PENDAHULUAN
Teori Maqashid
al-Syari’ah dalam wacana hukum Islam dan ushul fikih memiliki sejarah
yang sangat berliku-liku. Di setiap fase sejarah itu teori ini memiliki ciri
dan watak yang berbeda-beda di tangan para penggagasnya masing-masing. Hal ini membuktikan
bahwa teori Maqashid al-Syari’ah ini mengalami semacam evolusi
dan selalu berkembang menurut semangat jaman dan kebutuhan sosial yang
melingkupinya. Saat ini, era globalisasi yang berbasis pada negara global (global
governance) dan negara bangsa telah lahir tantangan-tantangan dan masalah
yang sangat kompleks. Karenanya, dibutuhkan rekonstruksi dan kontekstualisasi
terhadap Maqashid al-Syari’ah agar dapat menjawab tantangan
ruang dan waktu. Maqashid yang selama ini dipahami sebagai
konsep, gugusan nilai, harus ditransformasikan menjadi metode pendekatan, dan
dengan sendirinya berimplikasi kebutuhan akan reformulasi dan kontekstualisasi
ushul fikih.[1]
Pasca mangkatnya al-Syathibi
geliat perkembangan diskursus maqashid mengalami stagnansi akut. Wacana
maqashid yang pertama kali terkodifikasikan dengan rapi dan sistematis oleh
Imam al-Syathibi mendadak hilang tak berbekas. Barangkali salah satu faktor
redupnya sinar diskursus maqashid ini disebabkan oleh jatuhnya kekuasaan daulah
Islam di Andalus -tempat al-Syatibhi hidup– ketangan penguasa kristen Spanyol.
Bersamaan dengan itu diberlakukan pengusiran besar-besaran umat islam (mahkamah
taftisy) dari tanah Andalus, dan implikasi logisnya, lenyap pulalah hampir
semua peninggalan kebudayaan islam beserta karya-karya agung yang sempat
terbukukan, termasuk buku-buku karya al-Syathibi.
Sampai kemudian di paruh
pertama abad 20, tampillah Ibnu ‘Asyur sebagai bapak reformasi studi maqashid,
yang menawarkan pendekatan baru dalam mempelajari maqashid syariah yang
disesuaikan dengan realitas kekinian dan konteks modern. Upaya reformasi ini,
tertuang dalam karya briliannya, maqashid al-syariah al-islamiah yang
terbit pertama kali di Tunisia, tahun 1946 M. Dalam bukunya ini, sengaja Thahir
bin ’Asyur tujukan untuk menyingkap rahasia dan hikmah diturunkannya syariat,
sebagai sebuah obor penerang, saat munculnya ikhtilaf diantara para ulama, baik
dikarenakan perbedaan masa hidup, kondisi sosial masyarakat, atau perbedaan
kadar kemampuan dalam perumusan suatu hukum.[2] Tawaran
Ibnu Asyur ini, bisa dikatakan sebagai jembatan yang bisa meminimalisir adanya
jurang khilaf diantara kaum muslimin, demi memupus kecenderungan fanatik sempit
pengikut mazhab tertentu dan disintegrasi umat.[3] Dalam
kitabnya tersebut Asyur menegaskan bahwa tasyri’ hukum Islam yang sesuai dengan
maqashid syariah bertujuan untuk menunjukkan keagungan syariah itu sendiri;
bahwa Islam sejatinya turut menjaga tegaknya maslahat dan mencegah kemudaratan.
Lebih dari itu, yang paling penting tasyri’ hukum Islam berperan dalam
menciptakan keteraturan dan perbaikan di masyarakat.[4]
PEMBAHASAN
A. Riwayat
Hidup Thahir bin Asyur[5]
1. Kelahiran
dan Latar Belakang Pendidikan
Di tepi pantai utara dekat
Ibukota Tunis, Ibnu Asyur dilahirkan pada tahun 1879 M dari rahim keluarga
mulia pecinta ilmu. Ibnu Asyur memulai pendidikannya di usia enam tahun dengan
belajar al-Quran dan menghapalkannya dibawah asuhan Sheikh Muhammad al-Khiyari.
