PEMIKIRAN HARUN NASUTION TENTANG PENDIDIKAN DAN RELEVANSINYA DENGAN
DUNIA PENDIDIKAN KONTEMPORER
Oleh:
Rajibullah
Dosen Pengampu Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam:
Prof. Dr. Maragustam Siregar, MA
A.
Latar belakang
Dalam sejarah Islam, mulanya berkembang pemikiran rasional tetapi
kemudian berkembang pemikiran tradisioanal. Pemikiran rasional berkembang pada
zaman klasik Islam. pemikiran rasional ini di pengaruhi oleh persepsi/penetimaan
tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti yang terdapat dalam paparan
Al-Qur’an dan Hadis. Sedangkan pemikiran tradisional berkembang pada zaman
pertengahan Islam (1250-1800 M). Jadi, hingga abad ke -18 umat Islam berada di
abad kejumudan.
Baru pada akhir abad 18 atau awal abad 19 muncullah tokoh-tokoh
pembaharu yang peduli akan Islam saat ini. Munculnya pembaharu-pembaharu dalam
Islam adalah karena adanya ide-ide pembaharuan yang ingin dimunculkan agar
Islam bisa mendapatkan kejayaanya kembali. Maka muncullah tokoh seperti Jamal
Ad-din Al-Afghani, Muhammad ‘Abduh, dan sebagainya. Mereka menjadi motor
penggerak pembaharu Islam.keadaan seperti ini tertular pula ke lingkungan
Indonesia. Muncul cendikiawan muslim Harun Nasution. Ia adalah sosok ilmuan
muslim dan salah satu tokoh pembaharu yang sangat terkenal dan cukup disegani
oleh kalangan intelektual muslim, baik didalam maupun luar negeri. Setiap kali
orang mendengar namanya pasti akan terbayang sosok seorang Rektor IAIN Jakarta
yang memiliki keahlian dalam bidang teologi dan filsafat yang bercorak rasional
bahkan liberal. Ia juga hadir karena ingin memunculkan ide-idenya yang
menurutnya selama ini terjadi kesalah pahaman tentang Islam itu sendiri.
Dalam makalah ini saya akan membahas tentang Pemikiran Pendidikan
Islam Harun Nasution yang kesemuanya tidak jauh dari permasalahan mengenai
pembaharuan Islam di era modern. Dengan mengetahui latar belakang, pemikiran
dan solusi yang ditawarkan oleh Harun, akan menambah kekayaan keilmuan
keislaman yang semoga dapat dimanfaatkan.
B.
Rumusan masalah
1.
Bagaimana biografi Prof. Dr. Harun Nasution ?
2.
Bagaimana pemikiran Prof.
Dr. Harun Nasution tentang pendidikan ?
3.
Bagaimana implikasi pemikiran pendidikan Prof. Dr. Harun Nasution
di era modern ?
C.
Pembahasan
a)
Biografi Prof. Dr. Harun Nasution.
Harun
Nasution lahir di
pematang siantar, sumatra utara, 23 september 1919. Setelah menyelesaikan
pendidikan tingkat dasar, Hollandsch Inlandsch School (HIS), ia melanjutkan
studi islam ke tingkat menengah yang bersemangat modernis, Moderne Islamieische
Kweekschool (MIK). Karena desakan orang tua, ia meninggalkan MIK dan pergi
belajar ke saudi arabia, di negeri gurun pasir ia tidak tahan lama dan menuntut
orang tuanya agar bisa pindah studi ke mesir. Di negeri sungai Nil ini Harun
mula-mula mendalami islam di fakultas ushuluddin, universitas Al-Azhar, namun
ia merasa tidak puas dan kemudian pindah ke universitas Amerika (kairo). Di
universitas ini harun tidak mendalami islam, tetapi ilmu pendidikan dan
ilmu-ilmu sosial. Selama beberapa tahun sempat bekerja di perusahaan swasta dan
kemudian di konsulat indonesia kairo setamat dari universitas tersebut dengan
ijazah B.A di kantongnya. Dari konsulat itulah, putra batak yang mempersunting
seorang putri dari negeri mesir ini, memulai karier diplomatiknya. Dari mesir
ia ditarik ke jakarta, dan kemudian diposkan sebagai sekretaris pada kedutaan
besar indonesia di prussel. Situasi politik dalam negeri indonesia pada tahun
60-an membuatnya mengundurkan diri dari karier diplomatik dan pulang ke mesir.
Di mesir ia kembali menggeluti dunia ilmu di sebuah sekolah tinggi studi islam,
di bawah bimbingan salah seorang ulama fiqh mesir terkemuka, abu zahra. Ketika
belajar di sinilah harun mendapat tawaran untuk mengambil studi islam di
universitas McGill, kanada. Untuk tingkat magister di universitas ini, ia
menulis tentang pemikiran negara islam di indonesia, dan untuk disertasi Ph.D,
ia menulis tentang posisi akal dalam pemikiran teologi Muhammad Abduh. Setelah
meraih doktor, harun kembali ke tanah air dan mencurahkan perhatiannya pada pengembangan
pemikiran islam lewat IAIN. Ia sempat menjadi rektor IAIN jakarta selama dua
periode (1974-1982). Kemudian ia memelopori pendirian pascasarjana untuk studi
islam di IAIN.
