MAKKI DAN
MADANI
Disusun Oleh:
Andrigo Wibowo
Ahmad Abdul Qiso
Anisa Intan
Permata Sari
Dosen Pengampu:
Dr. Supriyanto
Pasir
Diajukan
Kepada Program Pascasarjana
Fakultas
Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia
Unutk
Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah
Studi al-Qur’an dan Hadits
Yogyakarta
2017
A.
Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an
adalah pedoman utama bagi umat Islam, sudah menjadi keharusan bagi kita untuk
berusaha memahami dan menelaah pedoman tersebut, sehingga dapat menjadi
petunjuk bagi kehidupan. Al-Qur’an merupakan wahyu yang berasal dari Allah SWT
yang disampaikan kepada Muhammad melalui perantara Jibril.
Al-Qur’an
tidaklah proaktif memberi petunjuk layaknya manusia. Manusialah yang sejatinya
bertanggung-jawab membuat al-Qur’an aktif berbicara, sehingga ia berfungsi
sebagaimana layaknya petunjuk. Agar al-Qur’an proaktif memberi petunjuk pada
manusia ke arah jalan yang benar, Tuhan mengutus Muhammad yang diberi tugas
menjadi penyampai dan penjelas bagi al-Qur’an agar dia mudah dipahami manusia. [1]
Al-Qur’an
diturunkan saat Rasulallah berada di kota-kota, pedesaan, gunung-gunung,
lembah-lembag, lereng-lereng, serta pada waktu yang berbeda-beda, seperti
malam, siang, dalam perjalanan, di dalam kota, pada musim panas, musim dingin,
dalam keadaan damai maupun dalam keadaan perang.[2] Namun ulama-ulama klasik sepakat bahwa secara umum
ayat-ayat/surat-surat dalam al-Qur’an dikatagorisasikan ke dalam Makkiyah dan
Madaniyyah. Perbedaan antara Makkiyah dan Madaniyyah dalam teks menurut Nasr
Hamid Abu Zaid, merupakan perbedaan antara dua fase penting. Fase pertama meletakkan dasar-dasar
masyarakat baru yang berseberangan dengan masyarakat lama yang dominan di
Makkah.[3]
Fase kedua perkembangan wahyu adalah
fase “pembangunan social” dan legislasi pembangunan tersebut.[4]
Pada masa
Muhammad hidup, segala persoalan yang dirujukkan pada al-Qur’an dan hadits
tidak memerlukan metode intrepretasi, lantaran Muhammad mampu memberikan
penjelasan yang mudah ditangkap umat. Problem intrepertasi muncul pasca
Muhammad ketika al-Qur’an dan hadits berubah wujud menjadi ungkapan-ungkapan
tulisan dan kedua sumber itu mulai menyebar ke daerah-daerah luar di luar
masyarakat dan situasi ketika keduanya diturunkan. Berbagai metode interpertasi
yang dirumuskan para mujtahid dalam berijtihad memburu pesan Al-Qur’an
khususnya kemudian melahirkan berbagai disiplin seperti, Ulumul Qur’an.[5]
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa definisi makkiyah
dan madaniyah?
2.
Bagaimana metode mengetahui makkiyah dan madaniyah ?
3.
Apakah ciri-ciri makkiyah dan madaniyah?
4.
Bagaimana klasifikasi makkiyah dan
madaniyah?
5. Apakah urgensi
pengetahuan tentang makkiyah dan madaniyah?
C.
Metodologi penelitian
Metode yang
digunakan dalam makalah ini adalah metode penelitian kualitatif dengan jenis
penelitian keperpustakaan (library research), dengan pendekatan studi
kritis atas penelitian makki dan madani. Dengan melakukan penelaahan secara
teliti dengan buku-buku atau literatur yang berkaitan dengan pokok-pokok
pembahasan yang dibahas. Sumber bacaan merupakan bagian penunjang penelitian
yang esesnsial.
D.
Ruang lingkup penelitian atau pemabahasan
1. Pengertian
Makkiyah dan Madaniyah
Para sarjana muslim (ahli ulumul quran)
mendefiniskan terminologi Makkiyah dan Madaniyah pada umumnya menjadi
tiga pandangan yang didasarkan kepada tempat dan waktu turunnya serta obyek
pembicaraan.[6]
Definsi
berdasarkan tempat:
أن المكي ما نزل بمكة ولو بعد الهجرة , والمدنَي مانزل بالمدينة.
