PEMIKIRAN PENDIDIKAN SYEKH NAWAWI AL-BANTANI DAN IMPLIKASINYA DENGAN PENDIDIKAN KEKINIAN


PEMIKIRAN PENDIDIKAN SYEKH NAWAWI AL-BANTANI DAN IMPLIKASINYA DENGAN PENDIDIKAN KEKINIAN



Disusun Oleh:
Imam Syafi’i
NIM: 17913029

Dosen Pengampu Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam:
Prof. Dr. H. Maragustam, MA.

A.      Pendahuluan
Indonesia adalah Negara yang terkenal memiliki penduduk muslim terbanyak di dunia, semua itu tidak lepas dari peran ulama’-ulama’ terdahulu yang giat menyebarkan agama Islam, diantara ulama’-ulama’ tersebut ada satu sosok ulama’ yang luar biasa, yaitu syech imam nawawi al bantani, beliau adalah ulama’ yang sangat terkenal, tidak hanya di Indonesia tapi juga di makkah dan di negara-negara lain,beliau adalah ulama’ yang ahli di bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika, karya-karya beliau memberikan sumbangan yang sangat besar dalam kemajuan islam di Indonesia, banyak sekali ulama’ dan  pejuang-pejuang islam yang berguru pada beliau, karena itulah jasa beliau sangat besar dalam mengIslamkan Indonesia.
Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama’ penulis kitab, tetapi juga ia adalah mahaguru sejati (The Great Scholar). Syekh Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan Islam. Pemikiran pendidikannya masih relevan diaplikasikan baik yang menyangkut nilai-nilai dasar maupun aktivitas-aktivitas pendidikan Islam dalam masyarakat Indonesia yang religius dan majemuk.[1]
            Untuk itu pada masa masa seperti sekarang ini kita perlu mengetahui, mempelajari, serta mengambil hikmah dan pelajaran dari kisah dan pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani. Maka darai itu, tulisan ini berusaha untuk membahas lebih jauh lagi mengenal Syekh Nawawi al-Bantani beserta pemikirannya, khususnya pemikiran tentang pendidikan Islam.

