Makalah Studi Al-Qur’an dan Hadist Makki dan Madani



MAKALAH STUDI AL-QUR’AN DAN HADIST
MAKKI DAN MADANI
­


Disusun Oleh:
Andrigo Wibowo
Ahmad Abdul Qiso
Anisa Intan Permata Sari

Dosen Pengampu:
Dr. Supriyanto Pasir
Diajukan Kepada Program Pascasarjana
Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia
Unutk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah
Studi al-Qur’an dan Hadits
Yogyakarta
2017


A.    Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah pedoman utama bagi umat Islam, sudah menjadi keharusan bagi kita untuk berusaha memahami dan menelaah pedoman tersebut, sehingga dapat menjadi petunjuk bagi kehidupan. Al-Qur’an merupakan wahyu yang berasal dari Allah SWT yang disampaikan kepada Muhammad melalui perantara Jibril.
Al-Qur’an tidaklah proaktif memberi petunjuk layaknya manusia. Manusialah yang sejatinya bertanggung-jawab membuat al-Qur’an aktif berbicara, sehingga ia berfungsi sebagaimana layaknya petunjuk. Agar al-Qur’an proaktif memberi petunjuk pada manusia ke arah jalan yang benar, Tuhan mengutus Muhammad yang diberi tugas menjadi penyampai dan penjelas bagi al-Qur’an agar dia mudah dipahami manusia. [1]
Al-Qur’an diturunkan saat Rasulallah berada di kota-kota, pedesaan, gunung-gunung, lembah-lembag, lereng-lereng, serta pada waktu yang berbeda-beda, seperti malam, siang, dalam perjalanan, di dalam kota, pada musim panas, musim dingin, dalam keadaan damai maupun dalam keadaan perang.[2] Namun ulama-ulama klasik sepakat bahwa secara umum ayat-ayat/surat-surat dalam al-Qur’an dikatagorisasikan ke dalam Makkiyah dan Madaniyyah. Perbedaan antara Makkiyah dan Madaniyyah dalam teks menurut Nasr Hamid Abu Zaid, merupakan perbedaan antara dua fase penting. Fase pertama meletakkan dasar-dasar masyarakat baru yang berseberangan dengan masyarakat lama yang dominan di Makkah.[3] Fase kedua perkembangan wahyu adalah fase “pembangunan social” dan legislasi pembangunan tersebut.[4]
Pada masa Muhammad hidup, segala persoalan yang dirujukkan pada al-Qur’an dan hadits tidak memerlukan metode intrepretasi, lantaran Muhammad mampu memberikan penjelasan yang mudah ditangkap umat. Problem intrepertasi muncul pasca Muhammad ketika al-Qur’an dan hadits berubah wujud menjadi ungkapan-ungkapan tulisan dan kedua sumber itu mulai menyebar ke daerah-daerah luar di luar masyarakat dan situasi ketika keduanya diturunkan. Berbagai metode interpertasi yang dirumuskan para mujtahid dalam berijtihad memburu pesan Al-Qur’an khususnya kemudian melahirkan berbagai disiplin seperti, Ulumul Qur’an.[5]
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa definisi makkiyah dan madaniyah?
2.      Bagaimana metode mengetahui makkiyah dan madaniyah ?
3.      Apakah ciri-ciri makkiyah dan madaniyah?
4.      Bagaimana klasifikasi makkiyah dan madaniyah?
5.      Apakah urgensi pengetahuan tentang makkiyah dan madaniyah?
C.    Metodologi penelitian
Metode yang digunakan dalam makalah ini adalah metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian keperpustakaan (library research), dengan pendekatan studi kritis atas penelitian makki dan madani. Dengan melakukan penelaahan secara teliti dengan buku-buku atau literatur yang berkaitan dengan pokok-pokok pembahasan yang dibahas. Sumber bacaan merupakan bagian penunjang penelitian yang esesnsial.
D.    Ruang lingkup penelitian atau pemabahasan
1.      Pengertian Makkiyah dan Madaniyah
Para sarjana muslim (ahli ulumul quran) mendefiniskan terminologi Makkiyah dan Madaniyah pada umumnya menjadi tiga pandangan yang didasarkan kepada tempat dan waktu turunnya serta obyek pembicaraan.[6]
Definsi berdasarkan tempat:
أن المكي ما نزل بمكة ولو بعد الهجرة , والمدنَي مانزل بالمدينة.
“Makkiyah adalah (ayat-ayat al Qur’an) yang diturunkan di Makkah, walaupun turun sesudah hijarh, sedangkan Madaniyah adalah (ayat-ayat al Qur’an) yang turun di Madinah”.
Pendapat tersebut menurut Fahd bin Abdirrahman Ar-Rumi tidak valid dan tidak akomodatif mengingat bahwa hal tesebut tidak mencakup ayat-ayat yang turun di tempat selain Mekkah[7] dan Madinah dan sekitarnya[8]. Karena ayat al-Qur’an juga diturnkan di Tabuk, di Baitu-Muqaddas, di Tha’if, sehingga definisi diatas tidak valid.[9] Misalnya surat At-Taubah [9]: 42 diturunkan di Tabuk, surat Az Zukhruf [43]: 45 diturunkan ditengah perjalanan antara Mekkah dan Madinah. Kedua ayat tersebut, jika melihat definisi berdasarkan tempat ini, tidak dapat dikatagorikan dalam Makkiyah dan Madaniyyah.[10]
Definisi berdasarkan waktu:
أن المكي مانزل قبل الهجرة , والمدنيّ مانزل بعدها , سواء نزل بمكة ام بالمد ينة , عام الفتح او حجة الوداع , ام بسفر من الاسفار
“Makkiyah adalah (ayat-ayat al-Qur’an) yang turun sebelum hijrah, adapun Madaniyah adalah (ayat-ayat al-Qur’an) turun setelah hijrah, sekalipun turun di Makkah (tetap dikatagorikan Madaniyah) atau turun di Madinah (tetap dikatagorikan Makkiyah), pada penaklukan Makkah[11], haji wada,[12] atau dalam perjalanan.[13]
Dengan demikian, surat An-Nisa [4]: 58 termasuk katagori Madaniyah kendatipun turun di Mekkah, yaitu pada peristiwa terbukanya kota Mekkah (fath Makkah). Begitupun surat Al-Maidah [5]: 3 termasuk katagori madaniyah kendatipun tidak diutunkan di Madinah karena ayat itu diturunkan pada peristiwa haji wada’.[14]