Kemudian dilanjutkan dengan mempelajari matan ajrumiah dalam
bidang nahwu dan kitab-kitab fikih mazhab Maliki. Tahun 1893 M belajar di
perguruan tinggi Zaitunah, institusi pendidikan tinggi Islam tertua di wilayah
Maghribi yang sudah eksis sejak abad 8 M. Disana ia belajar ulum
al-quran, hadist, fikih, ushul al-fiqh, sejarah, bahasa dan
lain sebagainya, disamping ia juga mendalami bahasa Perancis, bahasa resmi yang
digunakan pemerintah kolonial Perancis di Tunisia ketika itu. Setamatnya dari
Zaituna yang ditandai dengan mendapat ijazahtathwi’, ia meneruskan
belajar pada Menteri Besar Tunis, Sheikh Aziz Benashur, Shaik al–Islam Mahmud
Benhojah, salah satu pembesar madzhab Hanafi di Tunis, Sheikh Salim Bouhajib
seorang ulama besar Maliki, dan Sheikh ‘Umar Ahmad, Imam besar mazhab Maliki.
Dari sekian banyak gurunya, keempat guru tersebutlah yang paling banyak
memberikan pengaruh penting dalam lika-liku intelektual Thahir bin Asyur.
Sementara karir akademis Thahir
bin 'Asyur dimulai dengan menjadi tenaga pengajar di almamaternya, Zaituna
pasca mendapatkan ijazah tathwi tahun 1899 M,
dilanjutkan dengan keberhasilannya lulus menjadi ulama tabaqat
at-tsaniah tahun 1903 M, menjadi dosen di madrasah al-shadiqia pada
1904 M, naik pangkat sebagai ulama thabaqat al-ula tahun 1905
M, menjadi anggota Majelis Reformasi Anggota Pendidikan dan Majelis Auqaf,
menjadi Hakim Agung mazhab Maliki tahun 1923 M, kemudian dilanjutkan dengan
menjabat sebagai mufti besar wilayah Tunisia setahun sesudahnya. Selain
berperan aktif dalam belantika dunia pendidikan di negerinya, ia juga aktif
mengikuti berbagai seminar dan workshop Internasional, seperti partisipasinya
sebagai seorang peneliti di majma’ lughah al-‘arabiah (Pusat
Studi Bahasa Arab) di Damaskus dan Kairo.
Sepanjang puluhan tahun
pengembaraan intelektualnya, Ibnu 'Asyur banyak melahirkan karya-karya ilmiah,
baik berupa syarah (penjelasan) atas karya cendekiawan
lain, tahqiq (komentar), kumpulan syair, dan buku-buku ilmiah.
Berikut beberapa karya Thahir bin 'Asyur; kitab tafsir tahrir al-ma’na
al-sadid wa tanwir al-‘aql al-jadid min tafsir al-kitab al-majid, maqashid
al-syari’ah al-islamiah yang merupakan magnum opus-nya di
bidang maqashid al-syariah, alaisa al-subh
biqarib, ushul an-nidzam al-ijtima’i fi al-islam, kashf al-mughatha
min al-maani wa al-alfadz al-waqi’ah fi al-muwatho’, naqd ilmi likitab al-islam
wa ushul al-hukm, dan banyak lagi buku-buku karyanya, termasuk manuskrip,
catatan pribadi, ceramah dan makalah-makalah ilmiah yang masih tercecer dan
belum dibukukan.
2. Setting
sosial-politik
Secara umum, potret kondisi
politik dalam kehidupan Ibnu 'Asyur terbagi menjadi dua fragmen besar periode
kehidupan. Pertama adalah era penjajahan kolonial Perancis
atas negara-negara maghrib ‘arabi (Maroko, Al-Jazair, dan
negerinya, Tunisia) yang berkisar antara tahun 1881-1956. Sementara
periode kedua adalah masa kemerdekaan yang diraih rakyat
Tunisia pada tahun 1956 sampai 1973, tahun dimana ia mangkat.
Periode pertama kehidupannya,
ditandai dengan berbagai peristiwa besar di dunia Islam seperti lemahnya
otoritas kekhalifaan Turki Ustmani atas negara-negara kekuasaannya. Walhasil
hal ini dimanfaatkan oleh negara-negara imperialis Eropa untuk menancapkan kuku
kekuasaannya atas negara-negara Islam di Timur Tengah, termasuk Tunisia.
