PENDIDIKAN DAN NEPOTISME PADA ZAMAN
KHALIFAH USMAN BIN AFFAN
Oleh:
Imam Satria
MAKALAH PRAREVISI
Pemikiran dan Peradaban
Islam
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Sejarah Pendidikan Nabi
terbagi menjadi dua fase, yaitu fase Mekah dan fase Madinah. Dakwah nabi lebih
diterima di Mekkah daripada Madinah karena memang kota Madinah merupakan kota
yang menjunjung tinggi nilai kedamaian, sesuai dengan ajaran Nabi yang
berasaskan pada kedamaian hidup manusia.
Awal mula penyebaran
agama Islam dimulai dari keluarga terdekat, Khadijah istri rasululllah,
kemudian putera pamannya Ali bin Abi Thalib dan Zaid nin Haritssah , anak
angkat beliau. Setelah itu Rasulullah menyerukan Islam kepada sahabat karibnya
Abu Bakar. Abu bakar telah mengetahui bagaimana sikap luar biasa Rasul,
Rasulullah mendapat gelar Al-Amin yang berarti beliau sangat bisa dipercaya
sehingga dengan serta merta Abu Bakar pun langsung mengikuti jejak Nabi
Muhammad SAW.
Abu bakar merupakan
orang yang berjasa dalam penyiaran agama Islam dan banyak orang masuk islam
dengan perantara beliau, Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa'ad bin Abi
Waqqash, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidah bin Jarrah,
Arqam bin Abil Arqam, Fatimah binti Khattab (adik Umar bin Khattab (adik Umar
bin Khattab) serta suaminya Said bin Zaid Al Adawi dan beberapa orang penduduk
Mekah lainnya dari kabilah Quraisy. Mereka mendapat gelar "Ashshabiqunal
Awwalun", artinya orang-orang terdahulu dan pertama-tama masuk Islam.
Nabi Muhammad SAW wafat
di kota Yastrib setelah beliau hijrah dari Mekkah. Beliau telah sempurna
mengajarkan agama Islam di dunia, sehingga tidak ada keraguan lagi dalam agama
Islam. Setelah beliau wafat baik pendidikan Islam maupun ketetanegaraan
kemudian dilanjutkan oleh sahabat-sahabatnya.
Pendidikan di kalangan
umat Muslim merupakan hasil dari cinta dan pengabdian mereka kepada Islam,
sedangkan motivasi untuk belajar didorong oleh Al-Qur’an dan hadits serta persepsi dari Nabi Muhammad.
Pemerintahan setalah
nabi Muhammad wafat era 4 sahabat nabi (Abu Bakar As-shidiq, Umar bin Khattab,
Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib) disebut dengan khulafaur rasyidin.
dalam makalah ini akan
sedikit doibahas tentang pendidikan di zaman Usman bi Affan dan kendala ketika
usman di tudh melakukan nepotisme.
B.
RUMUSAN
MASALAH
2. apakah
pada zaman Usman terjadi praktek Nepotisme ?
C.
PENDIDIKAN
DAN NEPOTISME DI ZAMAN USMAN BIN AFFAN
1.
PENDIDIK
Yang menjadi
pendidik di zaman Khulafaur Rasyidin
antara lain adalah Abdullah ibn Umar, Abdu Hurairah , Ibnu Abas, Siti Aisyah ,
Anas bin Malik, Zaid Ibn Tsabit, Abu Dzar al-Ghifari dan para ulama.[1]
Dari penjelasan tersebut dapat terlihat bahwa masih adanya peranan beberapa
sahabat dan para ulama. Tetapi ada yang berbeda dari pendidik pada masa Utsman
ini.
Para sahabat yang
berpengaruh dan dekat dengan Rasulullah yang tidak diperbolehkan meninggalkan
Madinah di masa Khalifah Umar, diberikan kelonggaran untuk keluar di
daerah-daerah yang mereka sukai. Kebijakan ini sangat besar pengaruhnya bagi
pelaksanaan pendidikan di daerah-daerah.[2]
Tugas mendidik dan
mengajar umat pada masa ini diserahkan pada umat itu sendiri, artinya
pemerintah tidak mengangkat guru-guru, dengan demikian para pendidik sendiri
melaksanakan tugasnya hanya dengan mengharapkan keridhaan Allah. Jadi pada masa
Khalifah ini guru-guru atau pendidik mengajar tidak mengharapkan imbalan
melainkan keikhlasan dan juga kualifikasi kemampuan. Berbeda sekali dengan
zaman sekarang yang terkadang sebagian guru lebih mementingkan upah daripada
kualitas dirinya. Selain itu adanya kesadaran dari pada guru untuk mengamalkan
dan mengajarkan ilmunya meskipun tidak adanya tuntutan dari pemerintah. Dari
dimensi sosial budaya, ilmu pengetahuan berkembang dengan baik. Pertumbuhan dan
perkembangan ilmu pengetahuan erat kaitannya dengan perluasan wilayah Islam[3].
