MAKALAH
METODOLOGI PENELITIAN HADIS NABI (SYUHUDI ISMAIL)
Disusun oleh:
1. Diah Mahastuti
2. Zairina Qonita Muna
A.
Latar Belakang
Kaidah
kesohehan hadis telah muncul pada zaman Nabi dan zaman sahabat nabi. Imam
asy-Syafi’i, Imam Bukhari, Imam Muslim, dll. telah memperjelas kaidah itu dan
menerapkannya pada hadis-hadis yang mereka riwayatkan. Kemudian ulama pada
zaman berikutnya menyempurnakan kaidah itu kedalam rumusan kaidah yang
selanjutnya berlaku sampai sekarang.[1]
Kesohehan
hadis dilihat dari segi periwayatannya terdapat beberapa kesenjangan antara
matan dan sanadnya. Dari permasalah tersebut diperlukan penelitian Hadis Nabi.
Dengan penelitian itu akan diketahui hadis yang bersangkutan dapat
dipertanggung jawabkan periwayatannya ataukah tidak.
Ada
beberapa faktor lain yang menjadikan penelitian hadis sangat penting. Beberapa
faktor tersebut diantaranya hadis nabi sebagai salah satu sumber ajaran Islam,
tidak semua hadis tertulis pada zaman nabi, timbul berbagai pemalsuan hadis,
proses penghimpunan hadis yang memakan waktu lama, jumlah kitab hadis yang
banyak dengan metode penyusunan yang beragam, dan terjadi periwayatan hadis
secara makna.
Sikap
kritis Syuhudi Ismail terhadap beberapa ketentuan berkenaan dengan kaidah
kesohihan hadis dalam penelitian hadis dituangkan dalam bukunya yang berjudul “Metodologi
Penelitian Hadis Nabi”. diantara pemikiran Syuhudi Ismail yang paling
menonjol dalam kajian hadis adalah langkah-langkah yang ditawarkan dalam
penelitian hadis, baik dalam penelitian sanat atau pun matan. Langkah-langkah
tersebut tersusun secara sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.[2]
Terhadap
sikap kritisnya sebagai penyumbang pemikiran dalam penelitian hadis nabi,
penulis tertarik mengkaji tetntang metodologi yang ditawarkan Syuhudi Ismail
dalam penelitian hadis.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah yang telah diuraikan di atas, peneliti memfokuskan penelitian
ini pada beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut.:
1.
Konsep
apa yang ditawarkan oleh Syuhudi Ismail dalam metodologi penelitian hadis Nabi?.
C.
Kajian Pustaka
Berdasarkan
studi pustaka dan penelusuran yang penulis lakukan terhadap kajian terdahulu,
terdapat beberapa hasil penelitian yang lingkup pembahasannya senada dengan
tema penulis pilih. Ada pun hasil penelitian tersebut diantaranya adalah :
1. Jurnal Fitriady Ilyas, Akademi Pengkaji
Islam Universiti Malaya, yang berjudul “Muhammad Syuhudi Ismail (1943-1995)
Tokoh Hadis Prolifik dan Ijtihad”, Adapun hasil penelitian ini menunjukan
bahwa: Syuhudi Ismail melahirkan 59 karya ilmiyah pada era 70an sampai dengan
90an. Dalam bidang ilmu hadis beliau memperkenalkan kajian sanad hadis dengan
mempertimbangkan kajian mayor dan minor, dan dalam kandungan hadis beliau
cenderung tematik dengan pendekatan terpadu dan menyeluruh (holistik).[3]
2. Jurnal Hasep Saputra, Mahasiswa Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Curup, yang berjudul “Geneologi
Perkembangan Studi Hadis di Indonesia.”, Adapun hasil penelitian ini
menunjukan bahwa: Cendekiawan Ijtihad di Indonesia tidak lepas dari faktor
sosial, budaya, politik, pembacaan latar belakang, pendidikan. Dalam pengkajian
penelitian hadis di Indonesia dapat digunakan metode yang ditawarkan M. Syuhudi
Ismail.[4]
D.
Metodologi Penelitian
Merupakan literatur hadis tingkat lanjutan dan
memiliki kualifikasi ilmiah yang sejajar dengan para penulis literatur hadis
yang berasal dari Arab dan negeri yang lain. Syuhudi Ismail juga menganalisa dalam
memahami hadis nabi dengan pendekatan sejarah atau disebut historical method.
