PERBANDINGAN PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA DAN FUKUZAWA YUKICHI TENTANG PENDIDIKAN PEREMPUAN

I.                  Pendahuluan

Pada masa feodal, sebelum bergulirnya Restorasi Meeji[1] pada 1868, perempuan di Jepang hanya dituntut pandai bersolek diri dan bersiap menjadi istri. Kondisi perempuan di Jepang ini tidak jauh berbeda dengan gambaran perempuan di Indonesia sebelum masa Kemerdekaan. Tuntutan kepada perempuan untuk menjadi istri dan ibu yang mampu mendidik anak-anaknya, kala itu tidak dibarengi dengan pemberian hak pendidikan bagi para perempuan tersebut. Hanya perempuan dari kalangan tertentu yang mendapatkan hak pendidikan. Itu pun hanya sebatas pendidikan dasar.

Di Jepang, pada masa Edo (1603-1868) hingga masa Meeji (1868-1912), hanya perempuan bangsawan dan kelompok samurai kelas atas yang mendapatkan pendidikan. Kondisi serupa juga terjadi di Indonesia, mulai masa kolonial Belanda hingga beberapa waktu pascakemerdekaan, hanya perempuan golongan bangsawan atau kelas yang mendapatkan pendidikan. Diskriminasi gender[2] dalam pendidikan ini memantik perhatian dan kepedulian para tokoh pendidikan, baik di Jepang maupun di Indonesia. Di antara tokoh pendidikan di Jepang adalah Fukuzawa Yukichi, sementara di Indonesia ada Bapak Pendidikan, Ki Hajar Dewantara. Kedua tokoh itu tercatat dalam sejarah sebagai pejuang dan penggerak pendidikan modern di negaranya masing-masing. Fukuzawa Yukichi berhasil mendirikan Keio Gijuku (Universitas Keio) di Jepang, sementara Ki Hajar Dewantara berhasil mendirikan lembaga pendidikan kerakyatan bernama Perguruan Taman Siswa. Bersama istrinya, Suwardi juga mendirikan sekolah keputrian untuk pendidikan wanita di Yogyakarta.

Selain mendirikan lembaga pendidikan, Fukuzawa Yukichi juga produktif menuangkan gagasan-gagasannya dalam bentuk tulisan. Banyak tulisan fenomenal Fukuzawa Yukichi yang berpengaruh dalam pemerintahan Jepang kala itu, di antaranya adalah Gakumon no Susume, dan Onnadaigaku Hyooron; Shin Onnadaigaku yang membahas pendidikan wanita di Jepang (1899). Begitu pula Ki Hajar Dewantara, ia tidak hanya berhasil mendidikan Perguruan Taman Siswa, tetapi juga merupakan sosok prolifik dalam menghasilkan karya tulis. Di antara karyanya —yang oleh pemakalah dijadikan referensi utama dalam makalah ini—adalah Karya Ki Hadjar Dewantara: Bagian Pertama Pendidikan[3] dan Karya Ki Hadjar Dewantara: Bagian Kedua Kebudayaan[4].

Pemikiran dua tokoh pendidikan ini memang berada pada rentang waktu, budaya, dan negara yang berbeda. Namun, keduanya memiliki keserupaan latar belakang sosio-kultural pada masa peralihan di masing-masing negaranya. Keduanya juga sama-sama mampu membawa perubahan yang cukup signifikan bagi bangsa mereka. Pada masa kedua tokoh tersebut hidup, pendidikan wanita masih sangat jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan pendidikan kaum laki-laki. Atas dasar itulah makalah ini hadir untuk mengkaji lebih dalam pemikiran Fukuzawa Yukichi dan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan perempuan, serta apa persamaan dan perbedaan pemikiran mereka tentang pendidikan perempuan. 