Definisi berdasarkan obyek pembicaraan:
أن المكي ماوقع خطابا لأهل مكة , والمدني ماوقع خطابا لأهل المدينة
“Makkiyah adalah (ayat-ayat al-Qur’an) yang ditujukan kepada penduduk Makkah, adapun Madaniyah adalah (ayat-ayat al-Qur’an) yang ditujukan kepada penduduk Madinah.
Jalaluddin al-Suyuti mengutip dari ‘Ubaid dalam kitab Fadha’il dari Mahmun bin Mahran: apa yang terdapat dalam al-Qur’an berupa “Ya ayyuh an nas” atau “Ya bain Adam” maka ia termasuk Makkiyah dan apa yang terdapat dalam al-Qur’an berupa “Ya Ayyuha al ladzina amanu” maka ia termasuk madaniyah.[15]
Namun menurut Al-Hishar sebagaimana dikutip Suyuthi mengatakan: telah kita sepakati jika surat An-Nisa merupakan surat Madaniyyah, yang awalnya adalah: “Ya ayyuha an-nas” (An-Nisa [4]:1)[16], dan surat Al-Hajj adalah Makkiyah, padahal di dalamya terdapat “Ya Ayyuha al ladzina amanu ar ka’u was judu” (Al Hajj [22]: 77).[17]
Al-Qur’an di Mekkah memberantas permusuhan dan menghancurkan keyakinan-keyakinan mereka yang palsu, dengan hujjah dan dalil, serta menolak hal-hal yang syubhat, membatalkan segala khurafat, menguak kebatilan dan kesesatan. Sedangkan Al-Qur’an turun kepada orang-orang Islam di Madinah  meluaskan hokum-hukum agama dan menggerakkan kaidah-kaidah serta membangun masyarakat dan meletakkan dasar-dasar kekuasaan.[18]
                    
