GERAKAN TERJAMAH PADA MASA ABBASIYAH SEBAGAI PELETAKAN DASAR PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DAN PERADABAN ISLAM

 GERAKAN TERJAMAH PADA MASA ABBASIYAH SEBAGAI PELETAKAN DASAR PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DAN PERADABAN ISLAM



Oleh:
Bayu Wibawa

MAKALAH PRAREVISI

Peradaban dan Pemikiran Islam
Dosen Pengampu: Dr. Junanah

  1. Latar Belakang Masalah
Sejarah perjuangan umat Islam dalam pentas peradaban dunia berlangsung sangat lama sekira 13 abad, yaitu sejak masa kepemimpinan Rasulullah Saw di Madinah (622-632M), Masa Khulafaur Rasyidin (632-661M), Masa Daulat Umayyah (661-750M) dan Masa Daulat Abbasiyah (750-1258 M) sampai tumbangnya Kekhilafahan Turki Utsmani pada tanggal 28 Rajab tahun 1342 H atau bertepatan dengan tanggal 3 Maret 1924 M. Dimana masa-masa kejayaan dan puncak keemasannya banyak melahirkan banyak ilmuwan muslim berkaliber Internasional yang telah menorehkan karya-karya luar biasa dan bermanfaat bagi umat manusia yang terjadi selama kurang lebih 700 tahun, dimulai dari abad 6 M sampai dengan abad 12 M. Pada masa tersebut, kendali peradaban dunia berada pada tangan umat Islam.
Pada saat berjayanya peradaban Islam semangat pencarian ilmu sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Semangat pencarian ilmu yang berkembang menjadi tradisi intelektual secara historis dimulai dari pemahaman terhadap al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw yang kemudian dipahami, ditafsirkan dan dikembangkan oleh para Sahabat, Tabiin, Tabi’ tabiin dan para Ulama yang datang kemudian dengan merujuk pada Sunnah Nabi Muhammad saw.
Di masa-masa ini, kebanyakan umat Islam menggeluti ilmu pengetahuan yang bersumber dari berbagai arah dan bahasa dan mereka terjemahkan ke dalam bahasa arab dan menjadikan karya mereka ini sebagai rujukan utama para ilmuan itu dan masi eksis sampai sekarang.
Hal ini yang menyebabkan bahasa arab menjadi bahasa yang sangat popular di kalangan ilmuan dan para peneliti sejarah. Dengan bahasa arab tersebarlah ilmu pengetahuan dengan cepat keseluruh pelosok dunia Islam.
Namun, dilain pihak umat Islam juga banyak mendapatkan bahan (ilmu) dari peninggalan para ilmuan Yunani. Dan itulah yang menjadikan mereka terinspirasi untuk menggali berbagai ilmu pengetahuan di dalam al-quran serta mendatangkan banyak ilmu-ilmu baru yang menyangkut kemaslahatan umat manusia

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah

1.      Bagaimana sejarah berdirinya Dinasti Bani Abbasiyah?
2.      Bagaimana perkembangan Dinasti Abbasiyah dalam berbagai bidang?
3.      Bagaimana Sejarah Baitul Hikmah?
4.      Implikasi Gerakan Terjemah Bagi Perkembangan Pendidikan dan Peradaban Islam?

  1. Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah adalah sebuah negara Islam yang berdiri menggantikan kekuasaan Dinasti Umayyah. Nama Abbasiyah dinisbatkan kepada Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad[1]. Pendiri Dinasti Abbasiyah adalah Abdullah as-Safah bin Muhammad bin Ali bin Abdillah bin Abbasbin Abdul Muthalib atau yang lebih dikenal dengan nama Abu al-Abbas as-Saffah.

Dinasti Abba berdiri pada 132 H / 750 M, dan Abu Abbas as-Saffah adalah khalifah pertama. Kekuasaan dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang cukup panjang, lebih kurang selama lima abad, dari tahun 132-656 H atau 750-1258 M. Pada masa Dinasti Abbasiyah inilah lslam mencapai puncak kejayaan dan Baghdad sehagai pusat peradaban.

Imperium kedua di Dunia Islam yang memberikan daulah Umayyah ini muncul setelah revolusi sosial yang dipelopori oleh para keturunan Abbas yang didukung oleh golongan oposisi terhadap daulah Umayyah seperti kaum Syi’ah, Khawarij, Qadariyah, Mawali (non Arab) dan suku Arab bagian selatan.[2]