Dengan adanya perluasan
wilayah, maka banyak para sahabat yang mendatangi wilayah tersebut dengan
tujuan mengajarkan agama Islam.Selain itu, adanya pertukaran pemikiran antara
penduduk asli dengan para sahabat juga menjadikan ilmu pengetahuan berkembang dengan
baik. Terobosan yang dilakukan Khalifah Utsman ini membuat pendidik dapat
memperluas wilayah mengajar mereka tidak hanya di Mekkah dan Madinah saja.
2. Peserta
didik
a.
Orang dewasa dan
atau orang tua yang baru masuk Islam
b.
Anak – anak,
baik orang tuanya telah lama memeluk Islam ataupun yang baru memeluk Islam.
c.
Orang dewasa dan
atau orang tua yang telah lama memeluk Islam.
d.
Orang yang
mengkhususkan dirinya menuntut ilmu agama secara luas dan mendalam.[4]
Para
muallaf juga dapat atau berhak mendapat pendidikan karena selain mereka masih
baru dalam beragama Islam mereka juga tentu masih memerlukan bimbingan dari
para guru. Terlihat pula baik mereka yang sudah lama dan paham akan agama Islam
ataupun baru dan belum paham akan agama Islam berhak mendapat pendidikan dan
dapat dipahami bahwa menuntut ilmu itu hendaknya sepanjang hayat, tidak hanya
hingga kita sudah menguasai ilmu atau sudah lulus dari lembaga pendidikan
tersebut. Karena seyogyanya hidup adalah belajar. Tanpa belajar tanpa mencari
tahu, tanpa ilmu kita akan buta. Jika dalam hadits disebutkan bahwa “Tuntutlah
ilmu dari buaian sampai ke liang lahat. Maka dari itu batas kita untuk tidak
belajar adalah akhir hayat kita.
Terobosan
yang dilakukan Khalifah Utsman ini mempermudah peserta didik yang berada diluar
Madinah untuk menuntut ilmu, juga memperluas wilayah penyebaran Islam. Sehingga
mereka yang jauh dari kota Madinah dan Mekkah tidak harus jauh-jauh pergi ke
kota Madinah dan Mekkah.
Sedasngkan
untuk Mata pelajaran yang di berikan disesuaikan dengan kebutuhan terdidik
dengan urutan mendahulukan pengetahuan yang sangat mendesak/ penting untuk
dijadikan pedoman dan pegangan hidup beragama.
Ada
3 fase dalam pendidikan dan pengajarannya:
a. Fase
pembinaan; dimaksudkan untuk memberikan kesempatan agar terdidik memperoleh
kemantapan iman
b. Fase
pendidikan : ditekankan pada ilmu- ilmu praktis dengan maksud agar mereka dapat
segera mengamalkan ajaran dan tuntunan agama dengan sebaik- baiknya dalam
kehidupan sehari- hari.
c. Fase
pelajaran: ada pelajaran –pelajaran lain yang diberikan untuk penunjang
pemahaman terhadap Al-Quran dan Hadits, seperti bahasa Arab dengan tata
bahasanya, menulis, membaca,syair dan peribahasa.[5]
Pembagian fase diatas
berdasarkan penggolongan peserta didik yang terbagi empat diatas. Dapat
dipahami dari fase-fase diatas bahwa sejak dulu telah ada tahap-tahap
pendidikan sesuai dengan masanya. Dimana cara membina murid yang baru mengenal
Islam, baru menjajaki Islam berbeda dengan murid yang sudah mengenal Islam dan
sudah paham tentang Islam. Karena segala
sesuatunya memang membutuhkan proses jadi sejak dulu telah ada dasar bahwa cara
untuk belajar juga tidak sekali belajar langsung pintar tetapi butuh tahapan.
Ibarat ingin berada diatas tangga, kita tidak akan bisa sampai langsung diatas tangga, kita perlu
menaiki setahap demi setahap tangga itu.