2.      Metode Mengetahui Makkiyah dan Madaniyah
Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyyah bisa diketahui lewat salah satu dari dua metode berikut:[19]
a.       Metode Naqlis-Sima’i (Kutiapan lisan)
Metode Naqlis-Sima’i adalah ayat-ayat dan surat-surat yang kita kenal bahwa ia adalah Makkiyah atau Madaniyyah degan cara periwayatan dari salah satu shahabat yang hidup pada periode wahyu, dan mereka meyaksikan turunnya ayat. Atau dari salah satu tabi’in yang telah mendengar dari sabahat.
Al Qodhi Abu Bakar dalam bukunya “al Intishar” berkata:
Pengetahuan mengenai Makkiyah dan Madaniyah mengacu kepada hafalan para sahabat dan tabi’in, tidak berasal dari Nabi saw, meskipun hanya berupa komentar.[20]
Adapun contoh ayat yang diketahui dari sahabat adalah surat Al-Anfal: 64, yang menurut Ibnu Abbas ayat ini diturunkan saat Umar Ibnu Khattab masuk Islam.[21]
b.      Metode Qiyas-Ijtihadi
Metode Qiyas-Ijtihadi adalah melakakuan pengkajian terhadap ayat-ayat dan surat-surat Makkiyah dan Madaniyah serta yang “belum ada” nash yang menjelaskan tempat turunnya. Jika ditemukan karaktersistik surat-surat Madaniyah, maka menyebutnya madaniyah. Hal ini melalui ijtihad dan qiyas.
Fahd mengutip dari Zarlasyi dari Al-Jabiri bahwa untuk mengetahui ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah melalui metode Qiyas dengan cara memperhatikan beberapa cirri-ciri berikut:
1)      Setiap yang didalamnya terdapat kalimat “Ya ayyuha an-nas”
2)      Setiap yang didalamnya terdapat “Kalla”
3)      Diawali huruf Hijaiyah, kecuali surat Az Zahrawain (al-Baqarah dan Al Imran) serta ar-Ra’du.
4)      Didalamny ada kisah Adam dan Iblis, kecuali ath-thulah (keadaan yang mulia; al halal ar Rofi’ah)
5)      Di dalamnya terdapat kisah-kisah Nabi-nabi dan ummat Islam zaman dahulu.
Semua katagori yang meliputi cirri-ciri tersebut di atas, adalah surat Makkiyah, sedangkan setiap surat yang memuat kewajiban-kewajiban dan hokum adalah Madaniyah.[22]



3.      Ciri-ciri Spesifik Makkiyah dan Madaniyah
Para sarjana Muslim dalam merumuskan cirri-ciri spesifik Makkiyah dna Madaniyyah dalam menguraikan kronologis al-Qur’an, mereka mangajukan dua titik tekan dalam ushanya itu, yaitu titik tekan analogi dan titik tekan tematis.
Berdasarkan titik tekan analogis:[23]
1)      Makkiyah
a.       Di dalamnya terdapat ayat sajadah
b.      Ayat-ayatnya dimulai dengan kata “Kalla”
c.       Dimulai dengan ungkapan “Ya ayyuha an nas” dan tidak ada ayat yang dimulai dengan ungkapan “Ya ayyuha al-ladzina” kecuali dalam surat Hajj [22], karena dipenghujung surat itu terdapat ayat yang dimulai dengan ungkapan “Ya ayyuha al-ladzina”.
d.      Ayat-ayatnya mengandung tema kisah para nabi dan umat-umat terdahulu
e.       Ayat-ayatnya berkisah tentang nabi Adam dan Iblis, kecuali surat al-Baqarah [2]; dan
f.       Ayat-ayat yang dimulai dengan huruf-huruf terpotong-potong, seperti: alif lam mim dan sebagainya, kecuali surat al Baqarah [2] dan al Imran [3].
2)      Madaniyyah
a.       Mengandung ketentuan-ketentuan faraid dan had
b.      Mengandung sindiran-sindiran terhadap kaum munafik, kecuali surat al-Ankabut [29]; dan
c.       Mengandung uraian tentang pedebatan dengan ahli Kitabin.
Adapun berdasarkan titik tekan tematis, yaitu:
1)      Makkiyah
a.       Menjelaskan ajakan monotheisme, Ibadah kepada Allah semata, penetapan risalah kenabian, penetapan hari kebangkitan dan pembalasan, uraian tentang kiamat dan prihalnya, neraka dan siksanya, surga dan kenikmatannya, dan mendebat kelompok musyrikin dengan argument-argumen rasional dan naqli.
b.      Menetapkan fondasi-fondasi umum bagi pembentukan hukum syara’ dan keutamaan-keutamaan akhlak yang harus dimiliki anggota masyarakat.
c.       Menuturkan kisah para Nabi dan umat-mat terdahulu
d.      Ayat dan suratnya pendek-pendek dan nada serta perkataannya agak keras; dan
e.       Banyak mengandung kata-kata sumpah.
2)      Madaniyyah
a.       Menjeaskan permasalahan Ibadah, muamalah, hudud, rumah tangga, warisan, jihad, sosial, pemerintahan, dan hukum syara’.
b.      Mengkhitabi ahli kitab Yahudi dan Nashrani dan mengajaknya masuk Islam
c.       Mengungkap langkah-langkah orang munafik
d.      Surat dan sebagian ayatnya panjang-panjang  serta menjelask hokum dengan jelas.

