Hakikat Pendidikan Islam
Disusun Oleh:
Ahmad Abdul Qiso
Dosen Pengampu Mata Kuliah Filsafat Pendidikan
Islam:
Prof. Dr. H. Maragustam, M.A.
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan bagian yang
tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia. Karena pendidikan sealau
menjadi pembincangan hangat di tengah-tengah masyarakat sekalipun ia tidak
mengerti pendidikan, bahkan dimanapun dan kapanpun pendidikan selalu dibicarakan
bahkan diperdeabatkan sekalipun. Begitupun di negara yang paling maju
sekalipun, pendidikan pasti menjadi isu yang sangat krusial dan pasti ada
sebagian kalagan yang mengkritik. Hal ini menunjukkan bahwa pembicaraan tentang
pendidikan tidak akan berhenti selagi masih ada kehidupan dimuka bumi ini.
Mengapa hal di atas bisa terjadi?
Menurut Ahmad Tafsir, pembicaraan tentang pendidikan tidak pernah berhenti
karena; pertama, fitah setiap orang menginginkan yang lebih baik, kedua,
karena teori pendidikan selalu ketinggalan oleh kebutuhan masyarakat, dan ketiga,
karena pengaruh pandangan hidup.[1]
Dalam pemabangunan bangsa, sektor
utama yang mendapat prioritas adalah pendidikan yang aksentuasinya adalah pada
peningkatakan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa , serta akhlak
mulia, sebagaimana dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional (UU Nomor 20
Tahun 2003). “Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan potensei
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Menurut Hasbullah sebagaimana yang
dikutip Usman, peningkatan keimana dan ketakwaan akan lebih efektif, manakalah
dioptimalkan melalui sistem Pendidikan Islam. Sebab, Pendidikan Islam memiliki
transmisi spritul yang lebih nyata dalam proses pembelajarannya. Kejelasannya
terletak pada keinginan untuk mengembangkan keseluruhan aspek dalam diri
peserta didik secara berimbang, baik aspek intelektual, imajinasi, dan
keilmiahan, kultural, serta kepribadian.[2]
Dengan diberlakukannya UU No 20
Tahun 2003 ini, memberikan keistimewaan tersendiri bagi pendidikan Islam,
karena subtasi dari Undang-undang ini secera eksplisit menyebutkan peran dan kedudukan
pendidikan agama Islam.
Adapun tantangan pendidikan Islam,
seiring diberlakukannya undang-undang tersebut menurut Mastuhu adalah:
Pertama, mampukah
sistem Pendidikan Islam Indonesia menjadi center of excellence bagi
perkembangan iptek yang tidak bebas nilai, yaitu mengembangakn Iptek dengan sumber
ajaran Al-Quran dan Sunnah?
Kedua, mampukah
sistem Pendidikan Islam Indonesia menjadi pusat pembeharuan pemikiran Islam
yang benar-benar mampu merespons tantangan zaman, tanpa mengabaikan aspek
dogmatis yang wajib diikuti?
Ketiga, mampukah
ahli-ahli Pendidikan Islam menumbuhkembangkan kepribadian termasuk Pendidikan
Karakter Bangsa__yang benar-benar beriman dan bertakwa kepada Allah SWT lengkap
dengan kemampuan bernalar__ilmiah yang tidak mengenal batas akhir?.[3]
Untuk mengadapi tantangan-tantangan
di atas sekaligus mencari solusi terbaik dalam menghidupkan dan mengembangkan
serta memberdayakan sistem pendidikan Islam, baik secara proses maupun sebagai
lembaga menurut Mastuhu, diperlukan konsep-konsep baru yang strategis, sehingga
pada gilirannya dapat dikembangkan menjadi teori-teori yang teruji dan dapat
dioperasionalkan di lapangan. Upaya mencari paradigma baru, selain harus mampu
membuat konsep yang mengandung nilai-nilai dasar strategis, proaktif, dan
antisipatif terhadap perkembangan di masa mendatang, juga harus mampu
mempertahankan nilai-nilai dasar yang benar dan diyakini untuk terus dipelihara
dan dikembangkan, apalagi dalam kehidupan modern dan dunia global sekarang ini.[4]
Dengan demikian, maka Pendidikan
Islam akan berfungsi dengan baik bagi upaya pemberdayaan dan pengembangan
potensi-potensi yang dibawa manusia dengan sistem pendidikan yang bersendikan
nilai-nilai Islami yang lebih efektif, efesien, dan produktif.
Disamping itu, manusia sebagai
obyek sekaligus subyek dalam pendidikan harus menjadi obyek utama yang harus
kita pahami sebelum menentukan tujuan dan fungsi pendidikan itu sendiri.
