A. Pendahuluan
Revolusi industri jilid keempat (RI
4.0) sudah di depan mata. Setiap bangsa ditantang dan dituntut berkompetisi
dalam menghadapinya. Termasuk pula Indonesia, dituntut mampu berlomba dengan
negara-negara lain agar beranjak menjadi negara yang lebih maju. Salah satu
sektor strategis yang perlu dibenahi untuk menghadapi RI 4.0 tersebut adalah
pendidikan, utamanya pendidikan tinggi. Dalam hal ini perguruan Tinggi dituntut
mampu menghasilkan lulusan yang memiliki daya saing dan siap berkiprah dalam
dunia kerja sesuai dengan bidang keilmuan dan keahlian yang dimiliki serta
memiliki pemikiran yang inovatif dan kreatif.
Dalam
Perpres No. 08 tahun 2012 telah diatur tentang
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
(KKNI), yakni kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat
menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan
bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan
kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor. Penerapan
KKNI di Perguruan Tinggi akan menguatkan akuntabilitas penyelenggaraan
pendidikan sekaligus menjamin kualitas lulusaan. Selain itu, KKNI akan
memudahkan mahasiswa menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Penerapan
kurikulum berbasis KKNI di Perguruan Tinggi sangatlah dibutuhkan karena dapat
mengasah potensi mahasiswa untuk menjadi agen yang berwawasan luas dan memiliki
skill yang memang sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan di masyarakat. Selain
itu, sistem KKNI ini lebih memudahkan pihak Perguruan Tinggi untuk menentukan
tujuan akhir sebagai hasil capaian pembelajaran yang selama ini diajarkan.
Namun, berdasarkan halaman Detik.com Selasa, 29 Agustus 2017, diketahui bahwa KKNI
belum sepenuhnya berjalan; “63% Orang Indonesia Bekerja Tak Sesuai Jurusan”. Kondisi ini layak menjadi perenungan dan
diskusi bersama bagaimana meningkatkan mutu serta kualitas dan kuantitas
lulusan pendidikan tinggi agar dapat diserap di dunia kerja sesuai dengan
bidangnya.
B.
Pengertian Output dan Outcome
Lembaga
pendidikan atau sekolah menghasilkan keluaran pendidikan. Keluaran pendidikan
ini bisa mengandung dua pengertian, yaitu output dan outcome.
Berkenaan dengan keluaran pendidikan ini maka kita harus membedakan antara
pengertian output dan outcome agar tidak terjebak dan salah dalam
memahaminya.
Yang
dimaksud dengan output menurut Lauren Kaluge (2000) adalah hasil
langsung dan segera dari pendidikan, sedangkan outcome adalah efek
jangka panjang dari proses pendidikan, misalnya penerimaan di pendidikan lebih
lanjut, prestasi dan pelatihan berikutnya, kesempatan kerja, penghasilan serta
prestise lebih lanjut.
Margaret
C. Martha Taylor dan Michael Hendricks (2002) sepakat membedakan antara output
dan outcome sebagai berikut. Outcome suatu program adalah respon
partisipan terhadap pelayanan yang diberikan dalam suatu program. Sedangkan output
program adalah jumlah atau unit pelayanan yang diberikan atau jumlah orang yang
telah dilayani. Sementara itu NEA (2000) lebih mempertegas dengan menyebutkan
perbedaan antara output dan outcome, yaitu output
merupakan hasil dari aktivitas, kegiatan atau pelayanan dari sebuah program. Output
diukur dengan menggunakan istilah volume (banyaknya). Adapun outcome
adalah dampak, manfaat, harapan perubahan dari sebuah kegiatan atau pelayanan
suatu program.
Dalam definisi lain dikatakan bahwa output adalah hasil yang dicapai dalam jangka pendek, sedangkan outcome adalah hasil yang terjadi setelah pelaksanaan kegiatan jangka pendek. Gambaran lebih jelas yang membedakan antara output dan outcome adalah apa yang diilustrasikan pada skema berikut:
Pada skema di atas output berkenaan dengan dua
aspek: (1) apa yang kita produksi/hasilkan, dan (2) siapa orang yang menjadi
sasaran kita. Sedangkan outcome lebih mencakup kepada hasil yang harus
tercapai dalam jangka pendek, menengah, dan jangka panjang dalam berbagai
aspek: (1) pembelajaran, (2) aksi dan (3) kondisi yang diharapkan.
Jika skema tersebut diadaptasikan ke
dalam dunia pendidikan, misalnya pada dunia pendidikan tinggi maka akan jelas,
misalnya pada prodi pendidikan, maka kita dapat menentukan:
- Output yang
berkaitan dengan produk adalah melahirkan sarjana-sarjana yang spesifik di
bidang pendidikan;
- Output yang berkaitan dengan siapa yang menjadi sasaran adalah
sekolah-sekolah atau lembaga-lebaga pendidikan yang siap menampung lulusan
prodi pendidikan.