4.      Klasifikasi Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah
Al-Qur’an sebagaimana yang sering kita baca terdiri atas 114 surat. Adapun pengklasifikasiannya sebagaimana yang termaktub dalam “Al-Burhan fi ulum al-Qur’an” bahwa surat-surat Makkiyah terdiri atas 85 surat, sedangkan surat-surat Madaniyah terdiri atas 29 surat.[24]
Adapun surat-surat Makkiyah berserta urutan turunnya yaitu:[25]
Urutan
Turun
Nama surat
Urutan
Turun
Nama surat
Urutan
Turun
Nama surat
Urutan
Turun
Nama surat
1
Al-Alaq
23
An Najm
44
Maryam
65
Al Jastiyah
2
Al Qolam
24
‘Abasa
45
Toha
66
Al Ahqof
3
Al Muzammil
25
Al Zalzalah
46
Al Waqi’ah
67
Az Dzariat
4
Mudatshir
26
As Syam
47
As Syua’ara
68
Al Ghasyiah
5
Al Lahab
27
Al Buruj
48
An Naml
69
Al Kahfi
6
At Takwir
28
At Tin
49
Al Qoshash
70
An Nahl
7
Al ‘Ala
29
Al Quraisy
50
Al Isra’
71
Nuh
8
Al Lail
30
Al Qori’ah
51
Yunus
72
Ibrahim
9
Al Fajr
31
Al Qiyamah
52
Hud
73
Al Anbiya
10
Ad Dhuha
32
Al Humazah
53
Yusuf
74
Al Mukminun
11
Al Insyirah
33
Al Mursalat
54
Al Hijr
75

12
Al ‘Ashr
34
Qof
55
Al An’am
76
At Tur
13
Al ‘Adiat
35
Al Balad
56
As Shoffat
77
Al Mulk
14
Al Kaustsar
36
At Thariq
57
Luqman
78
Al Haqqah
15
At Takastur
37
Al Qomar
58
Saba
79
Al Ma’arij
16
Al Maun
38
Shod
59
Az Zumar
80
An Naba
18
Al Kafirun
39
Al ‘Araf
60
Al Mukmin
81
An Nazi’at
19
Al fil
40
Al Jin
61
Fusilat
82
Al Infithar
20
Al Falaq
41
Yasin
62
As Syura
83
Al Insyiqoq
21
An Nas
42
Al Furqon
63
Az Zukhruf
84
Ar Rum
22
Al Ikhlas
43
Al Malaaikah
64
Ad Dukhan
85
Al Ankabut[26]

Adapun surat-surat Madaniyah berserta urutan turunnya yaitu:[27]
Urutan
Turun
Nama surat
Urutan
Turun
Nama surat
Urutan
Turun
Nama surat
Urutan
Turun
Nama surat
1
Al Baqarah
8
Al Hadid
15
Al Hasyr
22

2
Al Anfal
9
Muhammad
16
An Nasr
23
As Shof
3
Al Imran
10
Ar Ra’du
17
An Nur
24
Al Jumu’ah
4
Al Ahzab
11
Ar Rahman
18
Al Hajj
25
At Tagabun
5
Al Mumtahanah
12
Al Insan
19
Al Munafiqun
26
Al Fath
6
An Nisa
13
At Thalaq
20
Al Mujadalah
27
At Taubah
7
Al Zal zalah
14
Al Bayyinnah
21
Al Hujarat
28
Al Ma’idah






