AL-GHOZALI SEBAGAI TOKOH TASHAWWUF



AL-GHOZALI SEBAGAI TOKOH TASHAWWUF



Oleh:
Rajibullah

MATA PRAREVISI
Peradaban dan Pemikiran Islam
Dosen Pengampu: Dr. Junanah, MIS.


A.    Latar Belakang
Tashawwuf adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan (biasanya dilakukan dengan mengasingkan diri) guna membebaskan diri dari pengaruh kehidupan dunia, dengan tujuan untuk  mendekatkan diri dan memperoleh suatu hubungan khusus yang langsung dengan Allah, tercermin ahklak yang mulia dan dekat dengan Allah Swt.
Ahli tashawwuf disebut Sufi, yang selalu berusaha mensucikan jiwanya demi mendekatkan diri kepada Allah. sebagai Tuhannya, dan untuk itu diperlukan pendidikan dan latihan mental yang panjang dan bertingkat, dari tahap satu ketahap lain yang lebih tinggi ; tobat, zuhud, sabar, kefakiran kerendahan hati, ketaqwaan, tawakkal, kerelaan, cinta, sampai  kepada tercapainya kesempurnaan (ma'rifatullah).
Menurut Ibn Al Qayyim, Ma’rifatullah yang dimaksudkan oleh ahlul ma’rifah (orang-orang yang mengenali Allah) adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya”.
Ma’rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma’riaftullah dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Allah, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah.[1]
Sebagai  ilmu pengetahuan, Tashawwuf adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan  yang mempelajari ajaran agama Islam yang khusus berkaitan dengan aspek-aspek moral serta tingkah laku untuk mencapai atau menuju kepada  keadaan yang lebih baik dan lebih sempurna sesuai dengan substansi ajaran Islam, yang menekankan dimensi atau aspek spiritual kehidupan  manusia, atau lebih kepada aspek rohani ketimbang aspek jasmani atau kehidupan akhirat ketimbang kehidupan dunia yang fana.  Oleh karena itu ilmu Tashawwuf sangat penting untuk dipelajari dan dipahami terutama bagi masyarakat pemeluk agama Islam umumnya dan para pemuka agama Islam khususnya, mengingat dewasa ini masyarakat  mengalami banyak masalah dalam  kehidupan duniawi  atau spritual keagamaan, sehingga mempelajari dan memahami  Tashawwuf diharapkan akan menjadi suatu cara yang manjur untuk menemukan solusi dari berbagai masalah tersebut.
Berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadist sahih sebagai dokrin ajaran Islam yang berlaku mutlak, nilai-nilai Tashawwuf  (nilai-nilai sufi ) sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW, tasawuf nyata terlihat dari tingkah laku dan perbuatan nabi yang mencerminkan ahklak yang sangat tinggi dan mulya, hal mana sangat erat relevansinya dengan keberadaan nabi dalam kapasitasnya sebagai utusan Allah, yakni untuk memperbaiki dan sekaligus menyempurnakan akhlak manusia.
Salah satu tokoh tashawwuf yang sangat terkenal adalah  Imam Al-Ghazali, seorang ahli sains sekaligus sebagai tokoh sufi terkemuka, sehingga digelari sebagai hujjat ul-Islam.
Dalam perjalanan hidupnya ia merupakan seorang pengembara ilmu, terbukti dengan karya-karyanya yang kaya akan berbagai cabang keilmuan. Sebagai tokoh sufi ia dikenal sebagai seorang ulama usul fiqh dengan karyanya al-mustashfa, dan ia juga dikenal sebagai tokoh filsafat dengan karyanya Tahafut al-Falasifah yang mengkritik konsep berfikir para filosof saat itu. Ia menganggap ajaran pemikiran filsafat para filosof telah melewati batas, hal mana menimbulkan kehawatiran yang mendalam dalam dirinya akan rusaknya akidah kaum filsafat, oleh karena itu beliau berinisiatif untuk meluruskan pemikiran filsafat dengan menggagas kaedah-kaedah tasawuf sebagai jembatan guna mendamaikan syari’at dengan tasawuf yang sempat mengalami clash pada zaman itu, yang berhasil diwujudkannya melalui  karya terbesarnya, ”Ihya’ U’lum al-Din ” (The Revival of Religion Sciences).  
Makalah ini akan memaparkan kerangka dasar pemikiran Tashawwuf Imam Al-Ghazali  dengan bertolak dari pengertian Tashawwuf menurut para ahli ilmu agama Islam, sejarahnya,  latar belakang kehidupan pribadi Imam Al-Ghazali dan buah pemikirannya serta pendapat dunia Islam dan pemikir Islam tentang beliau, baik yang pro maupun yang kontra.  
B. Pengertian Tashawwuf
Adakah istilah tasawuf pada zaman Rasulullah Saw ?
Tentu jawabannya tidak ada. Sebab penamaan cabang-cabang ilmu syariat belum ada di zaman Rasulullah, tetapi praktek cabang ilmu tersebut sudah ada sejak zamannya. Misalnya ilmu tafsir, penamaannya baru populer setelah abad ke-2 H yang dipelopori oleh para penulis perdana dalam cabang ilmu ini seperti, Syubah bin Hajjaj, Sufyan bin Uyainah dan Waki bin Jarah, pada hal praktek penafsiran sudah ada sejak zaman Rasulullah. Begitu juga ilmu tasawuf dan cabang ilmu syariat yang lain.[2]
Tashawwuf adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memperoleh kebahagian yang abadi. Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kamu hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan taqwa, sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf  tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa menjadi baik ?[3]
Apa kata Ibn Taymiah tentang istilah Tasawwuf ?[4]
Alhamdulillah, penggunaan kata tasawuf telah didiskusikan secara mendalam. Ini adalah istilah yang diberikan kepada hal yang berhubungan dengan cabang ilmu (tazkiyat an-nafs and Ihsan). “Tasawwuf adalah ilmu tentang kenyataan dan keadaan dari pengalaman. Sufi adalah orang yang menyucikan dirinya dari segala sesuatu yang menjauhkan dari mengingat Allah dan orang yang mengisi dirinya dengan ilmu hati dan ilmu pikiran di mana harga emas dan batu adalah sama saja baginya. Tasawwuf menjaga makna-makna yang tinggi dan meninggalkan mencari ketenaran dan egoisme untuk meraih keadaan yang penuh dengan kebenaran. Dia melanjutkan mengenai Sufi,”mereka berusaha untuk menaati Allah, sehingga dari mereka kamu akan mendapati mereka merupakan yang terdepan karena usaha mereka. Dan sebagian merupakan golongan kanan (ashabus-syimal).”
Ibn Al-Khaldun dalam Mukadimahnya  menulis, Ilmu ini (yakni tasawuf) salah satu ilmu syariat baru di dalam agama Islam. Sebenarnya, metode kaum ini (kaum sufi) telah ada sejak masa para sahabat, tabiin dan ulama-ulama penerusnya, sebagai jalan kebenaran dan petunjuk, karena inti tasawuf adalah tekun beribadah, memutuskan hubungan dari selain Allah, menjauhi kemewahan dan kegemerlapan duniawi, meninggalkan kelezatan harta dan tahta yang sering dikejar kebanyakan manusia dan mengasingkan diri dari manusia untuk beribadah. Praktek ini populer di kalangan para sahabat dan ulama terdahulu. Ketika tren mengejar dunia menyebar di abad kedua dan setelahnya, manusia mulai tenggelam dalam kenikmatan duniawi, orang-orang yang menghususkan diri mereka kepada ibadah disebut sufi.[5]
Shaikh Rashad Rida berkata”tasawwuf adalah salah satu pilar dari pilar-pilar agama. Tujuannya adalah untuk membersihkan diri dan mempertanggung jawabkan perilaku sehari-hari dan untuk menaikan manusia menuju maqam spiritual yang tinggi”.[6]
DR. YUSUF AL-QARDHAWI (Ketua Ulama Islam Internasional dan juga guru besar Universitas al Azhar  Beliau merupakan salah seorang ulama Islam terkemuka abad ini) mengatakan : “Arti tasawuf dalam agama ialah memperdalam ke arah bagian ruhaniah, ubudiyyah, dan perhatiannya tercurah seputar permasalahan itu. Mereka para tokoh sufi sangat berhati-hati dalam meniti jalan di atas garis yang telah ditetapkan oleh Al-Qur,an dan As-Sunnah, bersih dari berbagai pikiran dan praktek yang menyimpang, baik dalam ibadat atau pikirannya. Banyak orang masuk Islam karena pengaruh mereka, banyak orang yang durhaka dan zdalim kembali bertobat karena jasa mereka, dan tidak sedikit yang mewariskan pada dunia Islam, berupa kekayaan besar dari peradaban dan ilmu, terutama di bidang ma’rifat, akhlak dan pengalaman-pengalaman di alam ruhani, semua itu tidak dapat diingkari.”[7]
Menurut Harun Nasution secara etimologis, Tashawwuf”, memiliki banyak arti[8]
1.      Safa, artinya suci dan sufi adalah orang yang disucikan, dan memang, kaum sufi berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama salat dan puasa.