Sedangkan jika berbicara tentang outcome-nya, maka akan dapat diidentifikasi
beberapa aspek sebagai berikut:
- Outcome yang berkaitan dengan “tujuan
jangka pendek” pada aspek pembelajaran, yaitu terciptanya kualitas lulusan
yang memiliki karakteristik: (1) kesadaran, (2) pengetahuan, (3) attitude,
(4) skill, (5) opini, (6) aspirasi, dan (7) motivasi.
- Outcome yang berkaitan dengan “tujuan
jangka menengah” pada aspek kegiatan yang meliputi aspek-aspek: (1)
perilaku, praktek, penentu keputusan, kebijakan, dan aksi-aksi sosial di
bidang pendidikan.
- Outcome yang berkaitan dengan “tujuan
jangka panjang” menekankan pada perubahan kondisi sosial, ekonomi,
kependudukan, dan lingkungan dalam bidang pendidikan.
C.
Faktor Penyebab Output Tidak Sesuai dengan Outcome
Pendidikan pada hakikatnya
merupakan interaksi komponen-komponen yang esensial dalam upaya mencapai tujuan
pendidikan. Perpaduan antara keharmonisan dan keseimbangan serta interaksi
unsur esensial pendidikan pada tahap operasional sangat menentukan keberhasilan
pendidikan.
Pendidikan sebagai sebuah
sistem terdiri dari sejumlah komponen. Sistem-sistem tersebut terdiri atas instrumental
input, raw input, input, process, output, environmental, dan outcomes.
Masing-masing komponen mempunyai fungsi tertentu dan secara bersama-sama
melaksanakan fungsi struktur, yaitu mencapai tujuan sistem. Namun, pada
pembahasan ini –sebagai tugas pada Mata Kuliah Analisis Kebijakan Pendidikan
Islam– komponen-komponen tersebut diidentifikasikan pada sistem pendidikan yang
berupa input, process, environmental, dan output.
1.
Input
Pada Sistem Pendidikan
Input pada sistem pendidikan dibedakan dalam
tiga jenis, yaitu input mentah (raw input), input alat (instrumental
input), dan input lingkungan (environmental input). Masukan mentah (raw
input) akan diproses menjadi tamatan (output) dan input pokok dalam
sistem pendidikan adalah dasar pendidikan, tujuan pendidikan, dan anak didik
atau peserta didik.
a. Dasar Pendidikan
Pendidikan sebagai proses timbal balik antara
pendidik dan anak didik dengan melibatkan berbagai faktor pendidikan lainnya,
diselenggarakan guna mencapai tujuan pendidikan dengan senantiasa didasari oleh
nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai itulah yang kemudian disebut sebagai dasar
pendidikan.
b. Tujuan Pendidikan
Sebagai suatu komponen pendidikan, tujuan
pendidikan menduduki posisi penting di antara komponen-komponen pendidikan
lainnya. Dapat dikatakan bahwa segenap komponen dari seluruh kegiatan
pendidikan dilakukan semata-mata terarah kepada atau ditujukan untuk pencapaian
tujuan tersebut. Dengan tujuan pendidikan diharapkan terbentuknya manusia yang
utuh dengan memperhatikan aspek jasmani dan rohani, aspek diri (individualitas)
dan aspek sosial, aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, serta segi serba
keterhubungan manusia dengan dirinya (konsentris), dengan lingkungan sosial dan
alamnya (horizontal), dan dengan Tuhannya (vertikal).
c. Anak didik (Peserta Didik)
Peserta didik berstatus sebagai
subjek didik karena peserta didik (tanpa pandang usia) adalah subjek atau
pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya dan ingin mengembangkan
diri (mendidik diri) secara terus-menerus guna memecahkan masalah-masalah hidup
yang dijumpai sepanjang hidupnya. Ciri khas peserta didik
yang perlu dipahami oleh pendidik adalah:
·
Individu
yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan insan yang
unik.
·
Individu
yang sedang berkembang.
·
Individu
yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi.
·
Individu
yang memiliki kemampuan untuk mandiri.
2.
Proses pada Sistem Pendidikan
Proses pendidikan merupakan kegiatan
mobilisasi segenap komponen pendidikan oleh pendidik terarah kepada pencapaian
tujuan pendidikan. Kualitas proses pendidikan menggejala pada dua segi, yaitu
kualitas komponen dan kualitas pengelolaannya. Kedua segi tersebut satu sama
lain saling bergantung.
Adapun komponen-komponen yang saling
berkesinambungan pada proses pendidikan adalah sebagai berikut:
a. Pendidik dan Non Pendidik
Pendidik ialah orang yang memikul tanggung
jawab untuk membimbing. Pendidik berbeda dengan pengajar sebab pengajar
berkewajiban untuk menyampaikan materi pelajaran kepada murid, sedangkan
pendidik tidak hanya bertanggung jawab menyampaikan materi pengajaran, tetapi
juga membentuk kepribadian anak didik.