Selama masa kekuasaan dinasti Abbasiyah yang panjang, system pemerintahan yang diterapkan tidak tunggal, tetapi disesuaikan dengan perubahan politik, sosial, budaya. Pergantian khalifah juga bisa menimbulkan perubahan pada sistem pemerintahan. Berdasarkan pola perubahan pemerintah dan politik itu, para sejarawan pada umumnya membagi masa pemerintahan Abbasiyah menjadi lima periode.[3]
Periode pertama berlangsung dari masa pemerintahan Abu Abbas as-Saffah sampai meninggalnya khalifah al-Watsiq (132-232H / 750- 847M). Pada periode ini, Dinasti Abbasiyah mengalami banyak kemajuan dan masa keemasan.
Periode kedua berlangsung sejak masa pemerintahan khalifah al Mutawakkil sampai berkuasanya bani Buwaihi di Baghdad (232-334 H 847-946 M). Kepemimpinan khalifah al-Mutawakkil dan para penggantinya sangat lemah sehingga Orang-orang Turki, yang sebelumnya pada masa Khalifah al-Mu'tasim berada dalam unsur militer, dapat mengambil alih kekuasaan.
Periode tiga berlangsung sejak berdirinya dinasti Buwaihi sampai masuknya bani Seljuk ke Baghdad (334 447 H/946-1055 M). Pada masa kekuasaan dinasti Buwaihi ini, keadaan jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan periode sebelumnya. Salah satu penyebabnya adalah karena para dinasti Buwaihi menganut ajaran syi’ah.
Periode keempat berlangsung selama berkuasanya orang-orang dari Bani Seljuk (1055-1199M). Bani Seljuk berhasil melumpuhkan Bani Buwaihi atas pemerintahan khalifah Abbasiyah. Pada periode ini kewibawaan kekuasaan khalifah sedikit lebih luas terutama di bidang agama, setelah lama dikuasai oleh orang- orang syi’ah. Kekuasaam Seljuk melemah setelah terjadinya konflik internal dan kekuatan khalifah kembali menguat di lrak.
Periode kelima berlangsung sejak melemahnya kekuatan bani Seljuk hingga jatuhnya Baghdad ke tangan Hulagu Khan dari Mongol (1199-1258 M). Pada periode ini Dinasti Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan bani tertentu. Kekuasaan khalifah kembali menguat, namun hanya efektif di sekitar Baghdad.
Dinasti Abbasiyah dipimpin kurang lebih tiga puluh tujuh khalifah yang terbagi menjadi tiga bani yang berkuasa. yaitu bani Abbas, bani Buwaihi, dan bani Seljuk.

Daftar Khalifah Dinasti Abbasiyah

No
Nama Khalifah
Masa Jabatan
1
Abu Abbas as-Saffah
132-136 H / 749-754 M
2
Abu Ja 'jauh al-Manshur
136-158 H / 754-775 M
3
Abu Abdullah Muhammad al-Mahdi
158 -169 H / 775-785 M
4
Abu Muhammad Musa al-Hadi
169-170 H / 785-786 M
5
Abu Ja'far Harun ar-Rasyid
170-193 H / 786-809 M
6
Abu Musa Muhammad al-Amin
193 -198 H / 809-8 13 M
7
Abu Ja far Abdullah al-Ma'mun
198-218 H / 813-833 M
8
Abu Ishaq Muhammad al-Mu tashim
218-227 H 833-842 M
9
Abu Ja’far Harun Al-Watsiq
227-232H 842-847 M
10
Abu Fadl Ja’far Muhammad Al-Mutawakkil
232-247H 847-861 M
11
Abu Ja far Muhammad al-Muntashir
247-248 H / 861-862 M
12
Abu Abbas Ahmad al-Musta’ain
248-252 H / 862-866 M
13
Abu Abdullah Muhammad al-Mu'tazz
252-255 H / 866-869 M
14
Abu Ishaq Muhammad al-Muhtadi
255-256 H / 869-870 M
15
Abu Abbas Ahmad al-Mu tamid
256-279 H / 870-892 M
16
Abu Abbas Muhammad al-Mu 'tadhid
279-289 H / 892-902 M
17
Abu Muhammad Ali al-Muktafi
289-29 5 H 902-908 M
18
Abu Fadl Ja far al-Muqtadir
295-320 H / 908-932 M
19
Abu Mansur Muhammad al-Qahir
320-322H/ 932-934 M
20
Abu Abbas Muhammad al-Radhi
322-329 H / 934-940 M
21
Abu Ishaq Ibrahim al-Mutta li
329-333H/ 940-944 M
22
Abu Qasim Abdullah al-Mustaqafi
333-334 H / 944-946 M
23
Abu Qasim al-Fadl al-Mu'thi
334-363 11 946-974 M
24
Abu Fadl Abdul Kari matematika-Tha'i
363-3S1 H / 974-991 M
25
Abu Abbas Ahmad al-Qadir
381-422 H / 901-1031 M
26
Abu Ja far Abdullah al-Qa'im
422-467 H/ 1031-1075 M
27
Abu Qasim Abdullah al-Muqtadi
467-487 H / 1075-1094 M
28
Abu Abbas Ahmad al-Mustazhhir
487-512 H / 1094-1118 M
29
Abu Mansur al Fadl al-Murtasyid
512-529 H / 1118-1135 M
30
Abu Ja jauh al-Mansur ar-Rasyid
529-530 H / 1135-1136 M
31
Abu Abdullah Muhammad al-Muqtafi
530-555 H / 1136-1 160 M
32
Abu Muzaffar al-Mustanjid
555-556 H /1160-1170 M
33
Abu Muhammad al-Hasan al-Mustadhi
566-575 H / 1170-1180 M
34
Abu al-Abbas Ahmad an-Nashir
575-622 H / 1180-1225 M
35
Abu Nasr Muhammad az-Zhahir
622-623 H / 1225-1226 M
36
Abu Ja far al-Mansur al –Mustanshir
623-640 H / 1226-1242 M
37
Abu Ahmad Abdullah al-Musta shim
640-656 H / 1242-1256 M