Menurut As-Syaibani, manusia mempunyai tiga dimesi, persis seperti “segi tiga”
yang sama panjang sisi-sisinya, yaitu: badan (jasmani), akal, dan ruh.[5]
Jika seorang pendidik keliru dalam memahami dimensi-dimensi manusia itu, maka
dia akan keliru juga dalam merumuskan tujuan dan fungsi pendidikan itu sendiri.
Jika seorang pendidik keliru dalam menentukan tujuan dan fungsi pendidikan itu
maka ia akan mencidrai fitrah manusia. Pada hal menurut Maragustam, fitrah
kesucian manusia tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan.[6]
Menurut Harefa sebagaimana dikutip
Maragustam, bahwa kesalahan atau bahkan dosa terbesar para guru adalah terlalu
banyak melakukan pengajaran dan pelatihan, namun hampir tidak pernah melakukan
pendampingan terhadap peserta didik untuk mengejar dan mencari jati dirinya
sebagai pribadi, anggota kelompok, dan sebagai manusia warga masyarakat dunia.[7]
Jadi, berdasarkan latar belakang
masalah di atas, makalah ini akan konsentrasi pada pembahasan terkat dengan
konsep pendidikan Islam yang meliputi: pengertian pendidikan Islam, Perbedaan
term Tarbiayh, Ta’lim, dan Ta’dib, Perbedaan Pendidikan Islam dan Pendidikan
Barat, dan peran pendidikan bagi pembentukan jati diri manusia yang meliputi:
Hakikat manusia dan fungsi pendidikan bagi manusia.
B. Pembahasan
1. Pengertian Pendidikan Islam
Dalam bahasa Indonesia, istilah pendidikan berasal dari kata
“didik” dengan memberi awalan “pe” dan akhiran “an”, mengandung arti
“perbuatan” (hal, cara, dan sebagainya).[8]
Kata pendidikan berasal dari bahasa Yunani yaitu paedagogos yang
berarti pergaulan dengan anak-anak. Paedagogos berasal dari kata paedos
(anak) dan agoge (saya membimbing, memimpin). Perkataan yang mulanya
berari “rendah” (pelayan, bujang), sekarang dipakai untuk pekerjaan mulia. Paedagog
(pendidik atau ahli didik) ialah seseorang yang tugasnya membimbing anak.[9]
Sedangkan pekerjaan membimbing disebut paedagogis. Istilah ini kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan “education” yang berarti
pengembangan atau bimbingan.[10]
Redja Mudyahardjo membagi term definisi pendidikan dalam
tiga pengertian berikut: [11]
1) Definisi
maha luas
Pendidikan adalah hidup. Pendidikan adalah segala pengalaman
belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup.
Pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu.
Pendukung definisi ini adalah kaum Humanis Romantik dan kaum Pragmatik.
2) Definisi
sempit
Pendidikan adalah sekolah. Pendidikan adalah pengajaran yang
diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Pendukung
definisi ini adalah kaum Behavioris.
3. Definisi
alternatif atau luas terbatas
Adapun definisi alternatif pendidikan adalah pengalaman-pengalaman
belajar terprogram dalam bentuk pendidikan formal, non-formal, dan informal di
sekolah, dan luar sekolah, yang berlangsung seumur hidup yang bertujuan
optimalisasi pertimbangan kemampuan-kemampuan individu, agar dikemudian hari
dapat memainkan pernanan hidup secara tepat. Pendukung definisi ini adalah kaum
Humanis Realistik dan Realisme Kritis.
Hasan Langgulung mengemukakan, bahwa pendidikan sebenarnya dapat
ditinjau dari dua segi; pertama, dari sudut pandang masyarakat; kedua,
dari sudut pandang individu. Dari segi pandang masyarakat pendidikan berarti pewarisan
kebudayaan dari generasi tua ke generasi muda, agar hidup masyarakat tetap
berkelanjutan, dengan kata lain, masyarakat mempunyai nilai-nilai budaya yang
ingin disalurkan dari generasi ke generasi agar identitas masyarakat tersebut
tetap terpelihara..... di lihat dari segi pandangan individu, pendidikan
berarti pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi. Manusia
mempunyai berbagai bakat dan kemampuan yang kalau dikelola secara cerdas bisa
berubah menjadi emas dan intan.[12]
Menurut Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS Bab I
mengatakan, pendidikana adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Dalam konteks Islam, pendidikan secara bahasa (lughatan) ada
tiga kata yang digunakan. Ketiga kata tersebut, yaitu (1) at-tarbiyah, (2)
al-ta’lim, dan (3) al-ta’dib.