B.    Sketsa Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani
Nama lengkapnya adalah Abu Abdul Mu’ti Muhammad bin Umar bin Ali Al-Tanara Al-Jawi Al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Nawawi Al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten pada tahun 1230 H/1813 M. Beliau wafat pada usia 84 tahun, tepatnya pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M di tempat kediamannya terakhir, kampung Syi’ib Ali, Mekah. Jenazahnya dikuburkan di pemakaman Ma’la, Mekah berdekatan dengan makam Ibn Hajar dan Siti Asma bin abu Bakar Siddiq. Beliau wafat pada saat sedang menyusun sebuah tulisan yang menguraikan dan menjelaskan tentang Manhaj at-Tholibinnya Imam Yahya bin Syaraf bin Mura bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Ammah bin Hujam an-Nawawi. Setiap tahunnya, pada minggu terakhir bulan Syawal, acara haul diselenggarakan di daerahnya, Tanara, Banten Jawa Barat oleh sebagian besar masyarakat.[2]
Sejak kecil Syekh Nawawi telah mendapat pendidikan Agama dari orang tuanya. Mata pelajaran yang diterimanya antara lain bahasa Arab, Fikih, dan ilmu tafsir. Selain itu ia belajar pada Kiai Sahal di daerah Banten dan Kiai Yusuf di Purwakarta. Pada usia 15 tahun ia pergi menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan bermukim di sana selama 3 tahun. Di Mekah, ia belajar pada beberapa orang syekh yang bertempat tinggal di Masjidil Haram, seperti Syekh Ahmad Nahrawi, Dimyati, dan Syekh Ahmad Dahlan. Ia juga pernah belajar di Madinah di bawah bimbingan Syekh Muhammad Khatib al-Hambali. Sekitar tahun 1248 H/1831 M ia kembali ke Indonesia. Di tempat kelahirannya, ia membina pesantren peninggalan orang tuanya. Karena situasi politik yang tidak menguntungkan, ia kembali ke Mekah setelah 3 tahun berada di Tanara dan meneruskan belajar di sana. Sejak keberangkatannya yang kedua kalinya ini, Syekh Nawawi tidak pernah kembali ke Indonesia. Menurut catatan sejarah, di Mekah ia berupaya mendalami ilmu-ilmu agama dari para gurunya, seperti Syekh Muhammad Khatib Sambas, Syekh Abdul gani Bima, Syekh Yusuf Sumulaweni, dan Syekh Abdul Hamid Dagastani.[3]
Sebagai seorang alim yang dalam ilmunya, tinggi akhlak dan kepribadiannya, ikhlas dalam mengajar dan mendakwahkan Islam, tentu hasil didikannya pun akan melahirkan para ulama besar. Seperti yang dikutip oleh Fahmi, di antara ulama besar di Indonesia yang menjadi muridnya antara lain:
1)      KH. Hasyim Asy’ari, Tebu Ireng, Jombang Jawa Timur.
2)      KH. Khalil, Bangkalan, Madura, Jawa Timur.
3)      K.H. Ilyas, Serang Banten, Jawa Barat.
4)      KH. Tubagus Muhammad Asnawi, Caringin, Jawa Barat.[4]
Syekh Nawawi melalui karya-karyanya sangat dikenal di kalangan masyarakat muslim, terutama di dunia pesantren Jawa. Dalam bidang keilmuan, ia dikenal ahli di bidang Teologi Islam, Fikih, akhlak/tasawuf, bahasa dan kesusastraan Arab serta tarikh (kelahiran/kehidupan Nabi Muhammad SAW). sedang di bidang kependidikan Islam nyaris luput dari pengamatan, padahal banyak percikan-percikan pemikiran kependidikan dalam banyak karyanya di berbagai disiplin ilmu seperti tafsir, hadits, dan akhlak/tasawuf. Oleh karena itu, upaya rekonstruksi dan mensistemastisasi pemikirannya secara konseptual menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi dunia keilmuan Islam.[5]
Di antara karya-karyanya adalah:[6]
1)      Bidang Ilmu Kalam; diantaranya ialah Kitab Fath al-Majid, Tijan al-Darari, Kasyifah al Safa’, Al Nahjah al-Jadidah, Nur al-Zulam, dll.
2)      Bidang Fiqh; Al Tausyeh, Sulam al Munajat, Nihayal al-Zain, Mirqah Al-Su’ud Al-Tasdiq, Suluk Al-Jadah, Fath Al-Mujib, dll.
3)      Bidang Akhlak/Tasawuf; perilaku sufinya nampak dalam kezuhudan daan ketawaduannya. Tarekat yang diikutinya adalah tarekat Qadiriah, karena beliau sangat erat hubungannya dengan Kyai abdul Karim bin Bukhori bin Ali yanaag dikenal dengan tokoh tarekat Al-Qadiriah di Mekkah dan sama-sama berasal Tanara Banten. Tulisannya di bidang ini antara lain, Qami’ al Tugyan al Manzumah Syu’b al-Iman, Maraqi al-Ubudiyah, Salalim al-Fudala’, dll.
4)      Bidang Tarikh; Al-Ibrir Ad-Dani, Bugyah al-‘Awam, Fath Samad, dll.
5)      Bidang bahasa dan kesusteraan Arab; Fath Gafir Al-Khotihiyah ‘ala Al Kawakib Al-Jaliyah fi Nazm Al-Juruwmiyah, Lubaal-Bayan, dll.
6)      Bidang Tafssir dan Hadits. Beliau menulis tafsir Murah atau Al-Munir yang terdiri dari dua jilid dan tanqih al-Qaul dalam bidang hadits.
Sebenarnya masih banyak lagi buah karyanya, baik yang sudah diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dan seuruhnya berjumlah lebih dari 115 buah.