Berusaha untuk lepas dari penjajahan Perancis, tumbuhlah berbagai gerakan
perlawanan rakyat. Setidaknya, ada tiga faktor penting dalam mendorong munculnya
berbagai gerakan ini diantaranya adalah pengaruh gerakan reformasi yang
dicetuskan oleh Muhammad Abduh di Mesir. Urwa al-wutsqa, majalah
yang diasuh oleh Abduh berhasil memberikan pengaruh kuat kepada rakyat Tunisia
untuk bangkit melakukan perlawanan terhadap penguasa kolonial. Kesadaran rakyat
untuk melawan penguasa semakin kuat pasca kunjungan Abduh ke Tunisia pada tahun
1884 dan 1903. Faktor kedua yang membawa pengaruh besar pada arus perlawanan
rakyat Tunisia adalah pikiran-pikiran seorang reformis Tunisia, Khairudin
al-Tunisy, dimana dengan inisiatifnya ia berusaha memajukan bangsanya
lewat jalur pendidikan. Langkah-langkah yang ditempuh al-Tunisy diantaranya
adalah menebarkan ide pembebasan lewat tulisan-tulisannya di berbagai majalah dan
mencetak buku-buku murah untuk disebarkan kepada khalayak, dan mendirikan
universitas Khalduniah dan al-Shadiqiah demi mempelajari ilmu-ilmu modern.
Sementara faktor ketiga adalah konfrontasi secara langsung dengan pihak
penguasa, yang berujung pada terjadinya bentrok fisik antara pejuang
Tunisia vis a vis penguasa Perancis, seperti peristiwa Zalaj dan Teram tahun
1912, Revolusi Ibn Askar tahun 1915, munculnya embrio gerakanniqabiah tahun
1924, dan muktamar nasional Tunisia tahun 1946 yang menuntut kemerdekaan penuh
atas Perancis. Semua pergolakan ini terus berlangsung sampai dengan proklamasi
kemerdekaan tahun 1956, yang menandai era baru kehidupan berbangsa dan
bernegara rakyat Tunisia.
Pasca kemerdekaan yang ditandai
dengan naiknya Habib Borgouiba sebagai presiden, terjadi banyak perubahan besar
di wajah Tunisia. Dengan dalih mengejar ketertinggalan negaranya dari
negara-negara maju, Borgouiba aktif melakukan kampanye sekulerisasi dimana-mana
dan mengklaimnya sebagai satu-satunya jalan untuk membawa negara ke arah
kemajuan. Islam disisihkan dari gelanggang politik, bahkan dari ruang publik.
Imbasnya, syiar keagamaan nyaris tak nampak dalam kehidupan
keseharian. Kecuali dalam ritual-ritual resmi seperti salat Jumat atau
peringatan hari-hari besar agama. Di sisi lain, tradisi Barat dijadikan
satu-satunya prototype ideal yang layak diikuti. Atas
nama HAM dan kebebasan, potret Islam yang liberal, humanis serta penuh
kompromi, mulai dikembangkan dan materi HAM menjadi salah satu bahan
pelajaran utama di semua lembaga pendidikan.
B. Maqashid
Syariah menurut Thahir bin Asyur
1. Urgensi
Maqashid Syariah dalam Kajian Fikih
Gagasan tentang maqashid
syariah, sebagai sebuah nilai, prinsip, dan paradigma, telah dikenal jauh
ketika awal-awal Islam, bahkan ada yang mengidentifikasi bahwa pemikiran
maqashidi sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw.[6] Namun
secara konseptual, pemikiran tentang maqashid syariah baru disusun secara sistematis
oleh Al-Syathibi. Sehingga banyak kalangan yang menganggap al-Syathibi sebagai
bapak perumus Maqashid Syari’ah pertama.
Al-Syathibi menulis
al-Muwafaqat dengan tujuan untuk ‘mendamaikan’ antara madzhab maliki yang
menjadi mayoritas madzahab di Granada pada waktu itu, dan madzhab Hanafi
sebagai madzhab minoritas.Salah satu motivasi Imam Syathibi untuk menulis karya yang secara khusus membahas tentang
Maqashid Syariah adalah munculnya sikap ta’ashub berlebihan
yang dipraktekan para ulama Granada dan masyarakat Andalusia saat itu terhadap
madzhab Maliki. Mereka memandang setiap orang yang bukan madzhab Maliki adalah
sesat. Sebagaimana diketahui bersama bahwa masyarakat Andalus memegang erat
madzhab Maliki ini sejak raja mereka Hisyam al-Awwal bin Abdurrahman ad-Dakhil
yang memerintah dari tahun 173-180H menjadikan madzhab ini sebagai madzhab
resmi negara.[7]
Saking
berlebihannya ta’asub mereka, mereka tidak lagi mengenal
bahkan cenderung tidak bersahabat dengan madzhab-madzhab lainnya terutama
madzhab Hanafi sehingga Muhammad Fadhil bin Asyur melukiskan mereka: “Mereka
tidak lagi mengenal selain al-Qur’an dan al-Muwatha’ Imam Malik”.[8]
Dari uraian di
atas dapat kita ambil kesimpulan, bahwa secara metodologis, pemahaman fikih
dengan pendekatan maqashid sebagaimana yang dilakukan oleh al-Syathibi, adalah
cara terbaik untuk meminimalisir terjadinya khilaf dan perdebatan dalam fikih,
yang acapkali menimbulkan perpecahan umat dan pengkotakan kaum muslim dalam
kotak-kotak madzhab yang justru kontraproduktif terhadap upaya menyatukan umat
muslim.