II.               Pembahasan

A.    Biografi Singkat Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara adalah putra dari Kanjeng Pangeran Haryo Suryaningrat, putra Kanjeng Gusti Pangeran Hadipati Haryo Suryo Sasraningrat yang bergelar Sri Paku Alam III. Ki Hajar Dewantara lahir pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta dengan nama asli Raden Mas Suwardi Suryaningrat, yang kemudian berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara saat ia berusia 40 tahun.[5]

Perjalanan pendidikan Ki Hajar Dewantara dimulai dari sekolah dasar Belanda atau Europe Largere School (ELS)[6]. Setamat dari ELS, Suwardi melanjutkan pendidikan ke Kweek School atau sekolah guru di Yogyakarta. Di sekolah guru inilah Suwardi bertemu dan menjalin hubungan baik dengan Dr. Wahidin Soedirohusodo yang aktif memfasilitasi kalangan priyayi untuk melanjutkan pendidikan melalui jalur beasiswa pada sekolah dokter Jawa atau School tot Ovleiding van Indische Artsen (STOVIA). Tidak sampai rampung pendidikan di Kweek School, Suwardi kemudian mengikuti pendidikan dokter di Batavia pada tahun 1905-1910. Namun, karena sakit berkepanjangan Suwardi tidak dapat menyelesaikan studinya. Sekeluar dari STOVIA, Suwardi belajar sebagai volunteer atau sukarelawan pada laboratorium pabrik gula Kalibagor Banyumas. Pada tahun 1911 ia menjadi pembantu apoteker di apotek Rath-Camp Yogyakarta, sambil membantu menulis di surat kabar antara lain: Sedyo Tomo (berbahasa Jawa) di Yogyakarta, Midden Java (berbahasa Belanda) di Yogyakarta, De Expres (berbahasa Belanda) di Bandung.[7]

Pada 25 Desember 1912 Suwardi bersama dr. Cipto Mangunkusumo dan Danudirdja Setiabudi alias Douwes Dekker, yang kemudian dikenal sebagai Tiga Serangkai, mendirikan Indische Partij atau Partai Hindia, partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia. Partai ini menjadi organisasi non-Eropa yang paling radikal sehingga pada 1913 Gubernur Jenderal Idenburg melarang partai ini dan memutuskan mengasingkan Tiga Serangkai. Ketiga tokoh tersebut akhirnya diasingkan ke Belanda pada 1914-1919. Tujuan dari pengasingan adalah untuk membungkam sikap kritis dan perlawanan Suwardi dan kawan-kawan. Namun, tujuan tersebut gagal. Pengasingan justru menempa Suwardi dan kawan-kawan untuk tampil menjadi sosok yang dihormati karena konsistensi dan semangat belajar mereka yang luar biasa.

Selama pengasingan Suwardi berkecimpung sebagai pegawai di Biro Pers Belanda (Nederlandsch Correspondentie Bureau). Untuk mengasah kemampuan jurnalistiknya, Suwardi belajar dan menimba pengalaman dari S. de Roode (Editor Kepala koran Het Volk) dan Mr. Wiessing dari koran De Nieuwe Groene. Pada masa ini pula ia mendirikan Biro Pers Indonesia atau Indonesisch Pers Bureau. Melihat kegagalan misi pengasingan Suwardi dan kawan-kawan, parlemen Belanda akhirnya merekomendasikan Tiga Serangkai itu dikembalikan ke Hindia-Belanda. Sebelum meninggalkan Belanda, Suwardi menulis artikel berjudul Terug naar het front, yang berarti Kembali ke Medan Juang. Tulisan ini dipublikasikan koran Het Volk dan De Groene Amsterdam.

Diskriminasi dan kesenjangan akses pendidikan menginspirasi Suwardi atau Ki Hajar Dewantara untuk berkontribusi secara total di bidang pendidikan. Menurut Ki Hajar Dewantara, model pendidikan Hindia-Belanda yang diterapkan sejak pengujung abad ke-19 melalui kebijakan Politik Etis tidak memadai untuk mengembangkan kapasitas generasi muda yang dibutuhkan sebuah bangsa berdaulat. Pada 3 Juli 1922, Ki Hajar bersama rekan-rekan seperjuangannya mendirikan Perguruan Taman Siswa (National Onderwijs Instituut Tamansiswa) di Yogyakarta.

