PEMIKIRAN IBNU SINA TENTANG PENDIDIKAN DAN RELEVANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN MASA KINI


PEMIKIRAN IBNU SINA TENTANG PENDIDIKAN 
DAN RELEVANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN MASA KINI
  


Oleh:
Mohammad Khotibul Umam
NIM: 17913033

Dosen Pengampu Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam:
Prof. Dr. H. Maragustam Siregar, MA



A.      Pendahuluan
Konsep pendidikan Islam yang saat ini sampai kepada kita tidak pernah lepas dari konsep pendidikan yang terlahir dari para filosof, ulama dan tokoh muslim terdahulu. Ada banyak tokoh pendidikan Islam yang menyumbangkan pemikirannya terhadap dunia pendidikan Islam,[1] namun dalam makalah ini hanya akan difokuskan pada pemikiran Ibnu Sina. Karena dengan berbagai pengalaman yang menemani perjalanan hidupnya, sosok Ibnu Sina ternyata mampu menghadirkan pandangan cerdas bagi pemikiran pendidikan Islam saat ini, meski tak dapat dipungkiri bahwa beliau – di mata dunia – lebih dikenal sebagai seorang dokter dengan karya terbesarnya, yaitu Kitab al-Syifa’ dan Qanun fi al-Thibb.
Barangkali pemikiran Ibnu Sina boleh dianggap sebagai produk sejarah, akan tetapi ide-idenya yang bersifat religius-rasional dan berorientasi pada aplikasi praktis itu nampaknya masih sangat relevan untuk dikaji. Ibnu Sina merupakan salah satu tokoh muslim yang dipandang memiliki perhatian serius dalam kaitannya dengan masalah ummat, termasuk di dalamnya adalah masalah pendidikan. Berangkat dari paradigma Islam sebagai dasar pijakan, gagasan Ibnu Sina dipandang memiliki relevansi dari segi konteks pemikiran dengan kebutuhan umat Islam di Indonesia. Oleh karena itu, penulisan makalah ini memiliki titik fokus pada upaya mengkaji pemikiran dari tokoh tersebut, terutama yang berkenaan dengan pendidikan Islam.
B.       Pembahasan
1.    Sekilas Riwayat Hidup Ibnu Sina
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu ‘Ali al-Husain ibn Abdullah ibn al-Hasan ibn ‘Ali ibn Sina al-Hakim, atau biasa dikenal Avicienna.[2] Beliau lahir pada tahun 370 H/980 M di Kharmeisan berdekatan dengan Bukhara dan berbangsa Balkha (ahli Balkha), sekarang Uzbekistan, ibu kota Samani, sebuah kota peninggalan dari dinasti Persia di Asia Tengah dan Kharasan. Ibnu Sina wafat pada tahun 428 H/1037 M. Ibunya bernama Astarah, berasal dari Asfhana yang termasuk wilayah Afghanistan,[3] sedangkan ayahnya bernama Abdullah, seorang sarjana terhormat penganut Syi’ah Isma’iliyyah, dan merupakan ilmuwan dari kota Balkh Kharasan, suatu kota termasyhur dari kekuasaan Samani yang sekarang merupakan Provinsi Balkh di Afghanistan.
