UNIVERSITAS AL-AZHAR SEBAGAI PENINGGALAN KEJAYAAN PERADABAN ISLAM


UNIVERSITAS AL-AZHAR
SEBAGAI PENINGGALAN KEJAYAAN PERADABAN ISLAM

Oleh: Andrigo Wibowo
Dosen Pengampu: Dr. Junanah, MIS.

A. Latar Belakang Masalah
Berakhirnya kekuasaan Dinasti Abbasiyah di awal abad kesembilan ditandai dengan munculnya disintegrasi wilayah. Di berbagai daerah yang selama ini dikuasai, menyatakan melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah di Baghdad dan membentuk daulah-daulah kecil yang berdiri sendiri (otonom). Di bagian timur Baghdad, muncul dinasti Tahiriyah, Saariyah, Samaniyah, Gasaniyah, Buwaihiyah, dan Bani Saljuk. Sementara ini di bagian barat, muncul dinasti Idrisiyah, Aglabiyah, Tuluniyah, Fatimiyah, Ikhsidiyah, dan Hamdaniyah.
Dinasti ini mengalami masa kejayaan pada pemerintahan Al-Aziz. Kebudayaan Islam berkembang pesat pada masa Dinasti Fatimiah, yang ditandai dengan berdirinya Masjid Al-Azhar. Masjid ini berfungsi sebagai pusat pengkajian islam dan ilmu pengetahuan. Pada masa-masa awal, proses pendidikan islam berlangsung ditempat-tempat yang merupakan pusat ibadah (masjid). Namun karena banyaknya umat islam yang berminat untuk belajar sedang kapasitas masjid tidak lagi mencukupi, juga mengganggu kegiatan orang yang beribadah, institusi pendidikan mulai mengadakan pembenahan-pembenahan dengan menjadikan khan (skat-skat). Dalam masjid khan mulai dilakukan pembagian kelompok studi terhadap murid-murid yang belajar. Kendati sudah ada pengelompokkan, tetapi pada tahap ini belum ada pengelolaan administrasi yang bagus.[1]
Al-Azhar dan Kairo merupakan bukti monumental sebagai produk peradaban islam di Mesir yang tetap eksis sampai saat ini. Kata al-Jamiah yang diterjemahkan universitas berawal dari nama sebuah masjid Jami’ al-Azhar. Fenomena ini menunjukan peradaban yang sangat maju, karena fungsi masjid tidak hanya tempat shalat sebagaimana dikonotasikan oleh mayoritas umat islam saat ini, tetapi difungsikan lebih luas lagi. Masjid al-Azhar adalah sebagai pusat ilmu pengetahuan, tempat diskusi bahasa dan juga mendengarkan kisah dari orang-orang yang ahli bercerita. Baru setelah pemerintahan dipegang oleh khalifah Al-Aziz Billah mengubah fungsi masjid al-Azhar menjadi universitas.

B. Pembahasan
1. Sejarah Lahiranya Universitas Al-Azhar
Setelah Baghdad sebagai pusat dunia Islam diserang oleh Khulaqu pada tahun 1258 M, ibu kota dunia Islam pindah ke Kairo, Mesir. Begitu juga lembaga pendidikannya, yang semua Bait al-Hikmah merupakan lembaga pendidikan internasional di Baghdad, maka setelah mengalami kemunduran, al-Azhar di Mesir didirikan sebagai lembaga pendidikan alternative, sekaligus pusat ilmu pengetahuan yang dikunjungi oleh para ulama dan pelajar dari seluruh pelosok dunia hingga kini.[2]