a. Tarbiyah
Term tarbiyah berasal dari tiga kata, yakni pertama, berasal
dari kata raba-yarbu yang artinya bertambah dan tumbuh. Kedua, berasal
dari kata rabiya-yarba dengan yang artinya tumbuh dan berkembang. Ketiga,
berasal dari kata rabba-yarubbu, yang artinya, memperbaiki,
membimbing, menguasai, memimpin, menjaga, dan memelihara.[13]
Daim berpendapat bahwa makna tarbiyah adalah merawat dan
memperhatikan pertumbuhan anak, sehingga anak tersebut tumbuh dengan sempurna
sebagaimana yang lainnya, yaitu sebuah kesempurnaan dalam setiap dimensi
dirinya, badan, roh, akal, kehendak, dan lain sebagainya.[14]
Menurut Maragustam, dari segi
etimologis, tiga asal kata tarbiyah yakni raba; rabiya; dan rabba, kata tarbiyah mencakup makna yang sangat luas yakni: (1) al-nama yang
berarti bertambah, berkembang, dan tumbuh menjadi besar sedikit demi sedikit,
(2) aslahu yang berarti memperbaiki peserta didik sekiranya proses perkembangannya
menyimpang dari nilai-nilai Islam, (3) tawalla amrahu
yang berarti mengurusi perkara peserta didik, bertanggung jawab atasnya
dan melatihnya, (4) ra’ahu yang berarti memelihara dan memimpin sesuai dengan potensi yang
dimiliki dan tabiatnya (5) al-tansyi’ah yang berarti mendidik, mengasuh, dalam arti materi dan immateri (hati,
akal, dan perasaannya), yang kesemuanya merupakan aktivitas pendidikan.[15]
b. Ta’lim
Term ta’lim secara lugahwy berasl dari kata fi’il tsulasi
mazid biharfin wahid, yaitu ‘allama yua ‘allimu. Jadi ‘allama artinya, mengajar.[16]
Dalam sejarah pendidikan Islam, term mu’allim telah
digunakan untuk istilah pendidik. Menurut konsep pendidikan Islam, kata taklim
lebih luas jangkauannya dan lebih umum dari kata
tarbiyah. Hal itu dapat di lihat bahwa Rasulallah SAW diutus untuk menjadi mu’allim (pendidik).[17]
Menurut Maragustam perbedaan tarbiyah
dan taklim adalah sebagai berikut:[18]
TARBIYAH
|
TAKLIM
|
Kata tarbiyah
lebih fokus pada proses persiapan dan pengasuhan pada fase pertama
pertumbuhan yakni fase bayi dan anak-anak
|
Sedangkan kata
taklim lebih fokus pada perenungan (pemahanan, pengertian, tanggung jawab,
penanaman amanah). Tentu sudah masuk fase dewasa.
|
Pencapaian ilmu
pengetahuan dan ilmu berdasar pada imitasi dan peniruan belaka tanpa mengerti
argumennya.
|
Pencapaian ilmu
pengetahuan melebihi imitasi atau peniaruan atau dongengan yakni ilmu
pengetahuan yang didapat berdasarkan argumen atau berfikir secara mendalam
|
Pengetahuan yang
didapat hanya sekedar mengetahui yang belum mengerti fungsi pengetahuan yang
di dapatkan itu untuk masa depan, karena mereka masih masa-masa awal
perkembangannya.
|
Pengetahuan dan
keterampialan yang di dapat menjadi kebutuhan seseorang dalam hidupnya serta
pedoman perilaku yang baik untuk mengatur hidup dan perilakunya di masa
depan.
|
c. Ta’dib
Term ta’dib berasal dari kata tsulasi mazid
biharfin wahid, yaitu ‘addaba yu ‘adibu. Jadi ‘addaba artinya
memberi adab.[19]
1) Suatu tindakan untuk mendisiplinkan
jiwa dan pikiran
2) Pencarian kualitas dan sifat-sifat
jiwa dan pikiran yang baik
3) Perilaku yang benar dan sesuai yang
berlawanan dengan perilaku salah dan buruk.
4) Ilmu yang dapat menyelamatkan manusia
dari kesalahan dalam mengambil keputusan dan sesuatu yang tidak teruji
5) Pengenalan dan pengakuan kedudukan
(sesuatu) secara benar dan tepat.
6) Sebuah metode mengetahui yang
mengaktualisasikan kedudukan sesuatu secara benar dan tepat.
7) Realisasi keadilan sebagaimana
direfleksikan oleh hikmah.