Semasa kecil, Ibnu Sina memulai pendidikannya pada usia lima tahun di kota kelahirannya, yaitu Bukhara. Pengetahuan yang pertama kali ia pelajari adalah membaca Al-Qur’an. Setelah itu ia mempelajari ilmu-ilmu agama Islam seperti tafsir, fiqih, ushuluddin, dan lain-lain. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, ia berhasil menghafal Al-Qur’an dan mengusai berbagai cabang ilmu keislaman pada usia yang belum genap 10 tahun. Sehingga dari situ Ibnu Sina dianggap sebagai manusia yang luar biasa. Bahkan Ibnu Sina pernah menceritakan jika dirinya hafal kitab metafisika Aristoteles di luar kepala, ia membaca sebanyak 40 kali sampai hafal semua kata dalam kitab itu, namun tak sedikitpun makna yang dapat ia pahami. Pemahaman yang menyeluruh baru diperoleh setelah Ibnu Sina membeli Kitab karangan al-Farabi mengenai tujuan metafisika Aristoteles. Kenyataan ini membuat Ibnu Sina mengakui kedudukan al-Farabi sebagai guru kedua.[4]
Di samping itu, Ibnu Sina juga mempelajari ilmu kedokteran sejak usia 16 tahun secara otodidak, hingga ia menjadi seorang dokter yang termasyhur pada zamannya. Hal ini didukung oleh kesungguhannya dalam melakukan penelitian dan praktek pengobatan. Berkenaan dengan ini, ada sebagian yang mengatakan bahwa Ibnu Sina mempelajari kedokteran dari Ali Abi Sahl al-Masity dan Abi Manshur al-Hasan ibn Nuh al-Qamary. Selain itu upaya memperdalam berbagai cabang ilmu pengetahuan juga diperoleh Ibnu Sina ketika ia diberi kesempatan untuk memanfaatkan perpustakaan milik Nuh bin Mansyur yang pada saat itu menjadi Sultan di Bukhara. Dengan cara demikian, ilmu kedokteran yang ditekuni Ibnu Sina mengalami perkembangan yang signifikan karena didukung oleh keluasan teori dan praktik.[5]
Sebagai pemikir yang inovatif dan kreatif, Ibnu Sina dikenal sebagai sosok ulama’ yang produktif dalam melahirkan karya tulis. Karya-karyanya Ibnu Sina tergolong cukup banyak, bahkan hampir meliputi seluruh cabang ilmu pengetahuan seperti ilmu kedokteran, filsafat, ilmu jiwa, fisika, logika, politik dan sastra Arab. Ibnu Sina menulis sebanyak 450 risalah. Dari sekian banyak karya itu, karya Ibnu Sina yang paling terkenal adalah Kitab al-Syifa’ (Kitab Penyembuhan) dan buku Qanun fi al-Thibb (Undang-undang Kedokteran). Selain itu ada beberapa karya populer yang membuat nama Ibnu Sina dikenal dalam kancah ilmu pengetahuan, terutama di dunia Barat. Berikut ini adalah daftar karya ilmiah Ibnu Sina yang terkemuka:
a.    Sirat al-Syaykh al-Rais (The Life of Ibn Sina), suntingan dan terjemahan dari WE. Gohlman, Albany, NY: State University of New York Press, 1974.
b.    Al-Isharat wa-‘l-tanbihat (Remarks and Admonitions), ed. S. Dunya, Cairo, 1960.
c.    Al-Qanun fi Al-Thibb (The Canon of Medicine), ed. I. a-Qashsh, Cairo, 1987.
d.   Risalah fi Sirr al-Qadar (Essay on The Scret of Destiny), terjemahan G. Hourani in Reason and Tradition in Islamic Ethics, Cambridge: Cambridge University Press, 1985.
e.    Danishnama-i ‘ala’i (The Book of Scientific Konowledge), suntingan dan terjemahan. P. Morewedge, The Metaphysics of Acicenna, London: Routledge and Kegan Paul, 1973.
f.     Kitab al-Shifa’ (The Book of Healing), Naskah telah diterbitkan di Kairo, 1952-83, yang asli di bawah pengawasan I. Madkou.
g.    Kitab al-Najat (The Book of Salvation), terjemahan. F. Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation of Kitab al-Najat, Book II, Chapter VI with Historical-philosophical Notes and Textual Improvements on the Cairo Edition, Oxford: Oxford University Press, 1952. (The Psychology of al-Shifa’.)
h.    Hayy ibn Yaqdhan sebuah mitos Persia yang didasarkan pada kisah Ibnu Sina dan selanjutnya ditulis oleh Ibnu Thufail ada abad ke-12.[6]
Uraian di atas menunjukkan bahwa Ibnu Sina adalah seorang ulama yang berpengetahuan luas dalam berbagai ilmu termasuk ilmu falsafah, walaupun ia lebih terkenal dalam bidang kedokteran. Dalam dunia intelektual, nama Ibnu Sina menjadi populer, bahkan perhatian dunia terhadapnya tidak hanya mencuat dari kalangan Islam, tetapi juga di kalangan Barat melalui dua karyanya yang berjudul Kitab al-Syifa’ dan Qanun fi al-Thibb.