Al-Azhar didirikan oleh Jauhar al-Shiqli, seorang panglima khalifah Fathimiyah al-Mu’iz Lidinillah; selesai dibangun selama dua tahun dan berakhir sabtu, 7 Ramadan 361 H atau 22 Juni 972 M. Sejak dibangunnya hingga kini, al-Azhar mendapat perhatian dan bantuan dari pihak pemerintah setempat. Pada awal mula berdirinya, al-Azhar mengajarkan fiqh menurut mazhab Sy’ah, dan itu berjalan sampai jatuhnya Khalifah Fathimiyah pada tahun 567 H. ketika Mesir diperintah oleh Shalahuddin al-Ayyubi pada tahun 1171 M atau 567 H, Pelajaran fiqih syi’ah diganti menurut mazhab sunni. Selanjutnya, didirikan madrasah-madrasah dengan guru-guru resmi yang diangkat mengajat disana. Terjadilah peralihan dari al-Azhar kepada madrasah-madrasah Ayyubiyah, yang mengakibatkan  kemajuan bergeser pada madrasah tersebut. Kebangkitan al-Azhar kembali terjadi melalui  Sultan Baibars. Namun, agaknya kejayaan mesir dengan al-Azharanya ini jatuh bangun. Saat Mesir jatuh di bawah kekuasaan Sultan Usmaniyah Turki pada tahun 1517 M atau 923 H, kemegahan mesir pun pindah ke Istanbul, Turki.[3]
Seiring berjalan waktu, Dinasti Fatimiyyah menggantikannya dengan Al-Azhar. Nama Al-Azhar dapat diartikan sebagai “yang paling berkembang”, konon karena daerah ini saat itu sedang mengalami perkembangan yang amat pesat. Tiga tahun pasca berdirinya Masjid Al-Azhar, tepatnya 975 M, Dinasti Fatimiyyah mulai membuka sebuah universitas bernama Al-Azhar.[4]
Beberapa abad kemudian, modernisasi Mesir dilakukan kembalai. Muhammad Ali Pasya pada tahun 1805 M atau 1220 H membangun kembali al-Azhar. Para ulamanya dikirim untuk belajar ke Prancis guna mempelajari ilmu kedokteran, teknik, militer, dan lain-lain.
Kendatipun Muhammad Ali Pasya (1765-1849) seorang illiterate atau buta huruf, ia mengerti akan pentingnya pendidikan dan ilmu pengetahuan bagi kemajuan suatu negara. Dalam pembangunan pendidikan ini ia mendidrikan Kementerian  Pendidikan dan Sekolah Militer pada tahun 1815, lalu Sekolah Teknik dan Kedokteran pada tahun 1827. Para guru dan tenaga ahlinya didatangkan dari barat dan Eropa. Di samping itu, ia mengirim para pelajar untuk studi di barat guna mendalami berbagai macam ilmu pengatahuan dan teknologi yang berkembang di sana, dan sekembalinya ketanah air mereka ditugaskan untuk mengembangkan iptek tersebut. Ia juga mendidrikan sekolah farmasi, Sekolah pertambangan, Sekolah Pertanian, Sekolah Kedokteran, Sekolah Tinggi Teknik, sekolah penerjemahan, dan lain-lain. Selain itu, untuk memperkuat ketahanan negaranya, Muhammad Ali Pasya mengembangkan pendidikan militer dan bentuk-bentuk latihan lainnya. Bisa dikatakan bahawa modernisasi pendidikan dilakukan oleh Muhmmad Ali Pasya ini merupakan upaya pembaharuan pendidikan di dunia islam yang pertama karena bentuk sekolah tradisonal yang ada sebelumnya, yang hanya menekankan pelajaran agama semata.[5]
Bila Muhammad Ali Pasya tampil dalam pembaharuan sistem pendidikan secara nasioanal di Mesir melalui jalur politiknya sebagai pejabat pemerintah; Muhammad Abduh tercatat sebagai pembaharu pendidikan Mesir, terutama untuk skop lembaga pendidikan tradisioanal dan keagamaan, yakni al-Azhar. Bagi Abduh, ilmu pengetahuan modern yang berkembang di Barat bersumber dari sunnahtullah atau hukum alam. Jadi, tidak bertentangan dengan ajaran islam. Menurutnya, iptek telah menjadi sebab kemajuan umat islam di masa lampau dan merupakan faktor kemajuan di dunia barat saat ini, umat islam hendaknya memperhatikan pendidikan dan iptek. Sekolah-sekolah modern perlu dibuka dan di situ diberikan pengetahuan modern di samping materi