2.       Saf (baris), yang dimaksud saf ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca ayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.
3.      Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah (pelana)sebagai bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum sufi.
4.       Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat inibanyak yang menolak, karena kata sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.
5.      Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.
Selanjutnya Harun Nasution menjelaskan, Tashawwuf itu merupakan suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan, tashawwuf atau sufisme mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Islam bisa sedekat mungkin dengan tuhan”.
Dari berbagai definisi yang berbeda-beda tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan tentang inti sari atau kata kunci atau esensi atau hakekat yang sebenarnya dari Tashawwuf   itu adalah ; mendekatkan diri kepada Allah SWT.
 C.  Sejarah Perkembangan Tashawwuf  
Berbicara masalah sejarah tashawwuf sesungguhnya sama dengan pertumbuhan dan perkembangan islam itu sendiri, bahwa mengenali sejarah tasawuf sama saja dengan memahami potongan-potongan sejarah Islam dan para pemeluknya, terutama pada masa Nabi, sebab, secara faktual, tasawuf mempunyai kaitan erat dengan prosesi ritual ibadah yang dilaksanakan oleh para Sahabat di bawah bimbingan Nabi.
Tasawuf merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan rasulullah saw, belum dikenal istilah tasawuf, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan Islam sebagaimana ilmu keislaman lainnyaseperti fiqih dan ilmu tauhid. Istilah tasawuf baru muncul pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh abu Hasyimal-Sufi (w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam sejarah Islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud pada akhir abad I H dan permulaan abad II H. Secara etimologis, zuhud artinya, tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.[9]  
Menurut Harun Nasution, station terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhud yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang harus terlebih dahulu menjadi zahid, sesudahnya barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi tidak setiap zahid merupakan sufi.[10]
Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, makazuhud merupakan suatu station (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud  berarti menghindar dari berkehendak terhadap hal-hal yang bersifat duniawi. Berkaitan dengan ini al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud  adalah “berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir”[11]  Keadaan seperti ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya.[12]  
Bagi Abu Wafa al-Taftazani, zuhud itu bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya.[13] Lebih lanjut at-Taftazani menjelaskan bahwa zuhud adalah tidak bersyaratkan kemiskinan. Bahkan terkadang seorang itu kaya, tapi disaat yang sama diapun zahid. Ustman bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf adalah para hartawan, tapi keduanya adalah para zahiddengan harta yang mereka miliki.
Zuhud menurut Nabi serta para sahabatnya, tidak berarti berpaling secara penuh dari hal-hal duniawi. Tetapi berarti sikap moderat atau jalan tengah dalam menghadapi segala sesuatu, sebagaimana diisyaratkan firman – firman Allah yang berikut : ”Dan begitulah Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil serta pilihan” (QS. Al-Baqarah, 2:143) ;“Dan carilah apa yang dianugerahkan Allah kepadamu dari (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi”  (QS. Al-Qashash, 28:77).  Sementara dalam hadits disabdakan : “Bekerjalah untuk duniamu seakan kamu akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu akan mati esok hari”[14]
Zuhud merupakan salah satu maqam yang sangat penting dalam tasawuf. Hal ini dapat dilihat dari pendapat ulama tasawuf yang senantiasa mencantumkan zuhud dalam pembahasan tentang maqamat,meskipun dengan sistematika yang berbeda – beda, al-Qusyairi menempatkan zuhud dalam urutan maqam : al-taubah,al-wara’,al-zuhud, al-tawakkul dan al-ridla.[15]       
Para peneliti baik dari kalangan orientalis maupun Islam  sendiri saling berbeda pendapat tentang faktor yang mempengaruhi zuhud. Nicholson dan Ignaz Goldziher menganggap zuhud muncul dikarenakan dua faktor utama,yaitu : Islam itu sendiri dan kependetaan Nasrani, sekalipun keduanya berbeda pendapat tentang sejauhmana dampak faktor yang terakhir.[16]
Harun Nasution mencatat ada lima pendapat tentang asal-usul zuhud. Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh Phytagoras  yang megharuskan meninggalkan kehidupan materi dalam rangka membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan berkontemplasi inilah yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwa dalam rangka penyucian roh yang telah kotor, sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia. Keempat, pengaruh Budha dengan faham nirwananya bahwa untukmencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia meninggalkan dunia dan mendekatkandiri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman.[17]
Setelah periode sahabat berlalu, muncul pula periode tabiin (sekitar abad ke I dan ke II H). Pada masa itu kondisi sosial-politik sudah mulai berubah darimasa sebelumnya. Konflik –konflik sosial politik yang bermula dari masa Usman bin Affan berkepanjangan sampai masa – masa sesudahnya.Konflik politik tersebut ternyata mempunyai dampak terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok kelompok Bani Umayyah,Syiah, Khawarij, dan Murjiah. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, kehidupan politik berubah total. Dengan sistem pemerintahan monarki, khalifah – khalifah BaniUmayyah secara bebas berbuat kezaliman – kezaliman, terutama terhadap kelompok Syiah, yakni kelompok lawan politiknya yang paling gencar menentangnya.Puncak kekejaman mereka terlihat jelas pada peristiwa terbunuhnya Husein bin Alibin Abi Thalib di Karbala. Kasus pembunuhan itu ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam ketika itu. Kekejaman Bani Umayyah yang tak henti – hentinya itu membuat sekelompok penduduk Kufah merasa menyesal karena mereka telah mengkhianati Husein dan memberikan dukungan kepada pihak yang melawan Husein. Mereka menyebut kelompoknya itu dengan Tawwabun (kaum Tawabin). Untuk membersihkan diri dari apa yang telah dilakukan, mereka mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaumTawabin itu dipimpin oleh Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi[18]

Disamping gejolak politik yang berkepanjangan, perubahan kondisi sosialpun terjadihal ini mempunyai pengaruh yang besar dalampertumbuhan kehidupan beragama masyarakat Islam. Pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat,secara umum kaum muslimin hidup dalam keadaan sederhana. Ketika Bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan,hidup mewah mulai meracuni masyarakat, terutama terjadi di kalangan istana.Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah tampak semakin jauh dari tradisi kehidupan Nabi SAW serta sahabat utama dan semakin dekat dengan tradisi kehidupan raja – raja Romawi. Kemudian anaknya,Yazid (memerintah 61 H/680 M – 64 H/683M), dikenalsebagai seorang pemabuk. Dalam sejarah, Yazid dikenal sebagai seorang pemabuk. Dalam situasi demikian kaummuslimin yang saleh merasa berkewajiban menyerukan kepada masyarakat untuk hidup zuhud, sederhana, saleh,dan tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu. Diantara para penyeru tersebut ialah Abu Dzar al-Ghiffari. Dia melancarkan kritik tajam kepada Bani Umayyah yang sedang tenggelam dalam kemewahan dan menyerukan agar diterapkan keadilan sosial dalam Islam. Sejak saat itu kehidupan zuhud menyebar luas dikalangan masyarakat (I dan II H), sehingga muncul berbagai aliran yaitu :
1)      Aliran Madinah, sejak masa yang dini,di Madinah telah muncul para zahid. Mereka kuat berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-sunnah, dan mereka menetapkan Rasulullah sebagai panutan kezuhudannya. Diantara mereka dari kalangan sahabat adalah Abu Ubaidah al-jarrah (w.18 Hzuhud aliran ini tetap bercorak murni Islam dan konsisten pada ajaran-ajaran Islam. 
2)       Aliran BashrahMereka adalah penganut aliran ahlus sunnah, tapi cenderung pada aliran mu’tazilah dan qadariyah. Tokoh mereka dalam zuhud adalah Hasan al-Bashri, Malik ibn DinarCorak yang menonjol dari para zahid Bashrah ialah zuhud dan rasa takut yang berlebih-lebihan.
3)      Aliran Kufahberasal dari Yaman.Aliran ini bercorak idealistisDalam aqidah mereka cenderung pada aliran Syi’ah dan Rajaiyyah.dan ini tidak aneh, sebab aliran Syi’ah pertama kali muncul di Kufah. Para tokoh zahid Kufah pada abad pertama Hijriyah ialah ar-Rabi’ ibn Khatsim (w. 67 H.) .
4)       Aliran Mesir, Pada abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat suatu aliran zuhud lain, yang dilupakan para orientalis, dan aliran ini tampaknya bercorak salafiSebagaimana  diketahui, sejak penaklukan Islam terhadap Mesir, sejumlah para sahabat telah memasuki kawasan itu,misalnya Amru ibn al-Ash, Abdullah ibn Amru ibn al-Ash yang terkenal kezuhudannya, al-Zubair bin Awwam dan Miqdad ibn al-Aswad.