“Makkiyah adalah
(ayat-ayat al Qur’an) yang diturunkan di Makkah, walaupun turun sesudah hijarh,
sedangkan Madaniyah adalah (ayat-ayat al Qur’an) yang turun di Madinah”.
Pendapat tersebut menurut Fahd bin Abdirrahman Ar-Rumi tidak valid
dan tidak akomodatif mengingat bahwa hal tesebut tidak mencakup ayat-ayat yang
turun di tempat selain Mekkah[7]
dan Madinah dan sekitarnya[8].
Karena ayat al-Qur’an juga diturnkan di Tabuk, di Baitu-Muqaddas, di Tha’if,
sehingga definisi diatas tidak valid.[9]
Misalnya surat At-Taubah [9]: 42 diturunkan di Tabuk, surat Az Zukhruf [43]: 45
diturunkan ditengah perjalanan antara Mekkah dan Madinah. Kedua ayat tersebut,
jika melihat definisi berdasarkan tempat ini, tidak dapat dikatagorikan dalam
Makkiyah dan Madaniyyah.[10]
Definisi
berdasarkan waktu:
أن المكي مانزل قبل الهجرة , والمدنيّ مانزل بعدها , سواء نزل بمكة ام
بالمد ينة , عام الفتح او حجة الوداع , ام بسفر من الاسفار
“Makkiyah
adalah (ayat-ayat al-Qur’an) yang turun sebelum hijrah, adapun Madaniyah adalah
(ayat-ayat al-Qur’an) turun setelah hijrah, sekalipun turun di Makkah (tetap
dikatagorikan Madaniyah) atau turun di Madinah (tetap dikatagorikan Makkiyah),
pada penaklukan Makkah[11],
haji wada,[12]
atau dalam perjalanan.[13]
Dengan demikian, surat An-Nisa [4]: 58 termasuk katagori Madaniyah
kendatipun turun di Mekkah, yaitu pada peristiwa terbukanya kota Mekkah (fath
Makkah). Begitupun surat Al-Maidah [5]: 3 termasuk katagori madaniyah
kendatipun tidak diutunkan di Madinah karena ayat itu diturunkan pada peristiwa
haji wada’.[14]
Definisi berdasarkan obyek pembicaraan:
أن المكي ماوقع خطابا لأهل مكة , والمدني ماوقع خطابا لأهل المدينة
“Makkiyah
adalah (ayat-ayat al-Qur’an) yang ditujukan kepada penduduk Makkah, adapun
Madaniyah adalah (ayat-ayat al-Qur’an) yang ditujukan kepada penduduk Madinah.
Jalaluddin al-Suyuti mengutip dari ‘Ubaid dalam kitab Fadha’il dari
Mahmun bin Mahran: apa yang terdapat dalam al-Qur’an berupa “Ya ayyuh an
nas” atau “Ya bain Adam” maka ia termasuk Makkiyah dan apa yang
terdapat dalam al-Qur’an berupa “Ya Ayyuha al ladzina amanu” maka ia
termasuk madaniyah.[15]
Namun menurut Al-Hishar sebagaimana dikutip Suyuthi mengatakan:
telah kita sepakati jika surat An-Nisa merupakan surat Madaniyyah, yang awalnya
adalah: “Ya ayyuha an-nas” (An-Nisa [4]:1)[16],
dan surat Al-Hajj adalah Makkiyah, padahal di dalamya terdapat “Ya Ayyuha al
ladzina amanu ar ka’u was judu” (Al Hajj [22]: 77).[17]
Al-Qur’an di Mekkah memberantas permusuhan dan menghancurkan
keyakinan-keyakinan mereka yang palsu, dengan hujjah dan dalil, serta menolak
hal-hal yang syubhat, membatalkan segala khurafat, menguak kebatilan dan
kesesatan. Sedangkan Al-Qur’an turun kepada orang-orang Islam di Madinah meluaskan hokum-hukum agama dan menggerakkan
kaidah-kaidah serta membangun masyarakat dan meletakkan dasar-dasar kekuasaan.[18]
2.
Metode Mengetahui Makkiyah dan
Madaniyah
Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyyah bisa diketahui lewat salah satu
dari dua metode berikut:[19]
a.
