AL-GHOZALI
SEBAGAI TOKOH TASHAWWUF
Oleh:
Rajibullah
MATA PRAREVISI
Peradaban dan Pemikiran Islam
Dosen Pengampu: Dr.
Junanah, MIS.
A. Latar
Belakang
Tashawwuf adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan
(biasanya dilakukan dengan mengasingkan diri) guna membebaskan diri dari
pengaruh kehidupan dunia, dengan tujuan untuk mendekatkan diri dan
memperoleh suatu hubungan khusus yang langsung dengan Allah, tercermin ahklak
yang mulia dan dekat dengan Allah Swt.
Ahli tashawwuf disebut Sufi, yang selalu berusaha
mensucikan jiwanya demi mendekatkan diri kepada Allah. sebagai Tuhannya, dan
untuk itu diperlukan pendidikan dan latihan mental yang panjang dan bertingkat,
dari tahap satu ketahap lain yang lebih tinggi ; tobat, zuhud, sabar,
kefakiran kerendahan hati, ketaqwaan, tawakkal, kerelaan,
cinta, sampai kepada tercapainya kesempurnaan
(ma'rifatullah).
Menurut Ibn Al Qayyim, Ma’rifatullah yang
dimaksudkan oleh ahlul ma’rifah (orang-orang yang mengenali
Allah) adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi
kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya”.
Ma’rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun
ma’riaftullah dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan
manusia dekat dengan Allah, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam
perjalanan mendekatkan diri kepada Allah.[1]
Sebagai ilmu pengetahuan, Tashawwuf adalah salah satu cabang
ilmu pengetahuan yang mempelajari ajaran agama Islam yang khusus
berkaitan dengan aspek-aspek moral serta tingkah laku untuk mencapai atau
menuju kepada keadaan yang lebih baik dan lebih sempurna sesuai dengan
substansi ajaran Islam, yang menekankan dimensi atau aspek spiritual
kehidupan manusia, atau lebih kepada aspek rohani ketimbang aspek jasmani
atau kehidupan akhirat ketimbang kehidupan dunia yang fana. Oleh karena
itu ilmu Tashawwuf sangat penting untuk dipelajari dan dipahami terutama bagi masyarakat
pemeluk agama Islam umumnya dan para pemuka agama Islam khususnya, mengingat dewasa ini masyarakat
mengalami banyak masalah dalam kehidupan duniawi atau spritual keagamaan, sehingga mempelajari dan memahami Tashawwuf diharapkan akan menjadi suatu cara yang manjur
untuk menemukan solusi dari berbagai masalah tersebut.
Berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadist
sahih sebagai dokrin ajaran Islam yang berlaku
mutlak, nilai-nilai Tashawwuf (nilai-nilai sufi ) sudah ada sejak zaman
Rasulullah SAW, tasawuf nyata terlihat dari tingkah laku dan perbuatan nabi
yang mencerminkan ahklak yang sangat tinggi dan mulya, hal mana sangat erat
relevansinya dengan keberadaan nabi dalam kapasitasnya sebagai utusan Allah,
yakni untuk memperbaiki dan sekaligus menyempurnakan akhlak manusia.
Salah satu tokoh tashawwuf yang sangat
terkenal adalah Imam Al-Ghazali, seorang ahli sains sekaligus sebagai tokoh sufi terkemuka,
sehingga digelari sebagai hujjat ul-Islam.
Dalam perjalanan hidupnya ia merupakan seorang pengembara ilmu,
terbukti dengan karya-karyanya yang kaya akan berbagai cabang keilmuan. Sebagai
tokoh sufi ia dikenal sebagai seorang ulama usul fiqh dengan karyanya al-mustashfa,
dan ia juga dikenal sebagai tokoh filsafat dengan karyanya Tahafut
al-Falasifah yang mengkritik konsep berfikir para filosof saat itu. Ia
menganggap ajaran pemikiran filsafat para filosof telah melewati batas, hal
mana menimbulkan kehawatiran yang mendalam dalam dirinya akan rusaknya akidah
kaum filsafat, oleh karena itu beliau berinisiatif untuk meluruskan pemikiran
filsafat dengan menggagas kaedah-kaedah tasawuf sebagai jembatan guna mendamaikan syari’at dengan tasawuf yang
sempat mengalami clash pada zaman itu, yang berhasil diwujudkannya
melalui karya terbesarnya, ”Ihya’ U’lum al-Din ” (The
Revival of Religion Sciences).