Khalifah
Utsman bin Affan sudah merasa cukup dengan pendidikan yang sudah berjalan,
namun ada satu usaha yang cemerlang yang telah terjadi di masa ini yang
disumbangkan untuk umat Islam, dan sangat berpengaruh luar biasa bagi
pendidikan Islam, yaitu untuk mengumpulkan tulisan ayat-ayat al-Qur’an[6]
Pengkodifikasi
al-Quran pada masa khalifah Utsman dilakukan karena terjadi perbedaan pendapat
tentang bacaan al-Quran (qiraat al-Quran), yang menimbulkan percekcokan antara
guru dan muridnya.
Panitia
pengkodifikasian al-Quran yang dibentuk oleh khalifah Utsman bin Affan ini
pertama-tama melakukan pengecekan ulang dengan meneliti mushaf yang sudah
disimpan di rumah Hafsah dan membandingkannya dengan mushaf-mushaf yang lain.
Ketika itu terdapat empat mushaf al-Quran yang merupakan catatan pribadi.
Mushaf
al-Quran yang ditulis oleh Ali bin Abi Thalib, terdiri atas 111 surah..
Mushaf
al-Quran yang ditulis oleh Ubay bin Ka’ab, terdiri atas 105 surah. Surah
pertama adalah al-Fatihah dan surah terakhir adalah surah an-Nas.Mushaf
al-Quran yang ditulis oleh Ibn Mas’ud, terdiri atas 108 surah. Surah yang
pertama adalah al-Baqarah dan yang terakhir adalah surah Qulhuwallahu
Ahad.
Mushaf
al-Quran yang ditulis oleh Ibn Abbas, terdiri atas 114 surah. Surah pertama
adalah surah Iqra dan yang terakhir adalah Surah an-Nas.
Tugas
tim adalah menyalin mushaf al-Quran yang disimpan dirumah Hafsah dan
menyeragamkan qiraat atau bacaanya mengikuti dialek Quraisy. Kemudian setelah
berhasil, Zaid bin Tsabit mengembalikannya kepada Hafsah. Kemudian salinan itu
dikirim juga ke Makkah, Madinah, Bashrah, Kuffah, dan Syiria serta salah
satunya disimpan oleh Utsman bin Affan yang kemudian disebut mushaf al-imam.
Sedangkan mushaf yang lain, diperintahkan untuk dibakar.
3.
Metode
Pembelajaran dan Lembaga Pendidikan
Proses pelaksanaan pola pendidikan
pada masa Usman ini lebih ringan dan lebih mudah dijangkau oleh seluruh peserta
didik yang ingin menuntut dan belajar Islam dan dari segi pusat pendidikan juga
lebih banyak, sebab pada masa ini para sahabat memilih tempat yang mereka
inginkan untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat.
Pola pendidikan pada masa Utsman
tidak jauh berbeda dengan pola pendidikan yang diterapkan pada masa Umar. Hanya
saja pada periode ini, para sahabat yang asalnya dilarang untuk keluar dari
kota madinah kecuali mendapatkan izin dari khalifah, mereka diperkenankan untuk keluar dan menetap di daerah-daerah
yang mereka sukai. Dengan kebijakan ini, maka orang yang menuntut ilmu (para
peserta didik) tidak merasa kesulitan untuk belajar ke Madinah.
Pada masa pemerintahan Utsman bin
Affan tidak terjadi perubahan pola pendidikan,. Akan tetapi, terjadi sebuah
penyeragaman cara membaca Al-Qur’an dan terjadinya pertambahan peserta didik
dimana hal itu membuat lebih banyak lagi yang paham tentang Islam dan
mempermudah mereka yang belajar agama Islam, karena dahulu ketika masa Khalifah
Umar para sahabat dan ahli agama tidak boleh pergi keluar Mekkah dan Maddinah.
Metode yang digunakan yaitu halaqah, hafalan, diskusi (Tanya jawab), latihan,
ceramah, dll.
4.
NEPOTISME DI ZAMAN
USMAN BIN AFFAN
Dalam manajemen
pemerintahannya Utsman menempatkan beberapa anggota keluarga dekatnya menduduki
jabatan publik strategis. Hal ini memicu penilaian ahli sejarah untuk
menekankan telah terjadinya proses dan motif nepotisme dalam tindakan Utsman
tersebut. Adapun daftar keluarga Utsman dalam pemerintahan yang dimaksud sebagi
alasan motif nepotisme tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Muawiyah Bin Abu Sufyan yang menjabat sebagi
gubernur Syam, Beliau termasuk Shahabat Nabi, keluarga dekat dan satu suku
dengan Utsman.[7]
2.