29
Al Fatihah[28]

Abu Al Qasim Al-Naisaburi melakukan pengklasifikasian kronologi al-Qur’an berdasarkan sistem penanggalan al-Qur’an berdasarkan sejarah masa turunnya. Ia membagi kronologi Al-Qur’an dalam tiga tahap, yaitu tahap permulaan (marhalah ibtida’iyah[29]), tahap pertengahan (marhalah mutawasithah[30]), dan tahap akhir (marhalah khatamiyah[31]).[32]
 Ada pertanyaan menarik dari Aksin Wijaya terkait dengan katagorisasi Makkiyan dan Madaniyyah, apakah katagorisasi makkiyah dan madaniyyah itu bersifat tasyri’ atau ijtihadi? Dan apakah hasil katagorisasi itu bersifat final, ataukah tidak?
Menurut Nash Hamid, sebenarnya, tidak satupun ayat atau hadit yang memerinthkan secara normatif mengetahui katagorisasi ayat-ayat yang turun di Mekkah dan Madinah. Katagorisasi itu dilakukan untuk memudahkan kita mengetahui ayat-ayat yang turun dalam situasi tertentu, dan diasumsikan pengetahuan mengenai hal itu akan membantu memahami maksud ayat-ayat tersebut.. itu artinya, katagorisasi makkiyah dan madaniyah hanya masalah ijtihadiyah belaka.[33] Jadi katagorisasi ini tidak bersifat final, namun masih membuka ijtihad dari para ulama untuk memahami tentang katagorusasi ini.
5.      Urgensi Pengetahuan tentang Makkiyah dan Madaniyah
An-Naisaburi, dalam kitabnya At-Tanbih ‘ala Fadhl ‘Ulumul Al-Qur’an, memandang subyek Makkiyah dan Madaniyah sebagai ilmu al-Qur’an yang paling utama. Sementara itu, Mana’ul Quthan mencoba lebih jauh lagi dalam mendiskripsikan urgensi mengetahui Makkiyah dan Madaniyyah, sebagai berikut:[34]
a.       Membantu dalam menafsirkan Al-Qur’an
Pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa di seputar turunnya al-Qur’an tentu sangat membantu memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, kendatipun ada teori yang mengatakan bahwa yang harus menjadi patokan keumuman redaksi ayat dan bukan kekhususan sebabnya. Dengan mengetahui kronologis Al-Qur’an pula, seorang mufassir dapat memecahkan makna kontradiktif dalam dua ayat yang berbeda, yaitu dengan pemecahan konsep nasikh-mansukh yang hanya bisa diketahui melalui kronologi Al-Qur’an.
b.      Pedoman bagi langkah-langkah Dakwah
Setiap kondisi tentu saja memerlukan ungkapn-ungkapan yang relevan. Ungkanpanungkapn dan intonasi berbeda yang digunakan ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyyah memberikan informasi metodologi bagi cara-cara menyampaikan dakwah agar relevan dengan orang-orang yang diserunya. Oleh karena itu, dakwah Islam berhasil mengetuk hati dan menyembuhkan segala penyakit rohani orang-orang yang deserunya. Disamping itu, setiap langkah-langkah dakwah memiliki obyek kajian dan metode-metode tertentu, seiring dengan perbedaan kondisi sosio-kultural manusai. Periodesasi Makkiyah dan Maadaniyyah telah memberikan contoh untuk itu.
6.      Memberi informasi tentang sirah kenabian
Penahapan turunnya wahyu seiring dengan perjalanan dakwah Nabi, baik di Mekah atau di Madinah , dimulai sejak diturunkannya wahyu pertama sampai diturunkannya wahyu terakhir. Al-Qur’an adalah rujukan otentik bagi perjalanan dakwah Nabi itu. Informasi tidak bisa diragukan lagi.