Diantara
karyanya, berupa buku, islam
di tinjau dari berbagai aspeknya (1974) 2 jilid, teologi islam (1977), filsafat
agama (1978), filsafat dan mistik dalam islam (1978), aliran modern dalam islam
(1980), muhammad abduh dan teologi mu’tazilah (1987). Pembaharuan dalam islam
sejarah pemikiran dan gerakan (1975), islam rasional gagasan dan pemikiran
(1996)[1]
b)
Pemikiran Prof. Dr. Harun
Nasution tentang pendidikan.
Harun
Nasution dikenal umum sebagai seorang cendikiawan muslim yang sangat rasioanl.
Dalam ceramahnya, Harun selalu menekankan agar kaum muslim Indonesia berfikir
secara rasional. Ia juga menganjurkan sepatutnya kita dapat meniru syi’ah yang
sudah berfikir rasional[2].
Karena pemikirannya ini banyak kalangan yang menolak, tetapi ada juga yang memberi
apresiasi, Ia merasa heran mengapa umat Islam harus saklek, padahal
ajaran Islam memberikan ruang yang begitu luas kepada umat muslim untuk
berinovasi. Menurutnya ajaran Islam yang qat’iyyah Cuma sedikit,
seperti tuhan itu ada dan Esa, keharaman riba dan memakan daging
babi serta khamar. Bahkan sisanya adalah ayat-ayat yang bersifat dzan’iy
dilalah bahkan kalau hadis masih ada yang bersifat dzan’iy
al-wurud. Untuk itu, menurutnya semua aspek. Bukan hanya aspek fikih.
Dalam Islam masih banyak yang kita inovasi tanpa merubah esensi ajarannya. Ia
memberi contoh dalam bidang akidah pun ada yang bersifat dzan’iy
dilalah dan dzan’iy al-wurud. Seperti perihal rukun
iman keenam. Karena menurutnya Alqur’an tidak menyebutkan qada dan qadar.
Beliau juga setuju dengan sistem penyatuan kelas antara laki-laki dan
perempuan. Karena menurutnya tidak ada dalil yang secara terang-terangan
melarang itu. Bahkan mengenai hukum waris ia setuju dengan pendapat Munawir
Syadzali[3].
Harun
menyatakan bahwa keadaan statis yang melanda di tubuh umat muslim saat ini
ialah karena merasa terikat dengan ajaran-ajaran bukan dasar yang di hasilkan
oleh zaman silam (ijtihad). Sebagai gantinya diperlukan ajaran bukan dasar
(ijtihad) baru dengan menimbulkan penafsiran baru dari ajaran dasar yang
terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits yang di sesuaikan dengan tuntutan zaman[4]. Harun
sendiri mengakuinya dengan berkata :
Aku
sendiri memang kurang bisa berbicara dengan kebanyakan orang. Pembicaraanku
seringkali terlalu filosofis. Maka seringkali aku diminta untuk berbicara di
masjid, kubilang aku tidak bisa. Aku tidak bisa bercerita dongeng kepada
mereka. Sebab dongeng tidak masuk akal menurutku. Akupun dipaksa, aku memang
datang juga membicarakan apa yang kumiliki. Tapi mereka mengantuk, atau jika
dipaksa terus, akhirnya kubilang tidak sanggup karena alasan sudah tua. Namun
jika diajak diskusi aku selalu datang. Karena kebanyakan dari mereka adalah
dari kalangan intelektual yang mau berfikir rasional. Begitu pula kalau aku
mengarang, karanganku diperuntukan orang atas bukan untuk orang awam[5].
Ia
melanjukan:
Harapanku
memang Cuma satu, pemikiran Asy’ariyah mesti diganti oleh pemikiran rasional
Mu’tazilah, pemikiran filosof atau pemikiran rasional. Caranya Cuma bisa dengan
memegang para penguasanya saja. Sayangnya selama ini yang berdakwah banyak dari
golongan awam. Golongan intelektual di Indonesia ini tidak kelihatan yang jadi
juru dakwah[6].
Berbeda
dengan kaum abangan atau ulama yang bercorak fundamentalis, kaum cendikiawan
terlebih yang sepemikiran dengannya, agaknya banyak memberikan pujian atau
apresiasi terhadap hal-hal yang telah ditorehkan oleh Harun. Misalnya saja Zuly
Qodir yang menyatakan bahwa peran Harun Nasution demikian besar dalam
pengembangan citra IAIN Jakarta menjadi sebuah mazhab tersendiri dalam peta
pemikiran Islam Indonesia, menggeser posisi ITB, UNPAD, UGM, UNBRAW.
