ALI BIN ABI THALIB SEBAGAI KUNCI ILMU RASULALLAH SAW


ALI BIN ABI THALIB SEBAGAI KUNCI ILMU RASULALLAH SAW

 Disusun Oleh:
Ahmad Abdul Qiso

Makalah Prarevisi
Peradaban dan Pemikiran Islam
Dosen Pengampu:
Dr. Junanah, MIS

A.    PENDAHULUAN
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, termasuk tiga di antara para sahabat yang pertama beriman yaitu Abu Bakar dari kalangan orang dewasa, Khadijah dari kalangan perempuan, dan Ali dari kalangan anak-anak.
Ali masuk Islam sebagaimana diriwayatkan Ibnu Ishaq bahwa suatu ketika Ali datang menemui Nabi SAW saat setelah keislaman khadijah. Ali mendapati keduanya sedang shalat lalu Ali pun berkata, “ini apa wahai Muhammad?” kemudian Nabi pun bersabda, “Ini adalah agama Allah yang telah Allah pilih dengan kehendak-Nya, dengan Dia mengutus Rasul-Nya. Saya ajak engkau wahai Ali untuk bersaksi tehadap Allah Yang Maha Esa dan menyembah untuk-Nya. Kemudian Rasul berkata, “Wahai Ali jika engkau tidak berkenan masuk Islam maka jaga rahasia ini.” Ali pun terdiam diri selama satu malam itu sehingga kemudian Allah memberi kepadanya hidayanh Islam. pada suatu pagi ia menghadap Rasulallah dan berkata, “Apa yang engkau perintahkan kepadaku wahai Muhammad? “Rasulallah bersabda, “Kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan tidak menyekutukannya serta engkau mengingkari Tuhan Latta dan Uzza, serta melepaskan diri dari bentuk pertentangan kepada Allah.” Ali pun melakukan apa yang Rasul Allah perintahkan tersebut dan menyatakan diri masuk Islam.[1]
Ali terkenal dengan keberaniannya di medan perang. Menurut A. Syalabi keberanian Ali dan banyaknya darah manusia yang telah ditumpahkannya, dalam mebela dan mempertahankan agama Islam dari orang-orang yang menyerangnya, menyebabkan ia banyak mempunyai musuh. Adapun budi pekerti Ali, kesalehan, keadilan, toleransi, dan kebersihan jiwanya, sangat terkenal, Ali terhitung seorang dari tiga tokoh utama yang telah mengambil pengetahuan, budi pekerti, dan kebersihan jiwa dari Rasulallah SAW. tokoh-tokoh utama yang tiga itu adalah Abu Bakar, Umar dan Ali. Mereka bertiga terpandang laksana mercu suar yang memancarkan cahanya ke segenap penjuru Islam.[2]
Pada masa pemerintahan Khalifah Ali inilah perpecahan konkrit di dalam kalangan al-shahabi menjadi suatu kenyataan, dengen pecah beberapa kali sengketa bersenjata yang menelan korban tidak sedikit. juga pada masa inilah bermulah lahir sekte-sekte di dalam sejarah dunia Islam, yakni sekte Syiah dan sekte Khawarij. Bermula sebagai kelompok-kelompok politik yang berbeda paham dan pendirian tetapi lambat laun berkembang menjadi sekte-sekte keagamaan.[3]
Sejak zaman kekhalifaan Ali inilah banyak terjadi perbedaan antara sahabat, sehingga melahirkan perpecahan antat umat Islam, ada yang menjadi pengikut setia Ali yang dikenal dengan golongan Syiah, bahkan dari kalangan ini adalah salah paham yang menyatakan bahwa Jibril salah menurunkan wahyu, yang benar adalah kepada Ali. Dan terdapat juga sekte yang menentang Ali yang dikenal Khawarij, karena perberdaan pandangan terhadap tahkim yang diambil Ali ketika mereka hampir menang dalam perang Shiifin.
Jika di bahas secara mendalam, terdapat aspek yang bisa menjadi pokok kajian, mulai dari pendidikan dan pergulan Ali di waktu kecil, keberaniannya di medan perang, kecerdasan ilmu pengetahuannya, dan kesalihan pribadinya. Namun dalam makalah ini penulis hanya akan fokus pada kajian kecerdasan dan keluasan ilmu pengetahuan Ali, yang disebutkan dalam sebuah hadits:
انا باب العلم و علي مفتاحه
"Aku adalah pintunya ilmu, dan Ali adalah kuncinya".
Hadits di atas menunjukkan keluasan ilmu pengetahuan Ali, yang digambarkan Rasulallah sebagai kunci ilmunya. Namun sebelum ke fokus pembahasan penulis juga akan memaparkan secara singkat Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib sejak masih kecil sampai wafatnya, sebagai gamabaran kehidupannya, yang tentunya sangat mempengaruhi pemahaman dan keluasan ilmu pengetahuannya. Jadi fokus kajian (rumusan masalah) dalam makalah ini adalah: (1) Bagaimana sejarah kehidupan Ali bin Thalib?, dan (2) Bagaimana keluasan ilmu pengetahuan Ali?.
Kajian sejarah Ali bin Abi Thalib ini menjadi penting bagi penulis, karena kita saat ini membutuhkan kembali semangat yang kuat dalam menuntut ilmu, sudah berabad-abad ilmu pengetahuan dikuasai oleh Barat, jika kita tidak melakukan perbaikan maka tunggulah kehancurannya. Jadi, kajian sejarah ini menjadi penting, sebagai bahan refleksi kita di masa sekarang dan masa akan datang. Sejalan dengan ini, dilhami dari surat Al-rum ayat 9 dan Muhammad ayat 10, Naorouzzaman Shiddiqi menyatakan bahwa umat Islam diperintahkan untuk mempelajari sejarah. Mengapa? Sejarah adalah cermin masa lalu untuk dijadikan pedoman di masa kini dan mendatang. Dari sejarah orang dapat mengambil ibarat dan memperoleh keteladanan. Melalui sejarah orang akan mengenal siapa dirinya.[4]      