Dasar-dasar pemerintahan dinasti Abbasiyah dibawah pimpinan khalifah Abu Abbas As-Shaffah dan khalifah Al-Manshur. Sedangkan puncak keemasan dinasti Abbasiyah di bawah pimpinan tujuh khalifah yaitu: Al Mahdi, Al-Hadi, Harun ar Rasyid, Al-Ma'mun, Al-Mu'tashim, Al-Watsiq, dan Al-Mutawakkil.[4]
Dalam sejarah dijelaskan bahwa berdirinya dinasti Abbasiyah dianggap sebagai kemenangan pemikiran yang pernah dikumandangkan oleh bani Hasyim setelah meninggalnya Rasulullah, bahwa yang tidak berkuasa adalah keturunan Nabi Muhammad[5] Pemikiran ini menjelma menjadi gerakan politik nyata setelah bani Umayyah berhasil mengalahkan khalifah Ali bin Abi Thalib melalui diplomasi, mengambil alih kekuasaan negara Islam, dan bersikap keras terhadap bani Hasyim.
Dalam proses propaganda ini Abu Al-Abbas menjadi roda penggerak propaganda tersebut. Propaganda yang digunakan oleh Abu al-Abbas, berisi tentang legitimasi keagamaan keluarga ini untuk menggantikan bani Umayyah dalam memimpin umat Islam. Pertama, dia memuji dan membela Islam serta bersyukur kepada Tuhan. Kemudian, dia berbicara mengenai keluarganya sendiri, ketakwaannya dan kedekatan kekerabatannya dengan Nabi Muhammad. Isu lain yang digunakan dalam propaganda politik Abbasiyah adalah mengenai pembagian kekayaan negara yang adil sebagaimana yang dijalankan pada masa Khulafa al Rasyidin sebelum bani Umayyah memonopoli kekayaan ini. Abu al- Abbas berjanji untuk menegakkan kembali keadilan yang telah dipraktekan oleh Khulafa al-Rasyidin.[6]
Pada awalnya propaganda bani Abbas berpusat di Humaimah dan dipimpin oleh Ali bin Abdullah bin Abbas, Pada masa kepemimpinan Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas, propaganda ini berhasil disebarkan ke berbagai kota. Diantara kota-kota tersebut yang menjadi poros utama kekuatan bani Abbas yaitu Humaimah, Kuffah, dan Khurasan.
Humaimah ini merupakan kota yang tenang. Di kota ini bermukim bani Hasyim baik dari kalangan pendukung Ali bin Abi Thalib maupun pendukung bani Abbas Muhammad bin Ali menjadikan kota ini sebagai pusat perencanaan gerakan dan konsulidasi organisasi. Di kota inilah mereka menyusun strategi propaganda dan tindakan aksi yang sistematis untuk menggulingkan bani Umayyah dari tampuk kepemimpinan Islam. Untuk menyukseskan rencananya ini, Muhammad bin Ali dibantu oleh 150 juru dakwah yang dipimpin oleh 12 orang terdekatnya. Kufah berfungsi sebagai kota penghubung. Di kota ini tinggal para penganut syi’ah, yang selalu bergolak dan menjadi korban penindasan bani Umayyah. Dipilihnya kota Kuffah sebagai salah satu dasar kekuatan bani Abbas karena mayoritas penentang dinasti Umayyah berasal dari penduduk Kufah. Kufah dipilih sebagai pusat gerakan dakwah dan tempat tinggal beberapa "juru dakwah utama atau juru juru dakwah" [7]
Adapun kurasan berfungs sebagai pusat gerakan praktis dan pembinaan pasukan. Dipilihnya kota kurasan sebagai basis kekuatan propaganda adalah karena kurasan berada di sebelah timur pusat kekhalifahan. Jika terjadi peperangan, mereka bisa lari ke negeri Turki yang bersebelahan, di Khurasan terjadi konflik kesukuan di kalangan orang Arab (antara suku Qays dan suku Yamani) konflik ini bisa dimanfaatkan, Khurasan adalah negeri yang baru menyatakan keislamannya. Jadi, penduduknya masih bisa dipengaruhi semangat mencintai Ahlul Bait.[8] Di kota inilah propaganda bani Abbas mendapat sambutan hangat dan memperoleh dukungan yang kuat. Panglima perang Dinasti Abbasiyah yang berasal dari Khurasan yaitu Abu Muslim al-Khurasani. Kepemimpinan bani Abbas yang dahulunya dipimpin oleh Muhammad bin Ali akhirnya digantikan oleh anaknya yaitu Ibrahim al Imam. Hal ini karena Muhammad bin Ali meninggal tepat pada tahun 125 H / 743 M. Pada masa kepemimpinan Ibrahim, propaganda bani Abbas dilaksanakan dengan cukup matang dan dilakukan di bawah tanah. Namun, gerakan ini akhirnya ditemukan oleh Kahlifah Marwan bin Muhammad, pada tahun 132 H / 749 M. Ibrahim tertangkap dan dipenjara di Harran sebelum ia dieksekusi. Dan ia berwasiat agar Abu al-Abbas sebagai Saffah untuk mengungkapkan kedudukannya dan memerintahkannya pindah ke Kufah.
