perbedaan yang substansial.
Term lain yang sering disandingkan pula dengan pembahasan tafsir dan ta’wil adalah tarjamah atau terjemah, yang terdiri atas dua macam: terjemah harfiah (letterlijk) dan terjemah tafsiriah (ma’nawiyah).
Perkembangan juga terjadi dalam metodologi penafsiran, yang meliputi tiga hal pokok: sumber penafsiran, metode penafsiran, dan corak penafsiran. Ada tiga macam tafsir berdasarkan sumber penafsirannya: tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi al-dirayat, dan tafsir bi al-isyari. Berdasarkan metodenya tafsir dibagi menjadi empat: tafsir tahlili (analitis), tafsir ijmali (global), tafsir muqaran (komparatif), dan tafsir maudhu’i (tematik). Dari keempat metode itu, tahlili merupakan yang paling tua usianya, sementara maudhu’i adalah yang paling muda. Adapun dari sisi coraknya tafsir memiliki banyak ragam, di antaranya tafsir sufi, tafsir falsafi, tafsir fiqhi, tafsir lughawi, tafsir adabi ijtima’i, tafsir kalami, tafsir haraki, dan tafsir maqashidi.

Daftar Pustaka
Abidin, Umar., 2014, “Ta’wil Terhadap Ayat al-Qur’an Menurut al-Tustari”, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadits, Vol. 15, No. 2.
Agama RI, Departemen., 1989, al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra.
Amal, Taufiq Adnan., 2001, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta: FkBA.
Anwar, Hamdani., https://www.youtube.com/watch?v=2WGMi5ywZys, pada Selasa, 24 Oktober 2017, pukul 21:51 WIB.
Anwar, Rosihon., 2000, Ilmu Tafsir untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Bandung: CV. Pustaka Setia.
al-‘Aridl, Ali Hasan., 1994, Sejarah dan Metodologi Tafsir, alih bahasa Ahmad Akrom, Jakarta: Rajawali Pers.
Arifin, 2008, Sejarah Tafsir Klasik dan Modern, Surakarta: STAIN Surakarta.
Arni, Jani., 2002, Jurnal Ushuluddin, Vol. XVIII, No. 2, Riau: UIN Suska.
Baidan, Nashruddin., 2003, Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia, Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
_________________, 1998, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_________________, Cet. II, 2011, Metode Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_________________, 2017, Terjemahan al-Qur’an; Studi Kritis Terhadap Terjemahan al-Qur’an yang Beredar di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Chirzin, Muhammad., 2003, Permata al-Qur’an, Yogyakarta: Qirtas.
al-Dimasyqi, Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi., Tafsir Ibnu Katsir, dikutip dari http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=49&ID=48 pada Kamis, 3 November 2017, pukul 16:11 WIB.
al-Dzahabi, Muhammad Husain., 2012, jilid I, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Dar al-Hadits.
Faridl, Miftah., Agus Syihabudin., 1989, al-Qur’an Sumber Hukum Islam yang Pertama, Bandung: Penerbit Pustaka.
Ilyas, Yunahar., cet. III, 2014, Kuliah Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Itqan Publishing.
Munawwir, Ahmad Warson., cet. xxv, 2002, al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif.
Mustaqim, Abdul., 2003, Mazahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: Nun Pustaka.
Nawawi, Rif’at Syauqi., M. Ali Hasan., 1998, Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang.
al-Maqdisiy, ‘Ilmi Zadeh Faidullah al-Hasaniy., t.th., Fathu al-Rahman li Thalibi Ayat al-Qur’an, Surabaya: al-Hidayah.
al-Qaththan, Manna’ Khalil., 1990, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits.
_______________________, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, alih bahasa Mudzakir, “Studi ilmu-ilmu Qur’an, Bogor: Litera Antar Nusa.
ar-Rumi, Fahd bin Abdurrahman., 1999, Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an, alih bahasa Amirul Hasan dan Muhammad Halabi, “Ulumul Qur’an: Studi Kompleksitas al-Qur’an”, Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
ash-Shabuniy, Muhammad Ali., 1985, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: ‘Alam al-Kutub.
Salim, Abd. Muin., 2011, Metodologi Penelitian Tafsir Maudui, Makassar: Pustaka al-Zikra.
Shahrur, Muhammad., 2004, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer, Yogyakarta: eLSAQ Press.
ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi., 2002, Ilmu-Ilmu al-Quran, Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Shihab, M. Quraish., 1984, Metode Penyusunan Tafsir yang Berorientasi pada Sastra, Budaya, dan Kemasyarakatan, Ujung Pandang: IAIN Alauddin.
________________, 2007, cet. XXXI, Membumikan al-Qur’an, Bandung: PT Mizan Pustaka.
ath-Thabari, Muhammad bin Jarir., Tasfir ath-Thabari, Jilid I, diakses melalui http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=7&idto=7&bk_no=50&ID=8 pada Senin, 23 Oktober 2017, pukul 15:23 WIB.
Yusuf, Yunan., 1990, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar: Sebuah Telaah Tentang Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas.
al-Zarkasyi, Badruddin Muhammad bin Abdullah., jilid II, Cet. III, 1984, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, Kairo: Maktabah Dar al-Turats.
Zuhri, Ahmad., 2007, Risalah Tafsir, Berinteraksi dengan Al-Qur’an versi Imam Al-Ghazali, Bandung:  Cita Pusaka Media.


*) Makalah Prarevisi


[1]  “Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka829 dan supaya mereka memikirkan.” (Q.S. an-Nahl [16]: 44)
[2] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Quran, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), hal. 199.
[3] Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia, (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), hlm. 6-7.
[4] Al-Suyuthi dalam al-Itqan menyebut ada sepuluh sahabat yang masyhur dalam bidang tafsir, yaitu: Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, dan Abdullah bin Zubair. Selain mereka, masih ada nama-nama lain yang juga intensif menafsirkan al-Qur’an. Lihat Muhammad Husain az-Zahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, jilid 1, (Kairo: Dar al-Hadits, 2012), hlm. 59.
[5] Ibid., hlm. 37.
[6] Di antara mereka adalah Mujahid (Mekah), Zaid bin Aslam (Madinah), dan Masruq bin al-Ajda’ (Irak). Lihat Rif’at Syauqi Nawawi dan M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 159-161.
[7] Arifin, Sejarah Tafsir Klasik dan Modern, (Surakarta: STAIN Surakarta, 2008), hlm. 99.
[8] Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar: Sebuah Telaah Tentang Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), hlm. Vi.
[9] Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, cet. 3, (Yogyakarta: Itqan Publishing, 2014), hlm. 272 -274.
[10] Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer , (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), hlm. xvi.
[11] Abdul Mustaqim, Mazahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Kontemporer, Cet I, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), hlm. xi.
[12] Jani Arni, Jurnal Ushuluddin, Vol. XVIII, No. 2, Juli 2002, Riau: UIN Suska, hlm. 171.
[13] Istilah syarh tidak digunakan dalam perbendaharaan tafsir, sekalipun memiliki makna senada, karena telah menjadi terminologi teknis dalam ilmu-ilmu hadits untuk komentar atas hadits.
[14] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir untuk IAIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hlm. 141; Rif’at Syauqi Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 139; Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi, Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an, alih bahasa Amirul Hasan dan Muhammad Halabi, Ulumul Qur’an: Studi Kompleksitas al-Qur’an, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999), hlm.197; Muhammad Ali ash-Shabuniy, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1985), hlm. 65.
[15] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), hlm. 564.
[16] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir..., hlm. 141 - 143.
[17] Rif’at Syauqi Nawawi dan M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir , hlm. 140-142.
[18] Ibid., hlm. 142-143.
[19] Muhammad Ali ash-Shabuniy, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, hlm. 66.
[20] Badruddin Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, jilid 2, Cet. 3, (Kairo: Maktabah Dar al-Turats, 1984), hlm. 148-149; Rif’at Syauqi Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, hlm. 143-144.
[21] Lihat ‘Ilmi Zadeh Faidullah al-Hasaniy al-Maqdisiy, Fathu al-Rahman li Thalibi Ayat al-Qur’an, (Surabaya: al-Hidayah, t.th.), hlm. 44; kata ta’wil disebut beberapa kali dalam al-Qur’an dengan makna yang beragam.
[22] Departemen Agama RI, Al-Qur’an..., hlm. 51.
[23] Muhammad Ali ash-Shabuniy, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, hlm. 66.
[24] Muhammad Chirzin, Permata al-Qur’an, (Yogyakarta: Qirtas, 2003), hlm. 74-75.