Non pendidik yang sering disebut sebagai tenaga
kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk
menunjang penyelenggaraan pendidikan. (UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1, BAB 1
Ketentuan Umum). Atau juga bisa diartikan merupakan tenaga yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan,
pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan
pendidikan. (UU No.20 THN 2003, PSL 39 (1)).
b. Kurikulum (Materi Pendidikan)
Materi pendidikan yang sering juga disebut
dengan istilah kurikulum karena kurikulum menunjukkan makna pada materi yang
disusun secara sistematika guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Lester
D. Crow dan Alice Crow, yang melakukan penelitian tentang hasil studi terhadap
anak menyarankan hubungan salah satu komponen pendidikan, yaitu kurikulum
dengan anak didik adalah sebagai berikut:
·
Kurikulum
hendaknya disesuaikan dengan keadaan perkembangan anak.
·
Isi
kurikulum hendaknya mencakup keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dapat
digunakan anak dalam pengalamannya sekarang dan berguna untuk menghadapi
kebutuhannya pada masa yang akan datang.
·
Anak
hendaknya didorong untuk belajar, karena kegiatannya sendiri dan tidak sekadar
menerima pasif apa yang dilakukan oleh guru.
·
Materi
yang dipelajari anak harus mengikuti minat dan keinginan anak sesuai dengan
taraf perkembangannya dan bukan menurut keputusan orang dewasa tentang minat
mereka.
c. Prasarana dan Sarana
Prasarana pendidikan adalah segala macam alat
yang tidak secara langsung digunakan dalam proses pendidikan, sedangkan sarana
pendidikan adalah segala macam alat yang digunakan secara langsung dalam proses
pendidikan. Prasarana pendidikan dapat juga diartikan segala macam peralatan,
kelengkapan, dan benda-benda yang digunakan guru dan murid untuk memudahkan
penyelenggaraan pendidikan, sedangkan sarana pendidikan dapat juga diartikan
segala macam peralatan yang digunakan guru untuk memudahkan penyampaian materi
pelajaran.
Perbedaan sarana pendidikan dan prasarana
pendidikan adalah pada fungsi masing-masing, yaitu sarana pendidikan untuk
“memudahkan penyampaian (mempelajari) materi pelajaran”, sedangkan prasarana
pendidikan untuk “memudahkan penyelenggaraan pendidikan”.
d. Administrasi
Administrasi pendidikan adalah segenap
kegiatan yang berkenaan dengan penataan sumber, penggunaan, dan
pertanggungjawaban dana pendidikan di sekolah atau lembaga pendidikan. Kegiatan
yang ada dalam administrasi pembiayaan meliputi tiga hal, yaitu: penyusunan
anggaran, pembukuan, dan pemeriksaan.
e. Anggaran
Anggaran adalah biaya yang dipersiapkan
dengan suatu rencana terperinci. Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa
anggaran adalah rencana yang disusun secara terorganisasikan untuk menerima dan
mengeluarkan dana bagi suatu periode tertentu.
3.
Enviromental
pada
Sistem Pendidikan
Proses pendidikan selalu dipengaruhi oleh
lingkungan yang ada di sekitarnya, baik lingkungan itu menunjang maupun
menghambat proses pencapaian tujuan pendidikan. Lingkungan yang memengaruhi
proses pendidikan tersebut adalah:
a.
lingkungan keluarga;
b.
lingkungan
sekolah atau lembaga pendidikan;
c.
lingkungan
masyarakat;
d.
lingkungan
keagamaan, yaitu nilai-nilai agama yang hidup dan berkembang di sekitar lembaga
pendidikan;
e.
lingkungan
sosial budaya, yaitu nilai-nilai sosial dan budaya yang hidup dan berkembang di
sekitar lembaga pendidikan;
f.
lingkungan
alam, baik keadaan iklim maupun geografisnya;
g.
lingkungan
ekonomi, yaitu kondisi ekonomi yang ada di sekitar lembaga pendidikan dan
masyarakat sekitar;
h.
lingkungan
keamanan, baik keamanan di sekitar lembaga pendidikan maupun di luar lembaga
pendidikan;
i.
lingkungan
politik, yaitu keadaan politik yang terjadi pada daerah di mana lembaga
pendidikan tersebut berdiri atau melaksanakan pendidikan.
4.
Output pada sistem Pendidikan
Output
pada sistem pendidikan adalah hasil keluaran dari proses yang terjadi di dalam
sistem pendidikan. Adapun output pada sistem pendidikan adalah:
a.