B.     PEMBAHSAN
1.      Biografi Ali bin Abi Thalib
Nama lengkap Ali adalah Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf, sepupu nabi Muhammad SAW, dan suami dari pemimpin seluruh perempuan, Fatimah binti Nabi Muhammad, serta ayah dari dua cucu beliau, al-Hasan dan al-Husain. Ibunya bernama Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf. Ia masuk Islam ketika masih kecil, yaitu berumur delapan tahun.[5]  Menurut Ibnu Saad, Ali dilahirkan malam 12 Rajab tahun 30 dari tahun gajah pada abad ke 6 M.[6]
Semasa hidup Ali, ia mempunyai banyak istri. Wanita-wanita yang pernah menjadi istrinya adalah Fatimah bi Rasulallah SAW, Umamah binti Abul ‘Ash, Khaulah binti Ja’far  bin Qasis, Laila binti Mas’ud, Ummul Banin bnti Hizam, Asma’ binti Umais, ash-shahba binti Rabi’ah, dan Ummu Sa’id binti Urwah.[7]
Ali juga dikaruniai banyak anak, baik laki-laki maupun perempuan. Yang laki-laki: Hasan, Husain, Muhammad al-Akbar, ‘Ubaidillah, Abu Bakar, al-Abbas al-Akbar, Ustman, Ja’far al-Akbar, Abdullah, Yahya, ‘Aun, Umar al-Akhbar, Muhammad al-Ausath, dan Muhammad al-Ashghar. Adapun yang perempuan: Zainab al-Kubra, Ummu Kultsum al-Kubra, Ruqayyah, Ummul Hasan, Ramlah al-Kubra, Ummu Hani’, Maimunah, Zainab ash-Shughra, Ummu Kultsum ash-Shughra, Fatimah, Umamah, Khadijah, Ummul Kiram, Ummu Salamah, Ummu Ja’far, Jumanah, dan Nafisah.[8]
Ali Ibnu Abi Thalib Ibnu Abdul Muthalib merupakan putra dari paman Rasulallah dan suami dari putri beliau Fatimah. Karena hasrat Rasulalah hendak menolong dan membalas jasa kepada pamannya Abu Thalib, yang telah mengasuh beliau setelah Abdul Muthalib meninggal, maka Ali di ambil Muhammad S.AW., diasuh dan didiknya. [9]
Sejak kecil telah didik langsung oleh rasulallah, maka tidak heran jika Ali memiliki akhlakul karimah yang mulia, pengetahuan yang luas, kefasihan dalam berbicara, termasuk sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits, dan selalu tampil di bari terdepan ketika peperangan malawan kaum kafir yang menentang Islam. mennurut Syalabi, Ali hampir pada setiap peperangan yang dipimpin Rasulallah, Ali tetap ada di dalamnya, bergulat, atau perang tanding, dengan tak takut mati. Sering Ali dapat merebut kemenagan bagi kaum muslimin dengan pedangnya yang tajam.[10]