Hal ini dimaksudkan untuk membuktikan apakah metode dengan pendekatan ini
apakah sama hasilnya dengan metode kesahihan sanad hadis yang sudah lama
digunakan oleh muhaddisin untuk menjadikan diterima atau tidaknya suatu hadis
yang ditinjau.
E.
Pembahasan
1.
Pengertian Takhrijul Hadis
Kata at-takhrij
menurut bahasa ialah berkumpulnya dua perkara yang berlawanan pada sesuatu yang
satu. Namun, pengertian at-takhrij yang digunakan untuk maksud kegiatan
penelitian hadis lebih lanjut ialah menunjukkan atau mengemukakan letak asal
hadis pada sumber yang asli, yakni berbagai kitab, yang di dalamnya dikemukakan
hadis itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing. Kemudian, untuk kepentingan
penelitian, dijelaskan kualitas hadis yang bersangkutan.[5]
2.
Sebab-sebab perlunya takhrijul hadis[6]
a.
Untuk mengetahui asal-usul riwayat yang akan diteliti.
Tanpa diketahui
asal-usulnya, maka sanad dan matn hadis yang bersangkutan sulit
diketahui susunannya menurut sumber pengambilannya.
b.
Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadis yang akan diteliti sanad
berkualitas daif.
Ada kalanya
suatu hadis tidak hanya memiliki suatu sanad. Bisa jadi salah satu sanad
berkualitas daif.
c.
Untuk mengetahui ada atau tidak adanya syahid dan mutabi
pada sanad yang diteliti.
3.
Metode takhrijul hadis
a.
Kitab atau buku yang menjelaskan
Menelusuri hadis
tidak mencakup hanya menggunakan sebuah kamus dan sebuah kitab rujukan berupa
kitab hadis yang disusun oleh mukharrij-nya. Yang menyebabkan hadis begitu
sulit untuk ditelusuri sampai sumber asalnya karena hadis terhimpun dalam
banyak kitab. Ada dua kitab yang bisa menjadi rujukan misalnya Ushul at-Takhrij
wa Dirasat al-Asanid (Halb: al-Mutba’ah al ‘Arabiyyah, 1398 H/1972 M) disusun
oleh Dr. Mahmud at-Tahhan dan Cara Praktis Mencari Hadis (Jakarta: Bulan
Bintang, 1412 H/ 1991 M) disusun oleh Dr. M. Syuhudi Ismail.[7]
b.
Macam-macam metode yang dipakai
1)
Metode Takhrijul-Hadis bin Lafz (penelusuran hadis melalui lafal)
Adakalanya hadis
yang akan diteliti hanya diketahui sebagian saja matn-nya. Bila demikian, maka
takhrij melalui penelusuran lafal matn lebih mudah dilakukan. Untuk kepentingan
takhrijul hadis berdasarkan lafal tersebut, selain diperlukan kitab kamus
hadis, juga diperlukan kitab-kitab yang menjadi rujukan dari kitab kamus itu.
Kitab kamus hadis yang termasuk agak lengkap untuk kepentingan kegiatan ini
adalah kitab susunan Dr. A.J. Wensinck dan kawan-kawan yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fu’ad ‘Abdul-Baqi dengan judul Limu’jamil
fahros lialfadhil hadisin nabawi.
Dengan metode
tersebut, kemungkinan yang dihasilkan mungkin belum semua riwayat dicakup.
Untuk itu, hadis yang telah di-takhrij, lafalnya yang lain perlu dicoba dipakai
untuk men-takhrij lagi. Dengan demikian, akan dapat diiketahui semua riwayat
berkenaan dengan hadis yang ditelusuri tadi.[8]
2)
Metode Takhrijul-Hadis bil Maudu’ (penelusuran hadis melalui topik
masalah)
Metode ini tidak terikat pada bunyi
lafal matn hadis, akan tetapi metode ini menggunakan topik permasalahan. Banyak
kitab yang menghimpun berbagai hadis berkenaan dengan topik masalah, akan
tetapi pada umumnya kitab-kitab tersebut tidak menyebut sumber pengambilan
datanya secara lengkap. Maka dari itu, untuk pengambilan hais untuk diteliti
memerlukan penelusuran yang mendalam.