Lulusan (Tamatan)
Lulusan pendidikan adalah hasil dari proses
pendidikan agar sesuai dengan tujuan pendidikan tersebut. Diharapkan lulusan
yang dihasilkan dapat memberikan nilai-nilai kehidupan bagi dirinya,
lingkungan, dan Tuhannya. Setidaknya, lulusan tersebut dapat mentransformasikan
(mengembangkan dan melestarikan) budaya yang ada di lingkungan, kepribadiannya
dapat terbentuk dengan baik, menjadi warga negara yang baik yang didasarkan
atas landasan-landasan pendidikan, serta mampu bersaing di dunia kerja.
Jika proses yang terjadi di dalam
komponen-komponen pendidikan yang sudah dijelaskan di atas berjalan dengan baik
tanpa adanya hambatan maka hasil lulusan tersebut pun akan baik. Oleh sebab
itu, proses berkesinambungan dari komponen-komponen pendidikan menentukan hasil
nyata dari pendidikan tersebut yang didasarkan kepada tujuan dan dasar
pendidikan.
b.
Putus Sekolah
Kadang kala proses komponen-komponen
pendidikan yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang sudah direncanakan sebab
adanya hambatan yang ada pada komponen-komponen tersebut sehingga peserta didik
yang menjadi input dalam sistem pendidikan akan berhenti untuk melangsungkan
pendidikannya (putus sekolah). Dengan kata lain, putus
sekolah disebabkan oleh berbagai macam faktor hambatan pendidikan, baik dari
diri peserta didik, proses pendidikan yang terjadi, maupun lingkungan sekitar
pendidikan.
Komponen-komponen pendidikan yang telah
dijelaskan berinteraksi secara berkesinambungan saling melengkapi dalam sebuah
proses pendidikan guna mencapai tujuan pendidikan. Proses pendidikan pada
hakikatnya adalah interaksi komponen tersebut dalam sebuah proses pencarian, pembentukan,
dan pengembangan sikap serta perilaku anak didik hingga mencapai batas optimal
(Mahmud, 2009: 87).
Sistem pendidikan tersebut secara rinci dapat
digambarkan sebagai berikut:
D.
Kebijakan yang Berpengaruh
terhadap Output dan Outcome
Sebagai pemegang peranan penting dalam menghasilkan
Sumber Daya Manusia yang berkualitas, lembaga pendidikan diharapkan mampu
menghasilkan lulusan-lulusan yang berkompeten di bidangnya, yakni memiliki
kecakapan, keahlian, kemampuan, dan pengetahuan. Namun, para lulusan ini tidak
hanya mampu dalam penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan sikap formal yang
diwujudkan dalam indeks prestasi, akan tetapi para lulusan harus mampu
berkiprah dalam dunia kerja. Untuk mewujudkan Sumber Daya Manusia yang
berkualitas maka perguruan tinggi harus mampu mempersiapkan para lulusannya
agar memiliki kompetensi di berbagai bidang keilmuan dan keahlian, sehingga
mampu memenuhi kebutuhan dunia kerja yang sesuai dengan standar mutu. Oleh
karena itu, Perguruan Tinggi dituntut mampu menghasilkan lulusan yang memiliki
daya saing dan siap berkiprah dalam dunia kerja sesuai dengan bidang keilmuan dan
keahlian yang dimiliki serta memiliki pemikiran yang inovatif dan kreatif dalam pencapaian visi dan misi yang telah
ditetapkan.
Dalam Perpres No. 08 tahun 2012 telah diatur
tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), yakni kerangka penjenjangan
kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan
mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta
pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai
dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor.[1]
Dengan adanya target pencapaian ini, Perguruan Tinggi harus mampu
menjabarkan capaian pembelajaran pada setiap mata kuliah yang ada sehingga
tersusun sesuai kebutuhan profil kelulusan. Penerapan KKNI di Perguruan Tinggi
akan menguatkan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan sekaligus menjamin
kualitas lulusaan. Selain itu, KKNI akan memudahkan mahasiswa menghadapi
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), sebab para lulusan dapat disamakan dengan
lulusan dari universitas di ASEAN. Untuk meningkatkan kualitas lulusan
Perguruan Tinggi, ada beberapa hal yang patut dipenuhi sebagai berikut:
1. Learning
Outcomes.
2. Jumlah
SKS (Sistem Kredit Semester).
3. Mata
kuliah wajib.
4. Proses
pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa.
5. Akuntabilitas
Assessment.
6. Waktu
studi minimum.
7. Perlunya
Diploma Supplement.[2]
Penerapan
kurikulum berbasis KKNI di Perguruan Tinggi sangatlah dibutuhkan karena dapat
mengasah potensi mahasiswa untuk menjadi agen yang berwawasan luas dan memiliki
skill yang memang sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan di masyarakat.
Selain itu, sistem KKNI ini lebih memudahkan pihak Perguruan Tinggi untuk
menentukan tujuan akhir sebagai hasil capaian pembelajaran yang selama ini
diajarkan. Dengan demikian, adanya penerapan KKNI ini menjadikan mahasiswa
lebih banyak berkontribusi dalam berbagai hal.