Al-Zarqani dalam kitabnya Manahilul ‘Irfan yang menerangkan kegunaan ilmu makkiyah dan madaniyah, antara lain:[35]
a.       Dapat membedakan dan mengetahui ayat yang mansukh dan nasikh. Yakni apabila terdapat dua ayat atau lebih tentang suatu masalah, sedang hukum didalamnya bertentangan, dan ayat yang satu adalah makiyah sedang yang lain adalah madanuiyah. Maka sudah pasti ayat makiyah itulah yang dinasakh oleh ayat madaniyah, karena ayat madaniyah adalah yang terakhir turunnya.
b.      Dapat mengetahui sejarah hukum islam dan perkembangannya secara umum. Sehingga mampu meningkatkan keyakinan terhadap ketinggian kebijaksanaan islam didalam mendidik manusia, baik secara perorangan maupun masyarakat.
c.       Dapat meningkatkan keyakinan terhadap kebesaran, kesucian dan keaslian Al-Qur’an.


*) Makalah Prarevisi





[1] Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an: Memburu pesan Tuhan di balik fenomena budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 1.
[2] Fahd bin Abdirrahman Ar-Rumi, Ulumul Qur’an: Studi kompleksitas al-Qur’an, penerjemah: Amirul Hasan dan Muhammad Halabi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), hlm. 163.
[3] Pada fase ini, teks difokuskan pada upaya pembentukan nalar baru bagi masyarakat baru, yang tercemin pada akidah  tauhid dan penolakan terhadap kemusyrikan.
[4] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap ulumum Qur’an, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2016), hlm. 8. Fase kedua ini dimulai seiring dengan stabilitas masyarakat baru di wilayah yang dimungkinkan menjadi dasar bagi suatu Negara yang memiliki sifat-sifat dan batas-batas wilayah yang jelas. Wilayah  tersebut adalah Madinah. 
[5] Ibid., Aksin Wijaya, hlm. 2-3. Sebagaimana dikutip Aksin Wijaya dari Manna Qothan, menurut pendapat yang umum digunakan para ahli, ulumul Qur’an dipahami sebagai “suatu ilmu yang membahas tentang unsur-unsur yang berhubungan dengan al-Qur’an, baik yang berupa Asbab nuzul, pengumpulan dan penyusunannya secara urut, pembukaannya, makkiyah dan madaniyyahnya, maupun pengetahuan tentang nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabihat, tafsir dan takwil,  i’jaz dan lain sebagainya yang berhubungan dengan al-Qur’an.
[6] Hal ini setidak bisa dilihat dalam tiga buku ulumul quran , yaitu: Badr Al-Din Muhammad bin ‘Abdillah Az-Zarkasyi, Al Burah fi Ulumul Qur’an, (Kairo: Darul Hadits, 2006), hlm. 132, Jalaluddin al-Suyuti, Al-Itqan fi Ulum al-Quran, Jilid I, (Beirut: Dar Al—Kotob Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 19-20, dan Muhammad Abdul Azim al-Zarqani, (Beirut: Dar Al—Kotob Al-Ilmiyah, 2010), hlm. 111-112.
[7] Seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyah. Lihat Lihat Mana’ul Quthan, Pembahsan Ilmu Al Qur’an (terjemahan dari Mabahis fi Ulumil Qur’an), Penerjemah: Halimuddin, (Jakarta: PT Renika Cipta, 1993), hlm. 64.
[8] Seperti Uhud, Qubak, dan Sil’u. Ibid., hlm. 64
[9] Ibid., Fahd bin Abdirrahman Ar-Rumi, hlm. 170.
[10] Rosihan Anwar, Ulumul Quran, (Bandung:CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 103. Hal ini senada dengan pendapat Mana’ul Qathun dalam Pembahsan Ilmu Al Qur’an, hlm. 64.
[11] Ayat al-Qur’an yang turun ketika Fath ul Makkah adalah surat An-Nisa [4]: 58. Lihat Mana’ul Quthan, hlm. 64.