C.  Pemikiran Pendidikan Syekh Nawawi Al-Bantani
1.      Ide-ide sentral pendidikan Syekh Nawawi Al-Bantani
Islam tidak memandang manusia sebagai makhluk yang kosong dari daya-daya dan potensi seperti halnya konsep tabularasa  seperti yang dikemukakan  oleh John Locke (1623-1704), karena itu pendekatan yang totalitas terhadap semua dana atau potensi yang telah dimiliki manusia.Manusia mempunyai keterbatasan-keterbatasan sesuai dengan sifat kemanusiaannya dan dibatasi kebebasannya dengan sunnatullah yang pasti. Karena adanya keterbatasan itu, maka ilmu pengetahuan yang ditemukannya pun bersifat relatif dan nisbi. Untuk itu manusia tetap berada di dalam lingkungan Tauhid Uluhiyah, Tauhid Rububiyah, dan Tauhid al-Asma wa al-Sifah Sehingga manusia dalam pemikiran pendidikan Islam bersifat teosentris.[7]
Keberhasilan dalam menata kebudayaan termasuk pendidikan Islam merupakan perpaduan antara kehendak dan kemauan bebas manusia, hereditas, dan pengaruh dunia luar terhadap peserta didik. Tentu tiga faktor ini merupakan antroposentris yakni hasil dari akal budi manusia sesuai dengan sunnatullah yang diketahui dan diarahkan untuk mencapai kesejahteraan dunia. Dalam pandangan Islam, pola pemikiran seperti ini tidaklah cukup, karena mengingat keterbatasan-keterbatasan manusia. Untuk itu mau tak mau kita harus bersandar kepada Yang Maha Pengatur Jagad Raya dan segala sunnatullah-Nya. Potensi-potensi fisiologis dan psikologis manusia tidaklah cukup jika hanya mengandalkan perjanjian  primordial dengan Tuhan. Potensi-potensi itu harus dikembangkan melalui pedidikan. Karena tanpa ilmu maka manusia tidak akan mampu mengemban amanah khalifah dan melaksanakan ubbudiyah yang merupakan tanggung jawab manusia untuk menunaikannya.[8]