Dalam persoalan ini, Dr. M. Syuhudi
Ismail merekomendasikan kitab yang berjudul Miftah Kunuzis-Sunnah
karangan Dr. A.J. Wensinck dkk. yang menurut beliau disusun dengan topik
masalah yang relatif agak lengkap. Adapun yang menjadi rujukan kamus tersebut
yaitu Musnad Zaid bin ‘Ali, Musnad Abi Daud at-Tayalisi, Tabaqat Ibn Sa’ad,
Sirah Ibn Hisyam, dan Magazi al-Waqidi. Dalam penggunaan kamus ini,
disarankan pula dalam pengumpulan data merujuk pada kitab himpunan hadis yang
berjudul Muntakhab Kanzil “Ummal yang disusun oleh ‘Ali bin Hisam ad-Din
al-Mutqi.[9]
Contoh metode takhrijul hadis bil
maudu’ atau penelusuran hadis melalui topik masalah : topik tentang nikah
mut’ah atau sering disebut kawin kontrak, kamus Miftah Kunuzis-Sunnah
mengemukakan data hadis yang bersumber kepada kitab-kitab antara lain Sahih
al- Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan at Turmuzi, Sunan an-Nasa’i,
senan Ibni Majah, Sunan ad-Darimi, Muatta’ Maliki, Musnad, Musnad Abi Daud
at-Tayalisi, Musnad Zaid bin ‘Ali, dan Tabaqad Ibn Sa’ad. Pada
masing-masing kitab, dibubuhkan data tentang letak hadis yang bersangkutan.[10]
Dalam setiap penelitian suatu
hadis, makaterlebih dahulu harus dicari seluruh riwayatnya dan dikutip secara
cermat. Baik dalam hal matan maupun sanadnya. Untuk melengkapi bahan
penelitian, matan yang telah dikutip dapat dilakukan takhrij melalui lafal.
4. Langkah-langkah Kegiatan Penelitian Sanad Hadis
a.
Melakukan al-I’tibar
Kata al-I’tibar
merupakan masdar dari kata ……. Menurut bahasa, arti al-I’tibar adalah
peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat diketahui sesuatu
yang sejenis.[11]
Dengan
dilakukannnya al-I’tibar, maka akan terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad
hadis yang diteliti, demikian juga nama-nama periwayatnya, dan metode
periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan.[12]
Dalam pembuatan
skema sanad ada tiga hal penting yang harus diperhatikan antara lain, jalur
seluruh sanad, nama-nama periwayat untuk seluruh sanad, metode periwayatan yang
digunakan oleh msing-masing periwayat.
Nama-nama
periwayat yang ditulis dalam skema sanad meliputi seluruh nama, mulai dari
periwayat pertama (sahabat nabi) sampai mukharrijnya (missal Bukhari atau
Muslim). Terkadang seorang mukharrij memiliki lebih dari satu sanad untuk matn
hadis yang sama ataupun semakna.bila itu terjadi, maka masing-masing sanad
harus jelas ampak pada skema.
b.
Meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatannya
1)
Kaedah keaslian sanad sebagai acuan
Benih-benih
kaedah kesahihan hadis telah muncul pada zaman sahabat Nabi. Imam asy-Syafi’i
(wafat 204 H/ 820 M), Imam al-Bukhari, Imam Muslim, dan lain-lain telah memperjelas benih-benih
kaedah itu dan menerapkannya pada hadis-hadis yang mereka teliti dan mereka
riwayatkan. Kemudian ulama pada zaman berikutnya menyempurnakan benih-benih
kaedah itu ke dalam rumusan kaedah yang selanjutnya kaedah itu berlaku sampai
sekarang. Adapun unsur-unsur kaedah kesahihan hadis adalah sebagai berikut:
a)
Sanad hadis yang bersangkutan harus bersambung mulai dari makharrijnya
sampai nabi.
b)
Seluruh periwayat dalam hadis itu harus bersifat adil dan dabit.
c)
Hadis itu, sanad dan matn-nya harus terhindar dari kejanggalan (syuzuz)
dan cacat (illat).