2.      Kekhalifaan Ali bin Abi Thalib
a.       Pembai’atan Ali sebagai Khalifah keempat
Setelah khalifah Ustman mati terbunuh di tangan massa pemberontak, suara terbanyak untuk pengangkatan khalifah pengganti Ustman tertuju kepada Ali.[11] Awalnya beliau menolak dan mengusulkan agar mereka memilih dari senior yang lain seperti Talhah dan Zubair. Akhirnya dengan tekanan dan permintaan serius dari sahabat-sahabat maka pada hari keenam pasca terbunuhnya Ustman Ali terplih menjadi Khalifah.[12] Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Muhammad bin Al-Hanafiyah berkata:
...sementara orang banyak datang di belakangnya dan mengedor pintu dan segera memasuki rumah itu. Kata mereka: “Beliau (Utsman) telah terbunuh, sementara rakyat harus punya khalifah, dan kami tidak mengetahui orang yang paling berhak untuk itu kecuali anda (Ali)”. Ali berkata kepada mereka: “Jaganlah kalian mengharapkan saya, karena saya lebih senang menjadi wazir (pembantu) bagi kalian daripada menjadi Amir (pemimpin)”. Mereka menjawab: “Tidak, demi Allah, kami tidak mengetahui ada orang yang lebih berhak menjadi khalifah daripada engkau”. Ali menjawab: “Jika kalian tak menerima pendapatku dan tetap ingin membai’atku, maka bai’at tersebut hendaknya tidak besifat rahasia, tetapi aku akan pergi ke masjid, maka siapa yang bermaksud membai’atku maka baiatlah kepadaku”. Ali kemudian keluar menuju masjid, dan kaum Muslim pun membaiatnya sebagai khalifah.[13] 

Pidato Ali setelah diangkat menjadi khalifah antara lain ialah:
“Wahai manusia! Kamu telah membaiat saya sebagaimana yang telah kamu lakukan terhadap khalifah-khalifah yang terdahulu. Saya hanya boleh menolak sebelum jatuh pilihan. Apabila pilihan telah jatuh, maka penolakan tidak boleh lagi. Imam harus teguh dan rakyat harus patuh. Baiat terhadap saya adalah bai’at yang rata, yang umum. Barangsiapa membangkang, terpisahlah ia dari agama Islam”[14] 

Pembaiatan Ali sebagai khalifah tidak didukung secara bulat oleh kaum muslimin, diantaranya Bani Umayyah yang telihat sangat tidak setuju, dan mereka menggalang kekuatan di kalangan orang-orang yang tidak menyetujui Ali sebagai khalifah, karena mereka khawatir kekayaan dan kesenangan yang mereka peroleh pada masa pemerintahan Khalifah Ustman akan hilang lenyap karena keadilan dan kebijakan ayang akan Ali jalankan dalam pemerintahan.[15]