Namun, apakah
dengan adanya KKNI semua lulusan sudah bekerja sesuai dengan bidang yang telah
dipelajarinya? Halaman Detik.com pada Selasa, 29 Agustus 2017, menyebutkan
bahwa “63% Orang Indonesia Bekerja Tak Sesuai Jurusan”. Itu berarti belum sepenuhnya KKNI berjalan.
Hal tersebut menjadi PR (pekerjaan rumah) bersama bagaimana cara meningkatkan
mutu, kualitas dan kuantitas para lulusan agar dapat diserap oleh dunia kerja
sesuai dengan bidangnya.
Menurut
Brojonegoro dalam Tritjahjo (2005: 57) “Kebijakan program untuk meningkatkan
mutu dan relevansi pendidikan meliputi empat aspek, yaitu: kurikulum, tenaga
kependidikan, sarana pendidikan. dan kepemimpinan satuan pendidikan”.
Pengembangan kurikulum berkelanjutan di semua jenjang pendidikan meliputi:
1. Pengembangan
kurikulum pendidikan dasar yang dapat memberikan kemampuan dasar secara merata
yang disertai dengan penguatan muatan lokal.
2. Mengintegrasikan
keterampilan generik dalam kurikulum yang memberikan kemampuan adaptif yang
meliputi empat kelompok keterampilan, yaitu: pengelolaan diri, komunikasi,
mengelola orang dan tugas, serta melakukan inovasi dan perubahan.
3. Mengembangkan
program studi, jurusan dan fakultas di perguruan tinggi yang didasarkan atas
studi kelayakan.
4. Meningkatkan
relevansi pendidikan kejuruan, pendidikan tinggi, dan pendidikan luar sekolah
sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
5. Mengembangkan
keteladanan dalam pendidikan (Tritjahjo, 2005: 57).[3]
Program
studi dalam suatu lembaga pendidikan tinggi dibuka untuk memenuh kebutuhan
pasar kerja tertentu. Output yang kompeten di bidangnya tentu diharapkan agar
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang membutuhkan.
E.
Amanat
Regulasi dan Program Pemerintah tentang Outcomes Pendidikan Tinggi
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi, Peraturan Presiden Nomor
8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), dan juga Peraturan Menteri
Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2015 Tentang Standar Nasional Pendidikan
Tinggi mengamanatkan bahwa lulusan Perguruan Tinggi harus memenuhi capaian pembelajaran (learning
outcome) sesuai level KKNI
tertentu.[4]
Sejalan dengan regulasi di atas dan program Nawacita yang
dicanangkan pemerintah, lulusan Perguruan Tinggi di Indonesia dituntut menjadi
agen strategis bagi
pembangunan Bangsa Indonesia yang kompetitif, beragam, maju, dan beradab. Untuk
melaksanakan amanat dari regulasi dan program pemerintah, maka salah satu tugas
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi adalah mengawal Perguruan Tinggi untuk
mempersiapkan generasi muda
agar mampu meningkatkan daya saing bangsa, adaptif, fleksibel, kreatif, dan
memiliki inovasi tinggi sebagai agen perubahan dengan muatan karakter
berbudaya Indonesia.[5]
Rapat
kerja nasional (Rakernas) pendidikan yang diselenggarakan oleh Kementrian Riset
dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) pada Januari 2016 memberi catatan
penting dan menegaskan adanya beberapa persoalan yang sedang dihadapi bangsa
Indonesia. Persoalan tersebut antara lain sebagai berikut. Pertama,
permasalahan yang sedang dihadapi bangsa radikalisme, intoleransi, separatisme,
tindakan kekerasan, narkoba, kerusakan lingkungan, pengangguran, dan para
sarjana perguruan tinggi yang kurang siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA). Kedua, kritik terhadap kualitas lulusan perguruan tinggi.
Lemahnya kemampuan berbahasa asing (english proficiency), IT skill,
kepemimpinan (leadership), cara berpikir yang kompleks (higher order
of thinking), rendahnya kemampuan komunikasi lisan dan tertulis, kurang
berpikir kritis, rendahnya rasa percaya diri dan lunturnya nilai-nilai kebaikan
yang berakibat pada merebaknya korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi penyakit
kronis bangsa.[6]
Perguruan
Tinggi sebagai tempat terakhir mahasiswa memperoleh kesempatan mengenyam
pendidikan secara formal (the last opportunity) serta sebagai tempat pool
of leaders masa depan harus berpikir serius untuk menjawab permasalahan
bangsa yang sedang dihadapi bersama saat ini. Perguruan tinggi perlu
menempatkan dirinya sebagai pemecah permasalahan (a problem solver),
bukan sebagai bagian dari permasalahan itu sendiri (a part of the problem).