Al-Attas menolak peristilahan tarbiyah dan ta’lim yang
selama ini dianggap sebagai pengertian yang lengkap mengenai pendidikan dalam
Islam, baik salah satu (tarbiyah atau ta’lim) maupun keduanya (ta’lim wa
tarbiyah), sebab istilah itu menunjukkan
ketidaksesuain makna. Isitlah terbiayah menurutnya hanya menyinggung aspek fisikal dan emosional dalam pertumbuhan
dan perkembangan binatang dan manusia. sedangkan ta’lim hanya terbatas pada pengajaran dan pendidikan kognitif. Makna istilah ta’lim dan tarbiyah telah
tercakup dalam makna ta’dib.[21]
Kritik yang disampaikan Al-Attas kepada
penggunaan istilah tarbiyah dan ta’lim menjadi sebuah masukan berharga bagi dunia pendidikan Islam, untuk
dijadikan bahan refleksi agar paradigma pendidikan Islam lebih jelas dan
terarah. Namun penulis berasumsi bahwa kata tarbiyah menjadi terma yang paling tepat untuk digunakan dalam dunia pendidikan
Islam. Asusmi ini didasakran kepada pengertian ketiga istilah tersebut secara
bahasa. Tarbiyah berasal dari kata rabba-yarubbu, yang artinya, memperbaiki,
membimbing, menguasai, memimpin, menjaga, dan memelihara. Adapun ta’lim berasal dari kata ‘allama artinya, mengajar. Sedangkan ta’dib berasal dari kata ‘addaba artinya memberi adab. Dari pengertian ini,
menurut penuli, menunjukkan bahwa makna tarbiyah lebih
konperhensif, karena meliputi upaya membimbing manusia. Allah menciptakan
manusia dalam kedaan fitrah dan membawa potensi masing-masing yang bisa kita
kembangakan. Pendikan merupakan jalan bagi seseorang untuk mengembangkan fitrah
dan potensi-potensi yang diberikan Allah. Hal ini sejalan dengan pengertian tarbiyah yang meliputi memperbaiki, membimbing, menguasai, memimpin,
menjaga, dan memelihara. Hal ini juga sejalan pandangan orang-orang Yunan (lebih
kurang 600 tahun Sebelum Masehi) yang menyatakan bahwa pendidikan ialah usaha membantu
manusia menjadi manusia.[22]
2. Perbedaan Pendidikan Islam dan Pendidikan
Barat
Dalam prespektif filsafat dan ilmu pendidikan Islam, terdapat tiga
aliran besar, yaitu[23]
a. Religius
Konservatif
Aliran ini melihat konsep pendidikan Islam harus dibangun dari
nilai-nilai agama terutama yang berkaitan dengan tujuan menunut ilmu dan apa
saja ilmu-ilmu yang perluh dipelajari. Menurut aliran ini tujuan keagamaan
menjadi tujuan menuntut ilmu. Tokoh aliran ini diwakili oleh Az-Zarnuji dan
Imam al-Ghazali.
b. Religius
Rasional
Aliran ini diwakili oleh kelompok Ikhwan al-Shafa. Aliran ini
sekalipun mempunyai kecendrungan kuat terhadap nuansa keagamaan tetapi tidak
sekuat aliran konservatif-religius. Artinya kalau aliran religius terkandung
kesan bahwa terma ilmu dalam Alquran dan Hadis menyempit, sedangkan aliran
religius rasional mempunyai cakupan yang luas. Disamping itu, aliran ini
memadukan antara sudut pandang keagamaan dengan sudut pandang keiflsafatan
dalam menjabarkan konsep ilmu, sehingga kelompok ini bependapat bahwa
pengetahuan itu semuanya muktasabah (hasil perolehan dari aktivitas
belajar) dan yang menjadi modal utamanya adalah indra.
c. Pragmatis
Isntrumental
Tokoh dalam aliran ini adalah Ibnu Khaldun, seorang ahli filsafat
sejarah. Sudut pandangnya di bidang pendidikan lebih banyak bersifat pragmatis
dan lebih berorientasi pada aplikatif praktis. Dia mengklasifikasikan ilmu ilmu
pengetahuan berdasar tujuan fungsionalnya, bukan berdasar nilai subtansinya
atau sekuennya semata. Konsep pendidikan Ibnu Khaldun melalui pendekatan
filosofis empiris.
Di dunia Barat berkembang empat aliran filsafat pendidikan yaitu:[24]
a.
Progresivisme
Padangan pendidikan Progresivisme mengendaki yang progresif. Tujuan
pendidikan hendaklah diartikan sebagai rekontruksi pengalaman yang
terus-menerus. Pendidikan hendaklah bukan hanya menyampaikan pengetahuan kepada
peserta didik saja, melainkan yang lebih penting daripada itu adalah melatih
kemampuan berfikir dengan memberikan stimuli-stimuli.
b.
Esensealisme
Prinsip-prinsip pendidikan esensialisme yaitu (1) pendidikan harus
dilakuan melalui usaha keras, tidak begitu saja timbul dari diri siswa, (2)
inisiatif dalam pendidikan ditekankan pada guru, bukan pada peserta didik, (3)
inti proses pendidikan adalah asimilasi dari mata pelajaran yang telah
ditentukan.
c. Perenialisme
Prinsip pendidika perenialisme menghendaki pendidikan kembali kepad
jiwa yang menguasai abad pertengahan. Karena jiwa Abad Pertengahan telah
merupakan jiwa yang menentukan manusia hingga dapat dimengerti adanya. Aliran
ini juga menyatakan bahwa rasio merupakan atribut manusia yang paling tinggi.
d.