agama. Menurtut Abduh, pemebaharuan pendidikan di al-Azhar merupakan Universitas Islam Internasional yang bukan saja dikunjungi  para pelajar muslim dari seluruh penjuru dunia, yang sekembali mereka kenegara asal akan  membawah ide pembaharuan, melainkan juga al-Azhar telah mendapat tempat terhormat dikalangan umat islam.berfikir dari pola-pola demikian, Abduh mengehendaki dimasukannya beberapa disiplin ilmu modern  (al-ulum al-aqliyah) dalam kurikulum  al-Azhar, seperti fisika, ilmu pasti, filsafat, sosiologi, dan sejarah. Begitu pula sebalinya ia mengehendaki dimasukannya pendidikan agama yang lebih intensif, termasuk sejarah kebudayaan islam, kedalam kurikulum sekolah-sekolah bentukan pemerintahan. Agaknya, Abduh berupaya mengintegrasikan ilmu modern dengan agama. Dengan masukanya ilmu modern di al-Azhar, lalu memperkuat pendidikan agama di sekolah-sekolah pemerintah, menurut Abduh, dikotomi ilmu dan jurang pemisah antara ulama dan ilmuan modern dapat diperkecil.[6]
Sekarang al-Azhar bukan lagi universitas keagamaan yang hanya memiliki beberapa Fakultas Ushuluddin, Fakultas Syariah, Fakultas Dakwah, Fakultas Tarbiyah Dan Fakultas Adab, melainkan juga terdiri atas berbagai fakultas umum seperti Fakulatas Pertanian, Fakultas Ekonomi, Fakultas Sastra, Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Gigi, Fakultas Farmasi, Fakultas Ilmu Pasti Alam, Fakultas Teknik dan Industry Serta Fakultas Perdagangan dan Manajemen. Gelara akademik yang diberikan oleh universitas ini sesuai dengan strata pendidikan tinggi yang diikutinya, misalnnya  Lc atau Licence untuk S-1, Magister untuk S-2, dan Doktor untuk S-3. Sementara itu gelar Diploma diberikan kepada mahasiswa yang telah menyelesaikan studinya pada program Diploma. Sarana perpustakaan tergolong terbesar di Mesir setelah perpustakaan Negara Dar al-Kutub. Perpustakaan al-Azhar ini memiliki lebih kurang 24.000 manuskrip yang tersebar di enam lokasi, Ruwwq Turki, Ruwwaq Abbasi, Ruwwaq  Maghribi dan Ruwwaq Sawwam. Setiap fakultas juga memiliki perpustakaan sendiri secara otonom, plus perpustakaan yang tersedia di asrama mahasiswa.[7]

Sampai pada tahun 1956, Mesir menerapakan sistem persekolahn berikut:
1. sistem pendidikan keagamaan, misalnya madrasah, kutab, dan al-Azhar
2. sistem sekolah yang menggunakan bahasa pengantar bahasa asing
3. sistem sekolah yang didirikan oleh pemerintah
4. sistem sekolah asing dengan kurikulum sendiri.
Dalam usianya lebih dari 1.000 tahun, al-Azhar semakin menunjukan kematangannya. Al-Azhar tidak mudah terbawah arus, bahkan ia kokoh sebagai salah satu pusat peradaban sunni yang mempunyai komitmen mengembangkan islam moderat. Ditengah tarikan ideologi politik global yang cendrung ekstremis, al-Azhar masih konsisten mengambil jalan untuk mencetak ulama-ulama yang mempunyai pemahaman yang komperehensif tentang khazanah islam.[8]   