2.      Tujuan Pendidikan Islam
                   Tujuan pendidikan Islam menurut Nawawi merupakan refleksi dari fungsi hamba dan khalifah. Hakekat pendidikan itu sediri ialah ibadah sebagai sarana reformasi sosial. Tujuan itu ialah (1) memperoleh ridha Allah dan kebahagiaan akhirat; (2) menyingkirkan kebodohan dari diri sendiri dan dari orang lain; (3) memajukan dan mengabadikan Islam dengan ilmu; (4) mensyukuri nikmat Allah berupa pemberian akal dan badan sehat. Sebaliknya jangan sampai tujuan pendidikan itu agar seseorang menjadi kiblat orang banyak atau memperoleh keuntungan dunia semata, serta jangan pula untuk mendapat kehormatan di mata penguasa atau orang lain. Kata syukur dalam konsep Nawawi, mencakup segi kognitif/keilmuan (mengetahui bahwa nikmat yang diterimanya itu semata-mata berasal dari Allah), segi afektif (merasa senang memperoleh nikmat itu ) dan segi psikomotorik dan spiritual (menggunakan nikmat itu sesuai dengan rida Allah). Implikasi dari tujuan ini, maka Nawawi memandang ilmu sebagai sesuatu yang dicari untuk tujuan keilmuan itu sendiri (ilmu untuk ilmu), dan reformasi sosial (ilmu untuk kemajuan dan peradaban). Bahkan dia mengatakan, barang siapa belajar ilmu, kemudian dia tidak meyampaikan kepada orang lain yang membutuhkan maka ia akan bersekutu dalam dosa orang-orang bodoh.[9]
3.      Prinsip-prinsip aktivitas Pendidikan Islam.
Pendidikan Islam yang lebih dikenal dengan pendidikan agama, bertujuan menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri anak sehingga prinsip keIslaman akan menyatu dan akhirnya menjadi jiwa dalam setiap perilaku anak. Namun usaha ini bukanlah suatu hal yang mudah. Hal ini berkaitannya dengan adanya tantangan yang dimaksud adalah bagaimana memahami simbol-simbol dalam pendidikan Islam dan menangkap makna hakiki di baliknya dengan ilmu.[10]
Hakikat pendidikan dan pengajaran dalam Islam menurut Nawawi mencakup term ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Pendidikan mencakup transfer of knowledge, transfer of value, transfer of methodology, dan transformasi. Pendidikan mencakup jasmani (praktik/amal), intelektual, mental/spiritual dan berjalan sepanjang hidup dan integral.[11]
Sifat-sifat pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan Islam termasuk Syekh Nawawi Al-Bantani sangat ketat. Hal ini karena peranan guru dalam Islam tidak sekedar alih ilmu, nilai dan metode, tetapi juga transformasi (membentuk kepribadian peserta didik). Di samping itu diyakini bahwa para pendidik menempati ulama sebagai pewaris para nabi sehingga pendidik harus dapat menjadi teladan bagi peserta didiknya. Menurut Syekh Nawawi tujuan memperoleh ilmu (tujuan pendidikan) ialah mardatillah dan memperoleh kehidupan ukhrawiyah, memberantas kebodohan, memajukan Islam, melestarikan Islam dengan kaidah-kaidah ilmu serta sebagai perwujudan dari rasa syukur karena diberi akal dan tubuh yang sehat. Kewajiban bersyukur mencakup aspek keilmuan (ranah kognitif), aspek rasa senang (ranah afektif), dan menggunakan nikmat Tuhan sesuai dengan permintaan pemberi nikmat yakni Allah (ranah psikomotor dan spiritual).[12]
Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut memerlukan pemikiran tentang muatan pendidikan Islam. Dari berbagai pernyataan Syekh Nawawi, hal utama yang diberikan dalam proses pendidikan adalah masalah ilmu-ilmu keagamaan yang wajib personal. Sedangkan yang paling utama dari kewajiban personal itu ialah iman tauhid.[13]
Kurikulum pendidikan Islam yang tidak didasarkan pada tauhid akan melahirkan manusia yang serba tergantung kepada makhluk, dan akan melahirkan manusia-manusia yang menyimpan tuhan-tuhan kecil selain Allah serta melahirkan musyrik-musyrik kecil pula. Dalam kurikulum pendidikan Islam, Syekh Nawawi menekankan ilmu muqaddimaatkarena ilmu-ilmu keagamaan itu berbahasa Arab dan peserta didik berkewajiban mempelajarinya. Pada masa sekarang ini bahasa sangat dipentingkan dalam kurikulum pendidikan Islam. Bahkan kelemahan-kelemahan sekolah-sekolah keagamaan sekarang ini ialah kelemahan penguasaan bahasa.
Menurut Syekh Nawawi, dilihat dari kepentingannya ilmu itu dibagi menjadi dua; (a) ilmu Fardhu ‘aain yaitu ilmu yang wajib diketahui oleh semua orang muslim, meliputi ilmu agama; ilmu yang bersumber dari kitab suci Allah dan Sunnah Rasullah SAW, dan (b) Ilmu Fardhu Kifayah yaitu ilmu yang bisa dipelajari oleh setiap orang muslim. Ilmu ini meliputi ilmu yang dimanfaatkan untuk memudahkan urusan hidup duniawi; misalnya ilmu Maatematika, ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian dan ilmu industri.[14] Maka dari itu, setelah sesorang selesai mempelajari ilmu-ilmu fardu ‘ain, sebaiknya ia gunakan sisa waktu yang ada untuk belajar ilmu-ilmu fardu kifayah.