Makalah ini akan memaparkan kerangka dasar pemikiran Tashawwuf Imam
Al-Ghazali dengan bertolak dari pengertian Tashawwuf menurut para ahli
ilmu agama Islam, sejarahnya, latar belakang kehidupan pribadi Imam
Al-Ghazali dan buah pemikirannya serta pendapat dunia Islam dan pemikir Islam
tentang beliau, baik yang pro maupun yang kontra.
B. Pengertian Tashawwuf
Adakah istilah tasawuf pada zaman Rasulullah Saw ?
Tentu jawabannya tidak ada. Sebab penamaan cabang-cabang ilmu
syariat belum ada di zaman Rasulullah, tetapi praktek cabang ilmu
tersebut sudah ada sejak zamannya. Misalnya ilmu tafsir, penamaannya baru
populer setelah abad ke-2 H yang dipelopori oleh para penulis perdana dalam
cabang ilmu ini seperti, Syubah bin Hajjaj, Sufyan bin Uyainah dan Waki bin
Jarah, pada hal praktek penafsiran sudah ada sejak zaman Rasulullah.
Begitu juga ilmu tasawuf dan cabang ilmu syariat yang lain.[2]
Tashawwuf adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara
menyucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memperoleh
kebahagian yang abadi. Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari
ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kamu hanya mengambil salah
satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat
padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawuf,
maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan taqwa, sedangkan orang yang hanya
menjalani tasawuf tapi tidak mau
mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa menjadi baik ?[3]
Alhamdulillah, penggunaan kata tasawuf
telah didiskusikan secara mendalam. Ini adalah istilah yang diberikan
kepada hal yang berhubungan dengan cabang ilmu (tazkiyat an-nafs and
Ihsan). “Tasawwuf adalah ilmu tentang kenyataan dan keadaan dari
pengalaman. Sufi adalah orang yang menyucikan dirinya dari segala sesuatu
yang menjauhkan dari mengingat Allah dan orang yang mengisi dirinya dengan
ilmu hati dan ilmu pikiran di mana harga emas dan batu adalah sama saja
baginya. Tasawwuf menjaga makna-makna yang tinggi dan meninggalkan
mencari ketenaran dan egoisme untuk meraih keadaan yang penuh dengan kebenaran. Dia
melanjutkan mengenai Sufi,”mereka berusaha untuk menaati Allah, sehingga
dari mereka kamu akan mendapati mereka merupakan yang terdepan
karena usaha mereka. Dan sebagian merupakan golongan kanan
(ashabus-syimal).”
Ibn Al-Khaldun dalam Mukadimahnya menulis, Ilmu ini
(yakni tasawuf) salah satu ilmu syariat baru di dalam agama Islam. Sebenarnya,
metode kaum ini (kaum sufi) telah ada sejak masa para sahabat, tabiin dan
ulama-ulama penerusnya, sebagai jalan kebenaran dan petunjuk, karena inti
tasawuf adalah tekun beribadah, memutuskan hubungan dari selain Allah, menjauhi
kemewahan dan kegemerlapan duniawi, meninggalkan kelezatan harta dan tahta yang
sering dikejar kebanyakan manusia dan mengasingkan diri dari manusia untuk
beribadah. Praktek ini populer di kalangan para sahabat dan ulama terdahulu.
Ketika tren mengejar dunia menyebar di abad kedua dan setelahnya, manusia mulai
tenggelam dalam kenikmatan duniawi, orang-orang yang menghususkan diri mereka
kepada ibadah disebut sufi.[5]
Shaikh Rashad Rida berkata, ”tasawwuf
adalah salah satu pilar dari pilar-pilar agama. Tujuannya adalah untuk
membersihkan diri dan mempertanggung jawabkan perilaku
sehari-hari dan untuk menaikan manusia menuju maqam spiritual
yang tinggi”.[6]
DR. YUSUF AL-QARDHAWI (Ketua Ulama Islam Internasional
dan juga guru besar Universitas al Azhar Beliau merupakan salah seorang ulama Islam
terkemuka abad ini) mengatakan : “Arti tasawuf dalam agama ialah memperdalam ke
arah bagian ruhaniah, ubudiyyah, dan perhatiannya tercurah seputar permasalahan
itu. Mereka para tokoh sufi sangat berhati-hati dalam meniti jalan di atas
garis yang telah ditetapkan oleh Al-Qur,an dan As-Sunnah, bersih
dari berbagai pikiran dan praktek yang menyimpang, baik dalam ibadat atau
pikirannya. Banyak orang masuk Islam karena pengaruh mereka, banyak orang yang
durhaka dan zdalim kembali bertobat karena jasa mereka, dan tidak sedikit yang
mewariskan pada dunia Islam, berupa kekayaan besar dari peradaban dan ilmu,
terutama di bidang ma’rifat, akhlak dan pengalaman-pengalaman di alam ruhani,
semua itu tidak dapat diingkari.”[7]
Menurut Harun Nasution secara etimologis, “Tashawwuf”, memiliki
banyak arti[8]
1.