2.    Pemikiran Ibnu Sina Tentang Pendidikan
Seperti yang diketahui bersama bahwa pendidikan merupakan sarana utama untuk mempertahankan unsur-unsur pembeda dari makhluk lain, yaitu “karamah” yang dianugerahkan Allah kepada manusia (Q.S Al-Isra’:70).[7] Pandangan ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak akan pernah lepas dari kajian tentang hakikat manusia. Menurut Maragustam, pentingnya membidik manusia sebagai sentral segala konsep pendidikan dikarenakan manusia itu adalah unsur vital dalam setiap usaha pendidikan. Bahwa selain dipandang sebagai subjek, manusia juga dipandang sebagai objek dalam pendidikan.[8]
Pandangan seseorang terhadap manusia akan berpengaruh terhadap konsep-konsep pendidikan yang ia kemukakan. Demikian halnya Ibnu Sina, ia juga memiliki pandangan tentang hakikat manusia, khususnya tentang konsep jiwanya. Menurut Ibnu Sina, jiwa manusia yang disebut al-nafs al-nathiqat mempunyai dua daya, yaitu: 1) Daya praktis (al-‘amilah), ini hubungannya dengan jasad. Daya praktis ini disebut juga al-aql al-‘amali (akal atau intelegensia praktis), yaitu daya jiwa insani yang memiliki kekuasaan atas badan manusia, dengan jiwa inilah manusia mampu melaksanakan perbuatan-perbuatan yang mengandung pertimbangan dan pemikiran yang membedakan dirinya dengan binatang; 2) Daya teoritis (al-‘alimah), ini hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. Daya teoritis ini disebut juga al-aql al-nazhari (akal intelegensia teoritis), yaitu daya jiwa yang berfungsi untuk menemukan konsep umum yang ditimbulkan dari materi. Perkembangan intelegensia di sini dipengaruhi oleh adanya proses interaksi dengan lingkungannya baik melalui proses belajar mengajar atau pengalaman-pengalaman.
Untuk meningkatkan kualitas jiwa dan akal manusia, menurut Ibnu Sina, diperlukan latihan-latihan berupa penelitian dan pendidikan, karena sifat seseorang bergantung pada jiwa yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa manusia telah mempunyai kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan, maka ia akan memperoleh kesenangan abadi di akhirat. Sebaliknya, jika ia berpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna akibat terengaruh hawa nafsu, maka ia akan sengsara di akhirat.[9] Pandangan seperti ini membawa implikasi kepada konsepnya Ibnu Sina tentang pendidikan yang mengutamakan pendidikan jiwa.
a.     Tujuan Pendidikan
Ibnu Sina menjelaskan bahwa tujuan pendidikan memiliki tiga fungsi, yaitu: 1) tujuan itu menentukan haluan bagi proses pendidikan; 2) tujuan itu bukan hanya menentukan haluan yang dituju tetapi juga sekaligus memberi rangsangan; 3) tujun itu adalah nilai, dan jika dipandang bernilai, dan jika diinginkan, tentulah akan mendorong pelajar mengeluarkan tenaga yang diperlukan untuk mencapainya. Berangkat dari pandangan ini, tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina adalah pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti.
Selain itu pendidikan juga harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya. Khusus mengenai pendidikan jasmani, Ibnu Sina berpendapat hendaklah tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan segala sesuatu yang berkaitan dengan olahraga dan menjaga kebersihan. Sedangkan dalam kaitannya dengan keterampilan ditujukan pada pendidikan bidang perkayuan, penyablonan, dll, sehingga akan muncul tenaga-tenaga pekerja profesional yang mampu mengerjakan pekerjaan secara profesional.