4.    Etika pendidik dan peserta didik
Pendidik di lembaga pendidikan sekolah disebut dengan guru, baaik guru taman kanak-kanak, sekolah menengah, kyai di pondok pesantren, dan lain sebagainya. Tugas guru tidak hanya menerima amanat orang tua untuk mendidik, melainkan juga mau menerima dari setiap orang yang memerlukan bantuan untuk mendidiknya.
Menurut Nawawi pendidik derajatnya disamakan dengan ulama’ yang sangat dihargai kedudukannya oleh Allah SWT. Ia juga mengatakan Ulama’ adalah orang yang mempunyai ilmu dan mengamalkannya (guru), mereka menjadi penerang bagi kehidupan manusia disetiap zamannya dan sesungguhnya amal sedikit yang disertai dengan ilmu itu akan lebih bermanfaat dari pada amal banyak dengan tanpa ilmu.[15]
Sedangkan menurut al Ghazali guru adalah profesi yang terhormat yang merupakan kepandaian yang tinggi tingkatnnya. Hal tersebut menurutnya didasarkan dua dalil yaitu naqli dan aqli. Berdasarkan dalil naqli, pada suatu ada dua majelis di masjid, majelis pertama adalah majelis do’a sedangkan majelis kedua adalah majelis ilmi. Nabi lalu ikut bergabung dengan kelompok yang kedua, dengan komentarnyaa terhadap dua mejelis, bahwa majelis pertama adalah majelis do’a jika Allah mengabulkan, Allah memberi, dan jika Allah tidak mengabulkannya, maka Allah akan menolaknya. Adapun terhadap majelis yang kedua, nabi berkomentar bahwa majelis yang kedua adalah majelis tempat mengajari manusi dan “sesungguhnya aku diutus untuk menjdi guru”. Berdasarkan dalil aqli, bahwa nilai suatu kepandaian itu diukur menurut nilai tempatnya.[16]
Etika pendidik terhadap ilmu pengetahuan seperti yang dikutip Maragustam dalam kitab al’Ilm wa adab al ‘alim wa al muta’alim di antaranya adalah:[17]
1)      Bertujuan mengajarkan ilmunya semata-mata karena Allah.
2)      Berakhlak terpuji sebagaimana disyariatkan oleh agama dan menganjurkannya kepada peserta didiknya.
3)      Berhati-hati terhadap sifat dengki, riyaujub, dan menghina manusia.
4)      Tidak memandang hina terhadap ilmu.
5)      Menyajikan mata pelajaran secara jelas dimulai dari yang mudah, yang konkrit yang dapat ditangkap oleh akal pikiran peserta didik, baru kemudian secara bertahap dibawa kepada yang lebih sulit dan abstrak.
6)      Dalam penyampaian materi, pendidik harus melihat keadaan peserta didiknya terutama dalam hal kemampuan dan tipologinya.
7)      Menggunakan metode mengajar sesuai dengan keadaan peserta didiknya.
8)      Guru dalam menyampaikan materi tidak menambah pelajaran sebelum pelajaran yang terdahulu dipahami peserta didiknya karena hal itu akan membuat peserta didik menjadi malas.
Peserta didik sebagai makhluk educandum dan educandus menurut Syekh Nawawi sangat memperhatikan lingkungan kebudayaan termasuk pendidikan dan sosialnya. Kehidupan peserta didik berada dalam suatu kontrak sosial. Eksistensi peserta didik berada dalam interdependensi baik secara sosial maupun lingkungan kebudayaan. Pengaruh lingkungan luar terhadap peserta didik sangat signifikan. Untuk itu Syekh Nawawi membuat etika peserta didik, agar lebih selektif dalam memilih lingkungan sosial dan teman dalam pergaulan.[18] Berhubungan dengan hal itu maka para ahli pendidikan Muslim dituntut membentuk peserta didik mempunyai peer group yang kondusif di tempat pembelajarannya, mengingat dari sini ia akan banyak menyerap pelajaran dan mendapatkan rangsangan kognitif, afektif, dan psikomotorik yang positif.
Sedangkan etika peserta didik terhadap ilmu menurut Syekh Nawawi di antaranya:[19]
1)      Membersihkan hatinya dari kotoran-kotoran dan dosa untuk menerima ilmu, memeliharanya dan mendapatkan hasilnya.
2)      Selalu mencari ridha gurunya sekalipun berbeda pendapat dengannya, tidak boleh mengumpat atau memfitnahnya, dan tidak boleh mencari-cari kesalahannya secara sembunyi-sembunyi.
3)      Ia seharusnya tamak dalam belajar, disiplin dalam seluruh waktunya, malam, siang, berada di tempat dan waktu musyafir.
4)      Bersabar atas perilaku guru dan kejahatan akhlaknya.
5)      Memperhatikan kesahehan pelajaran yang ia dapatkan secara benar dan meyakinkan dari gurunya.