Juga
ada mantan menteri Agama Munawir Syadzali yang pernah mengatakan:
“kiranya
tidak berlebihan jika saya katakan bahwa kehadiran beliau dalam keluarga besar
IAIN telah menghasilkan pola pikir yang maju dan menggalakkan keberanian
berpendapat serta keterbukaan terhadap dunia luar”[7].
Nurcholis
Madjid seorang cendikiawan muslim terkemuka bahkan dikalangan orientalis
mengatakan:
“orang
macam Harun telah memberikan bekas terhadap perkembangan keislaman di IAIN
seperti menghasilkan suatu gejala umum dimana orang berani berdiskusi secara
terbuka, berani mempertanyakan pandangan atau doktrin yang sudah mapan dan
tidak melihat doktrin itu sebagai taken for granted. Dia mempertanyakan
relevansi doktrin itu kepada sejarah, bagaimana kaitannya dulu dan sebagainya.
Inilah yang menghasilakn kemampuan tertentu yang yang secara teknis disebut
learning capacity, yaitu kemampuan untuk belajar”[8].
Madjid
melanjutkan :
Yang
secara substansi bisa kita lanjutkan dan kita kembangkan dari pak Harun ialah
studi atau kajian mengenai kalam(teologi) dan filsafat. Kalam oleh para ahli
Barat disebut teologi rasional, tidak seperti teologi kristen yang dogmatis.
Kalam itu sangat dialektis dan logis”[9].
Menurut
madjid[10] salah
satu efek Harunisme adalah membuat agama menjadi fungsional, tidak hanya
simbol-simbol yang sentimental dan penuh perasaan. Harun Nasution menurut
Madjid tidak suka pada dzauqiyat tapi aqliyyah. Kalau dzauq saja, para pengikut
kultus jauh lebih mantap, lebih puas dari orang yang beragama. Karena apa?
Karena guru-guru kultus selalu mengatakan: “ikut saya pasti masuk surga”.
Madjid juga menyaksikan sikap beberapa sarjana yang menyatakan bahwa
pembaharuan teologis tidak akan berdampak apa-apa pada sisi sosial ekonomi
masyarakat. Padahal menurutnya salah.
1)
Perubahan Mind-set IAIN
IAIN sebagai lembaga tinggi Islam sudah pasti diarapkan oleh kalangan
muslim di Indonesia sebagai lembaga yang dapat memberikan solusi terhadap
segala permasalahan agama. Untuk itu disana para mahasiswa dikader
untuk bisa menjadi ulama yang menyebarkan Islam keseluruh wilayah Indonesia.
Sayangnya, pada mulanya perkuliahan di IAIN mengacu kepada metode Al-Azhar di
Mesir, dengan titik berat tekanan kepada mazhab Syafi’i. Pada masa itu mata
kuliah perbandingan mazhab saja masih dirasakan asing bagi sementara mahasiswa.
Setelah perkuliahan semacam ini berjalan belasan tahun, kemudian dipertanyakan
mengapa lulusan IAIN berwawasan sempit, tidak berfikiran rasional dan pada
umumnya hanya berorientasi akhirat semata. Hal ini dikemukakan oleh menteri
agama Mukti Ali dalam musyawarah rektor IAIN di Ciumbuleuit tahun 1973. Untuk
itu perlu dibentuk kemampuan rasional. Mahasiswa perlu dikenalkan dengan aspek
ilmu kalam, tasawuf, filsafat Islam, bahkan filsafat barat.
Hasil dari musyawarah tersebut akhirnya merestui adanya matakuliah
“pengantar ilmu agama” yang harus diberikan kepada seluruh mahasiswa IAIN di
Indonesia yang mempelajari Islam dari segala aspeknya[11].
Buku Harun Nasution yang berjudul Islam ditinjau dari berbagai aspeknya dipilih
sebagai buku wajib dalam matakuliah pengantar ilmu Agama. Dari sanalah akhirnya
pemikiran IAIN sedikit demi sedikit berubah menjadi lebih terbuka dan rasional.
Menurut Nasution untuk menghilangkan kesalah pahaman, perlu
mengetahui Islam dari segala aspeknya. Memang tidak mudah, tetapi yang
dimaksudkan disini ialah hanya mengetahui secara gari-garis besarnya saja.
Sebagai dasar, pengetahuan yang demikian sudah cukup. Kemudian barulah setiap
orang boleh mengambil spesialisasi sesuai kesenangan atau bakatnya.
Didalam bukunya ia menjabarkan apa dan bagaimana agama itu, apa
definisi Islam dalam pengertian yang sebenarnya. Lalu mengklasifikasikan
ajaran-ajaran Islam kedalam beberapa aspek politik, aspek perkembangan, aspek
hukum, aspek teologi, aspek filsafat, aspek mistisme, dan aspek pembaharuan
dalam Islam. semua dijelaskan melalaui pendekatan sejarah sejak awal tumbuhnya
Islam hingga zaman modern.