Metode Naqlis-Sima’i
(Kutiapan lisan)
Metode Naqlis-Sima’i adalah ayat-ayat dan surat-surat yang
kita kenal bahwa ia adalah Makkiyah atau Madaniyyah degan cara periwayatan dari
salah satu shahabat yang hidup pada periode wahyu, dan mereka meyaksikan
turunnya ayat. Atau dari salah satu tabi’in yang telah mendengar dari sabahat.
Al Qodhi Abu
Bakar dalam bukunya “al Intishar” berkata:
Pengetahuan
mengenai Makkiyah dan Madaniyah mengacu kepada hafalan para sahabat dan
tabi’in, tidak berasal dari Nabi saw, meskipun hanya berupa komentar.[20]
Adapun contoh ayat yang diketahui dari sahabat adalah surat
Al-Anfal: 64, yang menurut Ibnu Abbas ayat ini diturunkan saat Umar Ibnu
Khattab masuk Islam.[21]
b.
Metode Qiyas-Ijtihadi
Metode Qiyas-Ijtihadi adalah melakakuan pengkajian terhadap
ayat-ayat dan surat-surat Makkiyah dan Madaniyah serta yang “belum ada” nash
yang menjelaskan tempat turunnya. Jika ditemukan karaktersistik surat-surat
Madaniyah, maka menyebutnya madaniyah. Hal ini melalui ijtihad dan qiyas.
Fahd mengutip
dari Zarlasyi dari Al-Jabiri bahwa untuk mengetahui ayat-ayat Makkiyah dan
Madaniyah melalui metode Qiyas dengan cara memperhatikan beberapa cirri-ciri
berikut:
1)
Setiap yang didalamnya terdapat kalimat “Ya ayyuha an-nas”
2)
Setiap yang didalamnya terdapat “Kalla”
3)
Diawali huruf Hijaiyah, kecuali surat Az Zahrawain (al-Baqarah
dan Al Imran) serta ar-Ra’du.
4)
Didalamny ada kisah Adam dan Iblis, kecuali ath-thulah (keadaan
yang mulia; al halal ar Rofi’ah)
5)
Di dalamnya terdapat kisah-kisah Nabi-nabi dan ummat Islam zaman
dahulu.
Semua katagori yang meliputi cirri-ciri tersebut di atas, adalah
surat Makkiyah, sedangkan setiap surat yang memuat kewajiban-kewajiban dan
hokum adalah Madaniyah.[22]
3.
Ciri-ciri Spesifik Makkiyah dan
Madaniyah
Para sarjana Muslim dalam merumuskan
cirri-ciri spesifik Makkiyah dna Madaniyyah dalam menguraikan kronologis
al-Qur’an, mereka mangajukan dua titik tekan dalam ushanya itu, yaitu titik
tekan analogi dan titik tekan tematis.
1)
Makkiyah
a.
Di dalamnya terdapat ayat sajadah
b.
Ayat-ayatnya dimulai dengan kata “Kalla”
c.
Dimulai dengan ungkapan “Ya ayyuha an nas” dan tidak ada
ayat yang dimulai dengan ungkapan “Ya ayyuha al-ladzina” kecuali dalam
surat Hajj [22], karena dipenghujung surat itu terdapat ayat yang dimulai
dengan ungkapan “Ya ayyuha al-ladzina”.
d.
Ayat-ayatnya mengandung tema kisah para nabi dan umat-umat
terdahulu
e.
Ayat-ayatnya berkisah tentang nabi Adam dan Iblis, kecuali surat
al-Baqarah [2]; dan
f.
Ayat-ayat yang dimulai dengan huruf-huruf terpotong-potong, seperti:
alif lam mim dan sebagainya, kecuali surat al Baqarah [2] dan al Imran [3].
2)
Madaniyyah
a.
Mengandung ketentuan-ketentuan faraid dan had
b.
Mengandung sindiran-sindiran terhadap kaum munafik, kecuali surat
al-Ankabut [29]; dan
c.
Mengandung uraian tentang pedebatan dengan ahli Kitabin.
Adapun
berdasarkan titik tekan tematis, yaitu:
1)
Makkiyah
a.
Menjelaskan ajakan monotheisme, Ibadah kepada Allah semata,
penetapan risalah kenabian, penetapan hari kebangkitan dan pembalasan, uraian
tentang kiamat dan prihalnya, neraka dan siksanya, surga dan kenikmatannya, dan
mendebat kelompok musyrikin dengan argument-argumen rasional dan naqli.
b.
