PEMIKIRAN HASYIM ASY’ARI (RELIGIUS-RASIONAL-PRAGMATIS) TENTANG PENDIDIKAN DAN RELEVANSINYA DENGAN DUNIA PENDIDIKAN KONTEMPORER
PEMIKIRAN
HASYIM ASY’ARI (RELIGIUS-RASIONAL-PRAGMATIS) TENTANG PENDIDIKAN DAN
RELEVANSINYA DENGAN DUNIA PENDIDIKAN KONTEMPORER
Oleh:
Nur Laili Mustaqimah
17913037
Dosen Pengampu Mata Kuliah Filsafat
Pendidikan Islam:
Prof. Dr. H. Maragustam Siregar,
M.A
A.
PENDAHULUAN
Pendidikan Islam merupakan proses
pemahaman nilai-nilai dan bukan sekedar pemindahan ilmu pengetahuan dari
pendidik kepada peserta didik belaka. Sistem nilai yang melekat pada pendidikan
Islam adalah nilai-nilai yang dijiwai oleh dasar ajaran Islam yaitu al-Qur`an
dan al-Sunnah. Nilai-nilai Qur`ani dengan segala penjelasan dan tafsirannya
baik berupa al-Sunnah maupun ijtihad manusia itulah yang disebut moralitas
Islam. Dalam pendidikan Islam nilai yang demikian disebut sebagai moralitas
pendidikan Islam atau akhlak pendidikan Islam.
Hasyim Asy’ari termasuk tokoh utama pendiri lembaga sosial keagamaan
terbesar di Indonesia yaitu NU ( Nahdlatul Ulama’). Organisasi ini bertujuan mempertahankan ajaran ahlu sunnah wal
jamaah serta tradisi Islam. Sementara corak pendidikan Islam yang
diselenggarakan oleh lembaga ini pada mulanya bersikap tradisional dengan hanya
mengajarkan agama saja dengan bersistem halaqah. Namun seiring dengan
perkembangan, lembaga ini juga memasukkan ilmu umum dengan sistem madrasah.
Pemikiran Hasyim Asy’ari sendiri
dalam hal ini diwarnai dengan keahliannya dalam bidang hadits, dan pemikirannya
dalam bidang tasawuf dan fiqh. Serta didorong pula oleh situasi pendidikan yang
ada pada saat itu, yang mulai mengalami perubahan dan perkembangan yang pesat,
dari kebiasaan lama (tradisonal) yang sudah mapan ke dalam bentuk baru (modern)
akibat pengaruh sistem pendidikan Barat (Imperialis Belanda) yang diterapkan di
Indonesia.
B.
SKETSA BIOGRAFI K.H. HASYIM ASY’ARI
1.
Riwayat
Hidup K.H. Hasyim Asy’ari
K.H. Hasyim Asy’ari lahir tanggal 14 Februari 18711, seorang yang
mempunyai predikat kekiaian yang kental. Pada masa itu beliau termasuk ulama kharismatik
dan sangat populer di kalangan ulama di Jawa. Pengaruhnya bahkan sampai ke luar
daerah Jawa. Beliau selain belajar sendiri dengan orang tuanya sampai usia 15
tahun, juga mengaji dan mondok di beberapa pesantren terkenal seperti daerah
Madura, Sidoarjo. Kemudian pergi ke Makkah berguru dengan Syaikh Ahmad Khatib
Minangkabau selama tujuh tahun. Kembalinya dari tanah suci, lalu mendirikan
pondok pesantren Tebu Ireng.
Dalam sejarah pendidikan islm tradisional, khususnya di Jawa, ia
digelari Hadrat Asy-Syaikh (Guru besar di lingkungan pesantren), karena peranannya
sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pimpinan pesantren, misalnya
pesantren Asem Bagus di Situbs di Situbondo Jawa Timur, pesantren Lirboyo
Kediri dan lain-lain.
Nahdatul Ulama (NU) didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari
1926, yang mulanya mermbuk Hijaz. Namun atas beberapa inisiatif kalangan ulama
waktu itu telah menempatkan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai tokoh pendiri NU
sekaligus Ketua Umum. Seorang pendiri NU yang lain adalah K.H. Abdul Wahab
Hasbullah, lahir di Jombang pada bulan Maret 1888, dan masih mempunyai
pertalian darah dengan Hasyim karena nenek moyang mereka berasal dari keturunan
yang sama.