Pimpinan
Basyrah, Abu Musa Al Asy’ari, diganti oleh Utsman dengan Abdullah bin Amir,
sepupu Utsman.
3.
Pimpinan Kuffah,
Sa’ad Bin Abu Waqqash, diganti dengan Walid Bin ‘Uqbah, saudara tiri Utsman.
Lantas Walid ternyata kurang mampu menjalankan syariat Islam dengan baik akibat
minum-minuman keras, maka diganti oleh Sa’id Bin ‘Ash. Sa’id sendiri merupakan
saudara sepupu Utsman.
4.
Pemimpin Mesir,
Amr Bin ‘Ash, diganti dengan Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, yang masih merupakan
saudara seangkat ( dalam sumber lain saudara sepersusuan, atau bahkan saudara
sepupu) Utsman.
5.
Marwan Bin
Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, diangkat menjadi sekretaris Negara.
6.
Khalifah dituduh
sebagai koruptor dan nepotis dalam kasus pemberian dana khumus (seperlima harta
dari rampasan perang) kepada Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, kepada Mirwan
bin Al Hakkam, dan kepada Al Harits Bin Al Hakam.
Beberapa penulis Muslim
mencoba melakukan rasionalisasi bahwa tindakan Utsman tersebut bukan tanpa alasan.
Hal ini merupakan sebuah upaya pembelaan terhadap tindakan Utsman tidak atau
bahkan sama sekali jauh dari motif nepotisme. Sebagai contoh salah satu bentk
rasionalisasi menyebutkan bahwa Utsman mengangkat wali-wali negeri dari pihak
keluarga beralasan untuk memperkuat wilayah kekuasaannya melalui personal yang
telah jelas dikenal baik karakteristiknya.[8]
Hal ini mengingat wilayah kekhilafahan pada masa Utsman semakin meluas.
Demikian juga tanggungjawab dakwah dimasing-masing wilayah tersebut.
Mengetengahkan kembali
kronologi seputar pemerintahan Utsman Bin Affan, bukanlah pekerjaan yang mudah
dilakukan. Terutama apabila dikaitkan dengan ketersediaan data dengan kualitas
dan kuantitas yang memadai. Upaya memojokkan pemerintahan Utsman sebagai rezim
nepotis sendiri hanya berangkat dari satu sudut pandang dengan argumentasi
mengungkap motif social-politik belaka. Lebih dari itu lebih banyak berkutat
dalam dugaan dan produk kreatif imajinatif. Sumber data yang tersedia
kebanyakan didominasi oleh naskah yang ditulis pada masa dinasti Abbasiyah,
yang secara politis telah menjadi rival bagi Muawiyah, keluarga, dan sukunya,
tidak terkecuali khalifah Utsman Bin Affan. Oleh karena itu kesulitan pertama
yang harus dihadapi adalah menyaring data-data valid diantara rasionalisasi
kebencian dan permusuhan yang menyelusup di antara input data yang tersedia.
Dakwah Islam pada masa
awal kekhilafahan Utsman Bin Affan menunjukkan kemajuan dan perkembangan
signifikan melanjutkan estafeta dakwah pada masa khalifah sebelumnya. Wilayah
dakwah Islam menjangkau perbatasan Aljazair (Barqah dan Tripoli sampai
Tunisia), di sebelah utara meliputi Allepo dan sebagian Asia Kecil. Di timur
laut sampai Transoxiana dan seluruh Persia serta Balucistan (Pakistan
sekarang), serta Kabul dan Ghazni. Utsman juga berhasil membentuk armada dan
angkatan laut yang kuat sehingga berhasil menghalau serangan tentara Byzantium
di Laut Tengah. Peristiwa ini merupakan kemenangan pertama tentara Islam dalam
pertempuran dilautan.
Sebagaimana telah
dijelaskan bahwa di atas, Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagi pejabat
public. Di antaranya adalah Muawiyah Bin Abu Sufyan. Sosok Muawiyah dikenal
sebagai politisi piawai dan tokoh berpengaruh bagi bangsa Arab[9]
yang telah diangkat sebagai kepala daerah (Gubernur) Syam sejak masa khalifah
Umar Bin Khaththab. Muawiyyah tercatat menunjukkan prestasi dan keberhasilan
dalam berbagi pertempuran menghadapi tentara Byzantium di front utara. Muawiyah
adalah sosok negarawan ulung sekaligus pahlawan Islam pilih tanding pada masa
khalifah Umar maupun Utsman. Dengan demikian tuduhan nepotisme Utsman jelas
tidak bisa masuk melalui celah Muawiyah tersebut. Sebab beliau telah diangkat
sebagai gubernur sejak masa Umar. Belum lagi prestasinya bukannya mudah
dianggap ringan.