Rekonstruksionisme
Aliran ini beranggapan bahwa pendidikan harus dilaksanakan di sini
dan sekarang dalam rangka menciptakan tata sosial baru yang akan mengisi
nilai-nilai dasar budaya, dan selaras dengan medasari kekuatan-kekuatan
ekonomi, dan sosial masyarakat modern.
Selain itu, di dunia Barat
juga berkembangan hukumnativisme,
emperisme, dan konvergensi yang dijadjikan landasan dalam pendidikan. Adapun
penjelasan adalah sebagai berikut:[25]
a. Teori
Emperisme
Teori emperisme mengatakan bahwa perkembangan dan pembentukan
manusia itu ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan, termasuk pendidikan.
Sebagai pelopor emperisme ialah John Locke yang dikenal dengan teori
“tabularasa” atau emperisme. Menurut teori tabularasa, bahwa tiap individu
lahir sebagai kertas putih, dan lingkungan itulah yang memberi corak atau
tulisan dalam kertas putih tersebut. Bagi John Locke pengalaman yang berasal
dari lingkungan itulah yang menentukan pribadi seseorang.
b. Teori
Nativisme
Teori nativisme yang diperlopori oleh Athur Schopenhauer mengatakan
bahwa perkembangan pribadi hanya ditentukan oleh bawaan (kemampuan dasar),
bakat serta faktor endogen yang bersifat kodrati. Proses pembentukan dan
perkembangan pribadi menurut aliran empirisme ditentukan oleh faktor bawaan
ini, yang tidak dapat diubah oleh pengaruh alam sekitar atau pendidikan.
c. Teori
Konvergensi
Teori konvergensi yang diperlopori William Stern ini, mengatakan
bahwa perkembangan manusia itu berlangsung atas pengaruh dati faktor-faktor
bakat/kemampuan dasar (endogen/bawaan) dan faktor alam sekitar (eksogen/ajar),
termasuk pendidikan dan sosial budaya. Jadi, perkembangan pribadi menurut
aliran ini sesungguhnya adalah hasil persenyawaan antara faktor endogen dan
eksogen.
Dari pandangan-pandangan pendidikan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa perbedakan pendidikan Islam daan Barat adalah terletak pada:
a. Sistem
Ideologi
Islam memiliki ideologi al-tauhid yang bersumber dari
Alquran dan Sunnah. Sedangkan non-Islam memiliki berbagai macam ideologi yang
bersumber dari isme-isme materialis, komunis, ateis, sosialis, kapitalis, dan
sebagainya.
Dengan kerangka dasar al-tauhid ini maka dalam pendidikan
Islam tidak akan ditemui tindakan yang dualisme, (dikotomis) dan sekuralis. Sistem
pendidikan Islam menghendaki adanya integralistik yang menyatukan kebutuhan
dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, materil dan spritual, individu dan
sosial yang dijiwai dan dinafasi oleh roh al-tauhid.
b. Sistem
Nilai
Pendidikan Islam bersumber dari nilai Alquran dan Sunnah, sedangkan
pendidikan non-Islam bersumberkan dan nilai yang lain, Formulasi ini relevan
dengan kesimpulan di atas, sebab dalam ideologi Islam itu bermuatan nilai-nilai
dasar Alquran dan Sunnah, sebagai sumber asal, dan ijtihad sebagai sumber
tambahan, Pendidikan non-Islam sebenarnya ada juga sumber nilainya, namun
sumber nilainya hanya dari hasil pemikiran, hasil penelitian para ahli, dan
adat kebiasaan masyarakat.
c. Orientasi
Pendidikan
Pendidikan Islam berorientasi kepada dua kehidupan yaitu duniawi
dan ukhrawi, sedangkan pendidikan non-Islam, orientasinya duniawi semata.
3. Fungsi Pendidikan Bagi Manusia
Untuk merumuskan fungsi pendidikan bagi manusia secara utuh, kita
terlebih dahulu harus menemukan hakikat manusia, temuan ini juga akan sangat
membantu untuk memaksimalkan peranan pendidikan untuk memanusiakan manusia.
Berikut adalah pandangan beberapa tokoh tentang hakikat atau inti manusia.