Menetapkan fondasi-fondasi umum bagi pembentukan hukum syara’ dan
keutamaan-keutamaan akhlak yang harus dimiliki anggota masyarakat.
c.
Menuturkan kisah para Nabi dan umat-mat terdahulu
d.
Ayat dan suratnya pendek-pendek dan nada serta perkataannya agak
keras; dan
e.
Banyak mengandung kata-kata sumpah.
2)
Madaniyyah
a.
Menjeaskan permasalahan Ibadah, muamalah, hudud, rumah tangga,
warisan, jihad, sosial, pemerintahan, dan hukum syara’.
b.
Mengkhitabi ahli kitab Yahudi dan Nashrani dan mengajaknya masuk
Islam
c.
Mengungkap langkah-langkah orang munafik
d.
Surat dan sebagian ayatnya panjang-panjang serta menjelask hokum dengan jelas.
4.
Klasifikasi Ayat-ayat Makkiyah dan
Madaniyah
Al-Qur’an sebagaimana yang sering kita baca terdiri atas 114 surat.
Adapun pengklasifikasiannya sebagaimana yang termaktub dalam “Al-Burhan fi
ulum al-Qur’an” bahwa surat-surat Makkiyah terdiri atas 85 surat, sedangkan
surat-surat Madaniyah terdiri atas 29 surat.[24]
Adapun
surat-surat Makkiyah berserta urutan turunnya yaitu:[25]
Urutan
Turun
|
Nama surat
|
Urutan
Turun
|
Nama surat
|
Urutan
Turun
|
Nama surat
|
Urutan
Turun
|
Nama surat
|
1
|
Al-Alaq
|
23
|
An
Najm
|
44
|
Maryam
|
65
|
Al
Jastiyah
|
2
|
Al
Qolam
|
24
|
‘Abasa
|
45
|
Toha
|
66
|
Al
Ahqof
|
3
|
Al
Muzammil
|
25
|
Al
Zalzalah
|
46
|
Al
Waqi’ah
|
67
|
Az
Dzariat
|
4
|
Mudatshir
|
26
|
As
Syam
|
47
|
As
Syua’ara
|
68
|
Al
Ghasyiah
|
5
|
Al
Lahab
|
27
|
Al
Buruj
|
48
|
An
Naml
|
69
|
Al
Kahfi
|
6
|
At
Takwir
|
28
|
At
Tin
|
49
|
Al
Qoshash
|
70
|
An
Nahl
|
7
|
Al
‘Ala
|
29
|
Al
Quraisy
|
50
|
Al
Isra’
|
71
|
Nuh
|
8
|
Al
Lail
|
30
|
Al
Qori’ah
|
51
|
Yunus
|
72
|
Ibrahim
|
9
|
Al
Fajr
|
31
|
Al
Qiyamah
|
52
|
Hud
|
73
|
Al
Anbiya
|
10
|
Ad
Dhuha
|
32
|
Al
Humazah
|
53
|
Yusuf
|
74
|
Al
Mukminun
|
11
|
Al
Insyirah
|
33
|
Al
Mursalat
|
54
|
Al
Hijr
|
75
|
|
12
|
Al
‘Ashr
|
34
|
Qof
|
55
|
Al
An’am
|
76
|
At
Tur
|
13
|
Al
‘Adiat
|
35
|
Al
Balad
|
56
|
As
Shoffat
|
77
|
Al
Mulk
|
14
|
Al
Kaustsar
|
36
|
At
Thariq
|
57
|
Luqman
|
78
|
Al
Haqqah
|
15
|
At
Takastur
|
37
|
Al
Qomar
|
58
|
Saba
|
79
|
Al
Ma’arij
|
16
|
Al
Maun
|
38
|
Shod
|
59
|
Az
Zumar
|
80
|
An
Naba
|
18
|
Al
Kafirun
|
39
|
Al
‘Araf
|
60
|
Al
Mukmin
|
81
|
An
Nazi’at
|
19
|
Al
fil
|
40
|
Al
Jin
|
61
|
Fusilat
|
82
|
Al
Infithar
|
20
|
Al
Falaq
|
41
|
Yasin
|
62
|
As
Syura
|
83
|
Al
Insyiqoq
|
21
|
An
Nas
|
42
|
Al
Furqon
|
63
|
Az
Zukhruf
|
84
|
Ar
Rum
|
22
|
Al
Ikhlas
|
43
|
Al
Malaaikah
|
64
|
Ad
Dukhan
|
85
|
Al
Ankabut[26]
|
Adapun
surat-surat Madaniyah berserta urutan turunnya yaitu:[27]
Urutan
Turun
|
Nama surat
|
Urutan
Turun
|
Nama surat