Suatu kenyataan kelahiran tasawuf bermula dari gerakan zuhud dalam Islam. Istilah tasawuf muncul pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu Hasyim al-Kufy (w.250 H.) dengan meletakkan al-sufy di belakang namanya. Jika pada akhir abad II ajaran sufi berupa kezuhudan, maka abad III H, orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan (fana fi mahbub), bersatu dalam kecintaan (ittihad fi mahbub), bertemu dengan Tuhan (liqa’), menjadi satu dengan Tuhan (‘ain al jama’), sejak itu muncul karya –karya tentang tasawuf oleh para sufi pada masa itu seperti al-muhasibi (w. 243 H.), al-Hakim al-Tirmidzi (w. 285 H.), dan al-Junaidi (w. 297 H.) karena itu abad III H dapat dikatakan sebagai abad mula tersusunnya ilmu tasawuf.[19]
Tahap pertama Tasawuf (Abad III dan IV H), wacana tentang zuhud mulai digantikan oleh tasawuf. Ajaran para sufi ini pun tidak lagi terbatas pada promosi gaya hidup zuhud belaka, dalam tahap ini mulai memperkenal­kan disiplin dan metode tasawuf, termasuk kon­sep-konsep dan terminologi baru yang sebelumnya tidak dikenal ; maqâm, hâl, ma‘­rifah, tauhîd (dalam makna­­­­nya yang khas tasawuf), fanâ’,hulûl, dan lain-lain. Tokoh-tokohnya termasuk Ma‘ruf Al-Karkhi (w. 200 H), Abu Sulaiman Al-Darani (w. 254 H), Dzul Nun Al-Mishri (w. 245 H), dan Junaid Al-Baghdadi. Pada masa itu juga muncul karya-karya tulis yang membahas tasawuf secara teoretis ini, termasuk karya-karya Al-Harits ibn Asad Al-Muhasibi (w. 243 H), Abu Said Al-Kharraz (w. 279 H), Al-Hakim Al-Tirmidzi (w. 285 H), dan Junaid Al-Baghdadi (w. 297 H). Masih di masa ini mulai muncul para sufi yang be­lakangan dikenal mempromosikan tasawuf yang ber­orientasi “kemabukan” (sukr)  antara lain Al-Hallaj dan Ba Yazid Al-Busthami. Di antara ciri tasawuf mereka adalah lontaran-lontaran ungkapan ganjil yang sering­kali susah dipahami dan terkesan melanggar keyakinan umum kaum Muslim (syathahât atau syathhiyât), semisal “Akulah Sang Kebenaran” (Anâ Al-Haqq) atau “Tak ada apa pun da­lam jubah yang dipakai oleh Busthami selain Allah” (mâ fil-jubbah illâ Allâh), dan sebagainya.
Tahap Tasawuf Falsafi (Abad VI H), merupakan perpaduan antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis. Ibn ‘Arabî adalah tokoh utama aliran ini, di samping juga Al-Qunawi, muridnya. Sebagian ahli memasukkan Al-Hallaj dan Abu (Ba) Yazid Al-Busthami juga ke dalam kelompok ini. Aliran ini kadang disebut juga dengan ‘Irfân (Gnos­tisisme) karena orientasinya pada pengetahuan (ma‘rifah atau gnosis) tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu.
Tahap Tarekat (Abad VII H dan seterusnya) Meskipun tarekat telah dikenal sejak jauh sebelumnya, seperti Tarekat Junaidiyyah yang bersumber pada ajaran  Abu Al-Qasim Al-Junaid Al-Baghdadi (w. 297 H) atau Nuriyyah yang didirikan oleh Abu Hasan ibn Muhammad Nuri (w. 295 H), baru pada masa-masa inilah tarekat ber­kembang dengan pesat. Termasuk di antaranya: Tarekat Qadiriyyah yang bersumber pada ajaran Abdul Qadir Al-Jilani (w. 561 H) dari Jilan (termasuk wilayah Iran sekarang), Tarekat Rifa‘iyyah yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 578 H), dan Tarekat Suhrawardiyyah yang didirikan oleh Abu Najib Al-Suhrawardi (w. 563 H).
D. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Imam Al-Ghazali), di dunia barat dikenal dengan sebutan    Al-Gazel, lahir pada tanggal 17 Jumadil Awal tahun 450 Hijriah (1058 Masehi) di kota Thusi (Iran), memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad, adalah seorang ahli sains sekaligus ulama’besar, tokoh tashawwuf terkemuka yang sangat terkenal, yang berhasil menyusun gagasan tashawwuf yang menciptakan kompromi antara syari’at dan hakikat atau tashawwuf menjadi bangunan baru yang cukup memuaskan kedua belah pihak, baik dari kalangan syar’I ataupun lebih-lebih kalangan sufi, dengan karya besarnya yang amat terkenal, kitab, “Ihya’ ‘Ulumuddin”. Ayah beliau seorang fakir yang  shalih, pengrajin kain shuf  (kulit domba), selalu berkeliling mengujungi ahli fikih dan majelis ceramah nasihat dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya dan selalu berdoa diberi anak yang faqih dan ahli dalam ceramah nasihat. Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat.
Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan ;“Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.” Setelahayahnya meninggal, temannya tersebut mengajari keduanya ilmu sehingga habis harta peninggalan yang sedikit tersebut, Ia dan adiknya disarankan belajar pada sebuah madrasah, sekaligus untuk menyambung hidup mereka (465 H).
Imam Al-Ghazali belajar fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di Thusi, kemudian pergi ke Jurjan belajar kepada Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku  At Ta’liqat, selanjutnya pergi ke kota Naisabur berguru pada Imam Haramain Al Juwaini,  sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat yang membuat kagum gurunya, Al Juwaini.
Setelah Al Juwaini meninggal, ia pergi ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik, tempat berkumpul para ahli ilmu, menantang debat para ulama dan mengalahkan mereka, hingga Nidzamul Malik mengangkatnya jadi pengajar di Madrasah Nidzamiyah Baghdad(484 H), disinilah beliau berkembang, mencapai kedudukan yang sangat tinggi dan menjadi terkenal. Namun kedudukan dan ketinggian jabatan tidak membuatnya congkak dan cinta dunia, dalam jiwanya berkecamuk perang bathin yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan, la mengangkat saudaranya Ahmad sebagai penggantinya, lalu  meninggalkan  Bagdad, kemudian pergi naik haji ke tanah suci Mekah (488 H).
Tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus, menziarahi Baitul Maqdis, kemudian kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah), tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar, melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun[20].
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau diminta tinggal diNaisabur  untuk  mengajar dimadrasah An-Nidzamiyah, beberapa tahun kemudian pulang ke negerinya mendirikan satu madrasah dan asrama untuk orang-orang shufi di samping rumahnya.Pada masa akhir hidupnya Imam Al-Ghazali menghabiskan waktunya mengajar para penuntut ilmu, beribadah, mengkhatam Al-Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, kembali mempelajari hadits  sampai meninggal dunia. Berkata Imam Adz Dzahabi ;

“Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya) ; Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya, lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata ; “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari).Beliau wafat di kota Thusi, hari Senin, 14 Jumada Akhir tahun 505 H, dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran.  
E. Pemikiran  Tashawwuf  Imam Al-Ghazali
Sebagai tokoh sufi, Imam Al-Ghazali dikenal sebagai seorang ulama usul fiqh dengan karyanya al-mustashfa, juga sebagai tokoh filsafat dengan karyanya Tahafut al-Falasifah yang mengkritik konsep berfikir para filosof saat itu. Ia menganggap ajaran pemikiran filsafat para filosof telah melewati batas, sehingga menimbulkan kehawatiran mendalam dalam dirinya akan rusaknya akidah kaum filsafat, karena itu beliau berinisiatif untuk meluruskan pemikiran filsafat dengan menggagas kaedah-kaedah tasawuf sebagai jembatan guna mendamaikan syari’at dengan tasawuf yang sempat mengalami clash pada zaman itu, yang berhasil terkumpul dalam karya terbesarnya yang terkenal,”Ihya’ U’lum al-Din” (The Revival of Religion Sciences).  
Menurut Imam Al-Ghazali, tema ilmu sufi adalah Dzat, sifat dan perbuatan Allah, buah dari pengetahuan tentang Allah adalah timbulnya sikap mencintai Allah, karena cinta tidak akan muncul tanpa “pengetahuan” dan perkenalan. Buah lain dari pengetahuan tentang Allah adalah “tenggelam dalam samudra Tauhid”, karena seorang ‘arif  tidak melihat apa-apa selain Allah, tidak kenal selain Dia, di dalam wujud ini tiada lain kecuali Allah dan perbuatan-Nya. Tidak ada perbuatan yang dapat dilihat manusia kecuali itu adalah perbuatan Allah. Setiap alam adalah ciptaan-Nya. Barang siapa melihat sesuatu sebagai hasil perbuatan Allah, maka ia tidak melihat kecuali dalam Allah, ia tidak menjadi arif kecuali demi Allah, tidak mencintai kecuali Allah. Kata beliau; “Mereka melatih hati, hingga Allah memperkenankan melihatNya.