Jika pada
waktu itu di Granada ada dua madzhab yang dalam praktik di masyarakat saling
berkompetisi bahkan bermusuhan, al-Syathibi merasa sangat urgen untuk membuat
karya yang secara sistematis dan konseptual dapat meminimalisir
ketegangan-ketegangan antar kedua madzhab, maka di masa sekarang di mana
ketegangan-ketegangan yang seringkali terjadi bukan hanya antara dua madzhab,
tapi sudah meluas antara dan dalam empat madzahab fikih sunni, plus syiah dan
wahhabi, maka urgensi untuk kembali membangkitkan geliat pemikiran tentang
Maqashid Syariah makin menemukan relevansinya.
Sedang secara metodologis,
urgensi pengkajian dan penggaliannya maqashid syariah dipandang perlu karena
pemahaman tentangnya merupakan kunci yang membukakan belenggu kekakuan berfikir
dan kebekuan paradigma umat Islam dalam memandang syariah Islam itu sendiri.
Pasalnya, syariat Islam hingga kini belumlah terasa menjadi problem
solver dan pemecah kebuntuan problematika yang mendera umat, menjawab
tantangan persoalan zaman serta mengentaskan umat dari kemunduran dan
keterpurukan. Sebaliknya syariat masih sebatas dipandang sebagai hukum legal-formal yang
membebani kehidupan, menjadi aturan kaku yang membatasi interaksi keseharian
(dengan fatwa halal-haram) dan belumlah dimaknai sebagai solusi atas problem
yang ada demi mancapai kemaslahatan dan kemudahan umat sebagaimana maksud dan
tujuan syariat itu diturunkan oleh Syari’ Azza Wa Jalla pada mulanya.
Berangkat dari
pemikiran di atas, maka upaya memformulasikan kembali maqashid syariah menjadi
penting adanya, tentu dengan segenap perubahan zaman yang terjadi demikian
rupa, maka upaya tersebut harus disesuaikan dan dikontelstualisasikan
dengan kebutuhan sosial pada masa sekarang. Reformulasi dan
kontekstualisasi Maqashid Syariah akan dijelaskan di belakang.
2. Argumentasi
Normatif Maqashid Syariah
Mengenai legalitas maqashid,
seperti disebutkan dimuka, bahwa Allah sebagai Sang Pemilik Syariat mustahil
untuk menurunkan syariat kepada manusia tanpa diiringi dengan tujuan dan hikmah
mulia. Asyur menjelaskan legalitas (hujjiyyah) maqashid syari’ah dengan
menyetir ayat-ayat al-Quran yang mengisyaratkan akan hal tersebut, seperti
tersebut dalam QS. Al-Dukhan 38-39, al-Mu’minun 115, al-Hadid 25, Ali Imran 19,
al-Nisa 171, al-Syura 13, al-Maidah 44-48, al-Baqarah 179.[9]
3. Definisi
dan ruang lingkup Maqashid Syariah
secara etimologi (ma’na
lughawy) kata maqashid berakar dari kata kerja
( قصد- يقصد- قصدا- ومقصدا ).
Yang berarti maksud atau tujuan. Dalam penggunaan keseharian, maqashid mempunyai
paling tidak tiga makna, (1) bergantung dan mendatangkan sesuatu, (2) jalan
yang lurus dan mudah dilalui, (3) adil dan moderat.[10]
Sedang dalam terminologi (ma’na
isthilahy) terdapat beberapa pengertian yang saling berdekatan maksudnya
yang bermuara pada arti ‘maksud dan tujuan di balik syariat demi kemaslahatan
umat’. Banyak definisi yang sudah diberikan oleh ulama
mengenai arti maqashid syariah, dimana antara satu definisi dengan definisi
yang lain saling melengkapi. Menurut Thahir bin ‘Asyur sendiri, definisi
maqashid syariah adalah:
المعاني والحكم الملحوظة للشارع في جميع أحوال التشريع أو معظمها، بحيث لاتختص
ملاحظتها بالكون في نوع خاص من أحكام الشريعة، فيدخل في هذا أوصاف الشريعة
وغاياتها العامة والمعاني التي لا يخلو االتشريع عن ملاحظتها.