[25] Bisa juga disebut mengalihkan makna dari yang qarib (dekat) dan rajih (kuat) kepada makna yang ba’id (jauh) dan marjuh (lemah/dibuat kuat) dengan berdasarkan dalil.
[26] Rif’at Syauqi Nawawi dan M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir..., hlm. 144-145.
[27] Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, (Yogyakarta: FkBA, 2001), hlm. 65.
[28] Rif’at Syauqi Nawawi dan M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir..., hlm. 144-145.
[29] Nashruddin Baidan, Terjemahan al-Qur’an; Studi Kritis Terhadap Terjemahan al-Qur’an yang Beredar di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), hlm. 30-31.
[30] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia, cet. xxv, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), hlm. 480.
[31] Miftah Faridl dan Agus Syihabudin, Al-Qur’an Sumber Hukum Islam yang Pertama, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1989), hlm. 307
[32] Rif’at Syauqi Nawawi dan M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir..., hlm. 173.
[33] Di antara syaratnya: harus ada kosakata yang sepadan antara bahasa sasaran dengan kosakata dalam bahasa sumber, harus ada alat bahasa dan pelengkap kalimat yang sama antara bahasa sasaran dengan bahasa sumber, harus ada kesamaan antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran dalam sistematika kalimat ketika disusun dalam bentuk kalimat, frase, atau kalimat majemuk bertingkat. Lihat https://konsultasisyariah.com/26388-syarat-menerjemahkan-al-quran.html diakses pada Sabtu, 4 November 2017, pukul 06:45 WIB.
[34] Rif’at Syauqi Nawawi dan M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir..., hlm. 173; Miftah Faridl dan Agus Syihabudin, Al-Qur’an Sumber …, hlm. 307.
[35] Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, alih bahasa Mudzakir, Studi ilmu-ilmu Qur’an, (Bogor: Litera Antar Nusa, 1994), hlm. 444.
[36] Disampaikan di hadapan mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon, dipublikasikan di https://www.youtube.com/watch?v=2WGMi5ywZys ,diakses pada 24 Oktober 2017, pukul 21.51 WIB.
                [37] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir..., hlm. 143.
[38] Rif’at Syauqi Nawawi dan M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir…, hlm. 150.
[39] Miftah Faridl dan Agus Syihabudin, Al-Qur’an Sumber Hukum Islam …, hlm. 274.
[40] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm, 15.
[41] Ibid., hlm. 224.
[42] HR. Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan ath-Thabrani. Lihat Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir. Pemakalah mengaksesnya melalui http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=49&ID=48 pada 3 November 2017, pukul 16.11 WIB.
[43] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan ..., hlm, 399.
[44] Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, al-Dur al-Mantsur fi al-Tafsir al-Mantsur, (Dar Fikr), hlm. 167.
[45] Isra’iliyat ialah segala sesuatu yang bersumber dari kebudayaan Yahudi atau Nasrani, baik termaktub di dalam Taurat, Injil dan penafsiran-penafsirannya, maupun pendapat-pendapat orang-orang Yahudi atau Nasrani mengenai ajaran agama mereka. Lihat Quraish Shihab, Metode Penyusunan Tafsir yang Berorientasi pada Sastra, Budaya, dan Kemasyarakatan, (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984), hlm. 64.
[46] Nashruddin Baidan, Cet. II, Metode Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 42.
[47] Miftah Faridl dan Agus Syihabudin, Al-Qu’an Sumber Hukum Islam , hlm. 282-283.
[48] Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Qur’an ..., hlm.202.
[49] Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1961), hlm. 13 dalam Nashruddin Baidan, Cet. II, Metode Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 52.
[50] Muhammad Ali ash-Shabuniy, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, hlm. 70.
[51] Ibid., hlm. 189-190. Lihat juga Miftah Faridl dan Agus Syihabudin, Al-Qur’an Sumber ... , hlm. 284-285.
[52] Miftah Faridl dan Agus Syihabudin, Al-Qur’an Sumber ..., hlm. 286.
[53] Muhammad Ali ash-Shabuniy, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, hlm. 157.
[54] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan ..., hlm, 429.
[55] Diriwayatkan pula oleh an-Nasa’i dan Abu Daud. Lihat Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits, 1990), hlm. 352. Lihat pula dalil-dalil lain dalam Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Tasfir ath-Thabari, Jilid I, (Dar al-Ma’arif), bab al-Akhbar fi al-Nahyi ‘an Ta’wil al-Qur’an bi al-Ra’yi, diakses pemakalah melalui http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=7&idto=7&bk_no=50&ID=8 pada 23 Oktober 2017, pukul 15.23 WIB.