Pendiri NU yang lain adalah K.H. Bisri, lahir di Taju Jawa Tengah
tahun 1887. Beliau juga belajar ilmu agama dan mondok di beberapa pesantren,
seperti Tebu Ireng, Sarang Bengkalan Madura, dan belajar di Makkah selama empat
tahun dan kawin dengan adiknya Kiai Wahab. Sekembalinya dari makkah ia mengajar
pesantren Tambak Beras selama dua tahun, kemudian mendirikan pesantren sendiri
di Den Anyer.
Di antara semua pendiri NU, yang paling bersemangat dalam
mengembangkan organisasi ini adalah K.H Abdul Wahab. Organisasi NU menganut
salah satu mazhab, dari empat mazhab yaitu Mazhab Syafi’I. NU banyak mengadakan
kegiatan keislaman yang bermanfaat dengan mendirikan sekolah-sekolah, sert
pemeliharaan anak yatim dan membentuk badan-badan yang dapat diharapkan
membantu pengembangan organisasi ini. Tahun 1930, cabang-cabang pertama yang
berdiri di luar Jawa adalah Martapura dan Banjar (Kalimantan Selatan). Bahkan,
organisasi Hidayatul Islamiyah, organisasi lokal di Kalimantan, bergabung
dengan NU pada tahun 1936. Pada tahun 1937 NU sudah memiliki 71 cabang dan
tahun 1942 NU sudah memiliki 120 cabang di seluruh Jawa dan Kalimantan. NU
tidak semata-semata mengatasi masalah keagamaan, karena pada periode-periode
berikutnya NU dan pra anggotanya ikut mengurusi masalah ekonomi dan terlibat
dalam arus perdagangan. Bahkan NU mendirikan badan wakaf yang mengurusi masalah
jual beli tanah. NU juga memiliki badan koperasi yang disebut Syirkah Mu’awamah
yang bergerak di bidang ekspor-impor pecah belah.[1]
Sebagai seorang tokoh sentral dalam komunitas pesantren, Hasyim
tidak hanya ahli dalam hal ide, namun juga cakap dalam melaksanakannya. Hasyim
senang menyelesaikan pekerjaannya secara sistematis. Setiap pekerjaan baru
beliau pikirkan secara seksama dan
segera diselesaikannya. Jika beliau menjumpai suatu masalah serius, beliau akan
mencari pemecahannya melalui istikharah.[2]
2.
Pemikiran
K.H. Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan
Karya K.H. Hasyim Asy’ari yang bericara tentang pendidikan adalah
kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaj Ila al-Muta’alim , yang dicetak
pertama kali pada 1415 H. Sebagaimana kitab kuning , pembahasan terhadap
masalah pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan etika.
Keahliannya dalam bidang hadis ikut pul mewarnai isi kitab
tersebut. Sebagai bukti adalah dikemukakannya beberapa hadis sebagai dasar dari
penjelasannya, di samping beberapa ayat Al-Quran dan pendapat para ulama.
Untuk memahami pokok pikiran dalam kitab tersebut, perlu
diperhatikan latar belakang ditulisannya kitab itu. Penyusunan karya ini
didorong oleh situasi pendidikan yang pada saat itu mengalami perubahan dan
perkembangan yang pesat, dari kebiasaan lama (tradisional) yang sudah mapan ke
dalam bentuk baru (modern) akibat dari pengaruh sistem pendidikan Barat
(imperialis Belanda) diterapkan di Indonesia. Karyanya ini merujuk pada
kitab-kitab yang ditelaahnya dari berbagai pengalaman yang pernah dijalaninya.
Ia memulai tulisannya dengan sebuah pendahuluan yang menjadi pengantar bagi
pembahasan selanjutnya. Kitab tersebut terdiri dari delapan bab, yaitu:
a.
Keutamaan
ilmu dan ilmuwan serta keutamaan belajar mengajar.
b.
Etika
yang harus diperhatikan dalam belajar mengajar.
c.
Etika
murid terhadap guru.
d.
Etika
murid terhadap pelajaran dan hal-hal yang harus dipedomani
bersama guru.
e.