Dengan adanya pendidikan jasmani itu diharapkan seorang anak didik akan terbina pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedangkan dengan pendidikan budi pekerti diharapkan seorang anak didik memiliki kebiasaan bersopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari dan sehat jiwanya. Dengan pendidikan kesenian seorang anak diharapkan dapat mempertajam perasaannya dan meningkat daya khayalan. Begitu pula pendidikan keterampilan diharapkan bakat dan minat anak didik dapat berkembangan secara optimal.
Khusus mengenai tujuan pendidikan untuk membentuk manusia yang berkepribadian akhlak mulia, Ibnu Sina juga mengemukakan bahwa ukuran akhlak mulia tersebut dijabarkan secara luas yang meliputi aspek kehidupan manusia, seperti aspek pribadi, sosial dan spiritual. Ketiganya harus berfungsi secara integral dan komperehensif. Pembentukan akhlak mulia ini juga bertujuan untuk mencapai kebahagiaan (sa’adah). Kebahagiaan menurut Ibnu Sina dapat diperoleh manusia secara bertahap. Dari tujuan pendidikan yang berkenaan dengan budi pekerti, kesenian, dan perlunya keterampilan sesuai dengan bakat dan minat tentu erat kaitannya dengan perkembangan jiwa seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan yang bersifat spiritual mendapat penekanan yang lebih.[10]
b.    Kurikulum Pendidikan
Menurut Ibnu Sina, ada beberapa ilmu yang perlu dipelajari dan dikuasai oleh anak didik berdasarkan tingkat perkambangan usianya, yaitu sebagai berikut:
1)      Usia 3-5 tahun, pada usia ini anak didik perlu diberi mata pelajaran olahraga, budi pekerti, kesenian, seni suara, dan kebersihan dengan penekanan aspek afektif dan pendidikan akhlak.
2)      Usia 6-14 tahun. Kurikulum untuk anak usia ini mencakup pelajaran membaca dan menghafal al-Qur’an, pelajaran agama, pelajaran olahraga dan pelajaran sya’ir dengan penekanan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
3)      Usia 14 tahun ke atas. Pada usia ini mata pelajaran yang perlu diberikan kepada anak berbeda dengan usia sebelumnya. Mata pelajaran diberikan kepada anak didasarkan atas bakat dan minatnya anak, sehingga anak diarahkan untuk menguasai suatu bidang ilmu tertentu, atau spesialisasi bidang keilmuan.

Di samping itu Ibnu Sina membagi mata pelajaran ke dalam kelompok ilmu yang bersifat teoritis dan praktis. Ilmu yang bersifat teoritis meliputi ilmu tabi’i (kedokteran, astrologi, ilmu firasat, ilmu tafsir mimpi, ilmu kimia), ilmu matematika dan ilmu ketuhanan (mencakup ilmu tentang cara-cara turunnya wahyu, hakikat jiwa pembawa wahyu, mu’jizat, ilham, ilmu tentang kekelan ruh, dsb). Sedangkan ilmu yang bersifat praktis meliputi ilmu akhlak, ilmu pengurusan rumah tangga, ilmu politik terutama dalam kehidupan bermasyarakat yang menginginkan tegaknya keadilan dengan menetakan undang-undang dan syari’at. Adapun konsep kurikulum yang ditawarkan Ibnu Sina memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1)      Dalam penyusunan kurikulum hendaklah memertimbangkan aspek psikologis anak.
2)      Kurikulum yang diterapkan harus mampu mengembangkan potensi anak secara otimal dan harus seimbang antara jasmani, intelektual dan akhlaknya.
3)      Kurikulum yang disusun harus berlandaskan keada ajaran dasar dalam Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah, sehingga anak didik akan memiliki iman, ilmu dan amal secara integral.