5.      Metode pengajaran
Menurut Nawawi pendidik untuk memilih metode pengajaran yang tepat dalam mendidik peserta didik harus disesuaikan dengan tuntutan agama, yaitu seorang pendidik harus mengusahakan agar pelajaran yang diberikannya mudah diterima. Pendekatan ini tidak cukup dengan bersikap lemah lembut saja, akan tetapi pendidik harus pula mimikirkan metode pengajaran yang cocok digunakan untuk peserta didik, seperti memilih waktu yang tepat, materi yang cocok, pendekatan yang baik, efektifitas penggunaan metode dan sebagainya. Dia menggambarkan ilmu syari’at itu dengan perahu, ilmu tariqah dengan laut, dan ilmu haqiqah dengan mutiara. Mutiara itu tidak bisa diperoleh kecuali dilautan dan peserta didik tidak bisa sampai di tengah laut tanpa menggunakan perahu. Haqiqahnya ilmu seperti mutiara yanag berada dalam lautan dan fungsi pendidik diibaratkan seperti perahu. Peserta didik tidak mungkin sampai bisa meraih mutiara tersebut kecuali dengan menggunakan alat, yaitu perahu untuk mengantarkan peserta didik agar sampai ditengah laut. Nawawi juga mengatakan yang dikutip oleh yahya bahwa sebagian ulama’ menggambarkan tiga perkara tersebut (syari’at, thariqah, haqiqah) dengan buah kelapa. Syariat itu seperti kulit luar kelapa, thariqah santan, dan haqiqah itu seperti minyak dalam santan. Minyak tidak dapat dihasilkan kecuali sesusah memeras santan dan santan tidak akan ditemukan kecuali dengan membelah kulit kelapa.[20]
Dari gambaraan di atas dapat disimpulkan bahwa intinya metode ituberfungsi untuk mengantarkan peserta didik pada suatu tujuan kepada obyek sasaran yang diingkan.