Para sufi banyak berbicara tentang kasyf dan mu’ayanah, mampu berhubungan dengan alam malakut dan belajar darinya secara langsung, mampu mengetahui lauhul-mahfuzh dan rahasia-rahasia yang dikandungnya, namun bagaimanakah caranya agar manusia mampu mendapatkan kasyf dan mu’ayanah? Para sufi menjawab, caranya dengan menuntut ilmu dan mengamalkannya. Al-Ghazalimengatakan ; “Aku tahu bahwa tarekat mereka menjadi sempurna dengan ilmu dan amal
Jalan pertama, yaitu Ilmu, Imam Al-Ghazli mulai mendapatkan ilmu kaum sufi dari kitab Qut Al-Qulub Mu’amalah Al-Mahbub karyaAbu Thalib Al-Makki dan kitab Ar-Ri’ayah li Huquq Allah karya Harits Al-Muhasibi, serta ucapan-ucapan pucuk pimpinan sufi semisalAl-Junaidi, As-Syibli, Al-Busthami, dan lain-lain. Katanya ; “Mendapatkan ilmu Tasawuf bagiku lebih mudah dari pada mengamalkannya. Aku mulai mempelajari ilmu kaum sufi dengan menelaah kitab-kitab dan ucapan-ucapan guru-guru mereka. Aku mendapatkan ilmu dengan cara mendengar dan belajar. Nampaklah bagiku bahwa keistimewaan guru besar sufi tidak mungkin digapai dengan cara belajar, tetapi dengan cara dzauq, hal, dan memperbaiki sifat diri.”
Jalan kedua, yaitu dengan cara Tahalli (menghias diri dengan sifat-sifat utama), Tkhalli (membersihkan diri dari sifat-sifat yang rendah dan tercela) agar manusia dapat memberesihkan hati dari pikiran selain Allah dan menghias hati dengan berzikir kepadaNya. Katanya ; “Adapun manfaat yang dicapai dari ilmu sufi adalah terbuangnya aral yang merintangi jiwa, mensucikan diri dari akhlaknya yang tercela dan sifatnya yang kotor, hingga dengan jiwa yang telah bersih itu hati menjadi kosong dari selain Allah dan dihiasi dengan dzikir kepada Allah.”[21]
Dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, ia menulis ; “Bagi hati, ada dan tiadanya sesuatu adalah sama. Lantas, bagaimanakah hati meninggalkan semua urusan Dunia? Demi Allah, ini adalah jalan yang sangat sukar,  jarang sekali ada manusai yang sanggup melakukannya”[22]
Imam Al-Ghazali di kenal sebagai orang yang haus ilmu pengetahuan, ia berusaha keras agar dapat mencapai suatu keyakinan dan mengetahui hakikat segala sesuatu, selalu bersikap kritis dan kadang tidak percaya terhadap adanya kebenaran semua macam pengetahuan, kecuali yang bersifat inderawi dan pengetahuan hakikat (oxioma atau sangat mendasar). Namun pada kedua pengetahuan inipun ia akhirnya tidak percaya (skeptis). Hal ini ia ungkapkan dalam kitab Al Mungidz : “Sikap skeptis yang menimpa diriku dan yangberlangsung lama telah berakhir dengan suatu keadaan, dimana diriku tidak mempercayai kepada pengetahuan inderawi, bahkan keraguan-keraguan ini semakin mendalam, bagaimana pengetahuan inderawi itu bisa diterima seperti misalnya penglihatan sebagai inderawi.”
Cukup lama Al-Ghazali berada dalam situasi tarik menarik antara dorongan hawa nafsu dan panggilan akhirat, hingga akhirnya membuat hatinya sedih dan kondisi fisiknya lemah, sampai-sampai dokter putus asa mengobatinya. Para dokter mengatakan ; “Penyakitnya bersumber dari hati dan merembet ke tubuhnya. Penyakitnya tidak bisa diobati kecuali mengistirahatkan pikiran dari factor-faktor yang membuatnya sakit”
Disaat menyadari ketidak mampuan dan semua upaya telah gagal, akupun mau tak mau harus kembali pada Allah dalam keadaan yang terpaksa dan tidak mempunyai pilihan lagi. Allah  menjawab doa yang terpaksa jika berdoa mengabulkan niatku, hinngga kini terasa mudah bagiku meninggalkan pangkat, harta, anak, dan teman.”[23]
Setelah Al-Ghazali melihat bahwa ahli ilmu kalam, filosof dan kaum batiniyah tidak mampu mengantarkannya mencapai keyakinannya dan hakikat, maka dia melirik tasawuf, menurut pandangannya adalah harapan terakhir yang bisa memberikannya kebahagiaan dan keyekinan. Ia mengatakan ;
 setelah aku mempelajari ilmu-ilmu ini (kalam, filsafat, dan ajaran bathiniyah), aku mulai menempuh jalan para sufi.  
Pemikiran Tashawwuf  Imam Al-Ghazali bercorak Tashawwuf  Islam Sunni yang didirikan diatas pilar Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia berusaha mengembalikan tema-tema tentang Akhlaq, Suluk, atau Hal pada sumber Islam, beliau mengatakan :
 “Saya tahu benar bahwa para Sufi adalah para pencari jalan Allah, dan bahwa mereka melakukan yang terbaik, dan jalan mereka adalah jalan terbaik danakhlak mereka paling suci. Mereka membersihkan hati mereka dari selain Allah dan mereka menjadikan mereka sebagai jalan bagi sungai untuk mengalirnya kehadiran Ilahi [24]
Corak tasawuf Imam Al-Ghazali  lebih ditekankan pada adab dan tata krama., beliau berkata:Adab adalah pendidikan dhohir dan bathin, oleh karenanya apabila seorang hamba telah berbuat baik secara dhohir dan bathin maka ia telah menjadi sufi yang beradab. Barang siapa selalu berperilaku sesuai dengan Sunah maka akan menerangi hatinya dengan cahaya kemarifatan karena tidak ada kedudukan yang lebih mulia dari mengikuti Nabi Muhammad yang dicintai Allah dalam perintah, perbuatan, dan ahlaknya, baik dalam niat, ucapan maupun perbuatan.
Imam Al - Ghazali menghimpun  akidah, syariat dan akhlak dalam suatu sistematika yang kuat dan amat berbobot, karena itu teori-teori tashawwufnya  lahir dari kajian dan pengalaman pribadi setelah melaksanakan suluk dalam riyadhah dan mujahadah yang intensif dan berkesinambungan, dalam pandangannya, Ilmu Tasawuf mengandung 2 bagian penting, pertama menyangkut ilmu mu'amalah dan bagian kedua menyangkut  ilmu mukasyafah, menurutnya, perjalanan tashawwuf hakekatnya adalah pembersihan diri dan pembeningan hati terus menerus sehingga mampu mencapai musyahadah, ia menekankan pentingnya pelatihan jiwa, penempatan moral atau akhlak yang terpuji baik disisi manusia maupun Tuhan (Ajaran tashawwuf psikomoral) yang mengutamakan pendidikan moral, dapat di lihat dalam karya-karyanya seperti ; Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad. 
Satu hal mencolok yang dilakukan Imam Al-Ghazali pada tasawuf adalah upayanya dalam mengalihkan tema-tema Dzauq (rasa), Tahliq (terbang), Syathahat, dan Tahwil menjadi nilai-nilai yang praktis. Ia mengobati hati dan bahaya jiwa, lalu mensucikannya dengan akhlaq yang mulia. Upaya ini nampak jelas terlihat dalam kitab Al-Ihya’-nya. Ia bebicara tentang akhlaq yang mencelakakan(al-Muhlikat) dan akhlaq yang menyelamatkan (al-Munjiyat). Al-Muhlikat adalah setiap akhlaq yang tercela (madzmum) yang dilarang al-Qur’an. Jiwa harus dibersihkan dari akhlaq yang tercela ini. Al-Munjiyat adalah akhlaq yang terpuji (mahmud), sifat yang disukai dan sifatnya orang-orang muqarrabin dan shiddiqin, dan menjadi alat bagi hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhan semesta alam.[25]
Ketika beragam kecenderungan berfikir, baik yang bernuansa agama maupun rasio, berbenturan dan beradu argumentasi, Imam Al-Ghazali merasakan dirinya berhadapan dengan samudera luas, dengan gulungan ombak yang sangat dahsyat dan dalam, ia tidak memposisikan dirinya sebagai “penggembira” yang hanya ikut-ikutan dalam gelombang dahsyat itu, ia tidak merasa takut terhadap luasnya samudera, kedalaman dasar samudera dan besarnya gelombang.[26]   
Al-Ghazali merasakan dirinya di antara mazhab yang terpecah belah, kelompok-kelompok perusak, filsafat asing dan bid’ah-bid’ah pemikiran, sebagaimana tergambar dalam bait kata-katanya yang begitu menggugah hati dengan gemuruh semangat dan keberanian ; 
ketika masih muda, aku menyelami samudera yang dalam ini. Aku menyelaminya sebagai penyelam handal dan pemberani, bukan sebagai penyelam penakut dan pengecut. Aku menyerang setiap kegelapan dan mengatasi semua masalah, menyelami kegoncangan. Aku teliti aqidah setiap kelompok dan menyingkap rahasia cara pikir setiap golongan, agar aku bisa membedakan antara kelompok yang memperjuangkan kebenaran dan kelompok yang memperjuangkan kebathilan, agar bisa membedakan antara pengikut sunnah dan pencipta bid’ah”.
