ANALISIS FILOSOFIS TENTANG HEREDITAS, LINGKUNGAN, KEBEBASAN MANUSIA DAN HIDAYAH TUHAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


ANALISIS FILOSOFIS TENTANG HEREDITAS, LINGKUNGAN, KEBEBASAN MANUSIA DAN HIDAYAH TUHAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM



Disusun Oleh:
Anisa Intan Permata Sari
NIM: 17913023

Dosen Pengampu Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam:
Prof. Dr. H. Maragustam, MA.




A.    Latar Belakang
Pendidikan Islam pada hakikatnya bertujuan untuk mencetak generasi manusia yang sadar akan perannya sebagai khalifah di bumi, dan perannya sebagai hamba Allah yang semestinya mampu memegangi nilai-nilai agama dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupannya. Adapun komponen pendidikan ialah adanya pendidik, peserta didik, sarana dan prasarana, metode, dll[1]. Dalam hal ini pembahasan tentang pendidik maupun peserta didik mengarah pada pembahasan tentang konsep manusia.
Pada dasarnya manusia itu terlahir dalam keadaan fitrah atau suci. Manusia diciptakan Allah dengan bermacam-macam perbedaan, yang disebabkan karena perbedaan hereditas (keturunan) dari masing-masing orang tua. Manusia merupakan makhluk social yang selalu membutuhkan orang lain, lingkungan sekitar dan tidak bisa hidup sendiri. Manusia membutuhkan lingkungan sebagai sarana untuk mengembangkan dirinya. Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, lingkungan mempunyai peranan yang sangat penting. Manusia mempunyai kebebasan dalam melakukan segala hal, namun kebebasan itu haruslah kebebasan yang bertanggungjawab dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. Antara hereditas, lingkungan dan kebebasan merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Ketiganya mempunyai andil dalam penentuan nasib atau sikap seseorang[2].

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan hereditas?
2.      Apa yang dimaksud dengan lingkungan dan fungsinya?
3.      Bagaimana kedudukan manusia?
4.      Bagaimana hakikat kehidupan?
5.      Bagaimana hubungan antara hereditas, lingkungan dan kebebasan?

C.    Pembahasan
1.      Hakikat Heriditas
Menurut Morris L. Bigge (1982) bahwa sifat dasar atau bawaan dasar moral adalah baik, jelek, atau netral sedangkan hubungan manusia dengan lingkungannya bersifat aktif, pasif, dan interaktif. Dari konsep ini berlanjut dengan lahirnya hukum empirisme, nativisme, dan konvergensi[3].
a.       Teori (hukum) Empirisme
Teori empirisme ini mengatakan bahwa perkembangan dan pembentukan manusia itu ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan, termasuk pendidikan. Adapun tokoh pelopor empirisme ialah John Locke (1632-1704) yang dikenal dengan teori “tabularasa” atau empirisme. Menurut teori tabularasa, bahwa tiap individu lahir sebagai kertas putih, dan lingkungan itulah yang memberi corak atau tulisan dalam kertas putih tersebut. Bagi John Locke pengalaman yang berasal dari lingkungan itulah yang menentukan pribadi seesorang.
b.      Teori (hukum) Nativisme
Teori ini dipelopori oleh Athur Schopenhauer (1788-1860) yang mengatakan bahwa perkembangan pribadi hanya ditentukan oleh bawaan (kemampuan dasar), bakat serta faktor-faktor endogen yang bersifat kodrati. Proses pembentukan dan perkembangan pribadi menurut aliran empirisme ditentukan oleh faktor bawaan ini, yang tidak dapat diubah oleh pengaruh alam sekitar atau pendidikan. Menurut Syam, bahwa aliran nativisme bersifat pesimistik, karena menerima kepribadian sebagaimana adanya, tanpa kepercayaan adanya nilai-nilai pendidikan untuk merubah kepribadian.
c.       Teori (hukum) Konvergensi
Teori konvergensi yang dipelopori oleh William Stern (1871-1938) ini, mengatakan bahwa perkembangan manusia itu berlangsung atas peengaruh dari faktor-faktor bakat atau kemampuan dasar (endogen atau bawaan) dan faktor alam sekitar (eksogen atau ajar) termasuk pendidikan dan sosial budaya. Karena dalam kenyataan bahwa kemampuan dasar yang baik saja, tanpa dibina oleh alam lingkungan terutama lingkungan sosial termasuk pendidikan tidak akan dapat mencontek pribadi yang ideal. Sebaliknya, lingkungan yang baik terutama pendidikan, tetapi tidak didukung oleh kemampuan dasar tadi, tidak akan menghasilkan kepribadian yang ideal. Oleh karena itu, perkembangan pribadi sesungguhnya adalah hasil persenyawaan antara faktor endogen dan eksogen[4].