b.      Politik Pemerintahan Ali
Ali terkenal disiplin dan tegas. Sikap demikian tercermin pada wataknya yang suka berterus terang, tegas bertindak, dan berpegang teguh pada prinsip  dalam menjalankan kebenaran dan keadilan.[16]  
Langkah awal yang dilakukan Ali setelah ia dibaiat menjadi khalifaha adalah:
1)      Memecat kepala-kepala daerah yang diangkat oleh khalifah Ustman bin Affan, dan mengganti mereka dengan pilihannya sendiri.
2)      Mengambil kembali tanah-tanah yang telah dibagikan Utsman kepada famili-famili dan kaum kerabatnya tanpa jalan yang sah serta hibah-hibah.[17]
Akibat kebjikan-kebijakan radikal ali tersebut, banyak terjadi peperangan yang mencetus pada masa Khalifah Ali, dan yang terpenting adalah perang jamal dan perang shiffin.
1)      Perang Jamal
Perang jamal terjadi antara pasukan Ali dan Aisyah (istri nabi/mertua Ali). Perang ini terjadi pada tahun 36 H atau pada awal kekhalifaan Ali.[18]  Setelah Aisyah mengetahui bahwa Ali telah dibaiat, ia marah dan berkata, “Demi Allah! Sekali-kali hal ini tak boleh terjadi. Ustman telah mati dibunuh secara aniaya. Demi Allah, saya akan menuntut bela.” Disamping itu, ada beberapa alasan lain yang mengakibatkan Aisyah berniat untuk berperang dengan pasukan Ali, diantaranya karena tuduhan Ali  yang mengisukan Aisyah bebuat serong dengan Shafwan bin Mu’attal dan Ali pernah menyaingi Abu Bakar untuk menjadi Khalifah. Sebelum perang ini terjadi Aisyah sempat bermaksud untuk mengurungkan niatnya, namun karena dorongan Zubair yang lebih kuat maka ia tetap bersikeras untuk berperang melawan Ali. Sebelum perang ini terjadi, Ali hampir berhasil meredahkan dan meredam ketegangan. Tetapi pengikut-pengikut Abdullah bin Saba’ secara licik memainkan tipu daya mereka. Akhirnya terjadi perang jamal tesebut.[19]
Perang Jamal ini dimenagkan oleh Ali. Kedua saingan (Talhah dan Zubair) gugur atau terbunuh di malam hari dan tidak diketahui siapa pembunuhnya. Semantara Aisyah kalah perang dan ditangkap. Ali dengan penuh hormat memulangkan Aisyah ke Madinah seperti biasa diperlakukan terhadap seorang “Ibu Negara”.[20]  
2)      Perang Shiffin
Perang Shiffin terjadi di wilayah Shiffin, sebelah selatan Raqqah tepi barat sungai Efrat. Dalam peperangan ini Ali membawa sebanyak 50.000 orang, dan Mua’awiyah membawa tentara Suriah. Di bawah pimpinan Malik al-Asytar, pasukan Ali hampir menang ketika Amr bin Ash pemimpin pasukan Mu’awiyah yang cerdik dan licik melancarkan siasat. Salinan al-Qur’an yang diletakkan diujung tombak terlihat diacung-acungkan. Sebuah tanda yang diartikan sebagai seruan untuk mengakhiri bentrokan dan mengikuti keputusan al-Qur’an. Perang ini diakhiri dengan tahkim, tetapi tahkim tidak menyelesaikan masalah, bahkan telah menimbulkan perpecahan di kalang umat Islam yang terbagi menjadi tiga kekuatan politik yaitu Mu’awiyah, Syi’ah, dan Khawarij.[21] Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculya kelompok khawarij menyebakan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu’awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H (660 M), Ali dibunuh oleh salah satu anggota Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam dengan pedang beracun di dahinya yang mengenai otak.[22] 