Imam Al-Ghazali berupaya membersihkan tasawuf dari ajaran-ajaran asing yang merasukinya, agar tasawuf berjalan di atas koridor Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia menilai negatif terhadap syathahat dan sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan wujud) sebagaimana yang di propagandakan oleh al-Hallaj dan lainnya., untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya, ia menjauhkan semua kecenderungan genotis yang mempengaruhi para filosuf Islam, sekte Isma'iliyah, aliran Syi’ah, Ikhwan al-Shofa, paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan.

F. Pandangan  Imam Al-Ghazali Tentang Syari’at
Imam Al-Ghazali teguh memegangi syari’at, Tashawwuf   dilakukan dengan memegang teguh dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga dalam perilaku dan ucapannya,  ia mengatakan ; “seorang arif sejati mengatakan, “jika kamu melihat seorang manusia mampu terbang di awang-awang dan mampu berjalan di atas air, tetapi ia melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syari’at, maka ketahuilah dia itu setan.”[27] Dan secara terus terang ia menyatakan ; seseorang yang telah mendapatkan penyingkapan (kasyf) dan penyaksian (musyahadah) tidak layak mengeluarkan suatu ucapan yang bertentangan dengan aqidah Islam, yakni aqidah tauhid murni yang membedakan mana Tuhan dan mana hamba, serta menegaskan bahwa Tuhan adalah Tuhan dan hamba adalah hamba. Itulah aqidah yang dipegang teguh Al-Ghazali.[28] Lebih jauh, Al-Ghazali menyatakan ; bahwa kebersatuan dengan Tuhan (ittihad) secara rasional tidak mungkin terjadi.
Dari susunan Ihya’ ‘Ulum al-Dien tergambar  pokok pikiran Al-Ghazali mengenai hubungan syariat dan hakekat atau tasawuf ; Sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang harus memperdalam ilmu tentang syari’at dan aqidah telebih dahulu. Tidak hanya itu, dia harus konsekuwen menjalankan syari’at dengan tekun dan sempurnaSesudah menjalankan syari’at dengan tertib dan penuh pengertian, baru dimulai mempelajari tarekat. Yaitu tentang mawas diri, pengendalian nafsu-nafsu, dan menjalankan dzikir, hingga akhirnya berhasil mencapai ilmu kasyfi atau penghayatan ma’rifat.
Salah satu tuduhan yang kerap dialamatkan kepada tasawuf adalah bahwa tasawuf mengabaikan atau tidak mementingkan syari’at. Tuduhan ini berlaku hanya bagi kasus-kasus tertntu yang biasanya terdapat dalam tasawuf tipe “Keadaan Mabuk”(sur, intoxication), yang dapat membedakan dari tasawuf tipe “keadaan-tidak-mabuk”(sahw, sobiety). Para sufi “yang mabuk” merasakan keintiman denga Tuhan dan sangat yaqin pada kasih sayangNya, sedangkan para sufi “yang-tidak-mabuk” dikuasai rasa takut dan hormat kepada Tuhan dan tetap khawatir terhadap kemurkaanNya. Yang pertama cenderung kurang mementingkan syari’at dan menyatakan terang-terangan persatuan denagan Tuhan, sedangkan yang kedua memelihara kesopanan (adab) terhadap Tuhan, sangat menekankan pentingnya syari’at. tasawuf tidak dapat dipisahkan dengan syri’at, karena syri’at adalah jalan awal yang harus ditempuh untuk menuju tasawuf.
Dalam Al-Futuhat Al-Makkiyah, Ibn Al-‘Arabi menyatakan ; “jika engkau betanya apa itu tasawuf ?  Maka kami menjawab, tasawuf adalah mengikatkan diri kepada kelakuan-kelakuan baik menurut  syri’at secara lahir dan batin dan itu adalah akhlaq mulia.Ungkapan-ungkapan kelakuan baik menurut syari’at dalam perkataan Ibn al-‘Arabi ini menunjukkan bahwa tasawuf harus berpedoman pada syari’at. Menurut sufi ini, syari’at adalah timbangan dan pemimpin yang harus di ikuti dan diikuti oleh siapa saja yang menginginkan keberhasialan tasawuf.
Sebagaimana Ibn al’Arabi, Hussen Naser, seorang pemikir dari Iran berulangkali menekankan ; bahwa tidak ada tasawwuf tanpa syari’at. Islam sebagai agama sangat menekankan keseimbangan memanifestasikan dirinya dalam kesatuan syari’at (hukum Tuhan) dan tharikat (jalan spiritual), yang sering disebut sufisme atau tasawuf. Apabila syari’at adalah dimensi eksoteris Islam, yang lebih banyak berurusan aspek lahiriyah, maka tharikat adalah dimensi esoteric Islam, yang lebih banyak berurusan dengan aspek bathiniyah.Pentingnya menjaga kesatuan syari’at dan tharikat dituntut oleh kenyataan bahwa segala sesuatu di alam ini, termasuk manusia, mempunyai aspek lahiraiyah dan bathiniyah. Ajaran-ajaran Islam dinamakan Syari’at Islam, yang mencakup segenap peraturan-peraturan Allah, yang dibawa/disampaikan oleh Nabi Muhammad, untuk seluruh manusia, dalam mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan menusia sesamanya dan hubungannya dengan makhluk lain. Dan peraturan itu berfaedah untuk mensucikan jiwa manusia dan menghiasinya dengan sifat-sifat yang utama. Inilah pengertian syari’at yang biasa dipakai oleh para Ulama’ Salaf.[29]
Tashawuf adalah satu cabang dari Syari’at Islam, seperti halnya dengan Tauhid (aqidah) dan fiqih yang merupakan cabang dari Syari’at Islam. Seperti di dalam hadist yang diriwayatkan dari Umar ra, yang mengisayaratkan tiga unsure dasar syari’at Islam tentang Islam, Iman dan Ihsan.[30]
Ihsan termasuk amal hati dalam hubungan dengan ma’bud (Tuhan). Ini tidak dipelajari dalam ilmu kalam dan fiqh, tetapi dalam Tasawuf. Adapun yang berkenaan dengan amal lahir seperti shalat, puasa, zakat dan haji, itulah yang dipelajari dalam ilmu fiqh, yang menyangkut soal aqidah dipelajari di dalam ilmu Kalam.[31]
Selain dari Ihsan, tashawwuf juga membahas tentang hubungan manusia dengan sesamanya yang disebut akhlaq, seperti halnya dengan fiqhselain membahas tentang rukun Islam juga membahas tentang muamalat maliah, jinayat, munahkat dan qoda’, karena persoalan ini erat hubungannya dengan masalah pokok yang disebutkan Nabi di atas (Islam, Iman, Ihsan)contoh ; tentang penyakit dengki (hasad).
Dengki menurut hadist Rasul dapat memakan amal seperti api memakan kayu bakar. Dari hadist ini (tentang Islam, Iman, Ihsan) dapat dipahamkan bahwa dengki yang merusak hubungan dengan sesama manusia juga dapat merusak hubungan dengan Tuhan. Karena itu masalah akhlaq yang tercela dan akhlaq yang terpuji yang tumbuh di dalam hati dapat dipelajari dalam ilmu Tasawuf. Dengan  ini jelas, betapa kedudukan Tasawuf dengan rangkaian syari’at Islam.[32]
Tasawuf Islam tidak akan ada kalau tidak ada Tauhid. Tegasnya tiada guna pembersihan hati kalau tidak beriman. Tasawuf Islam sebenarnya adalah hasil dari aqidah yang murni dan kuat yang seseuai dengan kehendak Allah dan RasulNya.[33]
Sungguh sudah banyak penganut Tashawuf yang tergelincir di bidang ini. Banyak para Shufi yang telah mengaku dirinya Tuhan atau manifestasi Tuhan. Ada pula yang mengaku bahwa para Nabi lebih rendah derajatnya dari para wali. Ada yang mengi’tikadkan bahwa ibadat-ibadat yang kita kerjakan tidak sampai kepada Tuhan kalau tidak dengan merabithahkan guru lebih dahulu. Dan bayak macam-macam I’tiqad yang sesat yang bersumber dari akal filsafat pemikiran manusia. Oleh sebab itu untuk mendalami tasawuf Islam terlebih dahulu harus dimatangkan pengertian Tauhid Islam. Amal Tasawuf akan rusak binasa kalau tidak didahului oleh pengertian tentang Tauhid. Demikianlah hubungan antara ilmlu Tasawuf dengan ilmu Tauhid (syari’at). Tasawuf tidak aka nada kalau tidak ada Tauhid dan Tauhid tidak akan tumbuh subur dan berbuah lebat kalau tidak ada Tasawuf.[34]
Kemudian soal pendalaman perasaan agama dan pemantapan iman, Imam Al-Ghazali melihat bahwa tasawuf adalah sarana yang hebat untuk untuk mendukung bagi pendalaman rasa agama (spiritualitas Islam) dan untuk memantapkan dan menghidupkan iman. Dengan ilmu kalam orang baru bisa mengerti tentang pokok-pokok keimanan, namun tidak bisa menanamkan keyakinan yang mantap dan menghidupkan pengalaman agama. Oleh karena itulah tasawuflah sarana yang paling hebat untuk mengobati penyakit formalism dan kekeringan rasa keagamaan ini menurut Al-Ghazali.[35]
Yang menjadi masalah kemudian, bagaimana cara mengawinkan dan mengkompromikan tasawuf dengan syari’at itu? Atau dengan kata lain bagaimana mengkompromikan syari’at dan hakikat sehingga keduanya tidak saling menggusur, akan tetapi justru saling mendukung.? Kebutuhan ini wajar, karena para sufi sendiri mengembangkan ajaran mereka adalah untuk menyemarakkan kehidupan agama, dan bukan untuk merusaknya. Namun bagaimana caranya, itu yang belum bisa di kemukakan oleh para ulama’ sufi.