Heriditas merupakan kecenderungan alami yang cabang-cabangnya untuk meniru sumber mulanya dalam komposisi fisik dan psikologi. Ahli heriditas lainnya menggambarkan sebagai penyalinan cabang-cabang dari sumbernya (Baqir sharif al-qarashi, 2003). Paling tidak ada tiga teori tentang heriditas yakni heriditas partiality, coalition, dan association. Heriditas dengan (1) Pernikahan (partiality) yakni anak yang lahir mewarisi salah satu dari dua sumber aslinya secara keseluruhan atau sebagian besar sifat-sifatnya. Misalnya, anak laki-laki menerima semua sifat fisik serta mental dari ayahnya, bukan dari ibunya. (2) Cara penyatuan (coalition) yakni sifat anak tidak menyalin cabang-cabang dari sumber aslinya. Anaknya tidak menanggung sifat-sifat fisik yang sama dengan kedua orangtua mereka, dan mungkin anak menyalin sifat dari kakeknya, baik dari pihak ibu maupun ayahnya. (3) cara penggabungan (association) yakni anak menyalin salah satu sifat tertentu dari sumber aslinya, seperti dari ayah dan menyalin sifat lain dari sang ibu. Seperti anak yang mungkin menerima kecerdasan dan tinggi badan dari sang ayah, namun wajah dan mata dari sang ibu[5].
Bawaan atau heriditas memiliki peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Ia lahir membawa berbagai ragam warisan yang berasal dari kedua ibu-bapak atau kakek-nenek. Warisan atau turunan  tersebut yang terpenting, antara lain [6]:
a.       Bentuk Tubuh dan Warna Kulit
Salah satu warisan yang dibawa oleh anak sejak lahir adalah mengenai bentuk tubuh dan warna kulit. Misalnya ada anak yang memiliki bentuk tubuh gemuk seperti ibunya, wajah seperti bapaknya, rambut kering dan warna kulit putih seperti ibunya.
b.      Intelegensi        
Intelegensi didefinisikan sebagai keseluruhan kemampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif. Intelegensi seseorang dapat diketahui secara lebih tepat dengan menggunakan tes intelegensi. Ukuran intelegensi dinyatakan dalam IQ (Intelligence Quotient).