Dari ketiga
butir di atas dabat diuraikan menjadi tujuh butir. Lima yang berhubungan dengan
sanad, dan dua berhubungan dengan matn. Yang berhubungan dengan sanad: sanad
bersambung, periwayat bersifat adil, periwayat bersifat dabit, terhindar dari
kejanggalan (syuzuz), terhindar dari cacat (illat). Sedangkan yang berhubungan
dengan matan: terhindar dari kejanggalan (syuzuz) dan terhindar dari cacat
(illat).[13]
2)
Segi-segi pribadi periwayat
Ulama hadis
sependapat bahwa ada dua hal yang harus diteliti pada diri pribadi periwayat
hadis untuk dapat diketahui apakah riwayat hadis akan dikemukakannya dapat
diterima sebagai hujah ataukah harus ditolak. Kedua hal itu adalah keadilan dan
ke-dabit-annya. Untuk sifat adil dan dabit masing-masing memiliki kriteria
tersendiri.
a)
Kualitas pribadi periwayat
Dalam memberikan pengertian istilah adil yang berlaku
dalam ilmu hadis, ulama berbeda pendapat. Dari berbagai perbedaan pendapat itu
dapat dihimpun kriterianya kedalam empat butir. Perhimpunan kriteria itu
didasarkan pada kesamaan maksud. Keempat butir sebagai kriteria untuk sifat
adil itu ialah: (i) beragama Islam, (ii) mukalaf, (iii) melaksanakan ketentuan
agama, (iv) memelihara muru’ah.[14]
b)
Kapasitas intelektual periwayat[15]
Intelektual
periwayat harus memenuhi kasitas tertentu sehingga riwayat hadis yang disampaikannya
dapat memenuhi salah satu unsur hadis yang berkualitas sahih. Periwayat yang
kapasitas intelektualnya memenuhi syarat kesahihan sanad hadis disebut sebagai
periwayat yang dabit.
Periwayat yang
dabit adalah periwayat yang (i) hafal dengan sempurna hadis yang diterimanya,
(ii) mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang
lain, (iii) mampu memahami dengan baik hadis yang dihafalkannya.
Adapun perilaku
atau keadaan yang dapat merusak ke-dabit-an periwayat ada lima macam, yakni:
(i) dalam meriwayatkan hadis lebih banyak salahnya daripada benarnya, (ii)
lebih menonjol sifat lupanya daripada hafalnya, (iii) riwayat yang disampaikan
diduga keras mengandung kekeliruan, (iv) riwayatnya bertentangan dengan riwayat
yang disampaikan oleh orang-orang yang siqah, dan (v) jelek hafalannya,
walaupun ada juga sebagian riwayatnya itu yang benar. Menyebabkan gugurnya atau
lemahnya riwayat yang disampaikan oleh periwayat tersebut. Adapun kata at-ta’dil,
asal katanya adalah masdar dari kata kerja ‘addala, artinya:
mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki oleh seseorang. Menurut istilah
ilmu hadis, kata at-ta’dil mempunyai arti: mengungkap sifat-sifat bersih
yang ada pada diri periwayat.[16]
a)
Ulama kritikus hadis
Ulama yang ahli
di bidang kritik para periwayat hadis disebut al-jarih wal-mu’addil.
Dalam mengemukakan kritikan, sikap ilama ahli kritik hadis ada yang ketat, ada
yang longgar, da nada yang berada antara kedua sikap itu, yakni moderat.[17]
b)
Lafal-lafal al-Jarh wat-Ta’dil
Sesuai dengan keadaan pribadi para periwayat, maka
ulama ahli kritik hadis menyusun peringkat para periwayat dilihat dari kualitas
pribadi dan kualitas intelektual mereka. Keadaan periwayat yang bermacam-macam
itu dibedakan dengan lafal-lafal tertentu yng dalam istilah ilmul-jarh
wat-ta’dil, urutan lafal itu dikenal dengan sebutan maratib alfaz
al-jarh wat-ta’adil (peringkat lafal-lafal ketercelaan dan keterpujian).[18]
c)
Teori al-Jarh wat-Ta’dil[19]
i)
At-ta’dil didahulukan
atas al-jarh
ii)
Al-Jarh didahulukan
atas at-ta’dil
iii)
Apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang
mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali
apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya.
iv)
Apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah seorang yang
tergolong da’if, maka kritikannya terhadap orang yang siqah tidak
diterima.
v)
Al-Jarh tidak diterima,
kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara cermat) dengan adanya kekhawatiran
terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya.
vi)
Al-Jarh yang
dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dengan masalah keduniawian
tidak perlu diperhatikan.