Dari ilmuan Barat, penulis mengutip pandangan seorang filosof,
yaitu Plato, menurutnya jiwa manusia memiliki tiga elemen, yaitu roh, nafsu,
dan rasio. Dalam operasinya, dia mengandaikan roh itu sebagai kuda putih yang
menarik kereta bersama keuda hitam (nafsu), yang dikendalikan oleh kusir
yaitu rasio yang berusaha mengontrol laju kereta.[26]
Pandangan Plato ini jika kita korelasikan dengan dunia pendidikan, maka
pendidikan harus berfungsi membantu rasio tersebut untuk mengendalikan kereta
tersebut. Stevenson dan Haberman menilai Plato sebagai orang pertama yang
melihat pendidikan sebagai kunci utama dalam membangun masyarakat.[27]
Adapun dari ilmuan Islam, penulis mengutip pandangan As-Syaibani,
menurutnya manusia mempunyai tiga dimesi, persis seperti “segi tiga” yang sama
panjang sisi-sisinya, yaitu: badan (jasmani), akal, dan ruh. Kemajuan,
kebahagiaan, dan kesempurnaan keperibadian manusia tergantung kepada
keselarasan dan keharmonisan antara tiga dimensi pokok tersebut.[28]
Pemikiran tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Sedangakan dalam pandangan Alquran, menurut Quraish Shihab, tidak
sedikit ayat Alquran yang berbicara tentang manusia, bahkan manusia adalah
makhluk pertama yang telah disebut dua kali dalam rangkaian wahyu pertama (QS
96: 1-5). Manusia sering mendapat pujian Tuhan. Dibandingkann dengan
makhluk-makhluk lain, ia mempunyai kapasitas yang paling tinggi (QS. 11: 3).
Namun di lain segi, manusia ini juga mendapat cercaan Tuhan. Ia amat aniaya dan
mengingkari nikmat (QS. 14: 34), dan sangat banyak membantah (QS. 22: 67).
Menurut Quraish Shihab hal ini bukan berarti bahwa ayat-ayat Alquran
bertentangan satu sama lain, tetapi hal tersebut menunjukkan potensi manusiawi
untuk menempati terpuji, atau meluncur ke tempat yang rendah sehingga tercela.[29]
Menurut Maragustam, berdasarlan penelusurannya dalam ayat-ayat
Alquran, hal-hal yang menunjukkan kompleksitas jati diri (hakikat) manusia
ialah:[30]
a. Kata al-jism
Kata al-jism (tubuh) disebutkan dalam Alquran hanya dua
kali, yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 247 dan surat Al-Munafiqun ayat
4. Kedua ayat ini menunjukkan bahwa jasad termasuk tabiaat manusia. Pendapat
sebagian orang yang merendahkan arti penting tubuh, tidak terdapat dalam Islam.
Alquran menganjutkan dan bahkan menyuruh manusia supaya merawat tubuhnya serta
memenuhi kebutuhannya berupa makanan, minuman, dan pakaian (Qs. Al-Baqarah :
57, 60, dan 168).
b. Terma al-‘aql
Kata ‘aql dengan kata jadiannya dimuat dalam Alquran dalam
49 kali. Al-albab adalah kata lain yang juga bermakna akal yang terdapat
16 kali di dalam Alquran, disamping itu juga terdapat kata ulin-nuha yang
merujuk pada pengertian akal. Dalam Alquran tidak dijelaskan secara eksplisit
mengenai tiga akar kata ini, namun dari beberapa ayat Alquran dapat dipahami
maknanya: (1) Akal sebagai alat untuk memahami dan mengambarkan sesuatu agar
seseorang mencapai hakikat yang menuntutnya beriman kepada-Nya; (2) Akal dapat
menangkap hal-hal abstrak; (3) Akal berfungsi sebagai dorongan moral; (4) Akal
berdaya mengambil pelajaran/hikmah dan kesimpulan dari sesuatu peristiwa; dan
(5) Akl berfungsi sebagai alat dzikrullah (berzikir/mengingat Allah) dan
alat memikirkan ciptaan Allah.
Penyebutan akal dalam Alquran selalu dalam bentuk kata kerja bukan
dalam bentuk kata benda. Karena manusia harus selalu aktif menggunakannya
sesuai dengan pengertian yang ada pada akal itu sendiri.
c. Terma al-qalb
Dalam Mu’jam al-Mufakhras, kata al-qalb dan al-qulub
dan segala kata jadiannya tidak kurang dari 170 ayat ayat yang
tersebar di beberapa surah di dalam Alquran. Al-qalb atau kalbu adalah
salah satu gejala dari perangkat hakikat manusia yang asasi, karena iman
bersemayam di kalbu (Qs. Al-Hajj: 32);
termasuk alat ma’rifah (memperoleh ilmu) (Qs. Al-Hajj: 46 dan
Al-An’am: 25). Kalbu yang sehat bagaikan raja (pusat kesadaran moral) memiliki
kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk serta mendorong manusia memilih
hal yang baik dan meninggalkan yang buruk.
d. Terma nafs
Kata nafs bermacam-macam makananya. Menurut Quraish Shihab,
terkadang diartikan sebagai totalitas manusia, menunjuk kepada apa yang
terdapat dalam diri manusia yakni wadah yang menampung paling tidak berupa
gagasan dan kemauan yang menghasilakn tingkah laku.
e. Terma
fitrah
Kata fitrah dan segala bentuk kata jadiannya dalam Alquran tertera
pada 19 ayat dalam 17 surat. Fitrah adalah sistem aturan atau potensi yang
diciptakan kepada setiap makhluk sejak keberadaannya baik ia makhluk manusia
ataupun yang lainnya.