c.       Bakat
Bakat merupakan kemampuan khusus yang menonjol di antara berbagai jenis kemampuan yang dimiliki oleh seseorang. Kemampuan khusus itu biasanya berbentuk keterampilan atau suatu bidang ilmu.
d.      Sifat
Sifat-sifat yang dimiliki oleh seseorang adalah salah satu aspek yang diwarisi dari ibu, ayah, atau kakek dan nenek. Bermacam-macam sifat yang dimiliki manusia, misalnya: penyabar, pemarah, kikir, pemboros,hemat dan lain sebagainya. Sifat-sifat tersebut dibawa manusia sejak lahir. Ada yang dapat dilihat atau diketahui selagi kecil dan ada pula yang diketahui sesudah ia besar. Misalnya sifat keras (pelawan atau bandel) sudah dapat dilihat sewaktu anak masih berumur kurang dari satu tahun, sedangkan sifat pemarah baru dapat diketahui setelah anak lancer berbicara, yaitu sekitar 5 tahun. Sifat atau tabiat berbeda dengan kebiasaan. Sifat sangat sukar diubah, sedangkan kebiasaan dapat diubah setiap saat bila dikehendaki dengan sungguh-sungguh. Kebiasaan meminum minuman keras, mabuk, main judi, dan sebagainya bisa diubah dan dibuang dari diri seseorang.
e.       Penyakit
Beberapa penyakit bisa berasal dari turunan, seperti penyakit kebutaan, syaraf, dan luka sulit kering (darah keluar terus, hemopili). Penyakit yang dibawa sejak lahir akan terus mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak.
Dan selanjutnya ada prinsip-prinsip heriditas seperti yang ditulis oleh Ki RBS. Fudyartanto (2002) ada empat, yakni prinsip reproduksi, prinsip konformitas, prinsip variasi, dan prinsip filial.
1)      Prinsip Reproduksi
Heriditas yang diturunkan kepada anak oleh orangtuanya menurut prisip ini adalah berbeda satu dengan yang lain. Antara orang tua dengan keturunannya (anak) mempunyai ciri-ciri yang berbeda. Misalnya, kepandaian anak berbeda dengan kepandaian orang tuanya. Kepandaian atau bakat yang diperoleh anak berasal dari belajar bukan dari sel-sel benih yang diturunkan oleh kedua orangtuanya.
2)      Prinsip konformitas
Berdasarkan prinsip konformitas setiap jenis atau golongan (spesies) akan menghasilkan jenisnya sendiri bukan jenis yang lain. Contohnya jenis manusia pasti akan menghasilkan jenis manusia bukan yang lain. Tegasnya, antara anak dan orangtua (ayah, ibu) bisa saja mempunyai persamaan, namun tetap diantara  anak dan orangtua mempunyai perbedaan. Pada prinsip konformitas ditilik dalam satu jenis mempunyai persamaan-persamaan yang besar dan mencolok.
3)      Prinsip variasi
Prinsip ini memberikan landasan berpikir bahwa sel-sel benih (germsel) berisi banyak determinan yang mempunyai mekanisme percampuran atau perpaduan sehingga menghasilkan perbedaan-perbedaan individual. Oleh karena itu, dapat dipahami anak sebagai keturunan dari orang tuanya. Tetapi, ada pula anak yang tidak menyerupai orangtuanya. Variasi yang terjadi pada anak tersebut umumnya lebih tampak dari orangtua yang terdekat, misalnya dari ayah atau ibunya dibandingkan dengan kakek atau neneknya.
4)      Prinsip regresi filial
Prinsip regresi filial adalah bahwa sifat-sifat dari orangtuanya akan menghasilkan keturunan dengan kecenderungan pada sifat rata-rata pada umumnya[7].
Ditinjau dari berbagai ayat dalam Alquran dan hadis yang ada, memberikan indikasi kuat bahwa faktor heriditas akan diwarisi atau ditiru oleh keturunannya. Ilmu yang membahas tentang heriditas telah menetapkan, bahwa anak akan mewarisi sifat-sifat dari kedua orang tuanya, baik moral (al-khalgiyalh), kinestetik (ai-jismiyah) maupun intelektual (al- agliyah). Dari sisi lain dapat dipahami juga bahwa, baik faktor heriditas maupun faktor lingkungan secara signifikan membentuk kepribadian manusia. Namun harus di ingat pula bahwa kehendak bebas manusia akan mampu mengalahkan dua pengaruh tersebut atas pertolongan Allah (bi ma'unatillah) sekalipun hal ini dilupakan oleh ulama (Al-Azim, 1073)[8].
Islam mengakui keberadaan pengaruh heriditas dan alam lingkungan baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial dalam pembentukan kepribadian manusia. Namun kedua faktor yakni endogen (heriditas) dan eksogen (alam lingkungan) tersebut tidaklah berjalan secara otomatis. Artinya, sekalipun seseorang berada pada lingkungan sekitar yang baik dan heriditasnya baik, belum tentu ia menjadi baik pula. Sebaliknya, sekalipun seseorang berada dalam lingkungan yang jelek dan heriditasnya kurang baik, mungkin saja ia menjadi baik. Karena dengan kehendak bebas manusia dan kemampuannya sesuai dengan batas kemanusiaannya akan dapat mengalahkan dua faktor pengaruh tersebut atas pertolongan Allah dan hidayah Allah. Adapun maksud dari hidayah ialah sesuatu yang ditetapkan dan dihujamkan dalam kalbu seseorang yakni iman (Muhammad Alial-Shabuni, 2004). Apa yang diketahui oleh manusia tentang hukum-hukum alam (sunnatullah) termasuk heriditas dan alam lingkungan tentu sifatnya nisbi (masih bersifat mungkin) bukanlah suatu kepastian dan absolut. Aapaun kebenaran yang absolut dan pasti sebenarnya hanyalah kebenaran yang datang dari Allah.
Dengan demikian, pendidikan Islam bersandar pada tiga nilai dasar asasi yang saling berpengaruh dalam proses pembentukan kepribadian manusia, yaitu tabiat individu, seperti kapasitas akal, kalbu, nafs, fisik dan lain-lain. Faktor lingkungan baik lingkungan alam maupun sosial, teristimewa lingkungan sosial; dan faktor kehendak bebas manusia merespon dirinya, dan lingkungannya. Tiga faktor berada dalam kawalan pertolongan dan hidayah Allah. Kepribadian seseorang tidak lain merupakan hasil interaksi antara tabiat kemanusiaannya, kehendak dan kemauan bebasnya dan faktor lingkungan sosialnya[9].