Makna-makna dan himah-hikmah yang menjadi pertimbangan
Syari’ dalam segenap atau sebagian besar pen-tasyri’-annya, dimana
pertimbangan tersebut tidak terbatas dalam satu jenis tertentu. Jadi,
termasuk ke dalam maqashid adalah karakteristik syari’ah, tujuan-tujuannya yang
umum, serta makna-makna yang tidak mungkin untuk tidak dipertimbangkan dalam
pentasyri’an.[11]
4. Metode
Penetapan Maqashid Syariah
Berkaitan dengn metode
penetapan maqashid syari’ah, Thahir bin Asyur mempunyai perbedaan dengan
al-Syathibi. Menurut Asyur, metode penetapan maqashid syari’ah ada tiga:
a. Meneliti
‘kebijakan-kebijakan’/ Tasharrufat syariah. Langkah ini bisa
dalam dua bentuk:
1) Meneliti
hukum-hukum yang sudah diketahui illatnya melalui prosedur masalikul
illat yang dikenal dalam ushul fikih, untuk kemudian dicari hikmah
dari hukum-hukum tersebut. Sebagai contoh, pengharaman muzabanah dan
jual beli kurma basah. Maqashid yang dapat diambil atas pelarangannya adalah:
demi menghindari penipuan (gharar) dalam transaksi. Contoh lainnya,
dilarangnya meminang wanita makhtubah (sedang dalam pinangan orang lain). Maka
maqashid yang nampak dari kasus ini adalah: demi menjaga kelangsungan ukhuwwah di
antara sesama muslim.[12]
2) Meneliti secara induktif
dalil-dalil hukum yang mempunyai illat sama, sehingga memberi keyakinan bahwa
illat tersebutlah yang dikehendaki oleh syara’ atau yang menjadi maqashid
al-syariah. Contoh: dilarangnya jual-beli makanan sebelum sampai ke
tangan pembeli, barter makanan dengan salah satunya dihutang dan dilarangnya
menimbun makanan. Maka dari ketiga persoalan ini dapat ditarik satu illat
tasyri’ yang sama, yakni demi berlangsungnya peredaran makanan secara
sehat dipasaran dan agar makanan dapat dengan mudah didapatkan. Sehingga illat inilah
yang menjadi maqashid pelarangan ketiga kasus tersebut.[13]
b. Memahami dalil-dalil quran yang
dalalahnya jelas, yang kemungkinan adanya maksud lain selain yang tampak dari
dalil-dalil quran tersebut lemah. misalkan:
والله لا يحب الفساد
Ayat ini secara tashrih telah
menampakkan dasar dan asas maqashid syariah.[14]
c. Memahami Sunnah Mutawatiroh:
1) Tawatur Maknawi, yakni
apa-apa yang disaksikan oleh mayoritas sahabat sebagai amalan dari Nabi
Saw, sehingga menjadi pengetahuan yang disepakati bersama, Contoh: anjuran
bersedekah atas sebagian harta dan menyimpan (alhabs) sebagian yang
lain, khutbah dua hari raya ied yang dilangsungkan setelah shalat.[15]
2) Tawatur ‘Amali, yakni beberapa
sahabat melihat tindakan Rasulullah yang berulang-ulang, sehingga memberikan
kesimpulan pada tujuan atau maqashid al-syari’ah nya Contoh:
iqrar (diamnya) Rasul ketika melihat salah seorang sahabat (Abu Barzah
Al-Aslamy) berlari mengejar unta yang lepas ketika dalam keadaan shalat.[16]
5. Perilaku Nabi
Ibn Asyur membagi tingkah laku Rasul SAW menjadi dua belas
bagian.
a. At-Tasyri’ (pensyari’atan),
ini yang paling dominan, dan karena alas an inilah Allah menjadikanya Rasul di
muka bumi.
b. Fatwa.
Seperti sabda Nabi pada hari nahr ketika para sahabta
menanyakan sesuatu yang berbeda-beda, kemudian Rasul menjawab : “إفعل ولا حرج”
c. Qadha.