3.      Ali bin Abi Thalib sebagai kunci llmu Rasulallah
Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
انا باب العلم و علي مفتاحه
"Aku adalah pintunya ilmu, dan Ali adalah kuncinya".
Hadist di atas menunjukkan bahwa Ali memiliki pengetahuan yang luas, maka tidak heran jika Ali bin Abi Thalib tercatat sebagai ulama-ulama para sahabat senior. Ia dikenal dengan kesungguhannya dalam mengejar cita-cita dan kehati-hatiannya dalam menerima ilmu. Ali memiliki lisan yang senantiasa gemar bertanya untuk mencari ilmu, dan tidak pernah menyia-nyiakan untuk selalu beradada di sisi Nabi saw.[23]
Ali bin Abi Thalib menjelaskan sebab kedalaman dan keluasan ilmu yang Allah karuniakan kepadanya bahwa hal itu karena ia dapatkan dari Rasulallah dengan suka bertanya. Ia berkata, “Apabila aku bertanya, maka aku diberikan apa yang aku tanyakan tersebut. Dan apabila aku diam, maka akupun tidak mendapatkan sesuatu”. Dalam keadaan tertentu ketika Ali merasa malu kepada Rasulallah padahal ia ingin bertanya kepada beliau maka ia pun meminta kepada salah seorang sahabat yang lain agar menanyakan apa yang ia inginkan tersebut kepada Rasulallah.[24]
Ali adalah seorang sahabat Rasulallah yang mengingatkan manusia agar tidak sekali-sekali meninggalkan menuntut ilmu karena alasan malu. Ali berkata, “Hendaklah jangan malu salah seorang diantara kalian untuk belajar jika ia tidak mengetahui seuatu. Janganlah orang yang bodoh merasa malu bertanya atas apa yang tidak ia ketahui.[25]
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib meninggalkan banyak nasehat  dan petunjuk berharga bagi para penuntut ilmu, ulama, dan fuqaha, yang sangat penting diantaranya adalah:[26]
a.       Manusia ada tiga macam
Tiga golongan tersebut adalah:
1)      Al-Ulama Ar-Rabbaniyyun (seorang berilmu yang mendalam ilmunya dan bijaksana).
Yang dimaksud dengn orang berilmu (ulama) adalah orang yang berilmu agama. Sedangkan Rabbaniyyun adalah yang mampu menyatukan dalam dirinya antara ilmu fikih dan hikmah (kearifan). Orang-orang yang memiliki ilmu mendalam (terutama di bidang fikih) dan kebijaksanaan hidup (ahli hikmah), mereka itulah orang yang memiliki kemampuan mendidik umat dan membimbing hidup mereka. Karena hikmah adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya secara tepat, termasuk menerpakan secara tepat hukum-hukum syariat dalam realitas kehidupan manusia.
Jadi ulama Rabbani adalah kumpulan orang-orang pilihan dari umat ini. Kerena mereka memiliki dua keutamaan sekaligus, yaitu belajar ilmu dan mengajarkannya.
2)       Muta’allimun ala sabilin najah (penununt ilmu yang meniti jalan keselamatan)
Muta’allimun ala sabilin najah adalah mereka yang memnurniakan niatnya (ikhlas) dalam menuntut ilmu. Hal seperti itu dilakukan karena ilmu akan menjadi sarana keselamatan mereka dari pertanggung jawaban di hadapan Allah SWT. penuntut ilmu seperti ini oleh Ali bin Abi Thalib disebut dengan istilah penuntut ilmu yang meniti jalan keselamatan.
3)      Golongan hina dina yang tidak mempunyai pendirian
Golongan hina dina yang tidak mempunyai pendirian adalah golongan orang-orang yang meninggalkan ilmu agama dan mereka tidak memiliki keterkaitan dengan ulam Rabbani untuk mengetahui urusan-ursan agama mereka. Mereka condong mengikuti ke mana arah angin behembus dan tidak mendapatkan pancaran cahaya ilmu.
b.      Perbandingan antara ilmu dan harta
Dalam sebuah nasehat Amirul Mukiminin Ali bin Abi Thalib kepada Kumail bin Ziyad, Ali mengatakan, “Ilmu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga diri pemiliknya, sementara harta minta dijaga pemiliknya. Ilmu semakin bertambah dengan diamalkan, sementara harta semakin  berkurang dengan disedekahkan. Ilmu menjadi penguasa, sementara harta dikuasai. Kebaikan yang didasarkan pada harta seseorang akan hilang seiring habisnya harta tersebut, sedangkan kecintaan terhadap orang yang berilmu tak akan habis meski orang yang berilmu tesebut telah tiada selama ilmunya masih diamalkan. Ilmu akan mendatangkan ketaatan bagi pemiliknya dan kenengan indah setelah kematiannya.
c.       Orang yang berilmu dan keharusan mengajarkan ilmunya kepada orang lain
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, “Allah tidak mengambil janji terhadap orang-orang yang bodoh agar menuntut ilmu sehingga Allah mengambil janji dari orang-orang yang berilmu agar mengajarkan ilmunya.
d.      Sibuk dalam menunut ilmu lebih utama daripada sibuk dalam melakukan ibadah-ibdah sunnah
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata: “Orang yang ahli limu (sibuk dengan ilmu) lebih utama daripada ahli puasa, ahli shalat malam, dan ahli jihad. Ali  memandang bahwa amal yang dapat menjadi kunci dalam memberikan manfaat kepada banyak orang dialah amal yang paling utama dan harus didahulukan daripada amal-amal lainnya termasuk ibadah-ibadah yang manfaatnya hanya kembali kepada individu
Dari uraian di atas, dapat kita ambil pelajaran, bahwa kunci kemuliaan adalah ilmu. Dalam konsteks pendidikan Islam, hal yang utama harus direkontruksi adalah orientasi dari pendidikan itu sendiri supaya siswa dapat mencintai ilmu. Semua instrumen pendidikan dan pembelajaran harus berorientasi pada pengembangan keilmuan, mendidik siswa utuk mampu memiliki pengatahuan yang luas, sehingga semua tindakan yang ia lakukan berbasis pada ilmu. Disisi lain, ilmu menjadi penting bagi umat Islam untuk mengembalikan kejayaannya, kunci kusuksesan pada zaman Abbasiyah semua karena ilmu. Untuk itu semangat yang bisa di ambil dari pribadi Amirul Mukiminin Ali bin Abi Thalib adalah semangat dan kecintaannya kepada ilmu, sehingga melahirkan keluasan dalam berfikir dalan kebijksanaan dalam bertindak.