Selanjutnya penggantian
Gubernur Basyrah Abu Musa al Asyari dengan Abdullah Bin Amir, sepupu Utsman
juga sulit dibuktikan sebagi tindakan nepotisme. Proses pergantian pimpinan
tersebut didasarkan atas aspirasi dan kehendak rakyat Basyrah yang menuntut Abu
Musa al Asyari meletakkan jabatan. Oleh rakyat Basyrah, Abu Musa dianggap
terlalu hemat dalam membelanjakan keuangan Negara bagi kepentingan rakyat dan
bersikap mengutamakan orang Quraisy dibandingkan penduduk pribumi. Pasca
menurunkan jabatan Abu Musa, khalifah Utsman menyerahkan sepenuhnya urusan
pemilihan pimpinan baru kepada rakyat Basyrah. Rakyat Basyrah kemudian memilih
pimpinan dari golongan mereka sendiri. Namun pilihan rakyat tersebut justru
dianggap gagal menjalankan roda pemerintahan dan dinilai tidak cakap oleh
rakyat Basyrah yang memilihnya sendiri. Maka kemudian secara aklamasi rakyat
menyerahkan urusan pemerintahan kepada khalifah dan meminta beliau menunjuk
pimpinan baru bagi wilayah Basyrah. Maka kemudian khalifah Utsman menunjuk
Abdullah Bin Amir sebagai pimpinan Basyrah dan rakyat setempat menerima
pimpinan dari khalifah tersebut. Abdullah Bin Amir sendiri telah menunjukkan
reputasi cukup baik dalam penaklukan beberapa daerah Persia. Dengan demikian
nepotisme kembali belum terbukti melalui penunjukan Abdullah Bin Amir tersebut.
Sementara itu di
Kuffah, terjadi pemecatan atas Mughirah Bin Syu’bah karena beberapa kasus yang
dilakukannya. Pemecatan ini sebenarnya atas perintah khalifah Umar Bin
Khaththab namun baru terealisasi pada masa khalifah Utsman. Penggantinya, Sa’ad
Bin Abu Waqqash, juga diberhentikan oleh khalifah Utsman akibat penyalah gunaan
jabatan dan kurang transparansinya urusan keuangan daerah. Salah satu kasusnya,
Sa’ad meminjam uang dari kas propinsi tanpa melaprkannya kepada pemerintah
pusat. Pada masa pemerintahan khulafaur Rasyidun, setiap daerah menikmati
otonomi penuh, kecuali dalam permasalah keuangan tetap terkait dan berada
dibawah koordinasi Bendahara pemerintah Pusat. ‘Amil (pengepul zakat, semacam
bendahara) Kuffah saat itu, Abdullah Bin Mas’ud, dipanggil sebagai saksi dalam
pengadilan atas peristiwa tersebut. Abdullah Bin Mas’ud sendiri akhirnya juga
dipecat akibat peristiwa tersebut. Perlu diketahui, Abdullah Bin mas’ud
termasuk keluarga dekat dan sesuku dengan Khalifah Utsman. Pengganti Sa’ad Bin
Abu Waqqash adalah Walid Bin Uqbah, saudara sepersusuan atau dalam sumber lain
saudara tiri khalifah Utsman. Namun karena Walid memiliki tabiat buruk (suka
minum khamr dan berkelakuan kasar), maka khalifah Utsman memecatnya dan
menyerahkan pemilihan pimpinan baru kepada kehendak rakyat Kuffah. Sebagaimana
kasus di Basyrah, gubernur pilihan rakyat Kuffah tersebut terbukti kurang cakap
menjalankan pemerintahan dan hanya bertahan selama beberapa bulan. Atas
permintaan rakyat, pemilihan gubernur kembali diserahkan kepada khalifah.
Ustman Bin Affan kemudian mengangkat Sa’id Bin ‘Ash, kemenakan Khalid Bin Walid
dan saudara sepupu Utsman, sebagai gubernur Kuffah, karena dianggap cakap dan
berprestasi dalam penaklukan front utara, Azarbaijan.[10]
Namun terjadi konflik antara Sa’id dengan masyarakat setempat sehingga khalifah
Utsman berfikir ulang terhadap penempatan sepupunya tersebut. Maka kemudian
Sa’ad digantikan kedudukannya oleh Abu Musa Al Asy’ari, mantan gubernur
Basyrah. Namun stabilitas Kuffah sukar dikembalikan seperti semula sampai
peristiwa tewasnya sang khalifah. Meskipun demikian nepotisme dalam frame makna
negative kembali sukar dibuktikan.