Tetapi tidak semua menerima secara hangat buku karangan Harun.
Seperti H.M Rasyidi dalam bukunya yang mengkritik buku Islam di tinjau dari
berbagai aspeknya memandang Harun Nasution sebagai seseorang yang telah
dipengaruhi oleh jalan pikiran dan pendekatan orientalis yang tidak selamanya
simpatik pada Islam, bahkan merugikan[12].
2)
Pembaharuan Islam: Sebuah Rasionalisasi Agama
Harun Nasution disebut-sebut sebagai salah satu tokoh pembaharu
Islam di Indonesia yang begitu giat memperkenalkan kembali pemikiran rasional
mu’tazilah. Maka wajar jika Rasyidi mengatakan bahwa neo-mu’tazilah akan
langsung dialamatkan kepada Harun Nasution karena ide dan gagasannya dalam
mendobrak faham fatalisme dan taklid buta yang dianut mayoritas muslim
Indonesia serta berupaya menghidupkan kembali teologi mu’tazilah yang serba
rasional. Tiada lain yang menjadi latar belakang pembaharuan yang dilakukan
oleh Harun Nasution dikarenakan keprihatinannya kepada umat Islam yang secara
kuantitatif bersifat mayoritas, tetapi dari segi kualitatif yang di indikasikan
dengan kontribusi dalam pembangunan bersifat minoritas. Realitas ini yang
mendorongnya untuk mencari akar penyebabnya secara mendasar dan kemudian
menawarkan solusinya.
Menurut Harun pemikiran rasional mu’tazilah ini pun sudah mulai
timbul kembali oleh pemuka pembaharu Islam seperti Jamaludin Al-Afghani,
Muhammad Abduh dan sebagainya. Dan pada akhirnya pandangan-pandangan negatif
terhadap mu’tazilah pun mulai berubah. Seperti mengenai paham fatalisme yang
telah membuat umat Islam mundur. Didalam Al-Urwah al-wusqa ‘Abduh dan
Al-Afghani menjelaskan paham qada dan qadar telah di selewengkan menjadi
fatalisme, sedangkan faham itu sebenarnya mengandung unsur dinamis yang membuat
umat Islam maju. Untuk itu, paham fatalisme yang terdapat dikalangan umat Islam
saat ini perlu di ubah dengan paham kebebasan manusia dalam kemauan dan
perbuatan layaknya paham mu’tazilah. Menurut Harun, inilah yang akan meimbulkan
kedinamisan umat Islam kembali.
Harun juga menulis buku Falsafat Islam , buku ini berisi mengenai
cara berfikir tentang dasar-dasar agama, mencoba memahami dasar-dasar itu
menurut logika dan dengan demikian dapat memberikan penjelasan yang dapat
diterima akal kepada orang yang tidak percaya pada wahyu dan hanya berpegang
pada pendapat akal. Misalnya saja mengenai keberadaan tuhan. Dalam setiap
babnya Harun memberikan argumen-argumen rasional yang dapat diterima oleh semua
kalangan bahkan ateis. Menurutnya, pengetahuan agama tidak selalau menggunakan
wahyu, melainkan juga dengan penggunaan bukti-bukti historis, argumen-argumen
rasional tentang agama dapat mempertebal keimanan seseorang[13]
Dalam buku ini sesungguhnya ia berusaha untuk membuktikan ajaran Islam sangat
rasional dan dapat dibuktikan. Seperti yang telah dipaparkan diatas, latar
belakang Harun melakukan rasionalisasi dalam Islam dikarenakan minimnya
produktivitas umat muslim. Untuk itu ada beberapa saran yang dianjurkan olehnya[14]. untuk
membuat umat muslim kembali jaya, diantaranya:
a.
Umat Islam harus kembali ke ajaran yang sebenarnya
b.
Siap taklid kepada pendapat dan penafsiran lama juga harus
ditinggalkan dan pintu ijtihad dibuka. Ajaran-ajaran dasar yang terdapat dalam
Al-Qur’an hadis sebagai patokan terhadap perincian-perincian yang cara pelaksanaanya
dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman.
c.
Dinamika umat Islam harus dibangkitkan lagi dengan menyuburkan
pemikiran rasional mu’tazilah dan menjauhkan paham jabariyah. Umat muslim harus
dirangsang untuk berfikir dan banyak berusaha lebih maksimal .
d.
Pendidikan tradisional harus diubah dengan memasukan mata pelajaran
tentang Ilmu pengetahuan modern kedalam kurikulum madrasah.
e.
Dalam bidang politik, pemerintahan absolut harus diubah menjadi
pemerintahan demokratis. Kedalam dunia Islam harus dimasukan sistem
pemerintahan konstitusional.