Imam al-Qusyairi (w, 1074M.) dalam risalahnya merumuskan harapan ; “Syari’at itu perintah untuk melaksanakan ibadah, sedang hakikat menghayati kebesaran Tuhan (dalam ibadah). Maka setiap syari’at yang tidak diperkuat dengan hakikat tidak diterima; dan setiap hakikat yang tidak terkait dengan syari’at, pasti tak menghasilkan apa-apa. Syari’at datang dengan kewajiban pada hamba, dan hakikat memberikan ketentuan Tuhan. Syari’at memerintahkan mengibadahi pada Dia. Syari’at melakuakan yang diperintahkan Dia, hakikat menyaksikan ketentuanNya, kadarNya, baik yang tersembunyi ataupun yang tampak diluar[36]
Walaupun cita-cita untuk menjalin keselarasan pengamalan tashwwuf dengan syari’at telah di cetuskan dan menjadi keprihatinan ulama’-ulama’ sufi sebelumnya, namun baru Imam Al-Ghazali yang secara konkrit berhasil merumuskan bangunan ajarannya. Konsep yang mengkompromikan dan menjalin secara ketat antara pengalaman sufisme dengan syari’at dalam karya yang paling monumental Ihya’ Ulumu ad-Din.[37]


G.  Pandangan Imam Al-Ghazali Tentang Ma’rifat.
Menurut Imam Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada, alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir-qolb dan roh. Saat sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya akan mengalami iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya kepada sang sufi hingga yang dilihatnya hanya Allah, di sini sampailah ia ke tingkat ma’rifat.
Menurut Al-Ghazali proses mengenal Allah tidak dapat hanya dengan menggunakan akal sebagaimana yang diyakini oleh para kaum filsafat, bahwa pengenalan Allah dengan dhauq atau perantara intuitif (batini) akan lebih dapat memberikan keyakinan dan ketenangan spiritual daripada hanya sebatas bersandar dengan akal.[38] Untuk sampai pada mahabbah dan ma’rifat yang sempurna kepada Tuhan tentunya seorang sufi terlebih dahulu harus melewati berbagi maqom dan melewati batas fana’.
Fana’ merupakan satu istilah yang menggambarkan seorang sufi yang telah melakukan proses takhalli dan tahalli. Orang yang mencintai Tuhan akan berusaha bertakhalli (membersihkan diri dan jiwa dari segala macam sifat yang dibenci Tuhan). Begitu juga sebaliknya setelah seorang sufi melakukan tahkalli (pembersihan) maka ia akan mengisi hidupnya dengan sifat-sifat yang dicintai oleh Tuhan atau bertahalli.[39]
Ma’rifat merupakan bagian dari finalitas maqomat seorang sufi. Setelah seorang sufi melewati berbagai maqom mulai dari taubah, wira’i, zuhud, faqru, sabar, tawakal, dan ridho maka sampailah ia pada satu tsamroh atau hasil dari perjalanan kesufian tersebut. Tsamroh itulah yang dalam kitab Ihya’ U’lum al-Din di namakan dengan mahabatullah. Keterikatan antara ‘mahabbah’ dan makrifat dalam pemikiran sufisme amat erat seolah sepasang kembar yang tak dapat dipisahkan baik subtansi maupun sifat-sifatnya. Dari makrifat lahir mahabbah, cinta. Tiada pengenalan yang tidak melahirkan cinta. Ini berlaku dalam setiap taraf spritual. Proses ma’rifat (pengenalan) seseorang kepada Tuhannya untuk mencapai mahabbah berbeda-beda. Imam Al-Ghazali membagi kelompok orang-orang yang sampai pada tingkat ma’rifat dan mahabbah kepada dua tingkatan yaitu :[40]
       Pertama, tingkatan seseorang yang kuat dalam ma’rifat. Dia adalah seseorang yang menjadikan Tuhan sebagai awal ma’rifatnya dan kemudian dengan ma’rifat itu ia mengenal segala sesuatu yang selain Tuhan.
       Kedua, tingkatan seseorang yang lemah ma’rifatnya. Yaitu seseorang yang bermula dengan mengenal ciptaan Tuhan kemudian dengan ma’rifatnya ia mengenal Tuhan.
Finalitas dari sebuah mahabbah dan ma’rifat yang sempurna adalah terbukanya hijab dan terjadinya tajalli atau penampakan Tuhan pada makhluknya. Seorang yang telah sampai pada maqom ini akan merasa hidupnya terpenuhi oleh cahaya Tuhan, bahkan terkadang saat berada dalam kondisi sakran (mabuk) seseorang akan mengeluarkan ucapan-ucapan teopatis atau dalam istilah tasawuf syatotoh.
Yang menarik dari konsep ma’rifat Imam Al-Ghazali adalah penolakannya pada konsep-konsep tokoh sufi sebelumnya, seperti ; Abu Yazid dengan konsep ittihad, al-Hallaj dengan konsep hulul, ibn Arabi dengan konsep wahdah al-wujud. Menurut Imam Al-Ghazalipaham tersebut berkecenderungan ke arah ketuhanan yang bercorak panteistis-imanenis yang menggambarkan Tuhan sebagai Dzat yang imanen dalam diri manusia, yang mana ia melihat itu semua sebagai paham yang akan merusak konsep tauhid yang menjadi ciri khas dogma teologi dalam Islam. Dalam bukunya, al-Munqidz, ia melihat rumusan mengenai kedua konsepsi ini sebagai khayalan semata. Katanya, “ sampailah ia ke derajat yang begitu dekat dengan-Nya sehingga ada orang yang mengiranya sebagai hulul, ittihad atau wushul. Semua persepsi itu adalah salah belaka. … barang siapa mengalaminya, hendaklah hanya mengatakan bahwa itu suatu hal yang tak dapat diterangkan, indah, baik, utama, dan jangan lagi bertanya.”[41]
Dengan batasan ini bisa dilihat, al-Ghazali mempertahankan keyakinan mengenai Tuhan sebagai Dzat yang transenden. Artinya Tuhan adalah Dzat yang mengatasi dan berbeda dengan manusia : Ada perbedaan mendasar antara Tuhan dan makhluk (manusia) secara jelas dalam pandangan al-Ghazali. Akan tetapi penolakan Imam Al-Ghazali terhadap hulul dan ittihad di atas tidak otomatis merupakan penolakannya pada pengalaman orang-orang yang telah mencapai maqom ma’rifat. Bagi al-Ghazali, pengalaman itu benar adanya. Kaum `arifun, setelah pendakiannya ke langit hakekat, sepakat bahwa mereka tak lagi melihat dalam wujud ini kecuali Tuhan.
Ucapan al-Hallaj ana al-Haq, dan ucapan-ucapan tokoh sufi lainnya yang dianggap aneh dan menyesatkan sebenarnya hanyalah merupakan kata-kata teopatis atau syafahat. Ia merupakan ucapan yang terlepas di bawah kontrol kesadaran seseorang saat berada dalam keadaan mabuk (sakran) akan cinta Tuhan. Ucapan-ucapan itulah yang selanjutnya disebut sebagai ajaran ittihad, hulul dan wihdatul wujud. Menurut dia, ilmu sejati atau ma’rifat sebenarnya adalah mengenal Tuhan. Mengenal Hadrat Rububiyah. Wujud Tuhan meliputi segala Wujud. Tidak ada yang wujud, melainkan Tuhan dan perbuatan Tuhan. Tuhan dan perbuatannya adalah dua, bukan satu. Itulah koreksi Imam Al-Ghazali atas pendirian al-Hallaj dan ulama sufi lainnya. Wujudnya ialah kesatuan semesta (wihdatul wujud). Alam keseluruhan ini adalah makhluk dan ayat (bukti) tentang kekuasaan dan kebesaran-Nya. Sedangkan penglihatan akan Tuhan melalui alam dan makhlukNya adalah sebatas tajalli atau penampakan akan keberadaan Tuhan bukan berarti Tuhan menyatu dengan alam apalagi mengalami persatuan ke dalam tubuh manusia.