4.      Keistimewaan Ali bin Abi Thalib
Meski banyak pandangan mengenai pribadi Ali tetapi beliau mempunya 18 Karakteristik Keistimewaan sebagai orang-orang mulia, yaitu:[27]
a.       Ali adalah orang pertama yang masuk surga dari golongan-anak-anak dan oarang pertama masuk surga dari umat ini.
b.      Ali yang mengganti keberadaan Rasulullah saw. di Mekah pada waktu Hijrah.
c.       Rasulullah menjadikan Ali sebagai saudaranya untuk dirinya sendiri ketika mempersaudarakan antara muhajirin dan ansar.
d.      Ali mendapatkan pujian dari Rasulullah saw melalui sabda kepada Fatimah bahwa Ali adalah seorang pemimpin dunia dan akhirat.
e.       Ali adalah wali (penolong) Allah, wali Rasul-Nya, dan wali kaum mukmin.
f.       Ali adalah sahabat yang paling diberi kepercayaan untuk memutuskan suatu perkara.
g.      Ali adalah orang yang dicintai orang-orang mukmin dan dibenci orang-orang munafik.
h.      Rasulullah saw. pernah memisahakan diri dari sahabat-sahabtnya demi Ali.
i.        Ali adalah pintu kota ilmu dimana Rasulullah bagaikan kota ilmu.
j.        Ali memiliki telinga yang mendengar maksudnya beliau mendengar dan hafal segala yang didengarnya dan tidak hilang dengan meninggalkan pekerjaannya.
k.      Ali mengumpulkan tiga kebanggaan yang tidak terkumpul pada seseorang selainnya.Yaitu mertua seperti Nabi Muhammad saw, istri seperti Fatimah dan dua anak seperti Hasan dan Husein.
l.        Kedua pundak Ali pernah dinaiki Rasulullah.
m.    Ali memiliki panah Jibril.
n.      Memandang wajah Ali dinilai sebagai ibadah.
o.      Ali adalah makhluk yang paling dicintai Allah setelah Rasul-Nya.
p.      Rasulullah saw. menamai Ali dengan ya'sub orang-orang mukmin.
q.      Rasulullah saw. menamai Ali dengan riz'ul ardhi.
r.        Rasulullah adalah orang mulia yang memberi nama kepada Ali dan yang menyusui Ali dengan lidahnya

C.    PENUTUP
1.      Kesimpulan
Ali merupakan sosok peribadi yang ulet, pandai, dan pemberani. Kepandaian dan keberaniannya itulah yang menjadikan ia sebagai salah satu sahabat Nabi yang berpen penting dalam penyeberan agama Islam. keberaniannya di medan perang dalam menghadapi tantangan musuh menunjukkan begitu besarnya kecintaan beliau kepada Agama Islam.
Kehidupan beliau yang sejak kecil di asuh langsung oleh Rasulallah dan penikahannya dengan Fatimah anak Rasullah menunjukkan keistimewaan beliau. Bimbingan yang langsung dilakukan rasullah kepada Ali sangat mempengaruhi kepribadian dan keluasan ilmu pengetahuan Ali, karena setiap saat apa yang tidak diketahuinya, bisa langsung ditanyakan kepada Rasulallah, dan langsung akan dijawab oleh Rasullah.
Kecintaan Ali kepada ilmu, menjadikan dia sebagai sosok yang memiliki kepribadian yang baik, berakhlakul karimah, bijaksana, dan pemahaman keagamaan yang sangat luas. Hal ini ia lakukan karena ia sadar kebahagiaan itu bukan didapat dalam hartanya yang belimpah dan anak yang banyak, namun pada keluasan ilmu pengetahuannya.
2.      Sara-saran
a.       Anak-anak sejak dini harus dikenalkan kepada tokoh-tokoh yang mempunyai kearifan ilmu pengetahuan dan kesalihan seperti Ali
b.      Lembaga-lembaga pendidikan harus mampu mengembalikan semangat keilmuan yang telah dilakukan pada masa-masa keemasan Islam