Mengenai kejadian manusia dan tujuan hidupnya Allah berfirman: “Tidaklah
aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah kepadaku”. (Qs.
Al-Zariyat: 103). Menurut Hasan Langgulung, pengertian ibadah disini luas,
tidak hanya upacara sembahyang yang
biasa kita fahami, menurtunya ibadah dalam pengertian yang luas meliputi
seluruh gerak-gerik kita. ibadah dalam pengertian luas inilah tujuan kita
diciptakan, atau tujuan hidup kita.[31]
Di sisi lain, dalam Alquran di jelaskan bahwa manusia diperintikan-Nya untuk
menjadi khalifah fil ardi (pemimpin/wakil Allah di muka bumi), hal ini
termaktub dalam Qs. al-Baqarah: 30. Hal ini menunjukkan bahwa manusa memiliki
dua tugas utama yaitu hubungan vertikal dengan beribadah dan hubungan
horizontal yang menjadi khalifah di muka bumi. Jadi, pendidikan harus berusama
membimbing dan membina manusia untuk menjadi Abdullah dan khalifatullah di muka
bumi ini.
Orang-orang Yunani, lebih kurang 600 tahun Sebelum Masehi, telah
menyatakan bahwa pendidikan ialah usaha membantu manusia menjadi manusia. ada
dua kata yang penting dalam kalimat itu, pertama “membantu” dan kedua
“manusia”. Manusia perluh dibantu agar
ia berhasil menjadi manusia. Seseorang dapat dikatakan telah menjadi manusia
bila telah memiliki nilai (sifat) kemanusiaan. Jadi, tujuan mendidik ialah
me-manusiakan manusia. seperti apa kriteria manusia untuk menuju tujuan
pendidikan itu?. Orang-orang Yunani Lama itu menentukan tiga syarat untuk
disebut manusia, yaitu Pertama, memiliki kemampuan dalam mengendalikan
diri; kedua, cinta tanah air, dan ketiga, berpengetahuan.[32]
Aspek pendidikan yang kedua ialah menolong (membantu). Mengapa
menolong, bukan mencetak atau mewujudkan? Ya karena pendidik mengetahui bahwa
pada manusia itu ada potensi yang dapat dikembangkan untuk menjadi manusia.
kata “menolong” juga menegaskan bahwa perbuatan mendidik itu hanya sekedar
menolong. Kata “menolong” juga mengkiaskan agar pendidik tidak sombong bila ada
muridny yang berhasil. Dan kata “menolong” juga mengajarkan kepada pendidik
bahwa ia mestilah melakukan pertolongan itu dengan kasih sayang.[33]
Jadi, dari beberapa pandangan dan pendapat tokoh-tokoh di atas
dapat rumuskan fungsi pendidikan bagi manusia adalah:
a. Membantu manusia mengembangakn fitrah (potensi-potensi) yang
dimiliki manusia, agar ia mampu merawat tubuhnya serta memenuhi kebutuhan
hidupnya.
b. Membantu manusia untuk selalu aktif menggunakan akal agar ia
menjadi mansia yang bermoral.
c. Membantu manusia untuk mengembangkan kalbu yang sehat, agar keimananya semakin matap dan kuat.
d. Membantu manusia mengembangkan nafs (jiwa
manusia), agar melahirkan tingkah laku yang baik (postif).
e. Membantu mansia untuk menjadi insan
pariprna, yaitu insan yang mampu menjadi Abdullah sekaligus Khalifatullah.
C. Penutup
Untuk mengadapi tantangan-tantangan di atas sekaligus mencari
solusi terbaik dalam menghidupkan dan mengembangkan serta memberdayakan sistem
pendidikan Islam, baik secara proses maupun sebagai lembaga menurut Mastuhu,
diperlukan konsep-konsep baru yang strategis, sehingga pada gilirannya dapat
dikembangkan menjadi teori-teori yang teruji dan dapat dioperasionalkan di
lapangan. Dari pembahasan makalah di atas, penulis menyimpulkan:
Definisi pendidikan adalah pengalaman-pengalaman belajar terprogram
dalam bentuk pendidikan formal, non-formal, dan informal di sekolah, dan luar
sekolah, yang berlangsung seumur hidup yang bertujuan optimalisasi pertimbangan
kemampuan-kemampuan individu, agar dikemudian hari dapat memainkan pernanan
hidup secara tepat.