4)      Kurikulum yang ditawarkan adalah kurikulum berbasis akhlak yang diperoleh melalui pendidikan seni dan syair.[11]
c.     Metode Pendidikan
Dengan pertimbangan psikologis anak, Ibnu Sina berpendapat bahwa suatu materi pelajaran tertentu tidak akan dapat dijelaskan kepada bermacam-macam anak didik dengan satu cara saja, melainkan harus dicapai dengan berbagai cara sesuai dengan perkembangannya. Penyampaian materi pelajaran pada anak menurutnya harus disesuaikan dengan sifat dari materi pelajaran tersebut, sehingga antara metode dengan materi yang diajarkan tidak kehilangan daya relevansinya. Metode yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi, magang, penugasan dan hukuman (targhib dan tarhib). Adapun penjelasannya sebagai berikut:
1)      Metode talqin digunakan untuk mengajarkan membaca al-Qur’an. Dimulai dengan memperdengarkan bacaan al-Qur’an kepada anak didik, sebagian demi sebagian. Setelah itu anak tersebut diminta untuk mendengarkan dan mengulangi bacaan tersebut perlahan-lahan dan dilakukan berulang-ulang, hingga akhirnya ia hafal.
2)      Metode demonstrasi digunakan dalam pembelajaran yang bersifat praktik, seperti mengajarkan caranya menulis. Guru memberikan contoh tulisan huruf hijaiyyah di depan anak didik, kemudian guru meminta mereka untuk mendengarkan ucapan huruf hijaiyyah sesuai dengan makhrajnya, dan dilanjutkan dengan mendemonstrasikan cara menulisnya.
3)      Metode pembiasaan dan keteladanan digunakan untuk mengajarkan akhlak.  Metode ini menjadi lebih efektif apabila disesuaikan dengan tingkat perkembangan jiwa anak didik. Ibnu Sina mengakui adanya pengaruh “mengikuti/meniru” atau contoh teladan dalam proses pendidikan di kalangan anak pada usia dini terhadap kehidupan mereka, karena secara naluriyah anak mempunyai kecenderungan untuk mengikuti dan meniru segala yang dilihat, dirasakan, dan yang didengarnya.
4)      Metode diskusi digunakan dengan cara penyajian pelajaran di mana anak didik dihadapkan kepada suatu masalah yang dapat berupa pertanyaan yang bersifat problematis untuk dibahas dan dipecahkan bersama. Ibnu Sina menggunakan metode ini untuk mengajarkan pengetahuan yang bersifat rasional dan teoritis.
5)      Metode magang digunakan untuk menggabungkan teori dan praktik. Metode ini memiliki manfaat ganda, yaitu membuat anak didik menjadi mahir dalam suatu bidang ilmu, juga akan mendatangkan keahlian dalam bekerja.
6)      Metode penugasan digunakan dengan cara guru memberikan tugas tertentu agar anak didik melakukan kegiatan belajar. Dalam hubungan ini, Ibnu Sina biasanya menyusun sejumlah modul atau naskah kemudian menyampaikannya kepada anak didik untuk dipelajarinya.
7)      Metode targhib dan tarhib. Dalam pendidikan modern, metode targhib dikenal dengan istilah reward yang berarti ganjaran, hadiah atau penghargaan sebagai motivasi yang baik. Namun dalam keadaan terpaksa, metode tarhib atau hukuman dapat dilakukan dengan cara memberi peringatan secara halus dan hati-hati.[12]

Dari beberapa metode yang diuraikan di atas terdapat empat ciri-ciri penting yang hingga sekarang masih banyak digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini menujukkan bahwa pemikiran Ibnu Sina dalam bidang metode pengajaran masih relevan dengan tuntutan zaman. Adapun ciri-ciri itu antara lain:
1)      Pemilihan dan penerapan metode harus disesuaikan dengan karakteristik mata pelajaran.
2)      Metode yang diterapkan harus mempertimbangkan kondisi psikologis anak, termasuk bakat dan minatnya.