[56] Muhammad Ali ash-Shabuniy, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, hlm. 158-159.
[57] Muhammad Ali ash-Shabuniy, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, hlm. 195-196. Lihat juga Miftah Faridl dan Agus Syihabudin, Al-Qur’an Sumber ... , hlm. 289-290.
[58] Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi, Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an …, hlm.214-215.
[59] Muhammad Ali ash-Shabuniy, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, hlm. 171.
[60] Ahmad Zuhri, Risalah Tafsir, Berinteraksi dengan Al-Qur’an versi Imam Al-Ghazali, (Bandung:  Cita Pusaka Media, 2007), hlm 190.
[61] Makna lahir (zāhir) berarti makna yang dihasilkan dan sesuai dengan kata-kata pada bacaan itu, tidak lebih dari arti kosakata itu sendiri; sedangkan makna batin (bātin) lebih kepada pemahaman yang dihasilkan dari makna lahir suatu ayat tersebut. Adapun makna hadd (batas) adalah makna yang menunjukkan kehalalan dan keharaman dari ayat al-Qur’an, dan makna matla’ adalah makna yang diperoleh dari bimbingan hati (isyrāf al-qalbi) untuk menemukan pemahaman yang dimaksud atau dikehendaki oleh Allah Swt. Lihat Umar Abidin, “Ta’wil Terhadap Ayat al-Qur’an Menurut al-Tustari”, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadits, Vol. 15, No. 2, Juli 2014, hlm. 224.
[62] Muhammad Ali ash-Shabuniy, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, hlm. 176.
[63] Ibid., hlm. 172.
[64] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), hlm. 71. Dalil lainnya adalah Q.S. al-Baqarah [2]: 269.
[65] Muhammad Ali as-Shabuni, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an... hlm. 172.
[66] Miftah Faridl dan Agus Syihabudin, Al-Qur’an Sumber Hukum ..., hlm. 300.
[67] Muhammad Ali as-Shabuni, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an... hlm. 201.
[68] Ali Hasan al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, alih bahasa Ahmad Akrom, (Jakarta: Rajawali Pers, 1994), hlm. 40.
[69] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 31.
[70] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, hlm. 159.
[71] Ibid., hlm. 159-160.
[72] Rosihon Anwan, Ilmu Tafsir ..., hlm. 160.
[73] Abd. Muin  Salim, Metodologi Penelitian Tafsir Maudui, (Makassar: Pustaka al-Zikra, 2011), hlm. 43.
[74] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Quran, hlm. 58.
[75] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an …, hlm. 151.
[76] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir ..., hlm. 161.
[77] Ali Hasan al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir..., hlm. 91.
[78] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung : PT Mizan Pustaka, 2007), cet. XXXI, hal. 114.
[79] Corak sering disebut juga lawn, warna, atau nuansa.
[80] M. Quraish Shihab, “Membumikan al-Qur’an…, hlm. 72-73.
[81] Muhammad Chirzin, Permata al-Qur’an ..., hlm. 79.
[82] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an..., hlm. 72-73.
[83] Muhammad Chirzin, Permata al-Qur’an,...., hlm. 80; mengutip dari Muhammad Husain al-Dzahabi, “al-Tafsir wa al-Mufassirun”, juz 2, hlm. 420-431.
[84] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an..., hlm. 72-73.
[85] Muhammad Chirzin, Permata al-Qur’an,...., hlm. 80; mengutip dari Abdul Hayyi al-Farmawi, “al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i”, (Kairo: Dar al-Kutub, 1977), hlm. 36-40.
[86] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an..., hlm. 72-73.
[87] Muhammad Chirzin, Permata al-Qur’an,...., hlm. 80; mengutip dari Abdul Hayyi al-Farmawi, “al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i”, (Kairo: Dar al-Kutub, 1977), hlm. 36-40.
[88] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an..., hlm. 73. Lihat kembali Tafsir bi al-isyarat dalam makalah ini, hlm. 13-15.
[89] Ibid.
[90] Muhammad Chirzin, Permata al-Qur’an,...., hlm. 80; mengutip dari Abdul Hayyi al-Farmawi, “al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i”, hlm. 43.

Komentar