3)
Persambungan sanad yang diteliti
a)
Lambang-lambang metode periwayatannya
Lambang-lambang
atau lafal-lafal yang digunakan dalam periwayatan hadis, dalam hal ini untuk
kegiatan tahammulul-hadis, bentuknya bermacam-macam, misalnya sami’tu, sami’na,
haddasani, haddasana, ‘an, dan anna. Sebagian dari lambing-lambang itu ada yang
disepakati penggunaannya da nada yang tidak disepakati.[20]
b)
Hubungan periwayat dengan metode periwayatannya
Dalam
hubungannya dengan persambungan sanad, kualitas periwayat sangat menentukan.
Periwayat yang tidak siqah yang menyatakan telah menerima riwayat dengan metode
sami’na, misalnya, walaupun motode itu diakui ulama hadis memiliki tingkat
akurasi yang tinggi, tetapi yang menyatakan lambang tersebut adalah orang yang
tidak siqah, maka informasi yang dikemukakannya itu tetap tidak dapat
dipercaya. Sebaliknya, apabila yang menyatakan sami’na adalah orang yang siqah,
maka informasinya dapat dipercaya. [21]
Dari uraian di
atas dapat dinyatakan bahwa untuk mengetahui bersambung atau tidak
bersambungnya suatu sanad, maka hubungan antara periwayat dan metode
periwayatan yang digunakan perlu diteliti. Karena tadlis mungkin terjadi pada
sanad yang dikemukakan oleh periwayat yang siqah.
4)
Meneliti syuzuz dan ‘illat
a)
Meneliti Syuzuz
Terdapat tiga
pendapat yang menonjol mengenai syuzuz hadis. Salah satunya pendapat
dari Imam Syafi’i yakni hadis yang diriwayatkan oleh orang yang siqah,
tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak
periwayat yang siqah juga. Pendapat dari Imam Syafi’i merupakan pendapat
yang banyak diikuti oleh ulama ahli hadis sampai saat ini. Berdasarkan pendapat
Imam Syafi’i tersebut maka dapat ditegaskan bahwa kemungkinan suatu sanad
mengandung syuzuz bila sanad yang diteliti lebih dari satu buah.[22]
Ulama hadis pada
umumnya mengakui bahwa meneliti syuzuz dan ‘illat hadis tidaklah
mudah. Sebagian ulama menyatakan:
i)
Penelitian tetntang syuzuz dan ‘illat hadis hanya dapat
dilakukan oleh mereka yang mendalami pengetahuan tentang hadis dan terbiasa
melakukan penelitian hadis.
ii)
Penelitian syuzuz hadis lebih sulit daripada ‘illat hadis.
b)
Meneliti ‘illat
‘Illat yang disebutkan dalam salah satu unsur kaedah
kesahihan sanad hadis adalah ‘illat yang untuk mengetahuinya
diperlukan penelitian yang lebih cermat sebab hadis yang bersangkutan tampak sanad-nya
berkualitas sahih. Untuk meneliti ‘illat hadis, maka langkah-langkah
yang ditempuh ialah:
i)
Seluruh sanad hadis untuk matn yang semakna dihimpunkan dan diteliti,
bila hadis yang bersangkutan memang memiliki mutabi’i ataupun syahid.
ii)
Seluruh periwayat dalam berbagai sanad diteliti berdasarkan kritik yang
telah dikemukakan oleh para kritik hadis.[23]
5.
Langkah-langkah Kegiatan Penelitian Matn Hadis
Ada pun langkah-langkah yang ditawarkan
yaitu meliputi :[24]
1) Setiap Matan Harus Bersanad
Setiap matn harus bersanad. Tanpa
adanya sanad, setiap matan tidak dapat dinyatakan berasal dari Rasulullah.
Dalam hal ini Penelitian matn sama pentingnya dengan penelitian sanad, akan
tetapi ulama hadis menganggap penting melakukan penelitian matn dilakukan
setelah penelitian sanad, sehingga diketahui kualitas kesahihan hadisnya.
2) Kualitas Matn Tidak Selalu Sejalan
Dengan Kualitas Sanad-nya
Kualitas hadis bervariasi, ada yang
sanadnya sahih tetapi matn da’ih, ada yang sanadnya da’if tetapi matnnya sahih,
ada pun keduanya sama-sama bersifat sahih maupun sama-sama da’if. Suatu hadis
baru dinyatakan berkualitas sahih (sahih al Zatih) jika sanad dan matnnya
bersifat sahih.