Komitmen dan kiprah Ki Hadjar dalam pengembangan pendidikan di Indonesia telah mengantarkannya menduduki jabatan Menteri Pengajaran yang pertama pascakemerdekaan. Jabatannya sebagai menteri pada Kabinet Presidensil berlangsung sangat singkat (18 Agustus 1945-14 November 1945) sehingga tidak memberinya waktu memadai untuk mengaktualisasikan visi dan misinya secara komprehensif. Walaupun demikian, pada masa yang sangat singkat itu Ki Hajar berhasil merumuskan program pendidikan yang modern dan maju. Beberapa programnya adalah sebagai berikut.

1.      Undang-undang wajib belajar.

2.      Pendidikan dan pengajaran nasional yang bersendikan pada agama dan kebudayaan bangsa.

3.      Perkembangan kebudayaan bangsa.

4.      Pendirian sekolah-sekolah swasta yang dibiayai oleh pemerintah.

5.      Susunan pelajaran, pengetahuan, dan kepandaian umum yang sesuai dengan rencana pelajaran.

6.      Susunan atau sistem persekolahan.

7.      Ketentuan pelajaran bahasa dan kebudayaan.

8.      Ketentuan tentang Pendidikan Rakyat.

9.      Pendirian Balai Bahasa Indonesia.

10.  Pengiriman pelajar Indonesia ke luar negeri.

Kontribusi intelektual Ki Hadjar Dewantara dituangkan dalam banyak karya tulis, di antaranya: Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan, Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Kedua: Kebudayaan, Asas-Asas dan Dasar-Dasar Tamansiswa, Pengaruh Keluarga terhadap Moral, Taman Indrya (Kindergarten), Demokrasi dan Leiderschap, dan Kenang-kenangan Ki Hadjar Dewantara: dari Kebangunan Nasional sampai Proklamasi Kemerdekaan.[8]

Kontribusi Ki Hajar Dewantara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa diapresiasi oleh banyak pihak. Salah satunya adalah Universitas Gadjah Mada, yang menganugerahinya gelar Doktor Honoris Causa di bidang kebudayaan pada 19 Desember 1956. Pada 28 November 1959, oleh pemerintah RI, Ki Hajar Dewantara ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional dan tanggal lahirnya ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional berdasarkan keputusan Presiden RI No. 316 tahun 1959. Ki Hajar Dewantara wafat di Yogyakarta pada 26 April 1959 dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata, Yogyakarta.[9]

 

B.     Pendidikan Wanita dalam Pemikiran Ki Hajar Dewantara

Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara, lingkungan keluarga memiliki peran penting dalam pendidikan. Lingkungan keluarga sebagai pusat pendidikan yang pertama dan utama memiliki tugas mendidik budi pekerti dan laku sosial. Ki Hajar Dewantara juga menekankan pentingnya orang tua mencurahkan cinta kasih kepada anak-anaknya tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Cinta kasih yang tulus dari orang tua ini berpengaruh positif untuk membentengi anak dari pengaruh buruk yang dating dari luar.[10]

Ki Hajar Dewantara juga member kedudukan kepada kedua orang tua, bapak maupun ibu, secara setara. Keduanya sama-sama sebagai ketua dalam keluarga. Hanya saja, ada pembagian peran antara keduanya. Si bapak mendapat bagian urusan umum dan hal-hal yang berurusan dengan dunia luar, sementara si ibu sebagai ketua yang mengurusi urusan di dalam keluarga.[11] Walaupun demikian, tidak berarti urusan pendidikan anak ditimpakan sepenuhnya kepada ibu, tetapi diemban pula oleh bapak karena keduanya sama-sama berperan sebagai guru dan penuntun bagi anak-anak mereka.[12]

Sejalan dengan kedudukan perempuan dalam keluarga atau rumah tangga, kedudukan perempuan dalam pendidikan dipandang setara pula oleh Ki Hajar Dewantara. Bahkan, dalam tingkat pendidikan tertentu, yakni pendidikan usia dini, keberadaan guru perempuan mutlak dibutuhkan. Dalam Wasita Desember 1928, jilid I, No. 3, Ki Hajar Dewantara mengemukakan[13]:

Sesungguhnya untuk memenuhi kemauan dan keinginan anak-anak, untuk melayani nafsu anak-anak, untuk memelihara badan tubuh anak-anak, untuk bercampur gaul sehari-hari dengan anak-anak, memang guru perempuanlah lebih pandai daripada guru laki-laki. Guru laki-laki, meskipun ia mengerti akan kewajibannya selaku guru dan mempunyai niat juga berdekatan dengan anak-anak, akan tetapi tabiat-tabiatnya sebagai laki-laki tak akan dapat ditinggalkan. Tentang kesabaran, ketelitian, pemeliharaan, cinta kasih, dan tabiat lain-lainnya, ia tak akan dapat sama umumnya dengan teman sejawatnya, perempuan…

Oleh karena anak-anak mulai dimasukkan sekolah itu pada umur 5 tahun, maka perlulah sekali tiap-tiap sekolah memakai guru-guru perempuan untuk dijadikan pemimpin-pemimpin anak-anak kecil. Kalau kelas anak-anak kecil dipegang oleh guru laki-laki, takutlah saya pendidikannya bersifat pengajaran belaka, intelektualistis, artinya lebih mementingkan angan-angan daripada rohnya anak. Maka dari itu saya serukan: Hai kaum perempuan Indonesia, masuklah ke dunia pendidikan! Di situlah kamu akan merasakan kenikmatan diri karena kamu bekerja guna kemuliaan rakyat dan bangsa, selaras dengan kodratmu lahir dan batin.

Perhatian Ki Hajar terhadap pendidikan perempuan dibuktikan pula dengan pendirian Wisma Rini, yaitu tempat keputren (asrama putri) yang harus dipergunakan untuk pondok guru dan murid perempuan.[14] Lebih jauh lagi, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk mengakses pendidikan diwujudkan pula oleh Ki Hajar dengan penempatan murid perempuan dalam satu kelas belajar dengan murid laki-laki. Inilah yang oleh Ki Hajar disebut dengan konsep ko-instruksi dan ko-edukasi. Konsep ini berpijak pada analogi bahwa apabila dalam keluarga sama sekali tidak ada anak perempuan dan si ibu sudah meninggal, maka umumnya anak laki-laki dalam keluarga itu tabiatnya kasar. Berbeda jika dalam keluarga itu masih ada ibu atau anak-anak perempuan, akan melahirkan adat istiadat atau kebiasaan yang lebih sopan. Begitu pula yang terjadi di kelas belajar.[15]

Konsep tersebut dikhususkan Ki Hajar untuk anak-anak usia dini dan pendidikan dasar. Untuk sekolah menengah (atas), Ki Hajar memaklumi bahkan memandang ada baiknya apabila murid laki-laki belajar dalam kelas berbeda dengan murid perempuan. Di antara argumentasi Ki Hajar adalah karena pada sekolah menengah (atas), anak sedang memasuki masa berahi (pubertas). Menurutnya, anak-anak pada masa berahi itu sukar sekali belajar, kalau melihat atau berdekatan dengan gadis. Maka sebaiknya dipisahkanlah gadis-gadis dari anak-anak laki-laki agar mereka mudah memusatkan pikirannya untuk belajar.[16]

Secara lebih rinci Ki Hajar menjabarkan konsep ko-edukasi dan ko-instruksi dalam beberapa poin berikut.[17]

1.      “Sampai umur 14 tahun, ko-edukasi dan ko-instruksi, yaitu pendidikan dan pengajaran bersama-sama, laki-laki dan perempuan; hal ini tidak hanya tak mengkhawatirkan saja, tetapi malah lebih baik karena dapat menumbuhkan pergaulan yang selaras.”

2.      “Semasa anak-anak perempuan berumur 14 tahun, anak laki-laki berumur kurang lebih 16 tahun, yaitu masa pubertas, haruslah orang tua waspada. Ko-instruksi masih tetap dijalankan, akan tetapi pergaulan antara laki-laki dan perempuan harus sudah diatur dengan asas kesucian dan sifat kesopanan.”

Misalnya dengan peraturan yang dijelaskan pada poin berikut:

3.      “Jangan mengizinkan anak perempuan bepergian sendirian dengan anak laki-laki, walaupun waktu siang. Kalau perlu pergi dengan laki-laki, baiklah membawa teman satu lagi, baik perempuan maupun laki-laki.”

4.      “Apabila telah malam, tidak baik gadis-gadis bepergian, kalau tidak bersama dengan orang tua.”