Sedangkan di Mesir,
Ustman meminta laporan keuangan daerah kepada Amr Bin Ash selaku gubernur dan
Abdullah Bin Sa’ah Bin Abu Sarah selaku ‘Amil. Laporan Amil dinilai timpang
sedangkan Amr dianggap telah gagal melakukan pemungutan Pajak. Padahal negara
sedang membutuhkan pendanaan bagi pembangunan armada laut guna menghadapi
serangan Byzantium. Khalifah Utsman tetap menghendaki Amr Bin Ash menjadi
gubernur Mesir sekaligus diberi jabatan baru sebagai panglima perang. Namun Amr
menolak perintah khalifah tersebut dengan kata-kata yang kurang berkenan di
hati sang khalifah (perkataan kasar). Maka kemudian Amr Bin Ash dipecat dari
jabatannya. Sedangkan Abdullah Bin Sa’ah Bin abu sarah diangkat menggantikannya
sebagai gubernur. Namun kebijakan gubernur baru tersebut dalam bidang agraria
kurang disukai rakyat sehingga menuai protes terhadap khalifah Utsman. Dari
peristiwa inilah akhirnya muncul isu nepotisme dalam pemerintahan Utsman. Isu
yang beredar dari Mesir ini pada akhirnya menyebabkan khalifah terbunuh.[11]
Salah satu bukti
penguat isu nepotisme yang digulirkan adalah diangkatnya Marwan Bin Hakam,
sepupu sekaligus ipar Utsman, sebagai sekretaris Negara. Namun tuduhan ini pada
dasarnya hanya sekedar luapan gejolak emosional dan alasan yang dicari-cari.
Marwan Bin Hakam sendiri adalah tokoh yang memiliki integritas sebagai pejabat
Negara disamping dia sendiri adalah ahli tata negara yang cukup disegani,
bijaksana, ahli bacaan Al Quran, periwayat hadits, dan diakui kepiawaiannya
dalam banyak hal serta berjasa menetapkan alat takaran atau timbangan.[12]
Di samping itu Utsman dan Marwan dikenal sebagai sosok yang hidup bersahaja dan
jauh dari kemewahan serta tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan
pribadi. Dengan demikian pemilihan Marwan Bin Hakam adalah keharusan dan
kebutuhan negara yang memang harus terjadi serta bukan semata-mata atas motif nepotisme
dalam kerangka makna negative.
Selain itu tuduhan
penggelapan uang negara dan nepotisme dalam pemberian dana al khumus yang
diperleh dari kemenangan perang di Laut Tengah kepada Abdullah Bin Sa’ad Bin
Abu Sarah, saudara sepersusuan Utsman (sumber lain saudara angkat), dapat
dibuktikan telah sesuai dengan koridor yang seharusnya dan diindikasikan tidak
ditemukan penyelewengan apa pun. Al
Khumus yang dimaksud berasal dari rampasan perang di Afrika Utara. Isu yang
berkembang terkait al khumus tersebut adalah Khalifah Utsman telah menjualnya
kepada Marwan Bin Al Hakkam dengan harga yang tidak layak. Duduk persoalan
sebenarnya adalah khalifah Utsman tidak pernah memberikan al kumus kepada
Abdullah Bin sa’ad Bin Abu Sarah. Sebagaimana telah diketahui ghanimah
(rampasan perang) dalam Islam 4/5-nya akan menjadi bagian dari tentara perang
sedangkan 1/5-nya atau yang dikenal sebagi al-khumus akan masuk ke Baitul Mal.[13]
Perlu diketahui jumlah ghanimah dari Afrika Utara yang terdiri dari berbagai
benda yang terbuat dari emas, perak, serta mata uang senilai dengan 500.000
dinar. Abdullah Bin sa’ad kemudian mengambil alkhumus dari harta tersebut yaitu
senilai 100.000 dinar dan langsung dikirimkan kepada khalifah Utsman di ibu
kota. Namun masih ada benda ghanimah lain yang berupa peralatan, perkakas, dan
hewan ternak yang cukup banyak. Al khumus (20 % dari ghanimah) dari ghanimah
yang terakhir tersebut itulah yang kemudian dijual kepada Mirwan Bin Hakkam
dengan harga 100.000 dirham. Penjualan ganimah dengan wujud barang dan hewan
ternak tersbut dengan mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi. Al khumus
berupa barang dan ternak tersebut sulit diangkut ke ibu kota yang cukup jauh
jaraknya.[14]
Belum lagi jika harus
mempertimbangkan factor keamanan dan kenyamanan proses pengangkutannya.