|
Urutan
Turun
|
Nama surat
|
Urutan
Turun
|
Nama surat
|
1
|
Al
Baqarah
|
8
|
Al
Hadid
|
15
|
Al
Hasyr
|
22
|
|
2
|
Al
Anfal
|
9
|
Muhammad
|
16
|
An
Nasr
|
23
|
As
Shof
|
3
|
Al
Imran
|
10
|
Ar
Ra’du
|
17
|
An
Nur
|
24
|
Al
Jumu’ah
|
4
|
Al
Ahzab
|
11
|
Ar
Rahman
|
18
|
Al
Hajj
|
25
|
At
Tagabun
|
5
|
Al
Mumtahanah
|
12
|
Al
Insan
|
19
|
Al
Munafiqun
|
26
|
Al
Fath
|
6
|
An
Nisa
|
13
|
At
Thalaq
|
20
|
Al
Mujadalah
|
27
|
At
Taubah
|
7
|
Al
Zal zalah
|
14
|
Al
Bayyinnah
|
21
|
Al
Hujarat
|
28
|
Al
Ma’idah
|
29
|
Al
Fatihah[28]
|
Abu Al Qasim Al-Naisaburi melakukan pengklasifikasian kronologi
al-Qur’an berdasarkan sistem penanggalan al-Qur’an berdasarkan sejarah masa
turunnya. Ia membagi kronologi Al-Qur’an dalam tiga tahap, yaitu tahap
permulaan (marhalah ibtida’iyah[29]),
tahap pertengahan (marhalah
mutawasithah[30]),
dan tahap akhir (marhalah khatamiyah[31]).[32]
Ada pertanyaan menarik dari
Aksin Wijaya terkait dengan katagorisasi Makkiyan dan Madaniyyah, apakah katagorisasi makkiyah dan madaniyyah
itu bersifat tasyri’ atau ijtihadi? Dan apakah hasil katagorisasi itu bersifat
final, ataukah tidak?
Menurut Nash Hamid, sebenarnya, tidak satupun ayat atau hadit yang
memerinthkan secara normatif mengetahui katagorisasi ayat-ayat yang turun di
Mekkah dan Madinah. Katagorisasi itu dilakukan untuk memudahkan kita mengetahui
ayat-ayat yang turun dalam situasi tertentu, dan diasumsikan pengetahuan
mengenai hal itu akan membantu memahami maksud ayat-ayat tersebut.. itu
artinya, katagorisasi makkiyah dan madaniyah hanya masalah ijtihadiyah belaka.[33]
Jadi katagorisasi ini tidak bersifat final, namun masih membuka ijtihad dari
para ulama untuk memahami tentang katagorusasi ini.
5. Urgensi
Pengetahuan tentang Makkiyah dan Madaniyah
An-Naisaburi, dalam kitabnya At-Tanbih
‘ala Fadhl ‘Ulumul Al-Qur’an, memandang subyek Makkiyah dan Madaniyah
sebagai ilmu al-Qur’an yang paling utama. Sementara itu, Mana’ul Quthan mencoba
lebih jauh lagi dalam mendiskripsikan urgensi mengetahui Makkiyah dan Madaniyyah,
sebagai berikut:[34]
a.
Membantu dalam menafsirkan Al-Qur’an
Pengetahuan
tentang peristiwa-peristiwa di seputar turunnya al-Qur’an tentu sangat membantu
memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, kendatipun ada teori yang
mengatakan bahwa yang harus menjadi patokan keumuman redaksi ayat dan bukan
kekhususan sebabnya. Dengan mengetahui kronologis Al-Qur’an pula, seorang
mufassir dapat memecahkan makna kontradiktif dalam dua ayat yang berbeda, yaitu
dengan pemecahan konsep nasikh-mansukh yang
hanya bisa diketahui melalui kronologi Al-Qur’an.
b.