Gerakan militer pertama antara Bani Ummayah dan Bani Abbas terjadi di khurasan yaitu pada tahun 131 H. Abu Muslim menang dan Nashr ibn Sayyar kalah. sebelumnya, Abu Muslim menggunakan cara halus untuk menarik dukungan dari suku Yamani dan suku Mudharr. Kepada setiap pembesar kedua suku, ia menulis “pemimpin telah berwasiat kepadaku untuk melakukan kebaikan, dan menurutku wasiatnya juga tidak mengecualikan kaummu”[9] Pada tahun 132 H kekuasaan Abu Muslim dapat mengalahkan pasukan bani Umayyah di Irak, lalu bergerak ke kota Kufah yang gubenurnya kala itu, Muhammad ibn Khalid ibn al-Qasri, telah membelot menjadi pendukung dakwah Abbasiyah. Wilayah lain yang dapat dikuasi antara lain: Herat, Balkh, dan di Asia Tengah, Tukharistan, Tirmdh, Samarqand, dan Bukhara. Selain itu, wilayah Iran utara dan tengah juga mulai dikuasai yaitu Yazd, Jurjan, Ray (Oktober 748 M). Hamdan, Qum dan desa-desa di dekat Isfahan dan akhirnya Nahawand. Tentara Abbasiyah bergerak ke Barat daya untuk menaklukkan Sistan dan Sind. Akhirnya, kekuatan Abbasiyah dilakukan ke arah barat ke jantung kekuasaan Umayyah di Damaskus, Syiria.[10] Pada pertempuran di sungai Zab tanggal 11 Jumadil akhir 132 H atau Februari 750 M, al Saffah mengirim pasukan besar untuk menggulingkan kekuatan khalifah Umayyah terakhir, Marwall ibn Muhammad yang sempat melarikan diri ke Mesir sebelum akhirnya terbunuh di desa Busir pada bulan Agustus 750 M atau 132 H. Pasukan Abbasiyah kemudian membersihkan sisa-sisa kekuatan bani Umayyah. Hingga akhirnya seluruh wilayah jatuh ke tangan bani Abbas, kecuali Andalusia.
  1. Kebangkitan Ilmu Pengetahuan Masa Dinasti Abbasiyah.
Di masa dinasti Abbasiyah adalah zamannya rilisan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam. Peradaban Islam pada zaman ini ditandai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dengan pesat. Di abad ini, banyak sekali buku-buku ilmu pengetahuan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dari berbagai Bahasa asing, di samping buku-buku asli yang dikarang dalam berbagai ilmu. sejarah kebudayaan Islam bahwa sebagian besar orang yang berkecimpung dalam dunia ilmu adalah orang mawali (Muslim bukan turunan Arab atau turunan budak), terutama turunan Persia.[11]
Dalam kebangkitan ilmu pengetahuan di masa dinasti Abbasiyah tersebut terbagi dalam tiga tahap yaitu kegiatan penyusunan buku-buku ilmiah, mengatur ilmu-ilmu Islam, dan terjemahan dari bahasa asing.[12]
1.            Kegiatan penyusunan buku-buku ilmiah.
Kegiatan menulis buku-buku berjalan menurut tiga tingkat yang masing-masing memiliki keistimewaan sendiri, antara lain: Tingkat pertama yang merupakan tingkat paling mudah dan rendah, ialah mencatat ide atau percakapan atau sebagainya dihalaman kertas dua rangkap, asli atau Salinan. Peringkat kedua yaitu tingkat pertengahan, merupakan pembukuan ide-ide yang mirip
Dengan hadits-hadits rasul dalam satu buku. Ditingkat inilah hukum fikih dikumpulkan dalam satu buku, ataupun sekumpulan hadits-hadits atau cerita-cerita sejarah. Tingkat ketiga adalah tingkat yang paling tinggi, tingkat ketiga, tingkat penyuunannya lebih halus dari pada kerja pembukuan, karena tingkat ini segala yang sudah dicatat, diatur, dan disusun dalam bagian-bagian dan bab-bab tertentu. Serta berbeda satu sama lain. Tingkat ini telah dicapai oleh kaum muslimin di zaman pemerintahan Abbasiyah pertama.[13]
2.      Penyusunan ilmu-ilmu Islam
Islam ilmu Islam adalah ilmu yang muncul di tengah-tengah suasana kehidupan Islami yang berhubungan dengan agama dan bahasa Al-Qur'an[14]. Sebagai penyusun menamakannya ilmu naqli (ilmu salinan), karena setiap penyelidik di lapangan ini bertugas menyalin dan meriwayatkan apa yang telah disalin. Ahli tafsir dan ahli hadits meriwayatkan apa yang diterimanya dari satu golongan yang menerpakan dari golongan lain, dan seterusnya, hingga kepada sumber yang pertama yaitu Rasulullah saw. Seorang ahli Bahasa bertugas menyalin Bahasa dari orang-orang Arab asli atau dari siapa yang mendengarnya secara langsung, melalui perantaraan dari orang-orang Arab asli.