Umumnya hal ini terjadi pada seseorang yang saling berselisih.
d. Imam.
Seperti sabda Nabi yang : “من قتل قتيل فله سلبه”
e. Bimbingan
dan Konseling, dan ini lebih umum dari bagian pertama (at-tasyri’)
karena adakalanya Nabi menyuruh dan melarang sesuatu bukan karena sesuatu
tersebut adalah sebuah keharusan, melainkan karena sesuatu tersebut adalah yang
lebih utama dan baik.
f. Kemaslahatan
bersama. Seperti ketika terjadi perselisihan antara Zubair dengan Humaid
al-Anshari dalam masalah pengairan air
g. Isyarat.
Seperti isarat Nabi kepada Umar : “إن الراجع في
صدقته كالكلب يعود في قيئه”
h. Nasehat.
Seperti nasehat nabi kepada Fatimah Binti Qais :
“أما أبو جهم فلا يضع عصاه عن عاتقه وأما معاوية فصعلوك لا مال له”.
i. Kesempurnaan
diri. Seperti anjuran Nabi untuk menjenguk orang yang sakit, mengikuti jenazah
sampai dikuburkan, mendoakan orang yang bersin, menjawab salam, mendatangi
undangan dll. Dan larangan Nabi seperti memakai cincin emas, memaki gelas yang
terbuat dari perak, memakai sutra bagi para lelaki dll.
j. Ilmu
Hakikat, dan memang inilah maqam dari Rasul dan para sahabatnya. Seperti hadits
riwayat Abu Dzar beliau bersabda “Jika aku mempunyai emas sebesar gunung uhud
maka aku akan menafkahkan semuanya kecuali hanya senilai tiga dinar yang
tersisa”.
k. Kedisiplinan,
separti ancaman Nabi untuk membakar rumah para sahabat yang tidak ikut
berjamaah. Karena tidak mungkin Nabi membakar rumah para sahabat, dan memang
itu tidak terjadi. Maka ancaman seperti ini bisa dimaknai pentingnya untuk
selalu disiplin dalam berjamaah.
l. Kebiasaan
umum. Seperti tingkah laku Nabi ketika berada di rumahnya, ketika mencari ma’isyah untuk
kehidupanya. Dalam hal ini Nabi bersabda “إنما أنا بشر
فاعملوا بما يصلحكم” .
Di akhir pembahasan Ibn Asyur
berpendapat akan pentingnya seorang mutafaqih fidin untuk
selalu menganalisa dan mencermati tingkah laku kenabian. Lalu beliau memberikan
contoh tentang indikasi-indikasi mengenai At-Tasri’, yaitu
berupa perhatian Nabi untuk menyampaikan sesuatu tersebut ke halayak umum,
menjaga untuk selalu mengamalkanya, dan memberitaukan hukum dari perbuatan
tersebut, misalnya sabda Nabi yang berbunyi “لا وصية
لوارث”. Sedangkan indikasi dari sesuatu yang tidak termasuk
pensyariatan (at-tasri’) yaitu, kurangnya ketekunan Nabi untuk melakukan suatu
perbuatan.
Dari beberapa sifat dan prilaku
Nabi yang telah disebutkan di atas, menurut Ibn Asyur, satu hal yang paling
penting utuk dipahami lebih jauh adalah perihal pensyariatan (at-tasri’),
karena itulah hakikat dari kenabian itu sendri. Allah berfirman di dalam surat
al-imran ayat 144 “وما محمد إلا رسول”.[17]
C. Maqashid
Sebagai Kriteria Mendasar untuk Pembaharuan
Berdasarkan pada analisis
maqashid dalam berbagai dasar kebahasaan dan bukti/metode rasional, tampak
bahwa realisasi maqashid tidaklah spesifik untuk beberapa metode ushul, seperti
analogi atau kepentingan, yang belakangan ini banyak disarankan oleh teori
tradisional dan kontemporer. Jasser Auda berargumen bahwa realisasi maqashid
hukum Islam adalah inti tujuan dari seluruh dasar kebahasaan dan metodologi
rasional ijtihad, tanpa melihat berbagai nama dan pendekatan mereka.
Selebihnya, realisasi maqashid, dari sudut pandang sebuah sistem, akan menjaga
keterbukaan, pembaruan, realisme dan fleksibilitas sistem hukum Islam.