3) Kaedah Kesahihan Matn sebahai Acuan
a) Unsur-unsur Kaedah Kesahihan Matn
Unsur-unsur yang harus dimiliki
matn dalam menentukan kualitasnya ada dua macam, yaitu : terhindar dari syuzuh
(kejanggalan) dan terhindar dari ‘illah (cacat). jika kedua unsur itu
terpenuhi, barulah matn dapat dikatakan sahih.
b) Aplikasi Kaedah Kesahihan Matn
Dalam menentukan sahih atau
tidaknya matan, terdapat beberapa tolak ukur yang perlu diperhatikan, yaitu :
i)
Berisi
petunjuk yang bersifat targib (hal yang memberikan harapan) dan tarhib (hal
yang memberikan ancaman);
ii)
Nabi
menggunakan pernyataan atau ungkapan sesuai dengan kadar intelektual dan
keislaman orang yang diajak berbicara, walau hadis berlaku secara umum;
iii) Ada yangg didahului dengan asbab wurudil
hadis;
iv) Sebagian hadis ada yang telah mansukh;
v)
Ada
adis yang erat kaitannya menunjukan Nabi sebagai manusia biasa dan sebagai
utusan Allah.;
vi) Sebagian hadis berisi hukum (ahkam) dan
berisi imbauan (irsyad).
b.
Meneliti
Susunan Matn yang Semakna
1) Terjadinya Perbedaan Lafal
Sebab terjadinya perbedaan pada
lafal matan hadis yang semakna adalah karena dalam periwayatan hadis telah terjadi
periwayatan secara makna (ar-riwayah bil-ma’na). perbedaan lafal matn
mengakibatkan adanya berbedaan makna, tetapi asalkan sama-sama sahih masih
dapat ditoleransi. Disisi lain banyak hadis yang lafalnya berbeda, tetapi
maknanya sama.
Terjadinya perbedaan lafal
dikarenakan adanya kekeliruan yang dilakukan oleh perawi (periwayat). Biasanya
para periwayat yang mengalami kekeliruan (keraguan) memberikan isyarat-isyarat
tertentu. Isyarat tersebut biasanya ditandai dengan kata-kata : kama qala (sebagaimana
dia menyatakan), ruwiyah (diriwayatkan), au qala (atau dia
menyatakan), wa qila (dan dinyatakan).
2) Akibat Terjadinya Perbedaan Lafal
Perbedaan lafal mengakibatkan
munculnya muqaranah (perbandingan) pada lafal matan. Perbandingan ini
bertujuan untuk mengetahui perbedaan tersebut masih dapat ditoleransi atau
tidak. Muqaranah, selain dijadikan sebagai alat konfirmasi juga sebagai
alat untuk mencermati apakah matn dapat dipertanggungjawabkan keasliannya atau
tidak. Dari adanya perbedaan lafal mengakibatkan pula ditemukannya Ziadah
(tambahan) pada lafal dan idraj yaitu memasukan atau menghimpun
pernyataan dari periwayat kedalam matan hadis yang diriwayatkannya.
c.
Meneliti
Kandungan Matn
1) Membandingkan kandungan matn yang
sejalan dan tidak bertentangan.
Dalam mengetahui ada tidaknya matn
lain yg memiliki topik masalah yang sama, perlu dilakukan Takhrijul hadis
bil ma’udu. Apa bila terdapat matn yang sama, maka matn itu perlu diteliti
sanad-nya, apabila sanad-nya memenuhi syarat, maka kegiatan muqaranah dilakukan.
Apa bila kandungan matn yg diteliti sama, maka dapat dinyatakan kegiatan
penelitian telah berakhir.
2) Membandingkan kandungan matn yang tidak
sejalan atau tampak bertentangan.
Sejatinya sebuah hadis tidak
mungkin bertentangan dengan dengan hadis lain maupun dalil-dalil Al Quran.
Sebab apa yang disampikan nabi dan dalil-dalil semua berasal dari Allah. Tetapi
pada kenyataannya terdapat sejumlah hadis bertentangan dengan hadis lain maupun
dalil-dalil Al Quran. Hal tersebut pasti ada sesuatu yang melatar belakanginya.