3)
Konsep pendidikan menurut Harun Nasution
Konsep pendidikan menururt Harun Nasution harus disesuaikan dengan
konsep manusia menurut Al-Qur’an dan hadis. Konsep manusia menurut ajaran
Islam, bukan hanya terdiri dari tubuh, seperti yang terdapat dalam filsafat
materialisme, tetapi tersusun dari unsur jasmani dan ruhani. Dalam pada itu
unsur ruhani bukan pula terdiri hanya dari daya intelek seperti yang terdapat
dalam filsafat Barat, tetapi daya berpikir yang disebut akal dan daya merasa
yang disebut kalbu. Dengan demikian manusia tersusun dari dua unsur, unsur
materi (jasmani atau tubuh) dan unsur immateri (ruh). Tubuh manusia berasal
dari tanah dibumi, sedangkan ruh manusia berasal dari substansi immateri di
alam ghaib. Tubuh mempunyai daya fisik atau jasmani, seperti mendengar,
melihat, mencium, dan daya gerak seperti menggerakan tangan, kaki, kepala dan
lain-lain. Sedangkan ruh yang juga mempunyai dua daya yakni daya berpikir yang
disebut akal yang berpusat dikepala dan daya rasa yang disebut kalbu yang
berpusat di dada.
Akal dikembangkan melalui pendidikan sains dan daya rasa melalui
pendidikan agama. Dalam sistem pendidikan semacam ini pendidikan agama
mempunyai kedudukan yang pentingnya sama dengan pendidikan sains. Keduanya
merupakan bagian yang esensial dan integral dari pendidikan umat. Tidak tepat
jika didalam pendidikan agama menomorduakan pendidikan sains dan tidak tepat
pula jika pendidikan sains dianakemaskan dan pendidikan agama dianaktirikan.
Keduanya harus dipandang sebagai anak emas. Pandangan ini mirip
dengan pandangan Fazlur Rahman tentang sistem pendidikan. Karena memang
pendidikan dalam pandangan Islam adalah mencetak manusia yang saleh. Khusus
mengenai pendidikan agama, baik di lembaga pendidikan umum maupun agama, Harun
Nasution menjelaskan bahwa yang dibutuhkan adalah pendidikan agama dan bukan
pengajaran agama.
Yang dipraktekkan pada umumnya di perguruan-perguruan kita, baik
umum maupun agama selama ini adalah “pengajaran agama” dan bukan “pendidikan agama”.
Yang dimaksud dengan pengajaran agama adalah pengajaran tentang pengetahuan
keagamaan kepada siswa dan mahasiswa, seperti pengetahuan tauhid atau
ketuhanan, pengetahuan tentang fikih, tafsir, hadis dan sebagainya. Diantara
pengetahuan-pengetahuan yang biasanya dipentingkan adalah fikih dan itu pun
pada umumnya hanya berkisar pada ibadah terutama shalat, puasa, zakat dan haji.
Dengan demikian apa yang disebut pendidikan agama dalam perguruan
tinggi, bukan bertujuan menghasilkan siswa dan mahasiswa yang berjiwa agama
tetapi mahasiswa yang berpengetahuan agama. Padahal berbeda antara yang
berpengetahuan agama dengan orang yang berjiwa agama. Kelihatannya disinilah
yang menjadi salah satu penyebab timbulnya kemerosotan akhlak yang terjadi
sekarang dalam masyarakat kita. Padahal inti ajaran Islam adalah moral atau
akhlak yang mulia, ibadah-ibadah mahdah yang diajarkan Islam pun pada dasarnya
merupakan akhlak yang mulia pula. Bahkan Muhammad SAW diutus kedunia dalam
rangka memperbaiki akhlak.
Dengan demikian, bahan pendidikan disekolah umum sebaiknya
didasarkan pada tujuan moral, spiritual dan intelektual. Sebaliknya tujuan
pendidikan agama dilembaga-lembaga pendidikan agama seharusnya bukan lagi hanya
menghasilakan agamawan dan ulama tanpa predikat tertentu, tetapi ulama yang
berpikiran luas, rasional, filosofis, dan ilmiah, serta teologi rasionalnya,
sebagai ganti dari ulama yang berpikiran tradisional yang pada umumnya
dihasilkan lembaga pendidikan Islam selama ini. Untuk menghasilkan ulama yang
berpengetahuan luas, rasional, filosofis dan ilmiah itu, maka kurikulum mulai
madrasah ibtidaiyah hingga perguruan tinggi agama, harus disusuri atas mata
pelajaran yang dapat mencapai tujuan itu.