Etika
yang harus dipedomani seorang guru.
f.
Etika
guru ketika dan akan mengajar.
g.
Etika
guru terhadap murid-muridnya.
h.
Etika
terhadap buku, alat untuk memperoleh pelajaran dan hal-hal
yang berkaitan dengannya.
Dari delapan
bab tersebut dapat dikelompokkan dalam empat kelompok, yaitu :
a.
Signifikan
pendidikan
Beliau
menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu
dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk
kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam
menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam
menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan
melecehkannya atau menyepelikannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu
hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata.
Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh
pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah satu
persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah “niat
yang baik dan lurus”.
Belajar menurut
Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan
manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus
diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya
untuk sekedar menghilangkan kebodohan
Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju
kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu
mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam
kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan
jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan
nilai dan norma-norma Islam.
b.
Tugas
dan tanggung jawab seorang murid
1)
Membersihkan hati dari berbagai gangguan
keimanan dan keduniaan
2)
Membersihkan niat, tidak menunda-nunda
kesempatan belajar, bersabar dan qanaah
3)
Pandai mengatur waktu
4)
Menyederhanakan makan dan minum
5)
Berhati-hati (wara’)
6)
Menghindari kemalasan
7)
Menyedikitkan waktu tidur selagi tidak merusak
kesehatan
8)
Meninggalkan hal-hal yang
kurang berfaedah
Dalam hal ini
terlihat, bahwa Hasyim Asy’ari lebih menekankan kepada pendidikan ruhani atau
pendidikan jiwa, meski demikian pendidikan jasmani tetap diperhatikan,
khususnya bagaimana mengatur makan, minum, tidur dan sebagainya. Makan dan
minum tidak perlu terlalu banyak dan sederhana, seperti anjuran Rasulullah
Muhammad saw. Serta jangan banyak tidur, dan jangan suka bermalas-malasan.
Banyakkan waktu untuk belajar dan menuntut ilmu pengetahuan, isi hari-hari dan
waktu yang ada dengan hal-hal yang bermanfaat.
c.
Tugas
dan tanggung jawab seorang guru
Hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan
guru
1)
Memilih guru yang wara’
2)
Mengikuti jejak guru
3)
Memuliakan dan memperhatikan hak guru
4)
Bersabar terdapat kekerasan guru
5)
Berkunjung pada guru pada tempatnya dan minta
izin lebih dulu
6)
Duduk dengan rapi bila berhadapan dengan guru
7)
Berbicara dengan sopan dan lembut dengan guru
8)
Dengarkan segala fatwa guru dan jangan menyela
pembicaraannya
9)
Gunakan anggota kanan bila
menyerahkan sesuatu pada guru.
Etika seperti
tersebut di atas, masih banyak dijumpai pada pendidikan pesantren sekarang ini,
akan tetapi etika seperti itu sangat langka di tengah budaya kosmopolit. Di
tengah-tengah pergaulan sekarang, guru dipandang sebagai teman biasa oleh
murid-murid, dan tidak malu-malu mereka berbicara lebih nyaring dari gurunya.
Terlihat pula pemikiran yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari lebih maju. Hal
ini, misalnya terlihat dalam memilih guru hendaknya yang profesional,
memperhatikan hak-hak guru, dan sebagainya.
d.
Etika
terhadap buku, alat untuk memperoleh pelajaran dan hal-hal yang berkaitan
dengannya yaitu :
1)
Menjadi
insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
2)
Insan
purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat.[3]
K.H. Hasyim
Asy’ari membagi ilmu pengetahuan itu menjadi tiga bagian, yaitu:
1)
Ilmu
pengetahuan yang tercela dan dilarang. Artinya, ilmu pengetahuan yang tidak
dapat diharapkan kegunaannya, baik di dunia maupun di akhirat.
Contoh: ilmu sihir, nujum, ramalan nasib dan sebagainya.
2)
Ilmu
pengetahuan yang dalam keadaan tertentu menjadi terpuji, tetapi jika
mendalaminya menjadii tercela
Contoh: ilmu kepercayaan dan kebatinan.
3)
Ilmu
pengetahuan yang terpuji.
Contoh: mendekatkan diri kepada Allah[4]
3.