Al-Azhar merupakan istitusi yang unik, yang memadukan antara masjid sebagai simbol spiritualitas dan universitas sebagai simbol rasioanalitsas. Perpaduan antara spriritual dan rasionalitas merupakan jalan menuju moderi islam. Keseimbangan itulah yang sebenarnnya terpatri dalam jiwa grend syaikh Muhammad sayyed tantawi. Keberhasilan al-azhar menangani kelompok islam politik telah memberikan harapan agar al-azhar tidak  terjebak dalam kepentingan politik tertentu, terutama dalam kaitannya dengan prolifirasi ekstemisme dan radikalisme. Bisa dibayangkan jika mesir tidak mempunyai al-azhar, maka tidak menutup kemungkinan akan menjelma seperti Pakistan dan afganistan. Sebab itu, al-azhar telah menyelamatkan mesir dari hegemoni kalangan ekstemis yang kerapkali menggunakan baju islam sebagai justifikasi.[9]
Perpustakaan masjid dan perpustakaan jenis ini ditetapkan sebagai perpustakaan pertama dalam islam. Perpustakaan tumbuh dalam sejarah islam seiring tumbuh dan didirikannya masjid di antara perpustakaan ini adalah maktabah universitas Al-Azhar. Semua buku-buku tersebut merupakan infak kepada perpustakaan yang secar umum berasal dari pemberian wakaf. Pemerintah saat itu mengkhususkan infak bagi perpustakaan wakaf-wakaf tertentu juga dibantu oleh sebagian orang kaya dan dermawan yang mewakafkanya.[10]

2. Metode dan Kurikulum Al –Azhar
Pada mulanya pengajaran di Universitas al-Azhar sama dengan institusi pendidikan yang lain, yaitu sistem ber-halaqah (melingkar); seorang pelajar bebas memilih guru dan dan pindah sesuai dengan kemauan. Umumnya guru atau syaikh yang mengajar itu duduk bersama para pelajar, tetapi kadang guru duduk dikursi ketika menerangkan kitab yang diajarkannya. Disamping itu, metode diskusi sangat dikembangkan sebagai metode dalam proses pembelajaran antar pelajar, seorang guru hanya berperan sebagai fasilitator dan memberikan penajaman dari materi yang didiskusikan.
Pada masa Fatimiyah, materi pelajaran yang diberikan di al-Azhar, disamping tentang ke-Fatimiyah-an, juga dipelajari ilmu naqliyah atau Syar’iyyah, antara lain: Ilmu Tafsir, Qira’at, Ilmu Hadits, Fikih, Ilmu Kalam, Nahwu, Lughat,al-Bayan, dan adab. Sedangkan  ilmu aqliah, antara lain: Filsafat, Arsitektur, Nujum, Musik, kedokteran, sihir, sejarah dan geografi. Diantara ulama yang turut belajar di al-Azhar pada masa ini adalah:
a.       Hasan ibn Ibrahim, yang lebih dikenal dengan Ibnu Zulaq (w. 387 H). Karena kecerdasaannya, ia diberi penghargaan untuk menjadi tenaga kerja di al-Azhar. Diantara karangannya adalah Kitab Fadhailu Mishr, Kitab Qudhatu Mishr, al-’Uyun al-Da’j.
b.      Al-Amir al-Mukhtar ‘Izzul Mulk Muhammad ibn Abdillah (w. 450 H). Ia seorang pakar dalam bidang politik, administrasi, dan sejarah. Diantara karyanya adalah Kitab al-Tarikh al-Kabir, yang dikenal dengan Tarikh Mishr.
c.       Abu Abdillah al-Qudha’I (w. 454 H). Diantara karyanya adalah Manaqib al-Imam al-Syafi’i.
d.      Abu Ali Muhammad ibn al-Hasan ibn al-Hitsam(w.436 H). Ia ilmuan dalam bidang teknik dan filsafat, dan matematika.[11]
Pada masa Ayyubiyah semua kegiatan di al-Azhar ditutup, karena menganut mazhab yang berbeda, maka hak-hak yang telah diberikan Dinasti Fatimiyah dihentikan pada masa Dnasti Ayyubiyah, diantaranya pencabutan hak menyampaikan khutbah.Di dalam buku Salaby (1954) ada disebutkan sekolahan-sekolahan termasuk di Mesir, Jarusaalem, Damsyik, dan lain-lain, malahan termasuk juga sekolah-sekolah ikhtisas seperti kedokteran.