Berikut adalah ilmu-ilmu lslam yang telah mengalami perkembangan besar di zaman pemerintahan Abbasiyah pertama:
a.       Kelahiran ilmu tafsir dan pemisahannya dengan ilmu hadits.
Di zaman pemerinatahan Abbasiyah pertama itu telah melahirkan ilmu tafsir Al Qur'an dan Pengaturannya dari ilmu hadits. Hadis kelahiran tafsir ternyata sebelum zaman tersebut tidak terdapat penafsiran Al-Qur'an, dan tidak juga sebagiannya secara teratur dan tersusun. Sebaliknya yang ada ialah tafsir bagi sebagian-sebagian ayat dari berbagai surat, dibuat untuk tujuan tertentu atau karena orang-orang berselisih pendapat mengenai maknanya.
Tetapi di zaman pemerintahan Abbasiyah pertama, bidang tafsir telah mengalami suatu perkembangan yang besar dan menjadi berangkai-rangaki dan secara menyeluruh. Pemisahan ilmu tafsir dari ilmu hadits dan juga terjadi di abad ini. Sebelum itu kaum muslimin menafsirkan Al-Qur'an melalu hadits-hadits Rasulullah saw. Di masa pemerintahan Abbasiyah yang gemilang, ilmu tafsir tegak dan berdiri sendiri dan banyak penafsir yang menggunakan hadits Rasulullah saw atau keterangan dari golongan tabi’in[15]  
b.      Ilmu fiqh dan mazhab-mazhabnya.
Diantara kebanggan zaman pemerintahan Abbasiyah pertama ialah  lahirnya empat imam fiqh, yaitu lmam Abu hanifah (150 H), Imam Malik (179 H), Imam Syafi (204 H). dan lmam Ahmad bin Hambal (241 H). Keempat imam tersebut merupakan ulama ulama fiqh yang paling agung dan tiada tandinganya di dunia Islam. Mazhab-mazhabnya fiqh mereka adalah yang paling masyhur dan paling luas penyebarannya hingga sekarang.
Di sana ada dua cara dalam tasyri 'lslam, yaitu ahlu Ra'yi dan ahlul Hadits. Ahlu Ra'yi adalah aliran yang mempergunaakan alias dan pikiran dalam menggali hukum[16]. Sementara secara ahlul hadits adalah berpegang teguh terhadap hadits-hadits atau nash-nash saja, karena mereka menghendaki hukum hukum fiqh itu benar-benar dari Rasulullah saw dan menolak sikap berpengang kepada hukum menurut pasangan akal akal pikiran[17] .
c.       Ilmu nahwu dan aliran-alirannya
Zaman pemerintahan Abbasiyah pertama adalah kaya dengan ahli nahwu bahasa arab yang terbagi menjadi dua aliran besar yaitu aliran Basrah dan aliran Kufah. Di antara tokoh-tokoh ahli Basrah ketika itu adalah lsa bin Umar as-Tsaqafi (l40 H), al Akhtasy (177 H), Yunus bin Habib (182 H), Sibawaih (180 H). Ru’asi, al-kisa’I, dan al-Farra.
Aliran Basrah sangat berbeda dengan aliran kufah. Aliran Basrah meletakkan kaidah-kaidah asas bagi bahasa Arab menurut yang biasanya digunakan oleh orang-orang Arab seandainya nyata sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaan itu maka dianggap sebagai luar biasa atau syaz jika terbukti sah atau betul, maka ianya dihafal dan tidak dikiaskan. Sedangkan aliran Kufah menyebut segala yang dituturkan oleh orang Arab dan menjadikannya sebagai asas yang harus ditiru dan menyusunkan berbagi kaidah untuknya.[18]
d.      Sejarah dan kelahirannya
Menjelang zaman pembukaan di zaman pemerintahan Abbasiyah yang pertama, ide-ide penulisan sejarah yang kuat dan berisi pula tokoh-tokoh yang melakukan secara ilmiah dan halus, yaitu Muhammad bin Ishak, dan bukunya dari sejarah Rasulullah saw adalah kitab yang paling tua dalam membiacarakan hal tersebut. Buku tersebut diringkas oleh lbnu Hisyam dalam bukunya yang terkenal dengan nama Sirah Ibnu Hisyam.
3.      Terjemahan Bahasa Asing