Karya-karya
KH. Hasyim Asy’ari menulis beberapa buku, diantaraya yaitu:
Hasyim Asy’ari termasuk sosok ulama yang sangat
produktif dalam menulis karyanya. Namun sangat disayangkan bahwa sejumlah
karyanya tidak bisa ditemui oleh masyarakat umum secara bebas dan sebagian
belum sempat dipublikasikan karena belum tertibnya pengarsipan yang ada pada
masa itu serta kurang tertata rapi sistem dokumentasi dan pengarsipan pada
lembaga NU.
Setidaknya dibawah ini dapat kita lihat
diantara kitab yang disusunnya, antara lain:
a.
Adab al Alim wa al Muta’allim fima Yahtaj ilah al Muta’alim fi Ahuwal
Ta’allum wa ma Yataqaff al Mu’allim fi Maqamat Ta’limih.
Tatakrama pengajar dan
pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik, merupakan resume
dari Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhammad bin Sahnun (w.256 H/871 M); Ta’lim
al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum karya Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji (w.591
H); dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim
karya Syeikh Ibn Jama’ah. Memuat 8 bab, diterbitkan oleh Maktabah
at-Turats al-Islamy Tebuireng. Di akhir kitab terdapat banyak pengantar dari
para ulama, seperti: Syeikh Sa’id bin Muhammad al-Yamani (pengajar di Masjidil
Haram, bermadzhab Syafii), Syeikh Abdul Hamid Sinbal Hadidi (guru besar di
Masjidil Haram, bermadzhab Hanafi), Syeikh Hasan bin Said al-Yamani (Guru besar
Masjidil Haram), dan Syeikh Muhammad ‘Ali bin Sa’id al-Yamani.
b.
Ziyadat Ta’liqat, Radda fiha Mandhumat al Syaikh “Abd Allah bin Yasin al
Fasurani Allati Bihujubiha “ala Ahl Jam’iyyah Nahdhatul Ulama.
Catatan seputar nadzam Syeikh Abdullah bin
Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin
Yasir. Di dalamnya juga terdapat banyak pasal berbahasa Jawa dan merupakan
fatwa Kiai Hasyim yang pernah dimuat di Majalah Nahdhatoel Oelama’.
c.
Al Tanbihat al Wajibat liman Yashna al Maulid
al Munkarat
Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara
kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran. Ditulis berdasarkan kejadian
yang pernah dilihat pada malam Senin, 25 Rabi’ al-Awwal 1355 H., saat para
santri di salah satu pesantren sedang merayakan Maulid Nabi yang diiringi
dengan perbuatan mungkar, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, permainan
yang menyerupai judi, senda gurau, dll. Pada halaman pertama terdapat pengantar
dari tim lajnah ulama al-Azhar, Mesir. Selesai ditulis pada 14 Rabi’ at-Tsani
1355 H., terdiri dari 15 bab setebal 63 halaman, dicetak oleh Maktabah
at-Turats al-Islamy Tebuireng, cetakan pertama tahun 1415 H.
d.
Alisalat al Jamiat, Sharh fiha Ahmaal al Mauta
wa Asirath al sa’at ma’bayan Mafhum al Sunnah wa al Bid’ah.
Risalah Ahl Sunnah Wal
Jama’ah tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat,
serta menjelaskan sunnah dan bid’ah.
e.
Al Nur al Mubin fi Mahabbah Sayyid al Mursalin
Cahaya yang
jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul. Berisi dasar kewajiban
seorang muslim untuk beriman, mentaati, meneladani, dan mencintai Nabi Muhammad
SAW.
f.
Hasyiyah ‘ala Fath al Rahman bi Syarth Risalat
al Wali Ruslan li Syaikh al Islam Zakaria al Ansyari.
g.
Al Duur al Muntasirah fi Masail al Tiss’I
Asyrat, Sharth fiha Masalat al Thariqah wa al Wilayah wa ma Yata’allq bihima
min al Umur al Muhimmah li ahl thariqah.
Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19
masalah. Berisi kajian tentang wali dan thariqah dalam bentuk tanya-jawab
sebanyak 19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini diterjemahkan oleh Dr. KH. Thalhah
Mansoer atas perintah KH. M. Yusuf Hasyim, dierbitkan oleh percetakan Menara
Kudus. Di dalamnya memuat catatan editor setebal xxxiii halaman. Sedangkan
kitab aslinya dimulai dari halaman 1 sampai halaman 29.
h.