Karena itu, validitas ijtihad,
dan dengan demikian perangkat ushul fikih (juga qawa’id al-ushul)
harus ditentukan berdasar pada level tujuannya, seperti level realisasi maqashid
al-syari’ah. Demikian juga, validitas sebuah hukum harus ditentukan
berdasarkan level realisasi maqashid. Pilihan antara
alternatif hukum, atau hasil dari ijtihad, secara tradisional dilakukan melalui
keterlibatan metode mendasar yang urutannya sudah ditetapkan dalam ijtihad
tersebut, seperti ijma’, qiyas, pendapat sahabat, atau tradisi masyarakat
Madinah.[18]
Sebagai sebuah gagasan,
diskursus maqashid syari’ah adalah bidang ilmu yang lahir dari rahim ushul
fikih. Pendekatan Maqashid untuk fikih adalah sebuah pendekatan holistik yang
tidak membatasi dirinya pada hadis atau hukum tertentu, akan tetapi merujuk
pada prinsip-prinsip umum dan landasan bersama.[19]
Seiring dengan perkembangan
zaman, telah terjadi pergeseran paradigma tentang maqashid syariah. Pergeseran
paradigma dan teori Maqashid yang lama ke teori Maqashid yang
baru terletak pada titik tekan keduanya. Titik tekanMaqashid lama
lebih pada protection (perlindungan) dan preservation (penjagaan/pelestarian),
sedang teori Maqashid baru lebih menekankan pada development (pembangunan/pengembangan)
dan right (hak-hak)[20]:
No |
Teori Maqashid klasik |
Teori Maqashid kontemporer
(postmodern) |
1 |
Menjaga keturunan (an-nasl) |
Teori yang berorientasi
pada perlindungan keluarga, kepedulian yang lebih terhadap institusi keluarga |
2 |
Menjaga akal (al’Aql) |
Melipatgandakan pola pikir dan research ilmiah;
mengutamakan perjalanan mencari ilmu pengetahuan; menekan pola pikir yang
mendahulukan kriminalitas kerumunan gerombolan; menghindari upaya-upaya untuk
meremehkan kerja otak |
3 |
Menjaga kehormatan dan jiwa (an-nafs dan al’irdh) |
Menjaga dan
melindungi martabat kemanusiaan; menjaga dan melindungi hak-hak asasi manusia |
4 |
Menjaga agama (ad-Din) |
Menjaga,
melindungi dan menghormati kebebasan beragama dan berkepercayaan |
5 |
Menjaga harta (al-mal) |
Mengutamakan
kepedulian sosial; menaruh perhatian pada pembangunan dan pengembangan
ekonomi; mendorong kesejahteraan manusia; menghilangkan jurang antara miskin
dan kaya. |
DAFTAR PUSTAKA
Aep Saefullah Darusmanwiati, “Imam
Syathibi:
Bapak Maqasid al-Syari’ah Pertama” (www.islamlib.com);
Ahmad Muhammad, “Rekonstruksi Maqashid
al-Syari’ah dalam Perspektif Thahir bin ‘Asyur(Sebuah Upaya mendialogkan kembali syariat
dengan realitas)” , www.ruangkesadaran.blogspot.com;
Amin Abdullah, “Epistemologi
Studi Hukum Waris Islam Klasik, Modern dan Postmodern (Pendekatan Filsafat
Sistem Jasser Auda)”, Kata Pengantar dalam: Waryani Fajar Riyanto, Sistem
Kewarisan Islam Klasik, Modern dan Postmodern (Perspektif Filsafat Sistem) (Pekalongan:
STAIN Press, 2012):
Amrullah, “Geliat Pemikiran Maqashid
Syari’ah (sejak I H./VII M. sampai 14 H./21 M.)” Makalah Divisi Kajian Fikih-Ushul Fikih
Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (LBM PCINU)
pada tanggal 20 Februari 2013 di Sekretariat PCINU Mesir.
Thahir bin Asyur, Maqashid
Al-Syari’ah Al-Islamiah, (Amman: Dar al-Nafais, 2001);
Tim Redaksi, “Peta Pemikiran
Ulama ushul tentang Maqashid Syari’ah: Menuju Kontekstualisasi dan
Reformulasi”, Jurnal Mlangi, vol. I No 3 (November
2013-Februari 2014);
Tim Redaksi, “Ushul Fiqh:
Kontekstualisasi atau Reformulasi”, Jurnal Mlangi, vol. I No 3
(November 2013-Februari 2014):
Warson Munawwir dan Atabik Ali, Kamus
al-Munawwir (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997).