5.      “Sesudah anak anak gadis berumur 20 tahun dan anak laki-laki kira-kira 25 tahun, hendaknya mereka dibebaskan sama sekali karena bisa dianggap pendidikan batin sudah cukup dan sudah patut menikah.”

6.      “Anak laki-laki dan perempuan, khususnya anak perempuan, harus dididik rasa kesopanannya (kesusilaan) karena dalam tingkah laku  tersebutlah ‘pagar keselamatan’. Anak perempuan yang kuat rasa kesopanannya, tidak akan mudah diganggu oleh laki-laki dan akan terlepas dari godaan, begitu pula sebaliknya.”

7.      “Haruslah diterangkan dengan sengaja kepada gadis-gadis, secara kursus pengajaran, tentang segala hal yang berhubungan dengan bersuami-istri, sebaiknya berdasarkan agama, agar supaya anak perempuan tahu dan sadar akan kodratnya. Yang menerangkan harus guru wanita atau kalau yang menerangkan harus guru laki-laki maka yang sudah bertabiat ‘bapak’.”

Melalui jabaran tersebut, kesetaraan perempuan dengan laki-laki dalam pendidikan tidak serta-merta mengabaikan dan menafikan kodrat perempuan. Konsep kesetaraan perempuan dengan tidak menegasikan kodratnya sebagai perempuan, diilhami oleh keprihatinan Ki Hajar terhadap konsep kesetaraan atau persamaan hak kaum perempuan di Eropa yang menuntut persamaan hak dengan melupakan kodratnya, termasuk menuntut persamaan hak dalam berpakaian. Mereka lupa bahwa tubuh perempuan itu berbeda dengan tubuh laki-laki. Menurut Ki Hajar, perbedaan fisik itu berhubungan dengan kodrat perempuan, yaitu kewajibannya menjadi ibu, akan mengandung anak, melahirkan anak, dan lain-lain.[18]

 

C.    Biografi Fukuzawa Yukichi

Fukuzawa Yukichi lahir di Osaka pada 10 Januari 1835 dan meninggal di Tokyo pada 3 Februari 1901 dalam usia 66 tahun. Ia seorang penulis, ahli rangaku (studi Barat)[19] sekaligus samurai Domain Nakatsu, penerjemah, pengusaha, dan pengajar yang mendirikan Universitas Keio. Ia dua kali diberangkatkan ke Amerika Serikat sebagai anggota delegasi Jepang, dan melakukan perjalanan ke Eropa, setahun sebelum Restorasi Meiji (1868). Fukuzawa menerbitkan banyak sekali buku dan artikel, di antaranya Gakumon no Susume (Dorongan untuk Belajar) (1872-1876) dan Bunmeiron no Gairyaku (Garis Besar Teori Peradaban) (1875).[20]

Ayah Yukichi meninggal dunia pada tahun 1836 ketika Yukichi masih berusia 1 tahun 6 bulan. Sepeninggal ayahnya, Yukichi hidup dalam kemiskinan sehingga ia bisa mengenyam pendidikan di sekolah. Yukichi terpaksa bekerja serabutan sebagai tukang servis sandal, atap bocor, dan segala macam pekerjaan pertukangan. Karena kondisi itulah Yukichi terlambat menguasai keterampilan dasar pendidikan, yakni membaca dan menulis. Ia baru mulai belajar membaca dan menulis ketika berumur 14 atau 15 tahun.

Pada tahun 1854, Yukichi yang berusia 21 tahun mulai belajar bahasa Belanda. Selepas itu, pada Agustus 1856, ia kembali ke Osaka untuk melanjutkan sekolahnya di Tekijuku. Pada tahun 1857, ia mencatat prestasi sebagai murid terpandai di sekolah. Pelajaran yang diikutinya adalah fisika, kedokteran, biologi, kimia, fisiologi, dan lainnya. Pada tahun 1858, Fukuzawa diminta oleh Pemerintah Domain Nakatsu untuk pergi ke Edo sebagai pengajar bahasa Belanda. Pada tahun itu pula Fukuzawa membuka sekolah rangaku. Di kemudian hari sekolah ini disebut Universitas Keio, dan tahun 1858 diperingati sebagai tahun pendirian Universitas Keio.