3)      Metode yang diterapkan tidak kaku, tetapi dapat berubah sesuai kondisi dan kebutuhan anak didik.
4)      Ketepatan dalam memilih dan menerapkan metode sangat menentukan keberhasilan pembelajaran.

d.    Konsep Guru
Guru memiliki peran sangat penting dalam pendidikan. Dalam hubungan ini, Ibnu Sina mengatakan bahwa guru yang baik adalah guru yang berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main di hadapan anak didik, serta sopan santun. Lebih lanjut, seorang guru sebaiknya dari kaum pria yang terhormat dan menonjol budi pekertinya, telaten dalam membimbing anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak, dan tidak keras hati.
Ibnu sina juga menekankan agar seorang guru tidak hanya mengajarkan dari segi teoritis saja kepada anak didiknya, melainkan juga melatih segi keterampilan, mengubah budi pekerti dan kebebasannya dalam berfikir. Seorang guru harus mengutamakan kepentingan ummat daripada kepentingan diri sendiri, menjauhkan diri dari meniru sifat raja dan orang-orang yang berakhlak rendah, dan mengetahui etika dalam majelis ilmu.[13]
Uraian di atas menunjukkan bahwa seorang guru harus memiliki kompetensi keilmuan yang bagus, berkepribadian mulia dan kharismatik sehingga dihormati dan menjadi idola bagi anak didiknya. Hal ini penting, karena dengan kompetensi itu tentulah anak didik akan menyukainya, dan ilmu yang diajarkan guru mudah diterima oleh anak didik. Di samping itu, seorang guru dapat mencerdaskan anak didiknya dengan berbagai pengetahuan yang diajarkannya, dan dengan akhlak seorang guru dapat membina mental dan akhlak anak didik.
3.    Relevansi Pemikiran Ibnu Sina Terhadap Pendidikan Masa Kini
Barangkali ada benarnya jika Ibnu Sina dikatakan sebagai produk sejarah. Bahwa suatu pemikiran sebagai produk masyarakat yang telah lalu, tentu akan jauh berbeda dengan situasi sosial dimana pendidikan harus berperan di dalamnya, seperti pada konteks pendidikan kekinian. Begitu juga Ibnu Sina, konsep pendidikannya merupakan aplikasi dan responsi dari jawaban atas permasalahan sosial kemasyarakatan pada zamannya.
Akan tetapi jika dicermati dengan seksama, maka format pemikiran Ibnu Sina tentang pendidikan akan tampak jelas, bahwa ia menggandrungi konsep pendidikan Islam dalam wujudnya yang humanis, seperti keterkaitan antara materi pelajaran dengan pertimbangan dalam menerapkan suatu metode pengajaran. Dengan kata lain, pendidikan hendaknya menggunakan strategi dan metode yang sesuai dengan tingkat perkembangan psikologis anak didik. Subtansi ide semacam inilah yang perlu dipertahankan dan dikembangkan lebih lanjut pada sistem pendidikan Islam dewasa ini.
Di samping itu, pemikiran Ibnu Sina tentang pendidikan juga mengacu pada tiga aspek potensi (fitrah) peserta didik, yaitu jiwa (al-qalb), jasad (al-jism), dan akal (al-‘aql). Dari ketiga aspek potensi tersebut – tanpa mengesampingkan aspek akal/rasio – Ibnu Sina tampak lebih cenderung menekankan pada aspek pendidikan jiwa (al-qalb) atau sisi afektif dan akhlaq al-karimah.[14] Penekanan Ibnu Sina terhadap sisi afektif ini bukan berarti ia menafikan sisi lain seperti kognitif dan psikomotorik. Setidaknya penekanan tersebut dapat dipahami bahwa Ibnu Sina menyadari betul arti keterbatasan inderawi manusia, terutama akal/rasionya.