Al Tibyan fi al Nahy ‘an Muqathi’ah al Ihwan,
bain fih Ahammiyat Shillat al Rahim wa Dhurrar qatha’iha.
Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim,
bahaya dan pentingnya interaksi sosial. Tebal 17 halaman, selesai ditulis hari
Senin, 20 Syawal 1360 H., penerbit Maktabah Al-Turats Al-Islami Ma’had
Tebuireng.
i.
Al Risalah al Tauhidiyah, wahiya Risalah
Shaghirat fi Bayan ‘Aqidah Ahl Sunnah wa al Jamaah.
Berisi tentang
akidah ahli sunnah wa al Jamaah
j.
Al Qalaid fi Bayan ma Yajib min al’Aqaid.
Berisi tentang
kewajiban-kewajiban yang harus dikerjakan dalam berakidah
k.
Al-Risalah fi at-Tasawwuf.
Menerangkan
tentang tashawuf; penjelasan tentang ma’rifat, syariat, thariqah, dan haqiqat.
Ditulis dengan bahasa Jawa, dicetak bersama kitab al-Risalah fi al-‘Aqaid.
l.
Al-Risalah fi al-’Aqaid.
Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid, pernah
dicetak oleh Maktabah an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya, bekerja sama dengan
percetakan Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H./1937M. Dicetak
bersama kitab Kiai Hasyim lainnya yang berjudul Risalah fi at-Tashawwuf serta
dua kitab lainnya karya seorang ulama dari Tuban. Risalah ini ditash-hih oleh
syeikh Fahmi Ja’far al-Jawi dan Syeikh Ahmad Said ‘Ali (al-Azhar). Selelai
ditash-hih pada hari Kamis, 26 Syawal 1356 H/30 Desember 1937 M.[5]
Selain
kitab-kitab tersebut di atas, terdapat beberapa naskah karya KH. Muhammad
Hasyim Asy'ari yang hingga kini belum diterbitkan. Yaitu:
1. Al-Risalah
al-Jama’ah
2. Tamyiz
al-Haqq min al-Bathil
3. al-Jasus fi
Ahkam al-Nuqus
4. Manasik
Shughra
Di
samping bergerak dalam dunia pendidikan, Hasyim Asy’ari menjadi perintis dan
pendiri organisasi kemasyarakatan NU (Nahdhatul Ulama), sekaligus
sebagai Rais Akbar. Pada bagian lain, ia juga bersikap konfrontatif terhadap
penjajah Belanda. Ia, misalnya menolak menerima penghargaan dari pemerintah
Belanda. Bahkan pada saat revolusi fisik, ia menyerukan jihad melawan penjajah
dan menolak bekerja sama dengannya. Sementara pada masa penjajahan Jepang, ia
sempat ditahan dan diasingkan ke Mojokerto.
4.
Implikasi Pemikiran Pendidikan Islam Menurut
KH. Hasyim Asy’ari Dengan Pendidikan Masa Terkini
Implikasi Teoritik Pendidikan islam merupakan
pendidikan yang bernuansa Islam atau pendidikan yang Islami. Secara psikologis,
kata tersebut mengindikasikan suatu proses untuk pencapaian nilai moral,
sehingga subjek dan objeknya senantiasa mengkonotasikan kepada perilaku yang
bernilai, dan menjauhi sikap amoral. Pendidikan dalam wacana keislaman lebih
populer dengan istilah tarbiyah, ta’dib, riyadhah, irsyad, dan tadris.
Pendidikan Islam tidak hanya dipahami sebagai
pendidikan yang berlabel Islam seperti madrasah-madrasah ataupun pondok pesantren,
akan tetapi pendidikan Islam mencakup semua proses pemikiran, penyelenggaraan
dan tujuan.