Ujungnya, hasil akhir (outcomes) dari pendidikan tinggi adalah memang
sengaja dimaksudkan untuk memperbaiki sistem sosial yang kurang baik dan kurang
memuaskan sekarang ini dan berusaha keras untuk memperbaiki dan
menyempurnakannya dari waktu ke waktu (continuous improvement).[7]
1. Linearitas Para Pendidik
Peraturan Presiden nomer 8 tahun
2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) menyiratkan bahwa
capaian pembelajaran harus dapat dicapai oleh lulusan pada setiap level KKNI
yang menunjukkan bahwa lulusan tersebut mendapatkan kemampuan yang diperoleh
melalui internalisasi pengetahuan, sikap, keterampilan, kompetensi, pelatihan
kerja, serta pengalaman kerja. Capaian Pembelajaran (Learning Outcomes =
LO) dapat dicapai bila instruktur (dosen) setiap mata kuliah mempunyai keahlian
sesuai dengan bidangnya. Sekumpulan dosen yang bersama-sama mengajar pada suatu
kluster keilmuan tertentu atau lebih khusus lagi pada disiplin ilmu tertentu, diharapkan
akan menghasilkan lulusan yang cakap pada ilmu itu sesuai dengan level KKNI-nya.
Dosen yang mempunyai linearitas dalam pengembangan ilmu yang ditekuninya sejak
jenjang sarjana dan pascasarjana (S1, S2, dan S3) akan mempunyai kekuatan dalam
metodologi keilmuan tersebut dibandingkan dengan dosen yang pengembangan ilmu
yang ditekuninya tidak linear.[8]
Perpres tentang KKNI tersebut
senyatanya menyuratkan amanat kepada perguruan tinggi agar terus memperbaiki mutu
pendidikannya. Boleh dibilang bahwa mutu pendidikan tinggi saat ini belum dapat
menduduki posisi komparatif apalagi kompetitif dalam tatanan regional,
nasional, maupun global. Selain itu, pendidikan tinggi juga belum secara utuh
melahirkan lulusan dengan KSA (knowledge, pengetahuan; skill, keterampilan;
dan attitude, sikap) yang dibutuhkan bangsa untuk membangun kemakmuran, keamanan,
kesejahteraan, dan keadilan untuk mencapai cita-cita seperti yang tercantum dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Manusia Terdidik sebagai Jawaban atas Revolusi Industri
Keempat
Revolusi industri yang telah
memasuki tahap keempat (RI 4.0) menjadi tantangan tersendiri bagi dunia
pendidikan di Indonesia.[9]
Begitu pula bagi pendidikan tinggi, hal ini harus dipahami secara benar sebagai
landasan untuk memetakan kebutuhan bangsa dan membuat road-map
pendidikan berkaitan pembagian tugas kerja produktif di Indonesia. Akan selalu
ada masyarakat yang bekerja manual, bekerja dengan hasil revolusi industri yang
pertama, kedua, ketiga, dan keempat. Permasalahan yang muncul dari fenomena
sosial tersebut adalah siapa yang mengerjakan apa serta seperti apa kualitas
tenaga kerja di masing-masing sektor. Jika di masa lalu persaingan global
antarbangsa mengandalkan kepintaran, mengandalkan kecerdasan mengelola bahan baku
berupa hasil tambang dan hasil pertanian, di masa depan bahan baku utama untuk
memenangkan persaingan global adalah data yang diolah menjadi informasi oleh
manusia terdidik. Manusia terdidik tersebut sebagian besar merupakan lulusan
perguruan tinggi.
3. Akreditasi Perguruan Tinggi Berdasarkan Outcome-Based Approach
Komisi I bidang pembelajaran dan
kemahasiswaan dalam Rakernas Kemristekdikti pada Januari 2016 melansir laporan
bahwa persentase tenaga kerja berpendidikan tinggi di Indonesia berada jauh di
bawah Malaysia. Pada saat Rakernas tersebut didiskusikan akreditasi perguruan
tinggi di Indonesia dalam menghasilkan lulusan, penilaian yang dilakukan masih
berdasarkan input-based belum berdasarkan pada outcome-based approach.
Oleh karena itu, perguruan tinggi ke depan harus didasarkan pada outcome-based
approach, maksudnya berdasarkan kapasitas, yang berarti kemampuan
lulusan yang ditetapkan dalam rencana capaian pembelajaran oleh perguruan
tinggi. Secara lebih spesifik sejumlah poin diungkapkan secara khusus adalah:[10]
·
Perlunya jiwa kewirausahaan (entrepreneur
mindset) ditanamkan pada mahasiswa.
·
Kenyataan bahwa lulusan yang mencari
pekerjaan menghadapi kondisi miss-match, yaitu ketidakcocokan dengan
program studi yang telah dipelajari.
·
Diingatkan keyakinan membangun negeri dari
Perguruan Tinggi.