Bahkan sejarah pemikiran manusia membuktikan keterbatasan akal. Pada abad pertengahan filsafat Yunani (umumnya) dan filsafat Aristoteles (khususnya) dapat dikatakan pudar. Umar Amir Hoesin menjelaskan bahwa kepudaran tersebut disebabkan antara lain karena analisis-analisis dengan akal itu belum tentu dapat menjawab semua pertanyaan dan mengumpulkan kebenaran yang sesungguhnya. Pikiran manusia (kognitif) tidak mampu menjangkau wilayah non-rasional.[15] Intuisilah (afektif) yang mampu memahami kebenaran secara kaffah. Manusia yang hatinya bersih (qalbun salim) akan selalu siap menerima pengetahuan dari Tuhan. Intuisi (sisi afektif) adalah essensi manusia, sebab ia yang mengendalikan seluruh fungsi organ dan psikis manusia yang kemudian melahirkan gerak psikomotorik. Bahkan Rasulullah juga memberikan penekanan pada sisi afektif pendidikan melalui hadis “ala wahiya al-qalbu”, yaitu: ingat! ia adalah hati.[16]
Dengan preferensi itu, maka pendidikan Islam harus berorientasi pada kecerdasan jiwa anak didik. Salah satu diantaranya yang terpenting adalah perlunya pendidikan penyucian jiwa. Hal ini sangatlah beralasan,  karena ketika kita meninjau ayat Q.S Al-Baqarah: 151,[17] maka yang paling pertama dilakukan dalam proses pembelajaran justru adalah upaya penataan diri (tazkiyah), baru diikuti proses ta’lim al-kitab (proses pengajaran kitab atau materi) dan disusul dengan ta’lim (belajar) terhadap sesuatu yang belum diketahui anak didik. Bertolak dari pemahaman ini, maka dapat dipastikan bahwa keteraturan jiwa (kesiapan psikologis) anak didik dalam proses belajar-mengajar menjadi titik pangkal bagi pengembangan potensinya baik dari aspek intelektual, emosional, maupun spiritual. Tegasnya, pendidikan yang berorientasi kepada jiwa dapat mencerdaskan anak didik sekaligus membentuk kepribadian yang berakhlak mulia. Profil anak didik seperti ini sangat dibutuhkan dalam konteks kekinian.
Apalagi dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia, akhlak menjadi sesuatu yang sangat prioritas. Bahkan akhlak mulia menjadi salah satu indikator penting dalam rumusan tujuan Pendidikan Nasional (pasal 3 UU Sisdiknas Tahun 2003).[18] Oleh karena itu, perhatian tokoh dan praktisi pendidikan sangat dibutuhkan untuk membangun karakter bangsa ke arah yang lebih terhormat.
C.      Penutup
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Ibnu Sina meskipun lebih dikenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang ilmu kedokteran, namun beliau juga merupakan salah satu tokoh muslim yang dipandang memiliki perhatian serius dalam kaitannya dengan masalah ummat, termasuk di dalamnya adalah masalah pendidikan. Beliau dilahirkan dalam lingkungan masyarakat yang menganut paham Syi’ah Ismailiyyah, akan tetapi beliau mengembangkan pemikiran dengan caranya sendiri untuk mencari suatu kebenaran. Dengan sangat rasional Ibnu Sina juga mampu menghadirkan ide-ide yang cemerlang dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, tak terkecuali ilmu tentang pendidikan.
Pandangan Ibnu Sina tentang pendidikan dapat dilihat melalui gagasannya yang apik tentang tujuan, kurikulum, metode dan konsep guru. Pada dasarnya pandangan Ibnu Sina tersebut masih sangat aktual dan relevan dengan perkembangan pendidikan modern sekarang ini. Relevansinya terletak pada upaya mempersiapkan anak didik agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan yang sesuai dengan bakat, kesiapan, keenderungan dan potensi yang dimilikinya, tanpa mengabaikan unsur akhlak al-karimah sebagai ciri-ciri dasarnya anak didik.





Daftar Pustaka
Al-Nawawi, Imam Yahya bin Syaraf al-Din, Matan al-Arba’in al-Nawawiyah, Surabaya: Penerbit al-Miftah.