Kemudian hasil penjualan al kmuus berupa barang dan ternak tersebut juga
dikirimkan ke baitul mal di ibu kota. Di sisi lain Abdullah bin Sa’ad bin Abu
Sarah mendapatkan sebagian dari pembagian 4/5 hasil rampasan perang sebab dia
telah memimpin penakhlukan afrika Utara tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan
diatas bahwa 4/5 (atau 80 %) dari ghanimah adalah hak bagi tentara yang
mengikuti perang, termasuk diantaranya adalah Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah.
Dengan demikian sebenarnya tidak ada masalah karena telah sesuai dengan koridor
aturan yang berlaku.
Kemudian khalifah
Utsman juga diisukan telah menyerahkan masing-masing 100.000 dirham dari Baitul
Mal kepada Al Harits Bin Al Hakkam dan Marwan Bin Al Hakkam. Desas-desus
tersebut pada dasarnya merupakan fitnah belaka. Duduk persoalan sebenarnya
adalah khalifah Utsman mengawinkan seorang puteranya dengan puteri Al Harits
Bin Al Hakkam dengan menyerahkan 100.000 dirham yang berasal dari harta
pribadinya sebagai bantuan. Demikian juga khalifah Utsman telah menikahkan
puterinya yang bernama Ummu Ibban dengan putera Marwan Bin al Hakkam disertai
bantuan dari harta miliknya sejumlah 100.000 dirham.[15]
Dengan demikian
terbukti bahwa Khalifah Utsman Bin Affan tidak melalukan nepotisme dan praktek
korupsi selama masa kepemimpinannya. Hal ini sesuai dengan pengakuan khalifah
Utsman sendiri dalam salah satu khotbahnya yang menyatakan, “ Mereka menuduhku
terlalu mencintai keluargaku. Tetapi kecintaanku tidak membuatku berbuat
sewenang-wenang. Bahkan aku mengambil tindakan-tindakan (kepada keluargaku)
jikalau perlu. Aku tidak mengambil sedikit pun dari harta yang merupakan hak
kaum muslimin. Bahkan pada masa Nabi Muhammad pun aku memberikan
sumbangan-sumbangan yang besar, begitu pula pada masa khalifah Abu Bakar dan pada
masa khalifah Umar ….”.[16]
Dalam khotbahnya
tersebut khalifah Utsman juga menyatakan sebuah bukti kuat tentang kekayaan
yang masih dimilikinya guna membantah isu korupsi sebagai berikut, “ Sewaktu
aku diangkat menjabat khilafah, aku terpandang seorang yang paling kaya di
Arabia, memiliki ribuan domba dan ribuan onta. Dan sekarang ini (setelah 12
tahun menjabat khilafah), manakah kekayaanku itu ? Hanya tinggal ratusan domba
dan dua ekor unta yang aku pergunakan untuk kendaraan pada setiap musim haji”.[17]
D. KESIMPULAN
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan tidak terjadi
perubahan pola pendidikan,. Akan tetapi, terjadi sebuah penyeragaman cara
membaca Al-Qur’an dan terjadinya pertambahan peserta didik dimana hal itu
membuat lebih banyak lagi yang paham tentang Islam dan mempermudah mereka yang
belajar agama Islam, karena dahulu ketika masa Khalifah Umar para sahabat dan
ahli agama tidak boleh pergi keluar Mekkah dan Maddinah. Metode yang digunakan
yaitu halaqah, hafalan, diskusi (Tanya jawab), latihan, ceramah, dll.