[1] Tim Redaksi, “Peta Pemikiran Ulama ushul tentang
Maqashid Syari’ah: Menuju Kontekstualisasi dan Reformulasi”, Jurnal
Mlangi, vol. I No 3 (November 2013-Februari 2014), hal. 33
[2] Thahir bin Asyur, Maqashid Al-Syari’ah
Al-Islamiah, (Amman: Dar al-Nafais, 2001) hal. 3
[3] Ibid.
[4] Muhammad Thahir bin ‘Asyur, Op.
Cit., hal. 170
[5] Riwayat hidup Thahir bin Asyur ini
seluruhnya penulis kutip dari makalah Ahmad Muhammad, “Rekonstruksi Maqashid
al-Syari’ah dalam Perspektif Thahir bin ‘Asyur (Sebuah Upaya mendialogkan kembali
syariat dengan realitas)” , www.ruangkesadaran.blogspot.com
[6] Salah satu sampel ijtihad
berdasarkan maqashid di masa Nabi, sebagaimana dikemukakan Jaser Audah (pakar
maqashid modern), adalah ijtihad Sahabat terkait hadis riwayat Bukhari
dan Muslim yang secara tekstual melarang melaksanakan solat asar kecuali di
Bani Quraidhah. Pada waktu itu Sahabat yang memahami hadis tersebut
secara maqâshidiy melaksanakannya ditengah perjalanan, bukan
di Bani Quraidlah. Mereka memahami bahwa maksud dari hadis adalah al-isrâ’ (bergegas).
Meskipun secara tekstual apa yang mereka lakukan berpunggungan dengan makna
lahir teks akan tetapi dibenarkan karena sesuai dengan tujuan yang terkandung
dalam teks. Ini terbukti ketika kasus diadukan kepada Nabi, Nabi pun tak mengingkari.
Bagi Jaser, hadis tersebut merupakan dasar bolehnya menggali maqashid dari
teks berdasarkan dugaan yang kuat (dhan al-ghâlib). Sepeninggal Nabi
saw., khususnya di tangan sahabat Umar ra. ijtihad-ijtihad yang berlandaskan
kemaslahatan yang merupkan pilar utama maqashid lebih marak lagi digalakkan.
Lihat dalam: Amrullah, “Geliat Pemikiran Maqashid
Syari’ah (sejak I H./VII M. sampai 14 H./21 M.)” Makalah dipresentasikan dalam Kajian Ushul
Fikih diselenggarakan oleh Divisi Kajian Fikih-Ushul Fikih Lembaga Bahtsul
Masail Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (LBM PCINU) pada tanggal 20
Februari 2013 di Sekretariat PCINU Mesir.
[7] Muhammad Fadhil bin Asyur, A’lam al-Fikr
al-Islamy, (Tunisia: Maktabah an-Najah, t.th.), hal. 10., sebagaimana
dikutip oleh Aep Saefullah Darusmanwiati, “Imam Syathibi:
Bapak Maqasid al-Syari’ah Pertama” (www.islamlib.com), diakses pada15 Mei 2014
[8] Ibid.
[9] Thahir bin Asyur, Op. Cit. hal.
177-179
[10] Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1997)
[11] Thahir bin Asyur, Op. Cit., hal.
[12] Thahir bin Asyur, Op. Cit., hal.
190-192
[13] Ibid., hal. 192-193
[14] Ibid.
[15] Ibid., hal. 194
[16] Ibid.
[17] Ibid., hal. 212-231
[18] Tim Redaksi, “Ushul Fiqh: Kontekstualisasi atau
Reformulasi”, Jurnal Mlangi, vol. I No 3 (November
2013-Februari 2014), hal. 8-82.
[19] Tim Redaksi, “Ushul Fiqh: Kontekstualisasi atau
Reformulasi”, Jurnal Mlangi, vol. I No 3 (November
2013-Februari 2014), hal. 80.
[20] Amin Abdullah, “Epistemologi Studi Hukum Waris
Islam Klasik, Modern dan Postmodern (Pendekatan Filsafat Sistem Jasser Auda)”,
Kata Pengantar dalam: Waryani Fajar Riyanto, Sistem Kewarisan Islam
Klasik, Modern dan Postmodern (Perspektif Filsafat Sistem) (Pekalongan:
STAIN Press, 2012), hal. Liii.
Komentar
Posting Komentar