Assegaf, Abd. Rachman, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam: Hadharah Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Iqbal, Abu Muhammad, Pemikiran Pendidikan Islam: Gagasan-gagasan Besar Para Ilmuwan Muslim, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semestas, 2014.
Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 2000.
_______, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Qamar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, Jakarta: Erlangga, 2005.

MAKALAH PRAREVISI

[1] Sejumlah ulama yang memiliki perhatian dalam bidang pendidikan antara lain Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu, Rusyd, Ibnu Sahnun, Al-Qabisi, Ibnu Jamaah dan Ibnu Taimiyah. Mereka selain mencurahkan waktu, tenaga dan pemikirannya untuk mengajar, juga untuk menulis sejumlah buku yang didalamnya terdapat uraian tentang pendidikan dan pengajaran, etika guru, dsb. Uraian lebih lanjut dapat dibaca dalam Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 89.
[2] Penyebutan nama Ibnu Sina menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan para ahli sejarah. Sebagian ada yang mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari bahasa Latin, Aven Sina, dan sebagian ada yang mengatakan nama itu dari kata al-shin yang dalam bahasa Arab berarti China. Selain itu ada pula yang menghubungkan nama Ibnu Sina atau Avicenna dengan tempat kelahirannya, yaitu Afshana. Lihat Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2000), hlm. 59.
[3] Ada yang menyebutkan bahwa ibunya sebagai orang yang berkebangsaan Persia, karena pada abad ke-10 M wilyah Afghanistan termasuk daerah Persia. Lihat Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam: Gagasan-gagasan Besar Para Ilmuwan Muslim, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 2.
[4] Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam: Hadharah Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 78-79.
[5] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam ..., hlm. 63.
[6] Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam ..., hlm. 93.
[7] Bunyi ayat:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلا
Artinya: “Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
[8] Sebagai subjek, manusia menentukan corak dan arah pendidikan. Sedangkan sebagai objek, manusia menjadi fokus perhatian segala teori dan praktik pendidikan. Ulasan lebih lanjut dapat dibaca dalam Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semestas, 2014), hlm. 61.
[9] Ibnu Sina membedakan antara jiwa dan jasad. Kesatuan antara keduanya bersifat accident, hancurnya jasad tidak membawa pada hancurnya ruh (jiwa). Akan tetapi jiwa yang kekal adalah jiwa insaniyah di mana kelak akan mendapat pembalasan di akhirat. Bagi Ibnu Sina, jiwa memiliki kedudukan sangat penting dari pada jasad. Lihat Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam ..., hlm. 6.
[10] Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam ..., hlm. 7.
[11] Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam ..., hlm. 9-11.
[12] Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam ..., hlm. 12.
[13] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam ..., hlm. 77-78.
[14] Menurut Ibnu Sina, akhlak dapat membawa kesehatan psikologis dan fisik anak-anak. Lihat Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam ..., hlm. 97.
[15] Misalnya Aristoteles mengatakan bahwa baik itu adalah yang bagi semua orang dikatakan baik. Tetapi Aristoteles tidak berhasil menerangkan alasan; mengapa sesuatu yang telah dikatakan baik itu dapat dianggap tidak baik oleh orang lain. Ternyata, Aristoteles sebagai filosof Yunani yang paling mengandalkan potensi akal (kognitif) itu tidak menyadari, bahwa ada unsur relativitas pada akal pikiran manusia. Ulasan lebih lanjut dapat dibaca dalam Mujamil Qamar, Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 67.
[16] Bunyi hadis:
 ...”أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَھِيَ الْقَلْبُ   روَاهُ الْبُخَرِىّ وَمُسْلِمٌ
Dikutip dari Imam Yahya bin Syaraf al-Din al-Nawawi, Matan al-Arba’in al-Nawawiyah, (Surabaya: Penerbit al-Miftah), hlm. 10.
[17] Bunyi ayat:
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
Artinya: “Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”
[18]  “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Komentar