[12] Ayat al-Qur’an yang turun ketika Haji Wada’ adalah surat Al Maidah[5]: 3. Lihat Mana’ul Quthan, hlm. 64
[13] Ayat al-Qur’an yang turun ketika diperjalanan misalanya surat Az Zukhruf [43]: 45 diturunkan ditengah perjalanan antara Mekkah dan Madinah. Lihat Rosihan Anwar, 103.
[14] Lihat, Manna Al-Qaththan dalam mabahits fi Ulum al-Qur’an, sebagaimana dikutip Rosihan Anwar, Ulumul Quran, (Bandung:CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 102.
[15] Jalaluddin al-Suyuti, Al-Itqan fi Ulum al-Quran, Jilid I, (Beirut: Dar Al—Kotob Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 31
[16] Hal ini sebagaimana dikutip As-Suyuthi dalam bukunya Al-Itqan fi Ulum al-Quran  dari Abu ‘Ubai di dalam bukunya “Fadailul Qur’an” dari Al bin Abi Talhah, bahwa surat al-Baqarah, Al Imran, An-nisa dan beberapa surat lainnya merupakan surat Madaniyah. Lihat As-Suyuti, hlm. 22.
[17] Ibid., Jalaluddin al-Suyuti, hlm. 31. Hal ini sebagaimana dikutip As-Suyuthi dalam bukunya Al-Itqan fi Ulum al-Quran  dari Abu Ja’far An Nahasi dala bukunya “An Nasikh Wal Mansukh” bahwa surat surat al-Kahfi, An Nisa dan beberapa surat lainnya termasuk dalam Makkiyah. Lihat As-Suyuti, hlm. 20.
[18] Ibid., Fahd bin Abdirrahman Ar-Rumi, hlm. 164.
[19] Ibid., Fahd bin Abdirrahman Ar-Rumi, hlm. 168. Dikutip Fahd dari Zarkasyi dari Al-Jabiri.
[20] Ibid., As Suyuthi, hlm. 20.
[21] Ibid., As Suyuthi, hlm. 28.
[22] Ibid., Fahd bin Abdirrahman Ar-Rumi, hlm. 169.
[23] Ibid., Rosihan Anwar, Ulumul Quran, dikutip dari Zarkasyi dan As Suyuti, hlm. 106-107.
[24] Lihat, Badr Al-Din Muhammad bin ‘Abdillah Az-Zarkasyi, Al Burah fi Ulumul Qur’an, (Kairo: Darul Hadits, 2006), hlm. 136.
[25] Dikutip Az Zarkasyi dari As Staqoti dari Ibnu Dharis dalam  kitab “Fadailul Qur’an”, hlm. 136
[26] Terkait dengan surat yang terakhir turun dalam katagoriasasi surat Makkiyah ulam berbeda pendapat, menurut Ibnu Abbas surat terakhir adalah Al Ankabut. Menurut Ad Dhahaka dan ‘Atha surat terakhir adalah Al Mukminun, sedangkan menurut Mujahid surat terakhir adalah Al Muthaffifin. Lihat, Az-Zarkasyi, Al Burah fi Ulumul Qur’an, hlm. 136
[27] Dikutip Az Zarkasyi dari As Staqoti dari Ibnu Dharis dalam  kitab “Fadailul Qur’an”, hlm. 136-137.
[28] Ulama beberda pendapat terkait katagorisasi surat pembuka al-Qur’an “fa fatiha al kitab” menurut Ibnu Abbas, Ad Dhuha, Al Maqotil, dan ‘Atha, ia merupakan Makkiyah, sedangkan menurut Muhajid ia masuk kedalam Madaniyah. Lihta, Az Zarkasyi, hlm. 137
[29] Surat-surat yang termasuk katagori marhalah ibtida’iyah adalah  Al-‘Alaq [96], Al Mudatstir [74], At-Takwir [81], Al-A’la [87],  Al Lail [92], Al Insyirah [94], Al ‘Adiyah [100], At Takwir [102], dan An Najm [53].
[30] Diantara surat-surat yang masuk katagori marhalah mutawasithah fi Makkah adalah ‘Abasa [80], At-Tin [95], Al Qori’ah [101], Al-Qiyamah [75], Al-Mursalat [77], Al-Balad [90], dan Al-Hijr [15].
[31] Diantara surat-surat yang masuk katagori marhalah khatamiyah fi Makkah adalah Ash-Shaffat [37] , Az-Zukhruf [43], Ad-Dukhan [44], Adz-Dzariyat [51], Al-Kahfi [18], Ibrahim [14], dan As-Sajdah [32].
[32] Ibid., Rosihan Anwar, hlm. 110-111.
[33] Ibid., Aksin Wijaya, 119.
[34] Ibid., Rosihan Anwar, hlm. 115-116.
[35] Zuhdi masjfuk, Pengantar Ulumul Qur’an, Bina Ilmu, Surabaya: hal. 71

Komentar