Berdasarkan kajian di atas telah diketahui bahwa isu
nepotisme dalam pemerintahan Utsman terbukti tidak benar. Sebab masing-masing
tindakan Utsman telah memiliki rasionalisasi berdasarkan kebutuhan zaman yang
terjadi serta mewakili kebijakan yang
seharusnya diambil. Sementara itu kegagalan pemerintahan Utsman lebih banyak
disebabkan factor stamina dan kondisi kesehatan beliau. Pada saat diangkat
Utsman telah berusia 70 tahun sehingga kurang leluasa memerintah mengingat
kondisi tubuhnya tersebut sehingga pada masa akhir pemerintahannya beberapa hal
kurang dapat diatasi secara memuaskan. Namun Utsman adalah sosok pemimpin yang
luar biasa terkait dengan jasanya terhadap Islam. Semasa Rasulullah masih
menunggui umat, beliau adalah salah satu donator tetap bagi dakwah. Dan pada
masa setelahnya beliau tetaplah seorang pejuang muslim yang teguh kepada
pendirian dan keislamannya.
Selain itu secara kuantitas jumlah pejabat negara
keluarga Utsman dibandingkan dengan yang bukan familinya jelas bukan mayoritas.
Tuduhan nepotisme tersebut setidaknya hanya di dasarkan kepada 6 perkara di
atas. Sementara jumlah pejabat publik diluar anggota keluarga tersebut adalah
mayoritas.
E.
Daftar
Pustaka
Abudin
,Nata, 2011 Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Media Group,
Abdurrahman,
Dudung, 2009. Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: Lesfi,
Dasuki,
Hafidz, MA (Pimred).et.all. Ensiklopedi Islam. Jilid III. Cetakan IV. 1997 PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
Maududi Abu A’la Al. Khilafah dan Kerajaan. 1984.Terj.
Al Baqir.Mizan, Bandung,
Munir
Amin, Samsul M.A. 2009 “Sejarah Peradaban Islam” Jakarta; Amzah
Niza,
Samsul r, M.Ag, 2007. Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah
Pendidikan Era Rasulullah sampai
Indonesia,Jakarta: Kencana,
Shiddiqi,
Nourouzzaman. Menguak Sejarah Muslim. 1984 PLP2M, Yogyakarta,
Sunarto Ahmad dari At Tadzhib Fil Adillati Matnil
Ghayyah wa Taqrib. 2004. Insan Amanah, Surabaya,
[1]
Prof. Dr. H. Nata Abudin, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Media Group,
2011), h. 121
[2]
Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak
Sejarah Pendidikan Era Rasulullah
sampai Indonesia,( Jakarta: Kencana, 2007), h. 51
[3]
Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Lesfi, 2009), h. 59
[4]
Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.Ag ,h.51
[5]
Siti Maryam, dkk., (ed.) Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga
Modern, (Yogyakarta : Jurusan SPI Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga kerjasama
dengan LESFI, 2003), hh. 54-55
[6]
Samsul Munir Amin M.A. “Sejarah Peradaban Islam” 2009 (Jakarta; Amzah)h. 105
[7]
Abu A’la Al Maududi. Khilafah dan Kerajaan. Terj. Al Baqir. (Mizan, Bandung,
1984). Hal. 120-130.
[8]
Abu A’la Al Maududi. Khilafah dan Kerajaan. Terj. Al Baqir. (Mizan, Bandung,
1984). Hal. 254
[9]
Drs. H. A. Hafidz Dasuki, MA (Pimred).et.all. Ensiklopedi Islam. Jilid III.
Cetakan IV. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997). Hal. 247
[10]
Nourouzzaman Shiddiqi. Menguak Sejarah Muslim. (PLP2M, Yogyakarta, 1984). Hal.
80
[11]
Termasuk didalamnya tentang isu surat rahasia khalifah yang sebenarnya adalah
buatan Marwan Bin Hakam yang memicu huru-hara. Lihat Drs. H. A. Hafidz Dasuki,
MA. (Pimred) et all. Ensiklopedi Islam. Jilid V. Cetakan IV. (PT Ichtiar Baru
Van Hoeve, Jakarta, 1997). Hal. 143
[12]
Drs. H. A. Hafidz Dasuki, MA (Pimred). et. all. Ensiklopedi Islam. Jilid III.
Cetakan IV. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997). Hal. 169
[13]
DR. Musthafa Dieb Al Bigha. Fiqih Islam. Terjemah : Ahmad Sunarto dari At
Tadzhib Fil Adillati Matnil Ghayyah wa Taqrib. (Insan Amanah, Surabaya, 2004).
Hal. 444-450.
[14]
Joesoef Sou’yb. Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin. (Bulan Bintang, Jakarta,
1979). Hal. 438-439
[15]
Joesoef Sou’yb. Ibid. Hal. 438-439
[16]
Joesoef
Sou’yb. Ibid. Hal. 437
[17]
Joesoef Sou’yb. Ibid. Hal. 438
Komentar
Posting Komentar