Pedoman bagi langkah-langkah Dakwah
Setiap
kondisi tentu saja memerlukan ungkapn-ungkapan yang relevan. Ungkanpanungkapn
dan intonasi berbeda yang digunakan ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyyah
memberikan informasi metodologi bagi cara-cara menyampaikan dakwah agar relevan
dengan orang-orang yang diserunya. Oleh karena itu, dakwah Islam berhasil
mengetuk hati dan menyembuhkan segala penyakit rohani orang-orang yang
deserunya. Disamping itu, setiap langkah-langkah dakwah memiliki obyek kajian
dan metode-metode tertentu, seiring dengan perbedaan kondisi sosio-kultural
manusai. Periodesasi Makkiyah dan Maadaniyyah telah memberikan contoh untuk
itu.
6.
Memberi informasi tentang sirah kenabian
Penahapan
turunnya wahyu seiring dengan perjalanan dakwah Nabi, baik di Mekah atau di
Madinah , dimulai sejak diturunkannya wahyu pertama sampai diturunkannya wahyu
terakhir. Al-Qur’an adalah rujukan otentik bagi perjalanan dakwah Nabi itu.
Informasi tidak bisa diragukan lagi.
Al-Zarqani dalam kitabnya Manahilul ‘Irfan
yang menerangkan kegunaan ilmu makkiyah
dan madaniyah, antara lain:[35]
a. Dapat membedakan dan mengetahui ayat yang
mansukh dan nasikh. Yakni apabila terdapat dua ayat atau lebih tentang suatu
masalah, sedang hukum didalamnya bertentangan, dan ayat yang satu adalah
makiyah sedang yang lain adalah madanuiyah. Maka sudah pasti ayat makiyah
itulah yang dinasakh oleh ayat madaniyah, karena ayat madaniyah adalah yang
terakhir turunnya.
b. Dapat mengetahui sejarah hukum islam dan
perkembangannya secara umum. Sehingga mampu meningkatkan keyakinan terhadap
ketinggian kebijaksanaan islam didalam mendidik manusia, baik secara perorangan
maupun masyarakat.
c. Dapat meningkatkan keyakinan terhadap
kebesaran, kesucian dan keaslian Al-Qur’an.
*) Makalah Prarevisi
[1] Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an: Memburu pesan Tuhan di balik fenomena
budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 1.
[2] Fahd bin Abdirrahman Ar-Rumi, Ulumul
Qur’an: Studi kompleksitas al-Qur’an, penerjemah: Amirul Hasan dan Muhammad
Halabi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), hlm. 163.
[3]
Pada fase ini,
teks difokuskan pada upaya pembentukan nalar baru bagi masyarakat baru, yang
tercemin pada akidah tauhid dan
penolakan terhadap kemusyrikan.
[4]
Nasr Hamid Abu
Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik
terhadap ulumum Qur’an, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2016), hlm. 8. Fase kedua ini dimulai seiring dengan
stabilitas masyarakat baru di wilayah yang dimungkinkan menjadi dasar bagi
suatu Negara yang memiliki sifat-sifat dan batas-batas wilayah yang jelas.
Wilayah tersebut adalah Madinah.
[5] Ibid.,
Aksin Wijaya, hlm. 2-3. Sebagaimana
dikutip Aksin Wijaya dari Manna Qothan, menurut pendapat yang umum digunakan
para ahli, ulumul Qur’an dipahami sebagai “suatu ilmu yang membahas tentang
unsur-unsur yang berhubungan dengan al-Qur’an, baik yang berupa Asbab nuzul, pengumpulan dan
penyusunannya secara urut, pembukaannya, makkiyah dan madaniyyahnya, maupun
pengetahuan tentang nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabihat, tafsir
dan takwil, i’jaz dan lain sebagainya
yang berhubungan dengan al-Qur’an.
[6]
Hal ini setidak
bisa dilihat dalam tiga buku ulumul quran , yaitu: Badr Al-Din Muhammad bin
‘Abdillah Az-Zarkasyi, Al Burah fi Ulumul Qur’an, (Kairo: Darul Hadits,
2006), hlm. 132, Jalaluddin al-Suyuti, Al-Itqan fi Ulum al-Quran, Jilid
I, (Beirut: Dar Al—Kotob Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 19-20, dan Muhammad Abdul Azim
al-Zarqani, (Beirut: Dar Al—Kotob Al-Ilmiyah, 2010), hlm. 111-112.
[7] Seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyah.
Lihat Lihat Mana’ul Quthan, Pembahsan Ilmu Al Qur’an (terjemahan dari
Mabahis fi Ulumil Qur’an), Penerjemah: Halimuddin, (Jakarta: PT Renika
Cipta, 1993), hlm. 64.