·
Banyak hal kritis yang dihadapi Indonesia,
contohnya narkoba dan maraknya kriminalitas.
·
Pentingnya pengayaan mata kuliah umum dengan general
education.[11]
Saat ini semua perguruan tinggi yang
berkualitas baik menggunakan sistem evaluasi yang didasarkan pada outcomes,
bukan input. Evaluasi berdasar outcomes adalah mengembangkan
parameter penilaian terhadap ketercapaian kemampuan lulusan yang dirancang
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat sangat beragam dan
suatu program studi dapat memilih fokus solusi untuk kepentingan masyarakat.
Fokus tersebut ditetapkan dengan dasar kebutuhan masyarakat, sinyal pasar, dan
visi pengembangan ilmu pengetahuan.[12]
4. Meningkatkan Kreativitas, Inovasi, dan Kemitraan
Di antara
langkah stategis yang bisa dilakukan perguruan tinggi untuk berdamai dengan perkembangan
dunia saat ini adalah dengan menyelenggarakan pendidikan yang menyediakan
peluang besar untuk belajar kreativitas dan inovasi. Selain itu juga menciptakan
lingkungan kerja dan lingkungan belajar yang kondusif terhadap pertumbuhan
kreativitas dan inovasi.[13]
Kreativitas dan inovasi tidak tepat jika hanya dipelajari dari buku maupun dari
kuliah sistem ceramah. Meminjam wejangan Ki Hajar Dewantara, bahwa “Ilmu iku
kalakone kanthi laku. Laku iku pinangka guru sejati”, yang berarti
“sangatlah penting menjalani praktik untuk mendapatkan pengalaman terus
menerus, pengalaman sebagai guru utama”. Namun, harapan “laku” dalam
pendidikan tinggi di Indonesia belum sepenuhnya sesuai harapan. Tidak
mengherankan jika kemudian pendidikan tinggi di Indonesia melahirkan outcomes
yang belum sesuai harapan; tidak kreatif dan inovatif dalam menciptakan lapangan
kerja, bahkan terserap secara tepat di dunia kerja pun tidak.
Tindakan lain yang bisa bahkan
semestinya dilakukan oleh pendidikan (tinggi) di Indonesia adalah dengan meningkatkan
kemitraan dan kolaborasi serta pemanfaatan model-model digital dan peran
teknologi informasi secara optimal. Mahasiswa harus dikenalkan pada keunggulan
potensi Indonesia lalu mengubahnya menjadi keunggulan operasional. Sebagaimana pendidikan
di Jepang, kemitraan dan kolaborasi dilakukan sangat intim dan intensif antara lembaga-lembaga
pendidikan dan perusahaan-perusahaan penyedia lapangan kerja. Bahkan, kemitraan
tersebut mereka lakukan sejak pembuatan dan perumusan kurikulum pendidikan yang
mengacu pada kebutuhan dunia usaha dan dunia industri baik regional, nasional,
maupun global.
5.
Mengintegrasikan
Esensi Pendidikan Akademik, Vokasi, dan Profesi[14]
Pada era industri saat ini, para sarjana
dan lulusan pendidikan akademik kerap mengalami kegamangan saat dihadapkan pada
tantangan kerja yang menuntut keterampilan dan penguasaan teknologi tinggi. Seolah
mereka menyadari bahwa pendidikan yang mereka lakoni baru sebatas meraih gelar
dan pengetahuan, belum benar-benar menyentuh aspek skill. Untuk terampil
dan berkarya dalam disiplin keilmuan yang ditekuninya, mereka membutuhkan waktu
tambahan untuk melakoni pendidikan profesi. Sementara para lulusan pendidikan
vokasi lebih percaya diri dan terbukti dibutuhkan oleh penyedia lapangan
pekerjaan, namun dari sisi knowledge mereka kurang bisa mengimbangi para
lulusan pendidikan akademik karena pendidikan vokasional memang lebih berorientasi
pada penguasaan praktik, sedangkan pendidikan akademik lebih pada penguasaan
ilmu pengetahuan secara teori.
Kondisi ini menarik untuk
direnungkan, bahwa sebenarnya revolusi industri keempat menuntut manusia tidak
hanya terampil, tetapi juga harus berpengatahuan; pun sebaliknya, tidak hanya
berpengatahuan, tetapi juga harus terampil. Untuk itulah pendidikan tinggi
akademik semestinya mencari dan merumuskan esensi dari ketiga pendidikan
tersebut, lalu mengintegrasikannya dalam sistem pendidikan yang terpadu antara knowledge
dan skill, kemudian diparipurnakan dengan attitude.