H.  Pujian Dan Kritikan Terhadap Thasawwuf Imam Al-Ghazali
Pengaruh pemikiran al-Ghazālī dalam dunia Islam amat mendalam dan luas sekali. Hasil karyanya dibaca dan dikaji di Timur dan Barat serta oleh kalangan bangsa Arab atau bukan Arab, bahkan pengkaji-pengkaji bukan Islam turut meneliti hasil karyanya dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia.  
Beberapa pujian oleh para peminat atau pencinta jasa Imam Al-Ghazālī ;
-          Pernyataan al-Yafi’i: “Kalau wujud nabi selepas Nabi Muhamad pasti orang itu ialah al-Ghazālī.”
-          Imam Nawawi pula pernah berkata: “Hampir-hampir Kitab Ihyā mengambil tempat al-Qur’an.”
-          Kata al-Subky: “Tidak tahu ada orang selepas al-Ghazāli yang sama sepertinya terutama dari segi kadar memiliki ilmu. Pasti tidak ada orang yang akan datang sepertinya.”[42]
Banyak  tokoh-tokoh yg terlibat dalam penyebaran dan perkembanga agama Islam di seluruh dunia, termasuk tokoh-tokoh pada zaman Rasulullah. Antara nama-nama besar yang memberi sumbangan kepada dunia Islam ialah Imam As-Syafi’e, Imam Malik, termasuk  Imam Al-Ghazali dengan karya beliau yg paling terkenal dan jadi rujukan di seluruh dunia yaitu Ihya Ulum Al-Din. Imam Al-Ghazali banyak memberi sumbangan pada dunia Islam sehingga digelar Hujjatul Islam (pembela Islam).[43]

Imam Al-Ghazali adalah nama yang tidak asing lagi di telinga kaum muslimin. Beliau merupakan seorang teologi Islam, ahli hukum, ahli falsafah dan sufi termasyurjuga merupakan salah seorang sarjana yang paling terkenal dalam sejarah pemikir Islam Sunni. Ia memiliki pengaruh dan pemikiran yang tersebar ke seluruh dunia Islam melalui karya-karyanya meliputi ilmu pengetahuan seperti ilmu kalam(teologi Islam), fikah (hukum Islam), tasawauf, falsafah, akhlak dan autobiografi. Didipandang paling berjasa dalam mendamaikan tasawuf dan syariat sehingga tasawuf dapat diterima oleh sebahagian besar umat Islam. Beliau juga berjasa mengembangkan dan menyebarkan aliran Asy’ariyah yg dianuti oleh majority Ahli Sunnah Wal Jamaah.[44]
Di kalangan ahli-ahli falsafah, pengkritik al-Ghazālī yang termasyhur ialah Ibnū Rusyd, ia menolak perbahasan-perbahasan al-Ghazālī terhadap ahli-ahli falsafah. Contoh kritikan dalam penulisannya ialah Tahāfut al-Tahāfut bagi menjawab tulisan al-Ghazālī dalam kitab Tahāfut al-Falāsifah.[45] Ibnū Rusyd mempertahankan ahli-ahli falsafah dengan hujah yang keras sebagaimana serangan al-Ghazālī terhadap mereka. Ibnū Rusyd berhujah dengan penuh kefahaman dan kehandalan tetapi dalam analisis terakhir ternyata hujah-hujah al-Ghazālī lebih berkesan daripada penentangnya. Sanggahan Ibnū Rusyd menyatakan bahawa al-Ghazālī menentang ahli falsafah semata-mata untuk mendapat penghargaan daripada golongan tradisional tidak dapat dibuktikan. Beliau juga menuduh al-Ghazālī tidak tetap dalam pemikirannya. Contoh, beliau menyebut bahawa dalam kitab Misykātul al-Anwār, al-Ghazālī memberi sokongan kepada teori emanasi yang sudah dikritik dalam Tahafut. Menurut beliau lagi, ajaran-ajaran al-Ghazālī mendatangkan bahaya kepada agama danfalsafah. Ibnū Rusyd menyatakan mengenai pemikiran al-Ghazālī : “Satu hari kamu berbangsaYaman apabila bertemu dengan orang Yaman. Tetapi apabila kamu bertemu seseorang dari Ma’ad , kamu mendakwa kamu dari ‘Adnan!”
Tuduhan tidak konsisten terhadap al-Ghazālī juga dibuat oleh ahli falsafah Islam lain seperti Ibnū Tufail menyebut dalam karyanya bahawa al- Ghazālī: “terikat di satu tempat tetapi bebas di tempat lain. Ia menafikan beberapa perkara tetapi kemudian mengisytiharkannya benar.” Sungguhpun beliau menunjukkan beberapa kontradiksi dalam karya al-Ghazālī tetapi keseluruhannya Ibnū Tufail mengagumi ajaran al-Ghazālī yang dapat dikesan dalam karya Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn.
Ibnū Taymiyah berpendapat bahawa Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn karangan al-Ghazālī secara amnya adalah sebuah kitab yang ditulis dengan baik dan menggunakan gaya yang menarik. Pada masa yang sama, Ibnū Taymīyah memberi kritikan kerena empat sebab:[46]
-          Pertama, pemikiran al-Ghazālī jelas menunjukkan peninggalan falsafah Yunani. Dalam menjelaskan ketauhidan Allah, kenabian dan hari akhirat, beliau memperkenalkan banyak konsep yang dipegang oleh ahli-ahli falsafah pada masa itu. Dalam Muwāfaqāt, beliau menyatakan  komentar Abū Bakar bin al-‘Arabī iaitu sahabat dan pelajarnya bahawa al-Ghazālī telah mendalami ilmu falsafah dan mahu menolak pemikiran itu tetapi sukar. Oleh sebab itu, Ibnū Taymīyah menentang falsafah. Beliau mendapati setengah penulisan al-Ghazālī tidak dapat diterima dari pada sudut keagamaan.
-          Kedua, dalam penulisan Ihyā ‘Ulūm al-Dīn al-Ghazālī menggunakan analisis logik yang dibuat berdasarkan premis umum dan khusus dengan tujuan mendapatkan kesimpulan kerana ini tidak bertepatan dengan semangat al-Qur’an dan Sunnah.
-          Ketiga, kitab Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn mempunyai banyak konsep dan ajaran ahli-ahli turūq suffīyah dan pertanyaan-pertanyaan mereka mengenai pendapat kasyāf ke dalam kebenaran ilahi.
-          Keempat, Kitab Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn mengandung banyak hadist yang diragui kesahihannya.
Ibnū Jawzī juga telah menunjukkan kesilapan-kesilapan mengenai beberapa peristiwa sejarah yang disebut oleh al-Ghazālī dalam Ihyā’. Ibnū Jawzi mengatakan bahwa al-Ghazālī telah menyebut beberapa contoh ahli sufi atau cara-cara mereka untuk muraqabah dan pembersihan jiwa (tazkīyah al-nafs) yang tidak dibolehkan dalam syariat, apalagi untuk diikuti orang awam. Walau bagaimanapun Ibn Jawzi mengakui keberkesanan Ihyā’ dan sumbangannya amat berharga kepada pemikiran Islam selepas itu. Beliau juga telah meringkaskan Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn di dalam kitab Minhāaj al-Qāsididīn dan meninggal bahagian-bahagian yang boleh diperbahaskan.
I.  Nasehat Tasawuf Imam Al-Ghazali
Penulis merasa penting untuk memasukan nasehat Imam Al-Ghazali kepada muridnya ini dengan tujuan semakin memperjelas pemahaman atas kerangka pemikirannya mengenai tashawwuf, yakni berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasullulah.
Bahwa suatu hari, Imam al-Ghazali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam beliau bertanya bebeapa hal.[47]
Pertama, “Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?. ”
Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman, dan kerabatnya. Imam al-Ghazali menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah “Mati”. Sebab itu sudah janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. (QS. Ali Imran 185)
Lalu Imam al-Ghazali meneruskan pertanyaan yang kedua. “Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?”.
Murid-muridnya ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Lalu Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan adalah benar. Tapi yang paling benar, ujarnya, adalah “MASA LALU.”
Bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.
Lalu Imam al-Ghazali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga. “Apa yang paling besar di dunia ini?”.
Murid-muridnya ada yang menjawab gunung, bumi, dan matahari. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah “Nafsu” (QS. Al- a’araf: 179). Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.
Pertanyaan keempat adalah, “Apa yang paling berat di dunia ini?”.
Ada yang menjawab baja, besi, dan gajah. Semua jawaban sampean benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah “memegang AMANAH” (QS. Al Ahzab 72). Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak bisa memegang amanahnya.
Pertanyaan yang kelima adalah, “Apa yang paling ringan di dunia ini ?”.
Ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu benar kata Imam al-Ghazali. Namun menurut beliau yang paling ringan di dunia ini adalah ‘meninggalkan SHALAT’. Gara-gara pekerjaan kita tinggalkan shalat, gara-gara meeting kita juga tinggalkan shalat.
Lantas pertanyaan keenam adalah, “Apakah yang paling tajam di dunia ini?”.
Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang. Benar kata Imam al-Ghazali. Tapi yang paling tajam adalah “lidah MANUSIA”. Karena melalui lidah, manusia dengan gampangnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.  