2.      Hakikat Lingkungan
Dalam Al-qur’an tidak mengemukakan penjelasan mengenai lingkungan pendidikan islam, kecuali lingkungan pendidikan islam yang dalam praktek sejarah digunakan sebagai tempat berlangsungnya kegiatan pendidikan, antara lain yaitu dirumah, masjid, sanggar kegiatan para sastrawan, madrasah, dan universitas[10].
Adapun makna secara sempit dari lingkungan adalah alam sekitar diluar diri manusia atau individu. Lebih luas lagi, lingkungan mencakup segala material dan stimuli di dalam dan di luar diri individu, baik yang bersifat fisiologis, psikologis, maupun sosio-kultural.  Dengan demikian, lingkungan dapat diartikan secara[11]:
a.       Fisiologis, lingkungan meliputi segala kondisi dan material jasmaniah di dalam tubuh, seperti gizi, vitamin, air, zat asam, dan sebagainya.
b.      Psikologis, lingkungan mencakup segenap stimulasi yang diterima oleh individu mulai sejak zaman konsesi, kelahiran sampai matinya.
c.       Sosio-kultural, lingkungan mencakup segenap stimulasi, interaksi dan kondisi eksternal dalam hubungannya dengan perlakuan ataupun karya orang lain.
Secara garis besar, lingkungan dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: Lingkungan fisik, yaitu lingkungan yang berupa alam, misalnya keadaan tanah, keadaan musim, dan sebagainya. Lingkungan alam yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda pula pada individu.  Lingkungan sosial, yaitu merupakan lingkungan masyarakat yang ditandai dengan adanya interaksi individu yang satu dengan individu yang lain.
Kemudian dengan adanya perkembangan zaman, institusi lembaga pendidikan disederhanakan menjadi lingkungan sekolah dan lingkungan luar sekolah yang termuat dalam Undang-undang SisDikNas nomor 20 tahun 2003[12]. Adapun pandangan Al-Qur’an terhadap keberadaan lembaga pendidikan serta fungsinya adalah sebagai berikut:[13].
a.       Satuan Pendidikan Luar Sekolah adalah keluarga yang berlangsung dirumah. Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang terdiri dari orang yang berada dalam seisi rumah yang sekurang-kurangnya terdiri dari suami dan istri. Banyak syarat yang perlu dipersiapkan dalam membangun keluarga. Dengan  syarat tersebut diharapkan keluarga dapat memainkan perannya dalam membina masa depan putra-putrinya secara berkualitas.seperti yang telah disinggung oleh Ki Hajar Dewantara bahwasaanya alam keluarga itu buat tiap-tiap orang adalah alam pendidikan yang permulaan. Pendidikan disitu pertama kali didapat dari orang tua yang berperan sebagai guru, pengajar, dan sebagai pemimpin pekerjaan atau pemberi contoh. Selain peran keluarga, rumahpun juga berperan penting dalam pendidikan. Banyak sekali fungsinya diantaranya adalah sebagai tempat ibadah, tempat tinggal keluarga, tempat menyelenggarakan kegiatan, dll. Dengan demikian secara normatif, keluarga dan rumah berperan sebagai lingkungan pendidikan yang pertama.
b.      Lingkungan Pendidikan Luar Sekolah. Dalam hal ini sekolah tidak dipersoalkan lagi keberadaannya. Sekolah disini merupakan perkembangan lebih lanjut dari keberadaan masjid. Dalam hal ini menunjukkan bahwa keberadaan madrasah sebagai tempat belajar atau tempat mempelajari sesuatu sejalan dengan semangat Al-Qur’an yang senantiasa menunjukkan kepada umat manusia agar mempelajari sesuatu.
c.       Lingkungan Masyarakat. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang keberadaan hidupnya tidak dapat menyendiri, melainkan membutuhkan masyarakat dalam pertumbuhan dan perkembangan kemajuannya yang dapat meninggikan kualitas hidupnya. Kebutuhan manusia diperlukan dari masyrakat tidak hanya bidang material, spiritual termasuk ilmu pengetahuan, pengalaman, ketrampilan, dll. Dengan demikian dapat difahami bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan pendidikan manusia membutuhkan adanya lingkungan sosial masyarakat.