Dilihat dari kemungkinan masalah
yang harus diselesaikan tampaknya tahap-tahap penyelesaian yang dikemukakan
oleh Ibnu Hajar al ‘Asqalani lebih akomodatif dengan empat tahap, yaitu : (a)
at- taufiq; (b) menasikh mansukhkan); (c) at-tarjih; (d) at-tauqif.
d.
Menyimpulkan
Hasil Penelitian Matn
Kesimpulan suatu matan akan berakhir
pada hasil yaitu sahih atau da’if dengan didasari pada argumen-argumen yang
jelas. Argumen-argumen yang dikemukakan sebelum diajukan atau pun sesudah
diajukan natijah. Apabila matn yang diteliti ternyata sahih dan sanadnya sahh,
maka dalam natijah disebutkan bahkowa hadis yang diteliti sahih, begitu juga
sebaliknya.
F.
Sumbangan Dalam Ilmu Keislaman
Pemikiran
Syuhudi Ismail pada dasarnya memberikan kontribusi yang sangat signifikan dalam
menghadapi krisis metodologi kajian hadis, sehingga pada gilirannya diharapkan
dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan dalam upaya pembaharuan pemikiran
hadis.
G. Kesimpulan
Setelah membaca
pemaparan materi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa ada beberapa
langkah-langkah dalam metode penelitian hadis. Dalam metode penelitian hadis,
langkah awal yang dilakukan adalah melakukan takhrijul hadis. Untuk dapat
mengetahui kitab kamus hadis yang dapat membantu kegiatan takhrijul hadis.
Dalam takhrijul hadis terdapat dua metode yaitu metode takhrijul-hadis bil-lafz
dan metode takhrijul-hadis bil-maudu’. Langkah selanjutnya adalah meneliti
sanad hadisnya, antara lain:
a.
Melakukan al-I’tibar
b.
Segi-segi peribadi periwayat yang diteliti
c.
Sekitar al-Jarh wat-Ta’dil
d.
Persambungan sanad, dan
e.
Meneliti syuzuz dan ‘illat
Langkah selanjutnya adalah penelitian matan hadis,
antara lain:
a.
Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya.
b.
Meneliti susunan lafal matan yang semakna
c.
Meneliti kandungan matan.
Walaupun
demikian, tidaklah berarti bahwa menggunakan langkah-langkah penelitian
tersebut telah dapat dijaminkan akan menghasilkan kesimpulan yang memiliki
tingkat validitas yang tinggi dan akurat. Dinyatakan demikian karena kualitas
hasil penelitian tidak hanya ditentukan oleh langkah-langkah yang telah
ditempuh oleh peneliti saja, tetapi juga banyak ditentukan oleh kecerdasan dan
kekayaan pengetahuan peneliti, khususnya di bidang hadis.[25]
H. Daftar
Pustaka
Ilyas ,Fitriady, 2017“Muhammad
Syuhudi Ismail (1943-1995) Tokoh Hadis Prolifik dan Ijtihad”, Jurnal Ilmiah
Islam Futura, Universitas Malaya
Ismail, Syuhudi., 1988, Kaedah
kesahihan sanat hadis, Jakarta:
Bulan Bintang.
-------------------., 1992, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang.
Prasetyo, Agus., 2015, “Pemikiran M. Syuhudi
Ismail Dalam Buku Metode Penelitian Hadis Nabi”, Jurnal, UIN Maulana
Malik Ibrahim.
Saputra, Hasep, 2017, “Geneologi
Perkembangan Studi Hadis di Indonesia.”, Jurnal, Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Curup.
*) Makalah Prarevisi
[1] M. Syuhudi Ismail, “Kaedah
kesahihan sanat hadis”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hal. 106-109.
[2] Agus Prasetyo,
“Pemikiran M. Syuhudi Ismail Dalam Buku Metode Penelitian Hadis Nabi”, Jurnal,
UIN Maulana Malik Ibrahim (2015), hal. 1.
[3]Fitriady Ilyas , “Muhammad
Syuhudi Ismail (1943-1995) Tokoh Hadis Prolifik dan Ijtihad”, Jurnal Ilmiah
Islam Futura, Universitas Malaya (2017), hal. 1
[4] Hasep Saputra, “Geneologi
Perkembangan Studi Hadis di Indonesia.”, Jurnal, Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Curup (2017), hal. 1.
[5] M. Syuhudi Ismail, “Metodologi
Penelitian Hadis Nabi”, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), hal. 41.
Komentar
Posting Komentar