D.     Implikasi Pemikiran Pendidikan Syekh Nawawi di Era Globalisasi
Dilihat dari berbagai ide-ide dasar Syekh Nawawi tentang pendidikan Islam nampaknya tokoh ini dapat diklasifikasikan lebih berat  kecenderungannya pada Aliran Religius Konservatif, dibanding dengan aliran Religius Rasional dan Aliran Pragmatis Instrumental. Syekh Nawawi dalam menggambarkan ide-ide dasar pendidikan, kecenderungan nuansa agamisnya lebih dominan sehingga aspek lain menjadi kurang dominan. Penafsiran realitas berpangkal pada agama, maka pendidikan pun dijadikannya sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan keagamaan.[21]
Sebagai implikasi dari pandangan Syekh Nawawi tersebut tentu terdapat dampak positif edukatif dan juga terdapat dampak negatif edukatifnya. Dampak edukatif positifnya adalah rasa tanggung jawab yang sangat kuat telah menghujam pada pemikiran pendidikannya, dan mengukuhkan rasa tanggung jawab moral. Penghargaannya terhadap persoalan pendidikan Islam sangat tinggi, bahkan menilainya sebagai wujud tanggung jawab keagamaan yang sangat luhur. Tugas mengajar dan belajar tidak sekadar sebagai tugas-tugas profesi kerja dan tugas-tugas kemanusiaan tetapi lebih jauh dari itu yakni sebagai tuntutan kewajiban agama. Tanggung jawab dan kewajiban agama sebagai titik sentral baik dalam kontruksi tataran konsep maupun tataran aplikasi pendidikan. Atau dengan kata lain jika tuntutan tidak sejalan dengan tuntutan keagamaan, maka yang harus didahulukan ialah tuntutan keagamaan.[22]
Menurut Ridha yang dikutip oleh Maragustam, bahwa aliran religius konservatif ini membawa implikasi pendidikan yang negatif. Kata al-’ilm dalam al-Qur’an dan hadits bersifat mutlak tanpa batas menjadi bersifat muqayyad (terbatas) pada ilmu tentang Tuhan menurut sebagian besar ahli pemdidik muslim saat itu; adanya kecenderungan pendakian spiritual yang mendorong pemikiran pendidikan Islam konservatif ke arah pengabaian urusan dunia dengan segala kemanfaatan dan amal usaha yang sebenarnya boleh dinikmati dan bisa dikerjakan; dan keterpakuan para ahli pendidikan muslim pada anggapan ilmu sebagai tujuan akhir. Oleh karena pengabaian urusan dunia, maka ilmu-ilmu yang bersifat keduniaan dikuasai oleh non muslim. Padahal penguasaan dunia sebagai sarana pendakian kebahagiaan di akhirat.[23]
Ide-ide Syekh Nawawi tentang etika pendidik dan peserta didik dan etika bersama terdapat implikasi bahwa tokoh ini melihat peserta didik masih memerlukan tuntunan dan bimbingan. Peserta didik belum bisa lepas dari pendidik, ia tetap dalam bimbingan dan pengawasan pendidik. Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa, namun memiliki potensi yang luar biasa. Untuk itu pendidik berperan besar untuk mengaktualisasikannya. Menurut Abdullah yang dikutip oleh Maragustam, sangat boleh jadi implikasi dan konsekuensi etika ini sangat besar pengaruhnya dalam menumpulkan daya kreativitas, etos kerja, dan etos ilmu secara bersama-sama. Paling tidak manusia tidak bisa lagi otonom dihadapan sang guru/pendidik. Setiap tindakan harus dikonsultasikan kepada sang guru.[24]
Dari berbagai keterangan Syekh Nawawi tentang kurikulum pengajaran, terdapat implikasi bahwa memandang pengetahuan itu berdasarkan dari sudut pandang aplikatif dari norma-norma agama bukan dari sudut substansi ilmu tersebut. Dengan kata lain dasar atau hal yang esensial didahulukan kemudian disusul dengan materi lain. Mendahulukan matan kitab dari pada syarh dalam pendidikan. Mendahulukan kewajiban personal kemudian disusul dengan kewajiban komunal dan sunnah komunal.[25]
Ide-ide sentral pendidikan yang digagasnya tetap relevan untuk di aktulalisasikan dalam masyarakat Indonesia yang religius dan mutimulkural. Diantaranya prinsip-prinsip pendidikan yang mengacu pada aktualisasi teoantroposentrisme. Sifat dasar manusia dan proses dasar perkembangannya ialah fitrah tauhid-dualis-interaktif berpengaruh dalam proses pemebelajaran. Dana pendidikan yang dibebankan kepada orang-orang mampu di kalangan umat Islam termasuk prinsip yang dapat direfleksikan dalam dunia pendidikan sekarang ini.[26]