3.      Kedudukan Manusia
Adapun istilah manusia selalu dikaitkan dengan tema bahasa arab yang antara lain: “insan”, “basyar”, dan “an-naas”. Penyebutan manusia juga seringkali dikaitkan dengan istilah-istilah yang melekat padanya, yaitu manusia sebagai makhluk sosial (homo socius), manusia sebagai mahkluk yang bertuhan, manusia sebagai hewan yang berbicara (hayawan al-naatiq), manusia sebagai makhluk yang memerlukan pendidikan (homo educandum), dan manusia sebagai makhluk yang dapat mendidik (homo educandus). Adapun peran manusia dalam perspektif Pendidikan Islam dinyatakan dengan tanggung jawabnya sebagai khalifah atau pemimpin di muka bumi ini. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an (QS. Al-An’am: 165 dan QS. Al-Baqarah: 30)[14].
Berkenaan dengan konsep manusia sebagai khalifah, manusia diciptakan dengan membawa seperangkat potensi dalam dirinya. Hal ini dilandaskan pada sebuah asumsi bahwa ketika manusia diberikan beban dan tanggung jawab untuk “memimpin” apa yang telah diciptakan di bumi, maka sudah tentu Allah memberikan kelebihan sebagai bekal untuk mengelola bumi. Bekal itulah yang dinamakan potensi. Sesuai dengan firman Allah yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan membebani seseorang di luar batas kemampuannya”, yang ditarik dalam lingkup lebih luas lagi, maka tentunya Allah juga tidak mungkin membebani tanggung jawab khalifah pada manusia tanpa menganugrahkan pada manusia kemampuan untuk mengemban amanat tersebut. Sebagaimana dalam firman Allah pula dalam QS. Al-Baqarah: 31-32. Dalam ayat tersebut memberikan penjelasan mengenai salah satu potensi yang diberikan Allah kepada manusia, yaitu pengetahuan. Secara implisit melalui ayat tersebut disampaikan mengenai kelebihan manusia dibanding makhluk lain yang dalam ayat ini mengarah pada malaikat. Berdasarkan asumsi tersebut, maka tugas sebagai khalifah tidak dibebankan pada malaikat yang meskipun notabennya  diciptakan dari nur (cahaya), tapi dibebankan pada manusia sebagai pengelola tunggal di bumi yang ditempatinya. Dengan demikian, kedudukan manusia disamping sebagai khalifah yang memiliki kekuasaan mengolah alam, sekaligus juga sebagai ‘abd yaitu seluruh usaha dan aktivitasnya harus dilaksanakan dalam rangka beribadah hanya kepada Allah[15].

4.      Hakikat Kehidupan
Hubungan manusia dengan kehidupan menurut Majid Irsan ialah hubungan ibtila’ yang berarti al-imtihan (ujian). Adapun ujian yang dimaksud disini dibagi menjadi tiga, yaitu: 1) ujian yang berkaitan dengan agama, 2) ujian yang berkaitan dengan kemasyarakatan, dan 3) ujian yang berkaitan dengan alam. Ujian disini dapat berupa kebaikan dan kesukacitaan atau kejelekan dan kesusahan. Kemampuan seseorang menghadapi ujian akan dikatakan lulus, jika ia bertambah kualitas hidup dan spiritualnya. Sebaliknya, dinyatakan gagal jika ia tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik kualitas hidup dan spiritualnya. Perjalanan kualitas spiritual manusia berproses mengikuti gelombang kehidupan yang syarat dengan ujian. Dalam menghadapi ujian tersebut manusia menampilkan respon yang bervariasi. Golongan pertama, seseorang menikmati kesenangan hidup atau menerima kesusahan hidup disertai dengan pendakian dan peningkatan spiritual kepada Tuhan. Golongan kedua, seseorang menikmati kesenangan hidup atau menjalani kesusahan hidup didunia disertai dengan larut didalamnya bahkan tanpa memperdulikan nilai-nilai agama dalam menghadapi ujian tersebut[16]. Aktivitas di dunia bagi golongan ini sebagai kesenangan sesaat di dunia yang tanpa makna hingga lupa bahwa tugasnya di muka bumi ini sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah. Dan mereka menjadikannya tujuan akhir bukan sebagai sarana menuju kehidupan yang abadi yakni kehidupan akhirat.
Dalam hal ini, Jeffrey Lang membagi manusia menjadi tiga kelompok yaitu: 1) golongan paling beriman, yaitu mereka yang paling baik dalam ketundukan kepada Tuhan dan mereka didekatkan kepada Tuhan., 2) golongan kanan yaitu orang yang beramal cukup baik didunia tetapi tidak mencapai keunggulan golongan paling beriman. 3) golongan kiri yaitu orang yang gagal dalam mengarungi kehidupan dan akan mendapat azab siksa diakhirat. Dengan demikian kehidupan dunia merupakan unsur pokok skema Tuhan yang menguji manusia secara terus menerus. Ujian disini akan berguna apabila yang diuji mampu mengambil pelajaran dari apa yang telah ia alami dan akhirnya menemukan solusi memperbaiki dirinya dalam menghadapi ujian-ujian berikutnya.
Dari berbagai keterangan yang ada, hakikat pandangan islam tentang kehidupan dirangkum sebagai berikut:
a.       Hakikat kehidupan di dunia sebagai sarana mencari bekal menuju akhirat dan tempat tinggal sementara, bukan tempat yang abadi.
b.      Kehidupan ini sebagai ujian dan laboratorium serta pendidikan bagi manusia.
c.       Tujuan ujian adalah untuk mengetahui tingkat kualitas manusia sebagai hamba dan sekaligus sebagai khalifah.
d.      Setiap perilaku manusia menghadapi gelombang ujian ini akan dipertanggung jawabkan baik didunia maupun diakhirat.
e.       Hasil akhir dari perjalanan hidup manusia menghadapi ujian sangat bervariasi dan hasil konkretnya ada di hari pembalasan segala amal.
f.       Hubungan manusia dengan kehidupan dunia ialah hubungan ujian dan pembelajaran, sedangkan dengan kehidupan akhirat ialah hubungan pertanggung jawaban dan pembalasan.