Secara umum, gerakan penerjemahan pada masa Dinasti Abbildiyah dapat dibagi menjadi tiga periode.[19] Periode pertama adalah masa khalifah al-Mansyur dan khalifah Harun ar-Rasyid. Pada periode ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Para penerjemah periode pertama kebanyakan berasal dari keluarga Barmaki, orang-orang Zoroester, dan sarjana Kristen Nestorian. Periode kedua berlangsung selama masa khalifah Al Makmun hingga tahun 300 H. di masa ini karya-karya yang banyak diterjemahakan adalah buku-buku filsafat dan kedokteran. Pada periode di penerjemah yang paling aktif di Baitul Hikmah adalah Abu Sahl fadl bin Nawabakht dan Allan asy-Syu'ubi serta Yuhana bin Masawaih. Selain itu ada Hunain bin lshaq al-Ibad dan Qustha bin Luqa. Periode ketiga berlangsung setelah tahun 300 H. terutama sejak munculnya teknologi pembuatan kertas. Pada periode ini Baitul Hikmah mulai menurun seiring dengan meninggalnya khalifah Al-Makmun. Masa ini bertepatan dengan beralihnya paham teologis yang awalnya sebagai pendukung Mu'tazilah menjadi penentang paham Mu'tazilah.
  1. Sejarah Baitul Hikmah.
Baitul Hikmah adalah lembaga ilmu pengetahuan yang berdiri di kota Baghdad. lnstitusi Baitul Hikmah merupakan kelanjutan dari beban yang sama dari imperium Sasania Persia yang bernama Jundishapur Akademi.[20] Namun, berbeda dari institusi pada masa Sasania Persia yang hanya menyimpan puisi-puisi dan cerita-cerita untuk raja. Pada masa Abbasiyah institusi ini memperluas penggunaannya.
Pendirian lembaga ini sebenarnya sudah mulai dirintis di masa pemerintahan Harun Ar Rasyid. Pada masa khalifah Harun ar Rasyid, Baitul Hikmah Disebut Khizanat al-Hikmah[21] Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Nadim. Dalam penjelasannya tentang Abu Sahl al Fadhl Ibnu Nawbakht menyebutkan bahwa Sahl pernah bekerja di bawah Harun ar Rasyid pada Khazanah al-Hikmah. Ibnu Nadim juga menyebutkan bahwa Allan asy Syu'ubi adalah penurun untuk Harun ar Rasyid, Al Makmun dan keluarga Baramikah.[22]
Pada masa khalifah Al Makmun, lembaga ini mencapai puncaknya. Sejak 815 M, beliau membangun lembaga tersebut dan mengubah namanya menjadi Baitul Hikmah[23] beliau melakukan pengembangan yang dilakukan dengan meningkatkan fungsi Baitul Hikmah dengan memasukkan fosil dan penerjemahan karya-karya filsafat dan pengetahuan asing dari berbagai bahasa.
Pada masa khalifah Al Makmur, Baitul Hikmah dilengkapi dengan berbagai fasilitas untuk menunjang perannya sebagai pusat ilmu pengetahuan. Di dalamnya terdapat sebuah perpustakaan lengkap, selain itu ada ruang yang sangat baik dan tempat tinggal para penerjemah. Tidak hanya itu Al-Makmun juga membangun tempat- tempat pertemuan bagi para ilmuwan melakukan diskusi. Selain itu di Baitul Hikmah juga dilengkapi dengan observatorium.[24]
Di institusi ini Al Makmun mempekerjakan Muhammad bin Musa al-Khawarizmi yang ahli di bidang aljabar dan astronomi. Orang-orang Persia juga terus diperkerjakan di Baitul Hikmah ini. Direktur perpustakaan Baitul Hikmah sendiri adalah Seorang nasionalis Persia dan ahli Pahlewi, Sahl Ibnu Harun. Sementara itu tugas penerjemahan beliau berikan kepada Yahya bin Abi Mansur, Qusta bin Luqa, Hunain bin Ishaq, dan Sabian Sabit bin Qurra.
Dari pertengahan abad ke-9, Baitul Hikmah dikuasai oleh satu mazhab penerjemah di bawah bimbingan Hunaynibn Ishaq. Mereka menerjemahkan karya-karya keilmuan lain dari galen serta karya-karya filsafat dan metafisika dari Aristoteles dan Plato.[25]
Setelah masa khalifah Al Makmun berakhir, Baitul Hikmah mengalami kemunduran. Hal ini menyebabkan pasca khalifah Al Makmun tidak ada lagi khalifah yang mencurahkan perhatiannya kepada Baitul Hikmah seperti Khalifah Al Makmun. Perhatian kepada Baitul Hikmah mulai berkurang semenjak kekuasaan dipegang oleh khalifah Al Mu'tashim. Karena perhatian Al-Mu'tashim terhadap budaya adalah sedikit sekali. Al Mu'tashim tidak memiliki semangat sedikitpun, maka tidak menggerankan jika Baitul Hikmah tidak mendapat perhatian sebagaimana mestinya.
Keadaan Baitul Hikmah setelah khalifah Al Makmun dapat diketahui berdasarkan penjelasan dari Al-Qalqasjandi. Menurut beliau, Baitul hikmah Tetap hidup sampai bangsa Tartar memasuki kota Baghidad. Sesudah bangsa Tartar memasuki kota Baghdad dan Khalufah terakhir dari kerajaan Bani Abbas yaitu Al-Mu'tashim dibunuh Hulaghu Khan dan kota Baghdad diruntuhkan, maka lenyap dan hancurlah Baitul Hikmah itu.