J. Kesimpulan
Tashawwuf adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang jalan atau cara yang ditempuh dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jalan atau cara yang dimaksud dengan melalui pembersihan rohani, peningkatan amal saleh, berakhlak mulia dan tekun melakukan ibadah menurut contoh Rasulullah SAW disertai dengan melakukan zuhud, berkhalwat dan kontemplasi (merenung dan berpikir dengan sepenuh perhatian). Dari segi bahasa Tashawwuf   adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebahagiaan dan selalu bersikap bijaksana, sikap jiwa yang demikian pada hakikatnya adalah ahlak mulia.
Imam Al-Ghazali menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah Rasullulah sebagai pegangan utama dan atau titik tolak manusia dalam menjalani hidup, baik untuk kepentingan lahiriah maupun bathiniah, semata untuk mendapat keridhaan Allah, untuk mencapainy itu semua manusia perlu memiliki ilmu, baik ilmu syariat maupun ilmu tashawwuf, keduanya tidak bisa dipisahkan, orang hanya akan berhasil mencapai tingkat ma’rifatullah (mengenal Allah) setelah menjalani syariat secara benar, dan mengenal Allah bukan berarti menyatu dengan Allah, sebab tidak mungkin itu terjadi. Bahwa pencapaian ketingkat ma’rifat bukanlah suatu hal yang dapat dipelajari dengan akal semata seperti pendapat para ahli filsafat terdahulu, bahwa keberhasilan dalam pencapaian ma’rifat akan tercermin pada ahklak manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Shohibul wafa, K.H.A. 1975. “Miftahus Shudur”. Diterjemahkan oleh Prof. K.H. Aboebakar Atjeh menjadi “Kunci Pembuka Dada”. Jilid 1 dan 2. Tasikmalaya, Jawa barat: Yayasan Serba Bakhti Suryalaya.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al Qur’an Departemen Agama RI. (1974). “Al-Qur’an dan Terjemahnya” , Jakarta: Depag RI.
 Imam Abu Hamid AlGhozali, Ihya’ U’lum al-Din.
 Amin Syukur, dan  Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme Tasawuf AlGhozali,
Muhammad Nurshomad, Al-Hayat al-Ruhiyah fi al-Islam,  Inti Tasawuf.
Abu  Bakar, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo, Ramadhani,1984.
Sufi dari Zaman ke Zaman, terj.Ahmad Rofi Utsman, Bandung, Pustaka, 1997.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993
Hasan, Abd-Hakim, al-Tasawuf fi Syi’r al-Arabi, Mesir, al-Anjalu al-Misriyyah,1954
Munawir,Ahmad warson, al-Munawwir : Kamus Arab-Indonesia, PP. al-Munawwir,Yogyakarta, 1984
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang,1995
Syukur, Amin, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta,Pustaka Pelajar, 2002




[1] Pengertian Ma’rifatullah, http://titianilahi.wordpress.com/2009/10/19/pengertian-marifatullah/

[2] SUMBER; KM. Murdani, S.Th.I & Ismail SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWWUF, 3 Januari 2010,  hkhusus.wordpress.com/2010/01/03/sejarah-perkembangan-tasawwuf/
[3] Ibid.
[4] Pengakuan ulama besar fiqh tentang tasawwuf dan ulama sufiMei 17, 2007 pada 6:35 am (AgamaIlmu),  http://barrynuqoba.wordpress.com/2007/05/17/pengakuan-ulama-besar-fiqh-tentang-tasawwuf-dan-ulama-sufi/
[5] SUMBER; KM. Murdani, S.Th.I & Ismail SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWWUF, 3 Januari 2010,  hkhusus.wordpress.com/2010/01/03/sejarah-perkembangan-tasawwuf/
[6] Pengakuan ulama besar fiqh tentang tasawwuf dan ulama sufiMei 17, 2007 pada 6:35 am (AgamaIlmu),  http://barrynuqoba.wordpress.com/2007/05/17/pengakuan-ulama-besar-fiqh-tentang-tasawwuf-dan-ulama-sufi/
[7] http://ahlujannah.blogspot.com/2011/03/pengertian-tasawuf-tasawwuf-menurut.html
[8] Harun Nasution.Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam.(Jakarta Bulan Bintang.1995),57-58.
[9] AhmadWarson Munawir, Al-Munawir:Kamus Arab–Indonesia,PP.Al Munawiwir,Yogyakarta,1984,hlm. 626.
[10] Ibid.
[11] Abd. Hakim Hasan, al-Tasawuf Fi Syi’r al-Arabi, (Mesir : al-Anjalu al-Misriyyah), 1954, hlm. 42. Lihat juga Prof. D. Amin Syukur MA, Zuhud…, op.cit, hlm. 2
[12] Ibid., hlm. 3
[13] Dr. Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung : Pustaka), 1977, hlm. 54
[14] Lihat al-Taftazani, Sufi …, op.cit., hlm. 55
[15] Lihat Harun Nasution,falsafat …,op.cit., hlm. 62-63
[16] Dr. Abu al-wafa al-Ghanimi al-Taftazani,Sufi…,op.cit.,hlm. 56-57
[17] hlm. 58-59; lihat juga Prof.Dr. Amin Syukur MA,Zuhud…,op.cit.,hlm. 4-5; Bandingkan dengan Reynold A. Nicholson, Mistik Dalam Islam, (Jakarta : Bumi Aksara),1998,hlm. 8-2
[18] Dewan Redaksi EndiklopediIslam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta.PT.Ichtiar Baru Van Joeve), 1993, hlm.80- 81
[19] Abu BakarAceh,Pengantar Sejarah Sufi dan tasawuf, (Solo : Ramadlani), 1984,hlm.57
[20] Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34.
[21] Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Hal. 96
[22] Ibid 97
[23] Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Hal. 96
[24] al-Munqidh min ad-dalal, p. 13.http://barrynuqoba. wordpress.com/2007/05/17/pengakuan-ulama-besar-fiqh-tentang-tasawwuf-dan-ulama-sufi/
[25] Ibid. hal, 236
[26] Sumber : Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Dr. Abdul Fattah Sayyid Ahmad. Khalifah Jakarta.
[27] Ta Tasawuf antara Agama dan Filsafat. Dr. Ibrahim Hilal. Pustaka Hidayah Bandung. Cet. I. hal. 89. Th. 2002sawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Hal 234
[28] Tasawuf antara Agama dan Filsafat. Dr. Ibrahim Hilal. Pustaka Hidayah Bandung. Cet. I. hal. 89. Th. 2002
[29] Pengantar Ilmu Tasawuf. Drs. Yunasril Ali. Pedoman Ilmu Jaya. Jakarta. Cet. I. hal. 29. Th 1987 M

[30] Pengantar Ilmu Tasawuf. Drs. Yunasril Ali. Pedoman Ilmu Jaya. Jakarta. Cet. I. hal. 29. Th 1987 M
[31] Ibid. hal. 33.
[32] Drs. Yunasril Ali. Hal. 34
[33] Ibid 54
[34] Pengantar Ilmu Tasawuf. Drs. Yunasril Ali. Pedoman Ilmu Jaya. Jakarta. Cet. I. hal. 29. Th 1987 M,hal. 36.
[35] Ibid. hal 158
[36] Ibid. 160.
[37] Pengantar Ilmu Tasawuf. Drs. Yunasril Ali. Pedoman Ilmu Jaya. Jakarta. Cet. I. hal. 29. Th 1987 M,hal. 162.
[38] Ihya’ U’lum al-Din, Abu Hamid al- Ghazali.
[39] Ihya’ U’lum al-Din, Abu Hamid al- Ghazali.jilid 4 Hal 235
[40] Tasawuf, Harun Nasution. Makalah Paramadina hal 4
[41] Inti Tasawuf, Dr. Muhammad Nurshomad
[42] Ahmad al-Syarbasi, Al-Ghazālī wa Tasawuf al-Islāmy. Darul Hilal, hlm.124
[43] Abd Aziz bin HarjiKelahiran Imam Al-Ghazali dan Sumbangannya kepada Tamadun Islam, abstrak, http://az-esei- jan2010.blogspot.com/2010/04/kelahiran-imam-al-ghazali-dan.html, Thursday, April 22, 2010
[44] Ibid.
[45] Pujian dan Kritikan Terhadap ImamAl-Ghazali,ABDUL SALAM HJ. YUSSOF ABSTRACThttp://www.ukm.my/jmalim/images/vol_06_2005/abdul_salam_2005.pdf
[46] Pujian dan Kritikan Terhadap ImamAl-GhazaliABDUL SALAM HJ. YUSSOF, ABSTRA, Thttp://www.ukm.my/jmalim/images/vol_06_2005/abdul_salam_2005.pdf
[47] Sumber ; Nasehat Tasawuf Imam al-Ghozali; Enam Pertanyaan Imam al-Ghazali Posted on 23/02/2012 by Si pencari ilmu,ipencariilmu.wordpress.com/2012/02/23/nasehat-tasawuf-imam-al-ghozali-enam-pertanyaan-imam-al-ghazali/


Komentar