5.      Hubungan antara Heriditas, Lingkungan dan Kebebasan
Dapat disimpulkan secara sederhana bahwa faktor internal yaitu heriditas mempunyai peran dan pengaruh yang kuat dalam menentukan potensi seseorang. Baik didalam Al-Qur’an maupun hadits juga telah menyebutkan beberapa penjelasan tentang hal tersebut. Ilmu yang membahas tentang heriditas menetapkan bahwa anak mewarisi sifat-sifat orang tuanya, baik secara moral (al-khalqiyah), kinestetik (al-jismiyah), maupun intelektual (al-aqliyah), sejak masa kelahirannya, namun ternyata harus diakui bahwa faktor heriditas tidak selalu berjalan otomatis[17].
Keterbatasan dan ketidakleluasaan faktor heriditas dikarenakan manusia juga diberikan kebebasan dalam bertindak mengikuti kematangan usianya beranjak dewasa. Allah memberikan keleluasaan pada manusia berupa kehendak yang bebas, dan atas pertolongan Allah SWT (bi maunatillah) kebebasan tersebut bisa mengalahkan faktor heriditas ataupun lingkungan secara murni. Maksud dari keterbatasan faktor heriditas tersebut sebagaimana dicontohkan dalam hikmah dari kisah Nabi Nuh as dan anaknya yang bernama Kan’an. Jika dilihat dalam perspektif hukum heriditas, tentunya sangat mustahil ketika seorang nabi dan rasul yang tentunya berperangai mulia sehingga menjadi pilihan Allah untuk menyeru kebaikan kepada umatnya, tapi ternyata anak kandungnya sendiri ingkar terhadap Allah dan tidak mau mengikuti ajakan baik ayahnya. Berkebalikan dengan kisah Kan’an yang ingkar, kisah lain adalah tentang Azir ayah nabi Ibrahim as yang juga musyrik. Seorang ayah musyrik namun anaknya bisa menjadi seorang nabi dan juga rasul. Berdasarkan dari kisah-kisah tersebut, dapat kita simpulkan sederhana bahwa ternyata tidak selamanya faktor heriditas menjadi faktor utama dalam pembentukan kepribadian maupun potensi. Allah memberikan porsi lain dalam membentuk mahkluk ciptaan-Nya yaitu salah satunya adanya faktor lain yang juga berperan besar, yaitu lingkungan.
Lingkungan dalam pandangan Islam merupakan elemen yang signifikan dalam pembentukan personalitas serta pencapaian keinginan-keinginan individu dalam kerangka umum peradaban, dan disadari atau tidak, masyarakat cenderung mengikuti kebiasaan yang ada di sekitar. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh faktor lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Pengaruh lingkungan juga digambarkan pula permisalannya dalam Al Qur’an yang artinya “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur. (QS. Al-A’raf: 58)”.
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa tidak hanya faktor heriditas saja yang berpengaruh dalam perkembangan individu, namun lingkungan juga turut andil. Jika dicermati keduanya sebenarnya mempunyai porsi yang seimbang dalam pembentukan karakter individu, heriditas seseorang sebagai potensi dasar yang dibawa sejak lahir tentunya dimiliki oleh setiap orang, tanpa terkecuali. Hal itu merupakan fitrah bagi setiap manusia, selanjutnya potensi bawaan itu ditumbuh kembangkan secara optimal melalui kontribusi lingkungan, yaitu pendidikan. Disinilah nantinya akan terlihat bahwa dua faktor tersebut sebenarnya tidak dapat dipisahkan. Itulah hakikat proses pendidikan sepanjang hayat, sejak dalam kandungan (heriditas) sampai ke liang lahat (proses interaksi dengan lingkungan). Maka, itu juga yang dimaknai dengan kebebasan bagi tiap individu.
Pembahasan mengenai kebebasan manusia dalam mengembangkan potensinya terkait pula dengan aliran yang muncul pada masa peradaban Islam klasik, yaitu kedua aliran yang bertentangan Jabariyah dan Qadariyah. Aliran Qadariyah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan atas kehendak dan perbuatannya, sehingga apapun keadaan yang dialami oleh setiap manusia adalah murni takdir Allah dan manusia tinggal merelakannya. Hal ini berbeda dengan konsep kebebasan yang dikemukakan oleh aliran Qadariyah. Aliran ini berkeyakinan bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya. Manusia bebas berkehendak dan menentukan pilihan untuk menjadi apa dan hidup seperti apa. Dari segi perbuatan, aliran ini membagi gerak manusia ke dalam dua bagian yaitu, gerak sadar (harakah ikhtiyariyyah) dan gerak tidak sadar (harakah idhtiariyah). Pada hakikatnya, manusia diberi kebebasan atau kemerdekaan untuk berikhtiar mengembangkan alat-alat potensial dan potensi-potensi dasar atau fitrah manusia tersebut, namun demikian dalam pertumbuhan dan perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari adanya batas-batas tertentu yang menjadi hukum alam[18] atau sunnatullah. Hukum tersebut adalah hukum yang pasti menguasai alam, hukum yang menguasai segala hal yang diciptakan di dunia ini, terutama manusia, namun hukum tersebut tidak tunduk pada kemauan manusia. Hukum inilah yang dinamakan “Taqdir”, yaitu berupa kepastian-kepastian umum sebagai batas akhir dari ikhtiar (usaha) manusia.
Kebebasan yang diberikan Allah kepada manusia ditegaskan pula dalam Al- Qur’an yang artinya: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia” (QS. Ar-Ra’d: 11). Ayat di atas menjelaskan dengan sempurna bahwa Allah menjamin “perubahan” suatu kaum selama mereka sendiri yang mengusahakan perubahan tersebut. Disinilah letak kebebasan yang diberikan Allah pada manusia, dengan adanya hukum kausalitas yang secara universal kita pahami bahwa “siapa yang berusaha dan bersungguh-sungguh, pasti akan berhasil”, yang dalam jargon aran sering kita dengar dengan ungkapan “Man Jadda Wajada”. Meskipun demikian, Allah kembali menegaskan melalui batasan usaha tersebut melalui kalimat “. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya,”. Ungkapan tersebut menunjukkan sebuah makna ketentuan Allah yang tidak bisa diganggu gugat yaitu dibuktikan dengan adanya takdir Allah. Hal ini mengindikasikan bahwa setiap keinginan manusia patut dan harus diperjuangkan dengan usahanya, namun dia tetap tidak boleh melalaikan Tuhan sebagai penentu terakhir dari usahanya, yaitu takdir keberhasilan atau kegagalan. Itulah pentingnya sebuah rangkaian proses (usaha, doa, tawakkal) dalam setiap pencapaian keinginan. Jabatan manusia sebagai khalifah merupakan gambaran ideal yang mengindikasikan maksud bahwa sudah seharusnya manusia menentukan nasibnya sendiri baik sebagai kelompok masyarakat maupun sebagai individu. Manusia mempunyai tanggung jawab yang besar, karena adanya potensi dasar yang besar dan kemampuan untuk mengembangkannya. Maka benar bila ada pepatah yang mengatakan bahwa “Kekuatan yang besar akan menuntut tanggung jawab yang besar”, karena segala potensi yang telah diberikan Allah tersebut pada hakikatnya merupakan bekal kekuatan yang besar pada diri manusia. Manusia yang mau menyadari eksistensi dirinya dan siapa dirinya maka sesungguhnya dia telah bisa mengenal Tuhannya. Penyadaran tersebut akan mengarahkan manusia menjadi manusia ideal, yaitu manusia yang mampu mengaktualisasikan sifat-sifat ketuhanan dalam dirinya dan dapat mengendalikan sifat-sifat rendah.