Dalam kaitan ini menurut Harun Nasution, pendidikan tradisional
harus diubah, dengan memasukan mata pelajaran tentang ilmu pengetahuan modern (sains)
kedalam kurikulum madrasah. Juga mendirikan sekolah-sekolah modern disamping
madrasah yang telah ada, sehingga dapat memproduk ahli-ahli Islam dalam bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Untuk memenuhi gagasannya itu, pada tahun 70-an dan 80-an, Harun
Nasution mengadakan refolusi fundamental terhadap IAIN. Menurutnya, sesuai
dengan hakekat penciptaan manusia, maka sarjana muslim atau ulama yang harus
dihasilkan oleh IAIN adalah sarjana muslim atau ulama yang berkembang akal dan
daya pikirnya serta halus kalbu dan daya batinnya. Dengan kata lain, sarjana
atau ulama yang dihasilkan IAIN haruslah sarjana muslim dan ulama
pengetahuannya bukan hanya terbatas pada pengetahuan agama saja, tetapi juga
mncakup apa yang lazim disebut pengetahuan umum, serta akhlak dan budi pekerti
yang luhur.
Karena itulah dosen-dosen IAIN tidak dikirim ke Mesir melainkan
kedunia Barat untuk mempelajari Islam dari segi metodologinya serta cara
berpikir rasional, sehingga mereka akan dapat menjadi ulama yang berpikir
rasional.
Dari uraian diatas dapat dikemukakan bahwa pemikiran Harun Nasution
tentang pendidikan merupakan usaha beliau mewujudkan tujuan pendidikan Islam
agar dapat mewarnai keberagaman masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Demikian pula pandangannya tentang ajaran dasar dan non dasar, bukanlah untuk
membingungkan umat Islam Indonesia, namun justeru mengantarkan umat kepada
pemahaman terhadap ajaran Islam secara utuh serta mengeleminir terjadinya
konflik akibat klaim kebenaran setiap kelompok dalam masyarakat Islam. paham
rasional Harun Nasution tidak identik dengan rasionalisme dalam filsafat Barat,
namun beliau ingin menunjukkan bahwa sebenarnya ajaran Islam itu rasional dan
sekali lagi beliau tidak bermaksud merasionalismekan ajaran Islam.
4)
Modernisme dalam Islam dan pembaharuan kurikulum(1973)
Harun Nasution termasuk yang sedikit dari inteltual muslim
Indonesia yang memunyai kesempatan mendapat pendidikan dalam dua tradisi besar
pendidikan, yaitu pendidikan keislaman di Timur Tengah dimana ia mendapatkan
pendidikan setingkat S1 di Universitas Al-Azhar, Mesir dan tradisi
pendidikan di Barat dimana ia mendapat gelar MA dengan tesis The Islamic State
In Indonesia: The Rise of the ideology, the movement for its creation and the
Theory of Masjumi(1965) dan S3 dengan disertasinyaThe place of reason in
Abduh’s theology, its impact on his theological system dan views yang diraihnya
pada tahun 1968 di Universitas yang sama yaitu Universitas McGill, Monteal
Kanada. Hidup di lingkungan keluarga Islami yang berpaham tradisional dan
terdidik dengan pendidikan modern dan tradisional, namun Nasution lebih
tertarik dan memilih pandangan keislaman yang rasional dan pluralistic.
Kontribusinya selama ini di Indonesia dapat di sederhanakan pada
dua hal besar: pertama dalam pembaharuan pemikiran dalam Islam dan kedua
pembaharuan kurikulum IAIN pada tahun 1973.
5)
Pembaharuan Pemikiran dalam Islam di Indonesia
Harun Nasution mengusung pembaruan pemikiran keislaman. Dia
mengenalkan multi pendekatan dan memperjuangkannya dengan sangat konsisten.
Pengaruh pemikirannya sangat kuat dikalangan IAIN dan STAIN seluruh Indonesia
dan masih dirasakan sampai sekarang. Banyak buku, terutama buku ajar yang
ditulisnya, salah satu yang sangat berpengaruh dan dijadikan buku pegangan
dalam berbagai mata kuliah keislaman adalah Islam di tinjau dari Berbagai
Aspek. Buku ini mengilhami banyak sarjana muslim Indonesia untuk melihat betapa
beragamnya pemikiran yang berkembang dalam Islam. dalam pandangan Nasution ,
keragaman Islam tersebut didasarkan pada sumber yang sama yaitu teks-teks suci.
Nasution melihat bahwa realitas plural dalam pemahaman keagamaan
adalah kenyataan yang tidak bisa di pungkiri, sikap kita terhadapnya haruslah
apresiatif, umat Islam Indonesia diharapkan mampu menghargai perbedaan, baik
perbedaan yang terjadi anatar umat Islam maupun dengan non muslim. Masalah yang
dihadapi umat Islam Indonesia sampai saat ini adalah kurang berkembangnya
pandangan pluralistik atau penghargaan terhadap atas perbedaan dikalangan umat.
Pada zamannya, pengajaran keagamaan sangat normatif dan terpaku pada salah satu
paham atau aliran pemikiran, atau bahkan kelompok atau pemikiran orang tertentu
dan sangat fikih oriented. Metode pendidikan yang seperti ini dapat dipastikan
akan menghasilkan lulusan yang mempunyai pemahaman dan pemaknaan agama yang
sempit. Dampak negatifnya adalah kemungkinan munculnya pemahaman yang melihat
segala hal yang berbeda dengan paham tersebut sebagai salah, menyimpang dan
bahkan sesat.