Pada akhir tahun 1861, ia diberangkatkan sebagai salah seorang anggota delegasi ke negara-negara Eropa. Dalam tugasnya sebagai sebagai penerjemah delegasi, banyak hal baru yang menarik perhatiannya, mulai dari rumah sakit, arsenal[21], pertambangan, dan sekolah. Selama setahun berkeliling ke beberapa negara di Eropa, Fukuzawa menyadari bahwa kemajuan teknologi berperan penting terhadap kemakmuran yang dilihatnya di Eropa. Ia mulai yakin bahwa perubahan revolusioner dalam pengetahuan masyarakat dan cara berpikir adalah persyaratan mendasar untuk kemajuan di Jepang. Sewaktu di London, ia mengirim sepucuk surat kepada temannya di Jepang. Isi surat memberitakan bahwa pekerjaan paling mendesak untuk dilakukan di Jepang adalah mendidik anak muda yang berbakat, dan bukannya membeli mesin-mesin dan persenjataan.

Setelah Keshogunan Tokugawa tumbang, pemerintah baru Meiji mengajak Fukuzawa untuk menjadi pegawai pemerintah, tetapi ia menolak tawaran. Ia lebih memilih memusatkan perhatiannya hanya pada pendidikan dan pengajaran. Prinsip utama baginya dirangkum dalam satu kata, yakni kemerdekaan. Ia percaya bahwa kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan negara adalah landasan sesungguhnya bagi masyarakat modern di Barat. Dalam mencapai kebebasan pribadi, Fukuzawa lebih mengutamakan metode ilmiah dan praktis dari Barat daripada studi tradisional Cina klasik.

 

D.    Pemikiran Fukuzawa Yukichi tentang Pendidikan Perempuan

Fukuzawa Yukichi banyak mengkritik subordinasi perempuan dan hak pendidikannya yang terampas, terutama mengkritik ajaran mengenai perempuan yang dipaparkan dalam buku Onna Daigaku (Pendidikan Tinggi Wanita). Buku ini berisi pedoman dan tuntunan pendidikan bagi perempuan sesuai ajaran Konfusianisme. Yukichi menyampaikan kritikannya melalui tulisan yang berjudul Onna Daigaku Hyooron (Kritik terhadap Pendidikan Tinggi Wanita) dan Shin Onna Daigaku (Pendidikan Tinggi Wanita Baru).[22]

Di antara pandangan Yukichi tentang pendidikan perempuan/wanita adalah sebagai berikut.

1.      Orang tua harus dapat memberikan porsi pendidikan yang sesuai/setara bagi anak laki-laki dan perempuan, masing-masing tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang.[23]

2.      Dalam kacamata budaya modern, hubungan antara perempuan dan laki-laki harus ditempatkan pada kesopanan hati dibandingkan dengan etiket seremonial. Pandangan ini sebagai kritik atas larangan seorang wanita berada dalam satu tempat bersama laki-laki, sekalipun saudara laki-lakinya.[24]

3.      Tidak semestinya perempuan didoktrin dengan budaya diam dan pemalu. Perempuan harus memiliki keterampilan bahasa, terutama bahasa asing. Perempuan juga harus mampu membaca dan menulis sejak kecil.[25]

4.      Perempuan harus mendapatkan hak pendidikan keuangan/akuntansi dan ekonomi, setidaknya bermanfaat untuk mengelola keuangan keluarganya.[26] Tidak hanya keterampilan membaca dan menulis, perempuan juga harus mendapatkan pendidikan keterampilan menjahit, teknik dasar sempoa, dan pembukuan.[27]

5.      Menguasai literature klasik hanya akan menumpulkan (pikiran, akal) perempuan karena di dalamnya terlalu banyak roman picisan, bahkan beberapa terlalu vulgar untuk dibaca seorang wanita.[28]

6.      Perempuan yang telah menempuh pendidikan tinggi dan telah menguasai bahasa asing, penting baginya untuk memilah-milah buku  bacaan yang bermanfaat.[29]