D.    Kesimpulan
Berbagai ahli pendidikan, psikologi, biologi, sampai saat ini masih memperdebatkan mengenai faktor yang paling mempengaruhi dalam perkembangan manusia, yaitu heriditas dan lingkungan. Beberapa mengganggap heriditas adalah yang paling unggul, sedangkan yang lain berpendapat bahwa pendidikan dalam arti lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat besar. Pada akhirnya sebuah aliran muncul untuk menengahi kedua pertentangan tersebut, yaitu aliran konvergensi. Aliran konvergensi berupaya memadukan kedua faktor tersebut dalam perkembangan manusia, terutama dalam pembentukan kepribadian maupun potensi. Potensi dasar sesungguhnya merupakan fitrah yang dimiliki oleh setiap manusia sejak lahir, dan setelah itu lingkungan yang berperan menumbuhkembangkan potensi tersebut secara maksimal. Sehingga keduanya tidak dapat saling dipisahkan demi mencapai hasil yang maksimal. Berdasarkan kedua hal tersebut, Allah pada hakikatnya memberikan kebebasan bagi manusia untuk “memilih” dan “berusaha”, tidak selalu hanya bergantung pada pembawaan, karena tanpa usaha, maka heriditas tersebut juga sama saja tidak dapat maksimal berkembang. Bentuk kebebasan tersebut dijamin oleh Allah melalui firman-Nya, namun tetap dibatasi oleh takdir Allah sebagai penentu hasil dari usaha yang dilakukan. Maka benar jika ada sebuah ungkapan “Orang baik tidak selamanya baik, begitupun orang yang buruk tidak selamanya buruk”. Disinilah letak keadilan Allah pada seluruh makhluknya.