[10] Rosihan Anwar, Ulumul Quran, (Bandung:CV
Pustaka Setia, 2013), hlm. 103. Hal ini senada dengan pendapat Mana’ul Qathun
dalam Pembahsan Ilmu Al Qur’an, hlm. 64.
[11] Ayat al-Qur’an yang turun ketika Fath
ul Makkah adalah surat An-Nisa [4]: 58. Lihat Mana’ul Quthan, hlm. 64.
[12] Ayat al-Qur’an yang turun ketika Haji
Wada’ adalah surat Al Maidah[5]: 3. Lihat Mana’ul Quthan, hlm. 64
[13] Ayat al-Qur’an yang turun ketika
diperjalanan misalanya surat Az Zukhruf [43]: 45 diturunkan ditengah perjalanan
antara Mekkah dan Madinah. Lihat Rosihan Anwar, 103.
[14] Lihat, Manna Al-Qaththan dalam mabahits
fi Ulum al-Qur’an, sebagaimana dikutip Rosihan Anwar, Ulumul Quran, (Bandung:CV
Pustaka Setia, 2013), hlm. 102.
[15]
Jalaluddin al-Suyuti,
Al-Itqan fi Ulum al-Quran, Jilid I, (Beirut: Dar Al—Kotob Al-Ilmiyah,
2012), hlm. 31
[16]
Hal ini
sebagaimana dikutip As-Suyuthi dalam bukunya Al-Itqan fi Ulum al-Quran dari Abu ‘Ubai di dalam bukunya “Fadailul
Qur’an” dari Al bin Abi Talhah, bahwa surat al-Baqarah, Al Imran, An-nisa
dan beberapa surat lainnya merupakan surat Madaniyah. Lihat As-Suyuti, hlm. 22.
[17]
Ibid., Jalaluddin al-Suyuti, hlm. 31. Hal ini
sebagaimana dikutip As-Suyuthi dalam bukunya Al-Itqan fi Ulum al-Quran dari Abu Ja’far An Nahasi dala bukunya “An
Nasikh Wal Mansukh” bahwa surat surat al-Kahfi, An Nisa dan beberapa surat
lainnya termasuk dalam Makkiyah. Lihat As-Suyuti, hlm. 20.
[24] Lihat, Badr Al-Din Muhammad bin
‘Abdillah Az-Zarkasyi, Al Burah fi Ulumul Qur’an, (Kairo: Darul Hadits,
2006), hlm. 136.
[26] Terkait dengan surat yang terakhir
turun dalam katagoriasasi surat Makkiyah ulam berbeda pendapat, menurut Ibnu
Abbas surat terakhir adalah Al Ankabut. Menurut Ad Dhahaka dan ‘Atha surat
terakhir adalah Al Mukminun, sedangkan menurut Mujahid surat terakhir adalah Al
Muthaffifin. Lihat, Az-Zarkasyi, Al Burah fi Ulumul Qur’an, hlm. 136
[27] Dikutip Az Zarkasyi dari As Staqoti
dari Ibnu Dharis dalam kitab “Fadailul
Qur’an”, hlm. 136-137.
[28] Ulama beberda pendapat terkait
katagorisasi surat pembuka al-Qur’an “fa fatiha al kitab” menurut Ibnu
Abbas, Ad Dhuha, Al Maqotil, dan ‘Atha, ia merupakan Makkiyah, sedangkan
menurut Muhajid ia masuk kedalam Madaniyah. Lihta, Az Zarkasyi, hlm. 137
[29] Surat-surat yang termasuk katagori marhalah ibtida’iyah adalah Al-‘Alaq [96], Al Mudatstir [74], At-Takwir
[81], Al-A’la [87], Al Lail [92], Al
Insyirah [94], Al ‘Adiyah [100], At Takwir [102], dan An Najm [53].
[30] Diantara surat-surat yang masuk
katagori marhalah mutawasithah fi Makkah adalah
‘Abasa [80], At-Tin [95], Al Qori’ah [101], Al-Qiyamah [75], Al-Mursalat [77],
Al-Balad [90], dan Al-Hijr [15].
[31] Diantara surat-surat yang masuk
katagori marhalah khatamiyah fi Makkah adalah
Ash-Shaffat [37] , Az-Zukhruf [43], Ad-Dukhan [44], Adz-Dzariyat [51], Al-Kahfi
[18], Ibrahim [14], dan As-Sajdah [32].
Komentar
Posting Komentar