  1. Baitul Hikmah berperan sebagai biro penerjemahan.
Di Baitul Hikmah, kegiatan penerjemahan adalah kegiatan yang paling dominan di institusi tersebut.[26]  Al Makmun dengan penuh semangat mengumpulkan para penerjemah terbaik untuk bekerja di lembaga ini. Sehingga terbentuklah badan penerjemahan dan penyarah serta para penjual kertas untuk menjaga agar naskah kuno tidak sampai punah. Ia menentukan penanggung jawab dalam masalah ini pada setiap bahasa sebagai pengawasan terhadap siapa yang menerjemahkan buku-buku kunonya. Dia memerintahkan orang-orangnya untuk mengumpulkan karya-karya klasik dalam berbagai bahasa untuk dipelajari dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Terkadang dari bahasa Arab ke bahasa lain. Semua itu adalah satu bagian yang digunakan dari berbagai sudut dan bagian pembendaharaan yang telah ditetapkan di bagian perpustakaan.
Di awal permulaan berdirinya Baitul Hikmah, dihadapkan pada buku-buku dari Persia dan India.[27] Yang demikian itu karena Yahya Ibnu Khalid Al Barmaki berasal dari Persia dan pendidikannyapun pendidikan Persia dan beliau pada masa itu mengawasi urusan negara, serta dan pembangunan ilmiah  karena khususnya menerjemahkan buku-buku ke dalam Bahasa Arab dari kebudayaan Persia. Selain karya-karya dari Persia, Yahya bin Khalid juga memerintahkan untuk menerjemahkan karya-karya dari India. Oleh karena itu beliau meminta kedatangan ulama-ulama dan orang-orang pintar bangsa Hindu ke Baghdad. Mereka ditunjuk oleh Yahya untuk menerjemahkan buku-buku dalam Bahasa Hidu kedalam Bahasa Arab. Maka, dengan perantara ulama-ulama dan orang-orang pintar dari hindia dapatlah disiplin ilmu pengetahuan bangsa hindu dalam Bahasa Arab.
Selain buku-buku dari India dan Persia, buku-buku dari Yunani pun juga dilakukan penerjemahan. Karya-karya Yunani yang diterjemahkan dalam masa itu adalah karya-karya dari Plato, Aristoteles Galen, dan Euklides.[28] Salinan mahakarya Ptolemeus dalam bidang astronomi yang segera masyhur di dunia Arab dan selanjutnya di dunia Latin, seperti almagest.
Ibnu Nadim menyebutkan dalam bukunya al-Fahrasat sepuluh nama orang-orang yang tergabung sebagai tim penerjemah dari bahasa India, Yunani, Persia, Suryaniyah, dan Nibthiniyah.[29]
Pelaksanaan penerjemahan pertama di masa khalifah al Makmun dimulai dari buku berbahasa Syiria, yaitu sejumlah karya dari Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Syiria. Setelah itu baru dilakukan penerjemahan karya-karya ilmiah dari Yunani langsung ke bahasa Arab, terutama buku-buku tentang astronomi dan kedokteran. Sesudah itu karya-karya dalam bidang ilmu matematika, astrologi, dan ilmu bumi. Salah satu prestasi yang sangat fenomenal yang pernah ditorehkan oleh sarjana-sarjana Baitul Hikmah adalah keberhasilan dalam menentukan susunan peta bumi.[30]  Mereka tidak hanya sebatas menerjemahkan kitab-kitab ke dalam bahasa Arah, tapi juga menerjemahkan segala Bahasa negara yang tersebar dalam kumpulan masyarakat Islam.
Peran para ilmuwan tidak terbatas hanya dalam penerjemahan. Mereka juga memberikan ta'liq (komentar) atas kitab-kitab tersebut. Mereka menafsirkan teori atau pandangan dalam kitab itu dan menulisnya sesuai konteks, menyempurnakan kekurangan dan mengoreksi setiap kesalahan. Aktivitas ini yang di masa sekarang dikenal dengan tahqiq (penelitian).[31]
Dalam waktu 150 tahun. cendekiawaan Arab berhasil menerjemahkan semua buku Yunani tentang sains dan filsafat yang tersedia saat itu. Bahasa Arab segera menggantikan Bahasa Yunani sebagai bahasa umum dalam penelitian ilmiah.[32]
  1. Baitul Hikmah sebagai lembaga ilmu pengetahuan
Baitul Hikmah adalah lembaga ilmu pengetahuan yang didirikan di Baghdad[33]. Sebagai lembaga ilmu pengetahuan, Baitul Hikmah berperan dalam pelestarian ilmu pengetahuan yang tidak ternilai pada masa dinasti Abbasyiah.
Sebagai lembaga ilmu pengetahuan, Baitul Hikmah dilengkapi dengan fasilitas seperto biro penerjemah, perpustakaan, dan gedung buku serta dikelilingi cendikiawaan dan ilmuwan dari berbagai penjuru kerajaan. Salah satu kegiatan keilmiahan yang dilakukan pada masa itu adalah penerjemahan. Melalui gerakan penerjemahan melahirkan banyak karya-karya penting dalam bidang ilmi pengetahuan bagi peradaban islam.
Di lembaga ini para penulis mengarang kitab-kitab khusus. Para penulis berada di bawah divisi penulisan dan penelitian dalam perpustakaan. Atau ada yang menulis dan meneliti di luar perpustakaan. Kemudian para pengarang itu mendapatkan bayaran yang sesuai dari khalifah, bahkan para penyalin di Baitul Hikmah dapat memilih sesuai ketetapan khusus yang mencakup segala bidang. Kita menemukan Alan asy-syu'ubi termasuk ulama abad ketiga yang menyalin di Baitul Hikmah untuk khalifah ar-Rasyid dan Al-Makmun.[34]
 Ilmuwan ilmuwan yang lahir di masa itu seperti Al-Khawarizmi penemu aljabar dan angka nol, Ar-Razi seorang yang ahli di bidang kedokteran yang berhasil menemukan penyakit campak dan cacar, di bidang filsafat lahir ilmuwan yang terkenal yaitu Al Kindi.
  1. Implikasi Gerakan Terjemah Bagi Perkembangan Pendidikan dan Peradaban Islam.
Gerakan penerjemahan adalah gerakan menerjemahkan buku-buku dari Bahasa asing ke Bahasa arab. Gerakan penerjemahan ini terjadi di dinasti Abbasiyah pada masa khalifah Al Makmur. Pada masa khalifah Al Makmur ini beliau membangun Baitul Hikmah yang menjadi cikal bakal peradaban keilmuan islam. Implikasi gerakan terjamah bagi peradaban dan perkembangan peradaban islam antara lain yaitu:
  1. Lahirnya empat imam fiqh, yaitu lmam Abu hanifah (150 H), Imam Malik (179 H), Imam Syafi (204 H). dan lmam Ahmad bin Hambal (241 H). Keempat imam tersebut merupakan ulama ulama fiqh yang paling agung dan tiada tandinganya di dunia Islam. Mazhab-mazhabnya fiqh mereka adalah yang paling masyhur dan paling luas penyebarannya hingga sekarang.
  2. Melahirkan ilmu tafsir Al Qur'an dan Pengaturannya dari ilmu hadits. Hadis kelahiran tafsir ternyata sebelum zaman tersebut tidak terdapat penafsiran Al-Qur'an, dan tidak juga sebagiannya secara teratur dan tersusun. Sebaliknya yang ada ialah tafsir bagi sebagian-sebagian ayat dari berbagai surat, dibuat untuk tujuan tertentu atau karena orang-orang berselisih pendapat mengenai maknanya.
  3. Melahirkan Ilmuwan ilmuwan seperti Al-Khawarizmi penemu aljabar dan angka nol, Ar-Razi seorang yang ahli di bidang kedokteran yang berhasil menemukan penyakit campak dan cacar, di bidang filsafat lahir ilmuwan yang terkenal yaitu Al Kindi.
  4. Berhasil menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani, Persia, syiria dan India yang keilmuannya bisa dirasakan sampai sekarang.