Daftar Pustaka
Mahmud, “Pemikiran Pendidikan Islam”, 2011. Bandung: Pustaka Setia.
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam. 2004. Bandung: PT Rosdakarya.
Nata, Abuddin., Filsafat Pendidikan Islam”, 2005. Ciputat : Gaya Media Pratama.
Ridha, Arif, “Kebebasan Dalam Pendidikan Islam”, e-journal stitahlussunnah abstract.
Siregar, Maragustam. Filsafat Pendidikan Islam. 2010. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta.
Puspitasari, Diyah., “Hakikat Hereditas,Lingkungan Dan Kebebasan Manusia”, E-Learning.



[1] Arif Ridha, “Kebebasan Dalam Pendidikan Islam”, e-journal stitahlussunnah abstract, hlm. 61.
[2] Diyah Puspitasari, “Hakikat Hereditas,Lingkungan Dan Kebebasan Manusia”, E-Learning.
[3] Maragustam, ” Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukkan Karakter Menghadapi Arus Global”, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta.,2014, hlm. 100-101.
[4] Ibid, hlm. 103-104
[5] Ibid, hlm.102
[6] Diyah Puspitasari, “Hakikat Hereditas,Lingkungan Dan Kebebasan Manusia”, E-Learning.
[7] Ibid, hlm 103-104.
[8] Ibid, hlm 104-106.
[9] Ibid, hlm 109-110.
[10] Abuddin nata, “Filsafat Pendidikan Islam”, Ciputat : Gaya Media Pratama., 2005, hlm 163.
[11] Maragustam, ” Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukkan Karakter Menghadapi Arus Global”, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta.,2014, hlm 106.
[12] Abuddin nata, “Filsafat Pendidikan Islam”, Ciputat : Gaya Media Pratama., 2005, hlm 165.
[13] Ibid, hlm 164-173.
[14] Abuddin Nata,Filsafat Pendidikan Islam, (Gaya Media Pratama: Jakarta. 2005), hlm 88-90.
[15] Abuddin Nata,Filsafat Pendidikan Islam, (Gaya Media Pratama: Jakarta. 2005), hlm 93.
[16] Maragustam, ” Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukkan Karakter Menghadapi Arus Global”, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta.,2014, hlm 112-113.
[17] Maragustam Siregar, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global”. Kurnia Alam Semesta: Yogyakarta, Hlm. 102
[18] Muhaimin, “Paradigma Pendidikan Islam, 2004. Bandung: PT Rosdakarya , Hlm. 19.

Komentar