7.      Kedudukan suami dan istri adalah setara dalam membangun rumah tangga yang baik.[30]

Beberapa pandangan Yukichi tentang pendidikan perempuan cukup humanis dan lebih mengangkat harkat kaum perempuan. Namun, pemikiran apik Yukichi ini sempat melahirkan kekecewaan Carmen Blacker, dosen bahasa Jepang di Universitas Cambridge. Kekecewaan Blacker ini dipicu oleh pengakuan Shidachi, putri Fukuzawa Yukichi, bahwa ayahnya sebenarnya gagal menerapkan segala pemikirannya tentang pendidikan wanita kepada anak-anak perempuannya. Pendidikan anak-anak perempuannya sepenuhnya diserahkan kepada ibunya yang konservatif dan mengajarkan sikap inferior. Akibat ajaran itulah Shidachi dan saudara-saudara perempuannya tidak diizinkan keluar rumah seorang diri, mengungkapkan pendapat di hadapan orang yang lebih tua, dan tidak diperbolehkan berbicara dengan tamu yang berkunjung ke rumah. Ia juga tidak diizinkan bergaul dengan laki-laki hingga pernikahannya pada usia 18 tahun.[31]

 

 

III.           Penutup

Fukuzawa Yukichi (1835-1901) dan Ki Hajar Dewantara (1889-1959) adalah tokoh pendidikan modern di negara dan eranya masing-masing. Pemikiran mereka berdua dipengaruhi oleh pendidikan Barat, karena keduanya memang sama-sama pernah mencerap pendidikan Barat. Hanya saja, dalam praktiknya terdapat garis pembeda yang tegas di antara keduanya: Fukuzawa Yukichi menerapkan pengetahuan Barat sebagai dasar pengajarannya, sementara Ki Hajar Dewantara menerapkan pendidikan nasional yang menghargai, menjaga, dan melestarikan tradisi dan budaya negeri sendiri.

Bagi Ki Hajar Dewantara, perempuan Indonesia harus selektif dengan memilih dan memilah pendidikan dan kebudayaan Barat yang akan diadopsi, karena bagaimanapun perempuan memiliki kodrat khusus yang berbeda dengan laki-laki. Ada norma dan tata susila yang harus dikukuhi. Sementara Fukuzawa Yukichi, yang pada awalnya seorang pembelajar Konfusianisme, beralih mengimani pendidikan dan pemikiran Barat yang dianggapnya lebih baik dibandingkan pendidikan dan pemikiran Timur. Bagi Fukuzawa, ajaran Konfusianisme yang berkembang pada masa Tokugawa, wanita ditempatkan begitu rendah dibandingkan laki-laki. Sistem patriarki tersebut bahkan menjadi salah satu penghambat kemajuan pendidikan wanita di Jepang.

Kedua tokoh tersebut memiliki pandangan yang sama tentang kesetaraan dan persamaan hak perempuan dalam mengakses pendidikan. Kedudukan perempuan dalam keluarga juga mereka pandang sepadan dengan laki-laki, hanya saja masing-masing mempunyai peran yang berbeda.

 

DAFTAR PUSTAKA

Ki Hajar Dewantara, 1933, Kitab Soeloeh Pendidikan, Kitab I “Pola Wasita”, 1933.

_________________., 1933, “Pendidikan Keluarga”, Majalah Pusara, Dj. III, No. 12, September 1933.

_________________., 1967, Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Kedua: Kebudajaan, cet. II, (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa,1967).

_________________., 1977, Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan, cet. II, Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

_________________., 2009, Menuju Manusia Merdeka, Yogyakarta: Leutika.

Muthoifin, 2015, “Pemikiran Pendidikan Multikultural Ki Hadjar Dewantara", Intizar, Vol. 21, No. 2, 2015.

Tauchid, Mochammad., 1968, Ki Hadjar Dewantara: Pahlawan dan Pelopor Pendidikan Nasional, Jogjakarta: Madjelis Luhur Persatuan Tamansiswa.

Vitasari, Arum., 2016, “Perbandingan Pemikiran Fukuzawa Yukichi dan Ki Hajar Dewantara: Konsep Pendidikan Wanita di Jepang (1857-1912) dan Jawa (1908-1955)”, Tesis, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Yaqin, M. Ainul., 2005, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilar Media.

https://id.wikipedia.org/wiki/Fukuzawa_Yukichi, diakses pada Ahad, 22 April 2018, pukul 00.10 WIB.

 http://dcollections.lib.keio.ac.jp/en, diakses pada Ahad, 22 April 2018, pukul 00.10 WIB.

https://kbbi.web.id/arsenal

 



[1] Restorasi Meeji dipandang sebagai masa dimulainya modernitas di Jepang.