Pada masa Mamalik, sistem pembelajaran di al-Azhar adalah para mahasiswa diberi kebebasan memilih mata kuliah yang dipelajarinya, sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasai oleh masing-masing dosen. bagi mahasiswa yang sudah menyelesaikan kuliahnya kepada seorang dosen, maka ia akan diberi syahadah (ijazah), yang berisi nama mahasiswa, dosen, mazhab, dan tanggal ijazah dikeluarkan. Diantara ulama yang bertugas di al-Azhar pada masa Mamalik adalah:
1.  Ali Ibn Yusuf Ibn Jarir al-Lakhmi (W. 713 H/1313 M), sebagai dosen dalam penelitian.
2.    Qiwamuddin al-Kirmani, sebagai dosen dalam ilmu fikih dan ilmu qira’at.
3.   Syamsuddin al-Ashbahani, sebagai dosen dalam bidang pemikiran.
4.   Syarifuddin al-Zawawi al-Maliki.
5.   Qunbur ibn Abdillah al-Sibziwani (W. 801 H), sebagai dosen dalam ilmu-ilmu aqliyah.
6.  Badruddin Muhammad ibn Abi Bakar al-Dimamaini (W. 827 H/1424 M), sebagai dosen dalam ilmu nahwu, nujum, dam fikih.
Demikianlah al-Azhar di masa kejayaannya. Sebagai sebuah universitas pertama di dunia. yang mencetak ilmuwan-ilmuwan dan ulama-ulama Muslim. Sebuah kesatuan ilmu pengetahuan yang barang kali belum bisa dicapai umat Muslim setelahnya sampai saat ini.

 3. Pembaharuan Al-Azhar
Pembaharuan administrasi pertama Al-Azhar dimulai pada masa pemerintahan Sultan Ad-Dhahir Barquq (784 H. / 1382 M.) dari dinasti Mamalik. Ketika ia mengangkat Amir Bahadir At-Thawasyi sebagai direktur pertama Al-Azhar tahun 784 H. / 1382 M. Upaya ini merupakan usaha awal untuk menjadikan Al-Azhar sebagai yayasan keagamaan yang mengikuti pemerintah.
Al-Azhar sebagai Menara keilmuan islam sempat mengalami masa kemunduran pada akhir pemerintah Dinasti Mamalik hingga Dinasti Turki Usmani. Pada masa itu, peran al-Azhar seperti dispelekan, hingga akhirnya pada abad 12 H al-Azhar seperti lumpuh total, al-Azhar benar-benar terputus dari sejarah kegemilangan yang perna dicapainnya. Bahkan dalam kurikulumnya ketika itu. Al-Azhar menolak mengajarkan ilmu-ilmu sains seperti matematika, berthitung, georafi dan sejarah.[12]
Sistem ini terus berjalan hingga pemerintahan Usmani menguasai Mesir di penghujung abad 11 H. Ditandai dengan pengangkatan “Syaikh Al-‘Umumy” yang digelar dengan Syaikh Al-Azhar sebagai figur sentral yang mengatur berbagai keperluan pendidikan, pengajaran, keuangan, fatwa hukum, termasuk tempat mengadukan segala persoalan. Pada fase ini terpilih Syaikh Muhammad Al-Khurasyi (1010 – 1101 H.) sebagai Syaikh Al-Azhar pertama. Secara keseluruhan ada 44 Syaikh yang telah memimpin Al-Azhar selama 49 periode, dan kini dipegang oleh Syaikh Ahmad Thayyeb.[13]
Masa keemasan Al-Azhar terjadi pada abad 9 H. (15 M.). Banyak ilmuwan dan ulama Islam bermunculan di Al-Azhar saat itu, seperti Ibnu Khaldun, Al-Farisi, As-Suyuthi, Al-’Aini, Al-Khawi, Abdul Latif Al-Baghdadi, Ibnu Khalqan, Al-Maqrizi dan lainnya yang telah mewariskan banyak ensiklopedi Arab. Iklim kemunduran kembali hadir ketika dinasti Usmani berkuasa di Mesir (1517 – 1798 M.). Al-Azhar mulai kurang berfungsi disertai kepulangan para ulama dan mahasiswa yang berangsur-angsur meninggalkan Kairo. Meski begitu, tambahan berbagai bangunan tetap diupayakan atas prakarsa amir-amir Usmani dan kaum Muslimin sedunia.