  1. Kesimpulan


Dari pembahasan dalam makalah di atas, dapat kita Tarik kesimpulan, yaitu:

Sejarah perjuangan umat Islam dalam pentas peradaban dunia berlangsung sangat lama sekira 13 abad, yaitu sejak masa kepemimpinan Rasulullah Saw di Madinah (622-632M), Masa Khulafaur Rasyidin (632-661M), Masa Daulat Umayyah (661-750M) dan Masa Daulat Abbasiyah (750-1258 M) sampai tumbangnya Kekhilafahan Turki Utsmani pada tanggal 28 Rajab tahun 1342 H atau bertepatan dengan tanggal 3 Maret 1924 M. Dimana masa-masa kejayaan dan puncak keemasannya banyak melahirkan banyak ilmuwan muslim berkaliber Internasional yang telah menorehkan karya-karya luar biasa dan bermanfaat bagi umat manusia yang terjadi selama kurang lebih 700 tahun, dimulai dari abad 6 M sampai dengan abad 12 M. Pada masa tersebut, kendali peradaban dunia berada pada tangan umat Islam.
Baitul Hikmah didirikan pada masa dinasti Abbasiyah. Pendirian lembaga ini sebenarnya sudah mulai dirintis di masa pemerintahan Harun Ar Rasyid. Pada masa khalifah Harun ar Rasyid, Baitul Hikmah Disebut Khizanat al-Hikmah
Pada masa khalifah Al Makmun, lembaga ini mencapai puncaknya. Sejak 815 M, beliau membangun lembaga tersebut dan mengubah namanya menjadi Baitul Hikmah[35] beliau melakukan pengembangan yang dilakukan dengan meningkatkan fungsi Baitul Hikmah dengan memasukkan fosil dan penerjemahan karya-karya filsafat dan pengetahuan asing dari berbagai bahasa.
Pada masa khalifah Al Makmur, Baitul Hikmah dilengkapi dengan berbagai fasilitas untuk menunjang perannya sebagai pusat ilmu pengetahuan. Di dalamnya terdapat sebuah perpustakaan lengkap, selain itu ada ruang yang sangat baik dan tempat tinggal para penerjemah. Tidak hanya itu Al-Makmun juga membangun tempat- tempat pertemuan bagi para ilmuwan melakukan diskusi. Selain itu di Baitul Hikmah juga dilengkapi dengan observatorium
Implikasi Gerakan Terjemah Bagi Perkembangan Pendidikan dan Peradaban Islam yaitu melahirkan  imam mazhab yang Mazhab-mazhabnya fiqh mereka adalah yang paling masyhur dan paling luas penyebarannya hingga sekarang. Melahirkan ahli tafsir, Melahirkan Ilmuwan ilmuwan seperti Al-Khawarizmi penemu aljabar dan angka nol, Ar-Razi seorang yang ahli di bidang kedokteran yang berhasil menemukan penyakit campak dan cacar, di bidang filsafat lahir ilmuwan yang terkenal yaitu Al Kindi.


Daftar Pustaka


A Hasimy, 1973. Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang
Al-Abdul syukur al-Azizi, Abu. 2014. Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, Yogyakarta; Saufa
Asrohah, Hanum, 1999. Sejarh Pendidikan Islam, Jakarta: PT Logog Wacan Ilmu
Lyons, Jonathan, 2013. The Great of Baitul Hikmah Konstribusi Islam dalam Peradapan Barat, Jakarta:Noura Books
Maryam, Siti. 2012. Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, Yogyakarta: LESFI
Qasim A. Ibrahim, Muhammad A Shaleh, 2014. Buku Pintar Sejarah Islam, Jakarta:Zaman
Syafii Antonio, Muhammad. 2012. Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, Jakarta: Tazkai Publishing.
Syalabi, Ahmad, 2003. Sejarah dan Kebudayaan Islam Jakarta: Pustaka Al Husna Baru






[1] Muhammad Syafii Antonio, Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, (Jakarta: Tazkai Publishing. 2012), hlm.50
[2] Siti Maryam, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, (Yogyakarta: LESFI, 2012), hlm. 97
[3] Muhammad Syafii Antonio, Ensiklopedi Peradaban…, hlm.56-57
[4] Abu al-Abdul syukur al-Azizi, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Yogyakarta; Saufa, 2014), hlm. 179
[5] Muhmmad Syafii Antonio, Ensiklopedi Peradaban…hlm.52
[6] Siti Maryam, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, (Yogyakarta: LESFI, 2012), hlm. 98
[7] Qasim A. Ibrahim, Muhammad A Shaleh, Buku Pintar Sejarah Islam, (Jakarta:Zaman, 2014), hlm.325-326
[8] Ibid…,hlm.325-326

[9] Qasim A. Ibrahim, Muhammad A Shaleh, Buku Pintar Sejarah Islam, (Jakarta:Zaman, 2014), hlm.328
[10] Siti Maryam, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, (Yogyakarta: LESFI, 2012), hlm. 100
[11] A Hasimy, sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1973), hlm.224.
[12] Ahmad Syalabi, sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2003), hlm 160
[13] Ahmad Syalabi,ibid…,hlm.160
[14] Ibid…,hlm.161
[15] ibid .... hlm.162-163
[16] Ibid…,hlm.73
[17] Ibid…,hlm.164

[18] Ibid…,hlm.166-167
[19] Ibid…,hlm.132-133

[20] Siti Maryam. Sejarah Peradaban …,hlm.105
[21] Muhammad Syafii Antonio, Ensiklopedia Peradaban Islam ..., hlm 130
[22] Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm.154
[23] Siti Maryam, Sejarah Peradaban…,hlm.105
[24] Hanum Asrohah, Sejarh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Logog Wacan Ilmu, 1999), hlm.69
[25] Siti Maryam, Sejarah Peradaban…,hlm.105

[26] Muhammad Syafii Antonio, Ensiklopedia Peradaban Islam…,hlm.130
[27] Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam,hlm.170
[28] Jonathan Lyons, The Great of Baitul Hikmah Konstribusi Islam dalam Peradapan Barat, (Jakarta:Noura Books, 2013), hlm.89
[29] Raghib as-Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, hlm.243
[30] Muhammad Syafii Antonio, Ensiklopedia Perubahan Islam…,hlm.130
[31] Raghib As Sirjani,ibid…,hlm.243
[32] Jonathan Lyon, The Great Bait al-Hikmah, hlm,91
[33] Muhammad Syafii Antonio, Ensiklopedia Peradaban Islam ....,hlm.130
[34] Raghib as-Sirjani, ibid ....,hlm.245
[35] Siti Maryam, Sejarah Peradaban…,hal.105

Komentar