K.H Hasyim Asy’ari memiliki pandangan
dalam memaknai pendidikan islam. Dalam pemikiran K.H Hasyim Asy’ari, pendidikan
islam merupakan sarana untuk mencapai kemanusiaan sehingga manusia dapat
menyadari siapa sesungguhnya penciptanya dan untuk apa diciptakan. Dalam
sejarah pendidikan islam tradisional, khususnya di Jawa, beliau memiliki peran
yang sangat besar di dalam dunia pesantren. Beliau digelari sebagai Hadrat
Asy-Syekh (guru besar di lingkungan pesantren) karena peranannya yang sangat
besar dalam pembentukan kader-kader ulama pemimpin pesantren. Beliau juga
berperan penting dalam mempertahankan sekolah pesantren tersebut yang pada
waktu itu sekolah pesantren ingin dihapus oleh penjajah.
Di samping pesantren, K.H Hasyim Asy’ari juga
berperan dalam mendirikan dan merintis organisasi kemasyarakatan Nahdhatul
Ulama yang populer disebut NU. Organisasi sosial keagamaan ini memiliki maksud
dan tujuan memegang teguh salah satu dari empat mazhab, serta mengerjakan apa
saja yang menjadi kemashlahatan agama islam.
Sehingga dapat disimpulkan
pemikiran pendidikan islam menurut KH. Hasyim Asy’ari dapat diimplikasikan
dalam sistem pendidikan masa kini karena Pada hakikatnya pendidikan islam
adalah upaya sadar yang dilakukan untuk mengarahkan manusia pada derajat
kemanusiaanya yang disesuaikan dengan bakat, kemampuan dan potensi yang
dimilikinya. Dengan
demikian manusia akan mengetahui tugas dan kewajiban sebagai hamba Allah dan
sebagai khalifah.
C.
Kesimpulan
KH. Hasyim Asy’ari
dilahirkan pada selasa kliwon 24 Zulqa’dah 1284 atau 14 Februari 1871 di desa
gedang, jombang jawa timur. KH. Hasyim Asy’ari wafat pada tanggal 25 Juli 1947
pukul 03.45 dini hari bertepatan dengan tanggal 7 Ramadhan tahun 1366 dalam
usia 79 tahun.
Konsep Pendidikan KH. M.
Hasyim Asy’ari terdapat dalam buku Adab al-alim wa al-muta’allim fi ma
yahtaj ilaih al-muta’allim yangterdiri dari 8 bab.Dan berisi tujuan dari
pendidikan yaitu untuk mewujudkan masyarakat beretika, titik tekan pada
moralitas itu tampak mendominasi di berbagai tempat dalam karyanya.
Pemikiran
beliau adalah tentang perpaduan antara pesantren yang tradisionalis dengan
sekolah barat. Hal tersebut menunjukkan bahwa beliau merupakan tokoh yang
berusaha memelihara tradisi turun menurun dari pondok pesantren juga
mengembangkan pendidikan keilmuan di Pondok Pesantren.Dalam
menuntut ilmu peserta didik hendaknya berniat suci menuntut ilmu dan untuk
mengamalkannya, mengembangakan dan melestarikan nilai-nilai islam bukan sekedar
menghilangkan kebodohan. Niatnya demi mencari ridho Allah.
D.
Daftar Pustaka
Abdurrahman Mas’ud. 2006. Dari Haramain Ke Nusantara Jejak
Intelektual Arsitek Pesantren. Jakarta: Kencana
Abuddin Nata.
2007. Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisme Islam. Jakarta: Rajawali
Pers.
Muhammad Rifai. 2018. Hasyim Asy'ari Biografi Singkat 1871-1947.
Yogyakarta: Garasi.
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus.2015. Jejak Pemikiran Tokoh
Pendidikan Islam. Yogyakarta: Arruzmedia.
Tamyiz
Burhanudin. 2008. Akhlak Pesantren. Yogyakarta: Bigraf.
MAKALAH PRAREVISI
[1]
Abuddin Nata. Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisme Islam. Jakarta:
Rajawali Pers. 2007. Hlm 140.
[2]
Abdurrahman Mas’ud. Dari Haramain Ke Nusantara Jejak Intelektual Arsitek
Pesantren. Jakarta: Kencana. 2006. Hlm. 236.
[3]
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Arruzmedia. 2015 Hal.211.
[4]
Muhammad Rifai. Hasyim Asy'ari Biografi Singkat 1871-1947. Yogyakarta:
Garasi. 2018. Hal.76.
[5]
Tamyiz Burhanudin. Akhlak Pesantren. Yogyakarta: Bigraf. 2008. Hal. 29.
Komentar
Posting Komentar