Kepemimpinan Muhammad Ali Pasha di Mesir pada tahap selanjutnya telah membentuk sistem pendidikan yang paralel tapi terpisah, yaitu pendidikan tradisional dan pendidikan modern. Ia juga berusaha menciutkan peranan Al-Azhar sebagai lembaga yang berpengaruh sepanjang sejarah, antara lain dengan menguasai Badan Wakaf Al-Azhar yang merupakan urat nadinya. Seterusnya, pada masa pemerintahan Khediv Ismail Pasha (1863 – 1879 M.) mulailah usaha reorganisasi pendidikan, dan dari sini pendidikan tradisional mulai bersaing dengan pendidikan modern. Serangan terhadap pendidikan tradisional sering tampak dari usaha yang menginginkan perbaikan Al-Azhar sebagai pusat pendidikan Islam terpenting. Sejak awal abad 19, sistem pendidikan Barat mulai diterapkan di sekolah-sekolah Mesir. Sementara Al-Azhar masih saja menggunakan sistem tradisional. Dari sini muncul suara pembaharuan.
Di antara pembaharuan yang menonjol adalah dicantumkannya sistem ujian untuk mendapatkan Ijazah Al-’Alimiyah (kesarjanaan) Al-Azhar pada Februari 1872. Juga pada tahun 1896, buat pertama kali dibentuk Idarah Al-Azhar (Dewan Administrasi). Usaha pertama dari dewan ini adalah mengeluarkan peraturan yang membagi masa belajar di Al-Azhar menjadi dua periode: Pendidikan dasar 8 tahun serta pendidikan menengah dan tinggi 12 tahun. Kurikulum Al-Azhar ikut diklasifikasikan dalam dua kelas: Al-’Ulum Al-Manqulah (bidang studi agama) dan Al-’Ulum Al-Ma’qulah (studi umum).[14]
Kalau bicara pembaharuan di Al-Azhar, kita jangan lupa dengan Muhammad ‘Abduh  (1849 – 1905). Ia mengusulkan perbaikan sistem pendidikan Al-Azhar dengan memasukkan ilmu-ilmu modern ke dalam kurikulumnya. Gagasan tersebut mulanya kurang disepakati oleh Syaikh Muhammad Al-Anbabi. Baru ketika Syaikh An-Nawawi memimpin Al-Azhar, ide Muhammad ‘Abduh bisa berpengaruh. Berangsur-angsur mulai diadakan pengaturan masa libur dan masa belajar. Uraian pelajaran yang berulang-ulang, atau yang dikenal dengan syarah Al-Hawasyi pun disederhanakan. Sementara itu kurikulum  modern seperti fisika, ilmu pasti, filsafat, sosiologi dan sejarah, telah menerobos Al-Azhar. Bersamaan dengan ini pula direnovasi ruwaq Al-Azhar sebagai pemondokan bagi guru dan mahasiswa.

C. Kesimpulan
                Al-Azhar didirikan oleh Jauhar al-Shiqli, seorang panglima khalifah Fathimiyah al-Mu’iz Lidinillah; selesai dibangun selama dua tahun dan berakhir sabtu, 7 Ramadan 361 H atau 22 Juni 972 M. Sejak dibangunnya hingga kini, al-Azhar mendapat perhatian dan bantuan dari pihak pemerintah setempat. Pada awal mula berdirinya, al-Azhar mengajarkan fiqh menurut mazhab Sy’ah, dan itu berjalan sampai jatuhnya Khalifah Fathimiyah pada tahun 567 H. ketika Mesir diperintah oleh Shalahuddin al-Ayyubi pada tahun 1171 M atau 567 H, Pelajaran fiqih syi’ah diganti menurut mazhab sunni.
                Pada mulanya pengajaran di Universitas al-Azhar sama dengan institusi pendidikan yang lain, yaitu sistem ber-halaqah (melingkar); seorang pelajar bebas memilih guru dan dan pindah sesuai dengan kemauan. Masa keemasan Al-Azhar terjadi pada abad 9 H. (15 M.). Banyak ilmuwan dan ulama Islam bermunculan di Al-Azhar saat itu, seperti Ibnu Khaldun, Al-Farisi, As-Suyuthi, Al-’Aini, Al-Khawi, Abdul Latif Al-Baghdadi, Ibnu Khalqan, Al-Maqrizi dan lainnya yang telah mewariskan banyak ensiklopedi Arab.
               Bila Muhammad Ali Pasya tampil dalam pembaharuan sistem pendidikan secara nasioanal di Mesir melalui jalur politiknya sebagai pejabat pemerintah; Muhammad Abduh tercatat sebagai pembaharu pendidikan Mesir, terutama untuk skop lembaga pendidikan tradisioanal dan keagamaan, yakni al-Azhar.