E.  Kesimpulan
Syekh Nawawi dilahirkan pada tahun 1230 H/1813 M. di  Desa Tanara, Banten dan wafat pada tahun 1314 H/1897 M. di Mekah. Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga mahaguru sejati. Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pesantren.
Hakikat pendidikan dan pengajaran dalam Islam menurut Syekh Nawawi mencakup term ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Sedangkan tujuan memperoleh ilmu (tujuan pendidikan) ialah mardatillah dan memperoleh kehidupan ukhrawiyah, memberantas kebodohan, memajukan Islam, melestarikan Islam dengan kaidah-kaidah ilmu serta sebagai perwujudan dari rasa syukur karena diberi akal dan tubuh yang sehat.
Salah satu dampak edukatif positif pandangan Syekh Nawawi adalah rasa tanggung jawab yang sangat kuat telah menghujam pada pemikiran pendidikannya, dan mengukuhkan rasa tanggung jawab moral. Sedangkan dampak negatifnya adalah kecenderungan mengabaikan urusan dunia.


DAFTAR PUSTAKA

Ismail,Yahya Zahid, 2015, Konsep Pendidikan Nawawi Al Bantani, Gresik: Jurnal Ulumuna, Vol 1 No.2.
Iqbal, Abu Muhammad, 2015, Pemikiran Pendidikan Islam; Gagasan Besar Para Ilmuan Muslim, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mas’ud, Abdurrahman, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek      Pesantren,Jakarta: Kencana, 2006.

Siregar, Maragustam, Pemikiran Pendidikan Syekh Nawawi Al- Bantani,     Yogyakarta: Datamedia, 2007.

Tim Penyusun, 2011, Filsafat Pendidikan Islam, Seri 2, Yogyakarta: KOPERTAIS Wilayah III UIN Sunan Kalijaga.



[1]Maragustam Siregar, Pemikiran Pendidikan Syeikh Nawawi Al-Bantani, (Yogyakarta: Datamedia, 2007), hlm.278.
[2]Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Pesantren, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 109-110
[3]Ibid. Hlm. 110-112.
[4]Ibid. Hlm. 124.
[5]Maragustam Siregar, Pemikiran Pendidikan.........., hlm. 5.
[6]Ibid. Hlm. 107-108.
[7]Ibid., hlm. 252.
[8]Ibid. Hlm.253.
[9] Tim Penulis, Antologi Pemikiran Pendidikan Islam Tokoh Indonesia, (Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Islam Pascasarjan UIN Sunan Kalijaga, 2012), hlm. 23.
[10]Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam; Gagasan Besar Para Ilmuan Muslim, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015 ), hlm.197.
[11]Maragustam Siregar, Pemikiran Pendidikan...., hlm. 2-3.
[12]Ibid., hlm. 258-259.
[13]Ibid., hal. 259.
[14]Yahya Zahid Ismail, Konsep Pendidikan Nawawi Al Bantani, (Gresik: Jurnal Ulumuna, Vol 1 No.2 Desember 2015), hlm. 131. 
[15]Ibid, hlm. 135.
[16]Tim Penyusun, Filsafat Pendidikan Islam, Seri 2, (Yogyakarta: KOPERTAIS Wilayah III UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 98-99.
[17]Ibid., hlm. 78.
[18]Ibid., hlm. 262.
[19]Ibid., hlm. 81-82.
[20][20]Yahya Zahid Ismail, Konsep Pendidikan Nawawi Al Bantani ......hlm. 133-134.
[21]Ibid., hlm. 266.
[22]Ibid., hlm. 267-268.
[23]Ibid., hlm. 268.
[24]Ibid., hlm. 115.
[25]Ibid., hlm. 270.
[26]Tim Penulis,Antologi Pemikiran Pendidikan Islam ..............,hlm. 32.

Komentar