Dalam prespektif filsafat dan ilmu pendidikan Islam, terdapat tiga
aliran besar, yaitu Religius Konservatif, Religius Rasional, dan Pragmatis
Isntrumental. Sedangkan di dunia Barat berkembang empat aliran filsafat
pendidikan yaitu: Progresivisme, Esensealisme, Perenialisme, dan
Rekonstruksionisme. Selain itu, di dunia Barat juga berkembangan hukumnativisme, emperisme, dan konvergensi
yang dijadjikan landasan dalam pendidikan. Dari pandangan-pandangan aliran
pendidikan ini, maka dapat disimpulkan bahwa perbedakan pendidikan Islam daan
Barat adalah terletak pada: Sistem Ideologi, Sistem Nilai, dan Orientasi
Pendidikan
Adapun fungsi pendidikan
bagi manusia adalah:
a. Membantu manusia mengembangakn fitrah (potensi-potensi) yang
dimiliki manusia, agar ia mampu merawat tubuhnya serta memenuhi kebutuhan
hidupnya.
b. Membantu manusia untuk selalu aktif menggunakan akal agar ia
menjadi mansia yang bermoral.
c. Membantu manusia untuk mengembangkan kalbu yang sehat, agar keimananya semakin matap dan kuat.
d. Membantu manusia mengembangkan nafs (jiwa
manusia), agar melahirkan tingkah laku yang baik (postif).
e. Membantu mansia untuk menjadi insan
pariprna, yaitu insan yang mampu menjadi Abdullah sekaligus Khalifatullah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Syaibany, OmarMohammad Al-Toumy, Falsafah
Pendidikan Islam, Penerjemah: Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang,
1979.
Bakar, Usman Abu, Paradigma dan
Epistimologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: UAB Media, 2013.
Daud, Wan Mohd Nor Wan, Filsafat
Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, Bandung: Mizan, 2003.
Langgulung, Hasan, Manusia dan
Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: PT. Al Husan
Zikra, 1995.
Maragustam, Filsafat Pendidikan
Islam: Menuju pembentukan karakter menghadapi arus global, Yogyakarta:Kurnia
Kalam Semesta, 2016.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,
Jakarta: Kalam Mulia, 2015.
Mudyahardjo, Redja, Pengantar
Pendidikan: Sebuah studi awal tentang dasar-dasar pendidikan pada umumnya dan
pendidikan di Indonesia, Jakarta: Rajawali pers, 2010.
Shihab, M. Quraish, Membumikan
Al-Quran: Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, Bandung:
Mizan, 1995.
Tafsir, Ahmad, Filsafat
Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memanusiakan Manusia, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2014.
[1] Ahmad Tafsir, Filsafat
Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memanusiakan Manusia, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 41.
[2] Lihat
Hasbullah dalam Usman Abu Bakar, Paradigma dan Epistimologi Pendidikan
Islam, (Yogyakarta: UAB Media, 2013), hlm. 4.
[3] Lihat Mastuhu
dalam Usman Abu Bakar, hlm. 7.
[4] Lihat Mastuhu
dalam Usman Abu Bakar, hlm. 8.
[5] OmarMohammad
Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Penerjemah: Hasan
Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 130.
[6] Maragustam, Filsafat
Pendidikan Islam: Menuju pembentukan karakter menghadapi arus global, (Yogyakarta:Kurnia
Kalam Semesta, 2016), hlm. 61.
[7] Ibdi.,
Maragustam, hlm. 61.
[8] Lihat
Peorwardaminta dalam Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2015), hlm. 30
[9] Lihat M.
Ngalim Purwanto dalam Ramayulis, hlm. 30.
[10] Ramayulis, Ilmu
Pendidikan Islam, hlm. 30-31.
[11] Redja
Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan: Sebuah studi awal tentang dasar-dasar
pendidikan pada umumnya dan pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Rajawali pers,
2010), hlm. 3-11.
[12] Lihat Hasan
Langgulung dalam Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,hlm. 31.
[14] Ibid.,
Maragustam, hlm. 16.
[15] Ibid., Maragustam,
hlm. 17.
[16] Ibid., Ramayulis,
hlm. 33-34.
[17] Ibid., Maragustam,
hlm. 19.
[19] Ibid., Ramayulis,
hlm. 34.
[22] Ibid., Ahmad
Tafsir, hlm. 33.
[24]
Ibid., Maragustam, hlm. 180-189.
[25] Ibid.,
Maragustam, hlm. 103-14.
[26] Ibid., Ahmad
Tafsir, hlm. 11.
[27] Ibid., Ahmad
Tafsir, hlm. 11.
[28] OmarMohammad
Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Penerjemah: Hasan
Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 130.
[29] M. Quraish
Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan
masyarakat, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 69.
[30] Ibid., Maragustam,
hlm. 70-78.
[31] Hasan
Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta:
PT. Al Husan Zikra, 1995), hlm. 4.
[32] Ibid., Ahmad
Tafsir, hlm. 33.
[33] Ibid., Ahmad Tafsir, hlm. 36-37.
Komentar
Posting Komentar