DAFATAR PUSTAKA
Assegaf, Abd. Rachman, Internasional Pendidikan Sketsa Perbandingan Pendidikan
di Negara-Negara Islam dan Barat. Yogyakarta: GAMA MEDIA, 2003.
As-Sirjani, Raghib, Sumbangan PERADABAN Islam Pada Dunia, Jakarta: pustak al-
kautsar 2012.
Aziansyah,UniversitasAlAzhar,hlm7,https://myaanazlansyah.blogspot.co.id/2016/12/
universitas-al-azhar.html , diakses pada hari selasa 3 April 2018 jam 16.30 WIB.
Misrawi, Zuhairi, AL-AZHAR: Menara Ilmu, Reformasi Dan Kiblat Keulamaan,
Muhammad, Sahri,  Samudera Ilmu Sunnahtullah empiric dalam perspektif filsafat
ilmu, etika terapan dan agama. Malang: UB Press, 2014. Hlm 221, dikutip dari https://books.google.co.id/books?id=Sx1QDwAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=samudera+ilmu+sunnahtullah&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjsp8SCpYjaAhULOo8KHRIyB44Q6AEIKzAA#v=onepage&q=samudera%20ilmu%20sunnahtullah&f=false, dikases pada hari minggu tanggal 25 maret 2018 jam 23.00 WIB.
Odiemha,  Islam Abad Pertengahan, http://akademika-
odiemha.blogspot.co.id/2009/12/islam-abad-pertengahan.html , dialses pada hari jumat tanggal 6 April 2018 jam 14.58 WIB.

Putra, Owen,  Dua Sahara Romansa Giza hingga Thunisia. Jakarta: Garmedia
Pustaka Utama, 2013.
Ridloni Marzuq, Jauhar, Kota Sejuta Kisah Catatan tentang Mesir, Kairo, dan Al-
Azhar. Jakarta: Gramedia, 2015.

Makalah Prarevisi


[1]Odiemha,  Islam Abad Pertengahan, dikutip dari http://akademika-odiemha.blogspot.co.id/2009/12/islam-abad-pertengahan.html , diakses pada hari jumat tanggal 6 April 2018 jam 14.58 WIB.
[2] Abd. Rachman Assegaf, Internasional Pendidikan Sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-Negara Islam dan Barat. Yogyakarta: GAMA MEDIA, 2003, hlm 57-58.
[3] Ibid., hlm 58.
[4] Owen Putra, Dua Sahara Romansa Giza hingga Thunisia. Jakarta: Garmedia Pustaka Utama, 2013, hlm 80.
[5] Ibid., hlm 59.
[6] Ibid., hlm 59-60.
[7]Ibid., hlm 60-61.
[8] Zuhairi misrawi, AL-AZHAR: Menara Ilmu, Reformasi Dan Kiblat Keulamaan, Jakarta: buku kompas, 2010, hlm 314, dikutip dari https://books.google.co.id/books?id=l-vv_AjepMoC&pg=PA358&dq=universitas+al-azhar+sebagai+peradaban+islam&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjjsri42ebZAhXKP48KHXnhDF8Q6AEILDAA#v=onepage&q=universitas%20al-azhar%20sebagai%20peradaban%20islam&f=false, diakses pada hari senin 12 maret 2018 jam 18.45 WIB.
[9] Ibid., hlm 331.
[10] Raghib  As-Sirjani, Sumbangan Peradapan Islam Pada Dunia, Jakarta: pustak al-kautsar 2012.
[11]Aziansyah,UniversitasAlAzhar,hlm7,https://myaanazlansyah.blogspot.co.id/2016/12/universitas-al-azhar.html , diakses pada hari selasa 3 April 2018 jam 16.30 WIB.
[12] Jauhar Ridloni Marzuq, Kota Sejuta Kisah Catatan tentang Mesir, Kairo, dan Al-Azhar. Jakarta: Gramedia, 2015, hlm 79.
[13] Ibid., hlm 11.
[14] Ibid., hlm 12.


Komentar