Pada gilirannya, sikap ini menghasilkan pandangan homogen yang
menolak perbedaan dalam melihat persoalan-persoalan melalui perspektif agama.
Implikasi jauh dari sikap tersebut dapat menjauhkan umat dari partisipasinya
dalam pembangunan bangsa. Salah satu jalan kuncinya adalah umat Islam Indonesia
harus berpikiran rasional, terbuka, dan toleran. Nasution mengingatkan bahwa
umat Islam adalah bagian terbesar bangsa Indonesia. Karenanya, umat Islam harus
bertanggung jawab dan ikut serta dalam pembangunan bangsa Indonesia.
Bagi Nasution, ketika orde baru mengambil sikap untuk mengadopsi
pembangunan modern. Umat Islam harus ikut serta dan menjadi bagian penting
dalam proses tersebut, Nasution mencari akar pembenarannya dalam teologi
rasional ala mu’tazilah dan mengenalkannya kepada masyarakat Indonesia lewat
buku dan pengajarannya di IAIN dan program pasca sarjana IAIN Jakarta. Selama
menjadi rektor (1973-1984) dan setelahnya sampai tahun 1990-an sebagai direktur
pada program studi lanjutan pertama yang dibuka IAIN Jakarta. Nasution
mengembangkan pemikiran Islam rasional dan menjadikan program S1 dan pasca
sarjana IAIN Jakarta sebagai agen pembaharuan pemikiran dalam Islam dan tempat
penyemaian gagasan-gagasan keislaman yang baru.
c)
Relevansi/Implikasi pemikiran pendidikan Prof. Dr. Harun Nasution
di era modern.
Relevansi
adalah kecocokan atau saling keterkaitan. Harun Nasution adalah salah satu
tokoh pembaharu yang pemikirannya masih dipakai hingga sekarang ini. Salah
satunya adalah perubahan mind set IAIN. IAIN sebagai lembaga pendidikan tinggi
Islam dulunya adalah perguruan tinggi yang pemikirannya masih tradisional,
sistem belajarnya juga masih tradisional. Pada mulanya perkuliahan IAIN mengacu
pada metode Al-Azhar dengan titik berat penekanan pada mazhab Syafi’i.
Setelah
perkuliahan ini berjalan belasan tahun, kemudian dipertanyakan mengapa lulusan
IAIN berwawasan sempit, tidak berfikiran rasional dan pada umunya hanya
berorientasi akhirat. Buku Harun Nasution yang berjudul Islam ditinjau dari
berbagai aspeknya menjadi buku wajib pengantar Ilmu agama. Dari sanalah
akhirnya pemikiran IAIN sedikit demi sedikit mengalami perubahan menjadi lebih
terbuka dan rasional.
Didalam
bukunya ini ia menjabarkan apa dan bagaimana agama itu, apa definisi Islam
dalam pengertian yang sebenarnya. Lalu mengklasifikasikan ajaran-ajaran Islam
kedalam beberapa aspek ibadah, latihan spiritual, moral, aspek sejarah dan
kebudayaan, aspek politik, aspek perkembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan,
aspek hukum, aspek teologi, aspek filsafat, aspek mistisme dan aspek
pembaharuan dalam Islam. semua dijelaskan melalui pendekatan sejarah sejak awal
tumbuhnya Islam hingga zaman modern.
Menurut
Harun Nasution umat Islam khususnya lingkungan IAIN, harus berani
mempertanyakan tradisis pemikiran Islam yang selama ini dianggap mapan dan
mengadakan terobosan-terobosan liberal. Harun juga ingin menjadikan
Pascasarjana IAIN sebagai lembaga ilmiah yang menampung berbagai pemikiran,
meskipun bertentangan, sehingga berkembang menjadi dinamika yang sangat berguna
bagi pengkayaan mahasiswanya.
Sejak
menjadi rektor Harun menata IAIN menjadi kampus pembaharuan pemikiran Islam di
Indonesia. Harun memberi ruang yang sangat luas untuk pertumbuhan dan
perkembangan pemikiran-pemikiran rasional. Dengan usahanya IAIN cukup di
perhitungkan. IAIN bukan hanya perguruan tinggi tradisional, tapi sebuah kampus
Islam pembaharu dan modern.
Kebebasan
berfikir dan mengemukakan pendapat mahasiswa masih di terapkan hingga sekarang
pada lingkungan IAIN, itu merupakan terobosan Harun Nasution agar mahasiswa
tidak mempunyai pikiran yang sempit. Tapi saat ini pendidikan semakin banyak
problem, Islam saat ini semakin terbelakang dan ketinggalan zaman. Sehingga
timbul pertanyaan di hati saya, bagaimana mengembalikan zaman kemegahan umat
islam yang dulu-dulu? Jawabannya adalah “Islam harus berani mengejar zaman”.
Bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun Islam ketinggalan zaman. Kalau Islam
tidak cukup kemampuan buat mengejar seribu tahun itu, niscaya ia akan tetap
hina dan mesum[15].
d)
Kesimpulan
Harun
Nasution adalah sosok ilmuan Muslim yang sangat berwibawa dan disegani oleh
kalangan intelektual muslim, baik dalam maupun luar negeri, dan sekaligus
menjadi sumber timbulnya berbagai masalah yang menimbulkan perdebatan setiap
kali orang mendengar namanya, yang terbayang adalah bahwa ia seorang mantan
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memiliki keahlian dalam bidang
teologi dan filsafat yang bersifat rasional.
Dengan
corak pemikiran teologinya yang demikian itu, Harun Nasution dikenal pula
sebagai ilmuan yang banyak mengemukakan gagasan dan pemikiran yang berbeda
dengan pemikiran yang umumnya dianut umat Islam Indonesia. Melalui berbagai
karya tulis yang dihasilkannya, Harun Nasution tidak hanya memperkenalkan teologi
rasional dan liberal seperti Mu’tazilah dan Asy’ariyah yang banyak dianut oleh
umat Islam di Indonesia, melainkan juga memperkenalkan yang rasional dan
liberal seperti Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand.
Gebrakan
yang paling penting dilakukan oleh Harun untuk mengangkat umat Islam dan
Indonesia adalah mempelopori berdirinya Fakultas Pascasarjana dengan maksud
untuk mencetak pemimpin umat Islam masa depan. Menurutnya, pemimpin harus
rasional, mengerti Islam secara komprehensi, tahu tentang agama dan filsafat.
Pemimpin seperti itulah yang diharapkannya lahir dari Pascasarjana.
Usahanya
untuk mengangkat lembaga pendidikan Islam (IAIN), terasa sangat luar biasa. Di
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta misalnya, kehidupan intelektual akademisnya
menjadi lebih hidup. Kondisi seperti itu
juga telah mulai terbangun di seluruh IAIN di Indonesia.
Pembaharuan
yang dilakukan oleh Harun tidak hanya menyangkut Mahasiswanya tetapi juga para
Dosen yang ada dilingkungan IAIN. Untuk meningkatkan mutu dosen dibentuk forum
diskusi regular mingguan dan bulanan sebagai media untuk memecahkan
masalah-masalah krusial yang didalamnya berkumpul beberapa ahli di bidangnya
masing-masing, baik dari IAIN maupun dari luar.
Ia
juga merintis terbitnya majalah yang dapat dijadikan sarana untuk menyalurkan
gagasan, pikiran dan ide para Dosen dan Mahasiswanya. Beberapa usaha yang telah
dilakukan oleh Harun Nasution dengan pembenahan berbagai sektor telah
melahirkan satu citra IAIN sebagai pusat studi pembaruan pemikiran Islam.
Obsesinya untuk menghadirkan IAIN sebagai pusat dan arus lalu lintas
pemikiran-pemikran keislaman, juga sangat di dukung oleh bangsa Indonesia yang
mayoritas penduduknya beragama Islam dan memiliki pemerintahan yang memberikan
tempat terhormat bagi Usaha pembinaan umat beragama.
Daftar Pustaka
Aqib Suminto.
1989. Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 tahun Harun
Nasution. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat.
Harun Nasution.
1973. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Harun Nasution.
1974. Islam di Tinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI
Press.
Harun Nasution.
1975. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta:
Bulan Bintang.
Harun Nasution.
1989. Islam rasional gagasan dan pemikiran. Jakarta: Lembaga Studi
Agama dan Filsafat.
Syamsul
Kurniawan. 2016. Pemikiran Pendidikan Islam Soekarno. D.I
Yogyakarta: Samudera Biru: Anggota IKAPI.
MAKALAH PRAREVISI
[1] Harun nasution
“islam rasional gagasan dan pemikiran” penerbit mizan, jakarta:1996, hlm
5-6
[2] Aqib suminto “refleksi
pembaharuan pemikiran islam, 70 tahun harun nasution” Lembaga Studi Agama
dan Filsafat, jakarta: 1989, hlm 59
[4] Harun nasution
“islam ditinjau dari berbagai aspeknya II” UI press, jakarta: 1974, hlm
114
[5] Aqib suminto “refleksi pembaharuan pemikiran islam, 70 tahun
harun nasution” Lembaga Studi Agama dan Filsafat, jakarta: 1989, hlm 60
[7] Ibid, hlm viii
[8] Ibid, hlm 102-103
[9] Ibid, hlm 104
[10] Ibid, hlm
104
[14] Ibid,
hlm 201
[15] Syamsul
Kurniawan. Pemikiran Pendidikan Islam Soekarno. Samudera biru : Anggota IKAPI D.I
Yogyakarta:2016, hlm 124.
sangat bermanfaat, terimakasih👍
BalasHapus