DAFTAR PUSTAKA
Al-Khamis, Utsman bin Muhammad, Hiqbah Minat Tarikh (inilah faktanyam Meluruskan Sejarah Umat Islam Sejak Wafat Nabi Muhammad SAW Hingga tebunuhnya al-Husain), penerjemah: Syafarudin, Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2012.
Al-Nadawy, Abu al-Hasan, Kehidupan Nabi Muhammad saw dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ra., Semarang: al-Syifa 1992..
Ash-Shallabi, Ali Muhammad, Biografi Ali bin Abi Thalib, penerjemah: Muslich Taman, dkk, Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 2017.
Ismail, Faisal, Sejarah dan Kebudayaan Islam Periode klasik (Abad VII-XIII M), Yogyakarta: IRCiSoD, 2017.
Karim, M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.
Khoriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam, Yogyakarta: Teras 2012.
Muslem, Hanu, 18 Keistimewaan Ali bin Abi Thalib, http://hanu-muslem.blogspot.co.id.
Shiddiqi, Naorouzzaman, Jeram-jeram Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Sou’yb,  Josoef, Sejarah Daulah Khulafaur Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Syalabi, A., Sejarah Kebudayaan Islam 1, penerjemah: Mukhtar Yahya, Jakarta: PT Pustaka Al Husna Baru, 2003.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 2003.



[1]Lihat  Ali Muhammad Ash-Shallabi, Biografi Ali bin Abi Thalib, penerjemah: Muslich Taman, dkk, (Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 2017), hlm. 32-33.
[2] A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam 1, penerjemah: Mukhtar Yahya, (Jakarta: PT Pustaka Al Husna Baru, 2003), hlm. 243-235.
[3] Josoef Sou’yb, Sejarah Daulah Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 462-463.
[4] Naorouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 1.
[5] Utsman bin Muhammad al-Khamis, Hiqbah Minat Tarikh (inilah faktanyam Meluruskan Sejarah Umat Islam Sejak Wafat Nabi Muhammad SAW Hingga tebunuhnya al-Husain), penerjemah: Syafarudin, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2012), hlm. 167.
[6] Abu al-Hasan al-Nadawy, Kehidupan Nabi Muhammad saw dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ra., (Semarang: al-Syifa 1992), hlm. 483.
[7] Ibid, hlm. 167-168.
[8] Ibid, hlm. 168.
[9] A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam 1, penerjemah: Mukhtar Yahya, (Jakarta: PT Pustaka Al Husna Baru, 2003), hlm. 243.
[10] Ibid., A. Syalabi, hlm. 243.
[11] Faisal Ismail, Sejarah dan Kebudayaan Islam Periode klasik (Abad VII-XIII M), (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017), hlm. 235-236.
[12] Lihat M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 106.
[13] Ibid., Utsman bin Muhammad al-Khamis, hlm. 174.
[14] Ibid., Faisal Ismail, hlm. 236.
[15] Ibid., Faisal Ismail, hlm. 236.
[16] Ibid., Faisal Ismail, hlm. 237.
[17] Ibid., Faisal Ismail, hlm. 237.
[18] Ibid., Utsman bin Muhammad al-Khamis, hlm. 181.
[19] Ibid., Faisal Ismail, hlm. 238-240.
[20]Ibid, M. Abdul Karim, hlm. 106-107.
[21] Khoriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam, (Yogyakarta: Teras 2012), hlm. 63.
[22] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2003), hlm. 40.
[23] Ali Muhammad Ash-Shallabi, Biografi Ali bin Abi Thalib, penerjemah: Muslich Taman, dkk, (Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 2017), hlm. 256.
[24] Ibid., 257.
[25] Ibid., 257.
[26] Ibid., 258-265.
[27] Hanu Muslem, 18 Keistimewaan Ali bin Abi Thalib, http://hanu-muslem.blogspot.co.id. Di akses pada hari Sabtu, 31 Maret 2017, pada jam 20.15 WIB.

Komentar