[2] Gender adalah peran dalam kehidupan yang bisa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Peran ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan tanda-tanda biologis yang dibawa manusia sejak lahir. Gender lebih cenderung mengacu pada anggapan yang berlaku dalam masyarakat tentang aktivitas-aktivitas dan sikap-sikap (sifat dan perilaku) yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh laki-laki atau perempuan. Lihat M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 115.

[3] Ki Hajar Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan, cet. II, (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa,1977).

[4] Ki Hajar Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Kedua: Kebudajaan, cet. II, (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa,1967).

[5] Muthoifin, “Pemikiran Pendidikan Multikultural Ki Hadjar Dewantara", Intizar, Vol. 21, No. 2, 2015, hlm. 301.

[6] ELS adalah sekolah dasar Belanda yang diselenggarakan untuk anak-anak bangsa Eropa dan sejumlah kecil keturunan priyayi pribumi.

[7] Ibid.

[8] Muthoifin, “Pemikiran Pendidikan Multikultural Ki Hadjar Dewantara”, hlm. 303.

[9] Mochammad Tauchid, Ki Hadjar Dewantara: Pahlawan dan Pelopor Pendidikan Nasional, (Jogjakarta: Madjelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1968), hlm. 21-22.

[10]Ki Hajar Dewantara, “Pendidikan Keluarga”, Majalah Pusara, Dj. III, No. 12, September 1933, hlm. 184-185.

[11]Ibid.

[12] Ki Hajar Dewantara, Menuju Manusia Merdeka, (Yogyakarta: Leutika, 2009), hlm. 104.

[13] Ki Hajar Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Kedua A: Kebudajaan, cet. II, (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa,1967), hlm. 239.

[14] Ki Hajar Dewantara, 1967,Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Kedua A…, hlm. 240.

[15] Ibid.

[16] Ki Hajar Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Kedua A…:), hlm. 241.

[17] Ki Hajar Dewantara, Kitab Soeloeh Pendidikan, Kitab I “Pola Wasita”, 1933, hlm. 19-21. Dikutip dari Arum Vitasari, “Perbandingan Pemikiran Fukuzawa Yukichi dan Ki Hajar Dewantara: Konsep Pendidikan Wanita di Jepang (1857-1912) dan Jawa (1908-1955)”, Tesis, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2016), hlm. 156.

[18] Ki Hajar Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Kedua A…, hlm. 237.

[19] Secara harfiah rangaku berarti “ilmu Belanda”. Adapun orang yang mempelajari atau mengkajinya disebut dengan rangakusha.  Rangaku merupakan sebutan untuk ilmu pengetahuan, budaya, dan teknologi dari Eropa yang dikenal Jepang pada zaman Edo. Ilmu-ilmu Barat itu didapat Jepang melalui kontak dengan orang Belanda di pos perdagangan Belanda di Dejima.

[20] Dikutip dari https://id.wikipedia.org/wiki/Fukuzawa_Yukichi, diakses pada Ahad, 22 April 2018, pukul 00.10 WIB. Karya-karya lain Fukuzawa Yukichi bisa diakses di http://dcollections.lib.keio.ac.jp/en

[21] Arsenal adalah bangunan permanen tempat penyimpanan, pembuatan, dan perbaikan senjata, amunisi, dan alat-alat perang lainnya. Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi online/daring https://kbbi.web.id/arsenal

[22] Arum Vitasari, “Perbandingan Pemikiran Fukuzawa Yukichi dan Ki Hajar Dewantara: Konsep Pendidikan Wanita di Jepang (1857-1912) dan Jawa (1908-1955)”, Tesis, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2016), hlm. 126.

[23] Ibid., hlm. 128.

[24] Ibid., hlm. 129.

[25] Ibid., hlm. 130.

[26] Ibid., hlm. 131.

[27] Ibid., hlm. 131-132.

[28] Ibid., hlm. 133.

[29] Ibid.,

[30] Ibid., hlm. 134.

[31] Ibid.,”hlm. 134.

Komentar