Konsep ini diharapkan menjadi
solusi problematika miss-match atau ketidaksesuaian antara output
pendidikan dan kebutuhan dunia kerja. Data ILO (International Labour
Organization) menyebutkan, hanya 37 persen dari total output
pendidikan Indonesia yang well-match. Dari total sistem pendidikan
Indonesia, baru 5,6 persen berbasis vokasi. Sementara itu, di negara-negara
maju, pendidikan vokasi berimbang dengan persentase keilmuan dan akademik atau
50:50.[15].
F.
Kesimpulan
Outcomes pendidikan tinggi di Indonesia belum menunjukkan
angka terbaiknya. Untuk memperbaikinya perlu dilakukan pembenahan strategis
berupa penguatan sistem Linearitas pendidikan para pendidik yang mengacu pada
Peraturan Presiden nomor 8 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia (KKNI); meningkatkan jumlah manusia terdidik sebagai solusi atas
revolusi industri keempat; akreditasi Perguruan Tinggi yang didasarkan pada outcome-based
approach; meningkatkan kreativitas, inovasi, dan kemitraan; dan
mengintegrasikan esensi pendidikan akademik, vokasi, dan profesi.
Irham Sya’roni: 17913030
Nur Endah Kusumaningrum: 17913036
Zairina Qonita Muna: 17913043
DAFTAR
PUSTAKA
Handayani, Ririn., “Pendidikan dan Revolusi 4.0”, dalam Koran
Jakarta edisi Rabu, 25 Juli 2018, melalui http://www.koran-jakarta.com/pendidikan-dan-revolusi-4-0/, diakses pada hari Jumat, 6 Oktober 2018, pukul 06.59 WIB
Majelis Pendidikan Dewan Pendidikan Tinggi Kementerian Riset,
Teknologi dan Pendidikan Tinggi, 2017, Memandang Revolusi Industri dan
Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia, Jakarta:
Direktorat Pembelajaran Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Muhson, Ali., dkk., “Analisis Relevansi Lulusan Perguruan
Tinggi Dengan Dunia”, Jurnal Economia, Volume
8, Nomor 1, April 2012.
https://geotimes.co.id/opini/penerapan-kurikulum-berbasis-kkni-di-perguruan-tinggi/, diakses pada hari Jumat, 5 Oktober 2018, pukul 13.00 WIB
[1] Perpres No. 08 tahunn 2012 tentang Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia
[2] https://geotimes.co.id/opini/penerapan-kurikulum-berbasis-kkni-di-perguruan-tinggi/,
diakses pada hari Jumat, tanggal 5 Oktober 2018, pukul 13.00 WIB
[3] Ali
Muhson, Daru Wahyuni, Supriyanto & Endang Mulyani, Analisis Relevansi Lulusan Perguruan Tinggi
Dengan Dunia, Jurnal Economia, Volume 8, Nomor 1, April 2012, hlm.
48.
[4]
Intan Ahmad, “Kata Pengantar” dalam Majelis Pendidikan Dewan Pendidikan Tinggi
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Memandang Revolusi
Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia, (Jakarta:
Direktorat Pembelajaran Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, 2017), hlm. iii.
[5] Ibid.
[6] Ibid.,
hlm. 13.
[7] Ibid.,
hlm. 14.
[8] Ibid.,
hlm. 19.
[9]
Kehadiran mechanical weaving loom pada tahun 1784 menjadi tanda
dimulainya revolusi industri pertama,
kemunculan assembly line pada tahun 1870 menjadi tonggak
bagi revolusi tahap kedua, terciptanya programmable
logic pada tahun 1969 menjadi
penanda lahirnya revolusi taha ketiga, dan saat ini telah berlangsung revolusi
industri keempat yang dikenal dengan ciri CPPS (CyberPhysical Production
System). Lihat ibid., hlm 58.
[10] Ibid.,
hlm. 42-43.
[11] Di
dalam general education kurikulum dan lingkungan luar perguruan tinggi
bekerja sama untuk membuat koherensi pengalaman mahasiswa. General education
juga menawarkan etos dan tradisi hubungan yang intens antara mahasiswa dengan
mahasiswa dan mahasiswa dengan dosen-dosennya.
[12] Ibid.,
hlm. 65-66.
[13] Ibid.,
hlm. 64.
[14]
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, program pendidikan di pendidikan tinggi mencakup (1) pendidikan
akademik (sarjana, magister, dan doktor), (2) pendidikan profesi/spesialis, dan
(3) pendidikan vokasi (diploma). Pendidikan tinggi penyelenggara pendidikan
tersebut dapat memberikan gelar akademik (sarjana, magister, dan doktor), gelar
profesi/spesialis, dan gelar vokasi.
[15]
Ririn Handayani, "Pendidikan dan Revolusi 4.0", dalam Koran
Jakarta edisi Rabu, 25 Juli 2018, melalui http://www.koran-jakarta.com/pendidikan-dan-revolusi-4-0/ , diakses
pada hari Jumat, tanggal 6 Oktober 2018, pukul 06.59 WIB.
Komentar
Posting Komentar