Safa, artinya suci
dan sufi adalah orang yang disucikan, dan memang, kaum sufi berusaha
menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama salat dan
puasa.
2.
Saf (baris), yang dimaksud
saf ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh
orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca ayat al-Qur'an dan
berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang
berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.
3.
Ahl al-Suffah,
yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan
harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang
miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan
memakai suffah (pelana)sebagai bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak
mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia.
Inilah pula sifat-sifat kaum sufi.
4.
Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat
Islam) berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat inibanyak
yang menolak, karena kata sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa
Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam
kata tasawuf.
5.
Suf (kain
wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia
meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol
kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan
kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.
Selanjutnya Harun Nasution menjelaskan, Tashawwuf itu
merupakan suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan, tashawwuf atau
sufisme mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Islam bisa sedekat mungkin
dengan tuhan”.
Dari berbagai definisi yang berbeda-beda tersebut dapat
ditarik suatu kesimpulan tentang inti sari atau kata kunci atau esensi atau
hakekat yang sebenarnya dari Tashawwuf itu
adalah ; mendekatkan diri kepada Allah SWT.
C. Sejarah
Perkembangan Tashawwuf
Berbicara masalah sejarah tashawwuf sesungguhnya sama dengan
pertumbuhan dan perkembangan islam itu sendiri, bahwa mengenali sejarah
tasawuf sama saja dengan memahami potongan-potongan sejarah Islam dan para
pemeluknya, terutama pada masa Nabi, sebab, secara faktual, tasawuf
mempunyai kaitan erat dengan prosesi ritual ibadah yang dilaksanakan oleh
para Sahabat di bawah bimbingan Nabi.
Tasawuf merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagai
perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog
langsung seorang hamba dengan tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada
sejak masa kehidupan rasulullah saw, belum dikenal istilah tasawuf, namun
tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan Islam sebagaimana
ilmu keislaman lainnyaseperti fiqih dan ilmu tauhid. Istilah tasawuf
baru muncul pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh abu Hasyimal-Sufi
(w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam
sejarah Islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul
aliran zuhud pada akhir abad I H dan permulaan abad
II H. Secara etimologis, zuhud artinya, tidak
tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya,
berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.[9]
Menurut Harun Nasution, station terpenting bagi seorang calon sufi
ialah zuhud yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian.
Sebelum menjadi sufi, seorang harus terlebih dahulu menjadi zahid, sesudahnya barulah
ia meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid,
tetapi tidak setiap zahid merupakan sufi.[10]
Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung
antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, makazuhud merupakan
suatu station (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya.
Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti
menghindar dari berkehendak terhadap hal-hal
yang bersifat duniawi. Berkaitan dengan ini al-Hakim Hasan menjelaskan
bahwa zuhud adalah “berpaling dari dunia dan
menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi
kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi
makan dan memperbanyak dzikir”[11] Keadaan
seperti ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya.[12]
Bagi Abu Wafa al-Taftazani, zuhud itu bukanlah
kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah
pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan
duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi
itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari
Tuhannya.[13]
Lebih lanjut at-Taftazani menjelaskan bahwa zuhud adalah tidak
bersyaratkan kemiskinan. Bahkan terkadang seorang itu kaya, tapi disaat yang
sama diapun zahid. Ustman bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf adalah
para hartawan, tapi keduanya adalah para zahiddengan harta yang
mereka miliki.
Zuhud menurut Nabi serta para sahabatnya, tidak berarti berpaling
secara penuh dari hal-hal duniawi. Tetapi berarti sikap moderat atau jalan
tengah dalam menghadapi segala sesuatu, sebagaimana diisyaratkan firman –
firman Allah yang berikut : ”Dan begitulah Kami jadikan kamu (umat Islam) umat
yang adil serta pilihan” (QS. Al-Baqarah,
2:143) ;“Dan carilah apa yang dianugerahkan Allah kepadamu dari (kebahagiaan)
negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan)
duniawi” (QS. Al-Qashash, 28:77). Sementara dalam hadits
disabdakan : “Bekerjalah untuk duniamu seakan kamu akan hidup selamanya, dan
bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu akan mati esok hari”[14]
Zuhud merupakan
salah satu maqam yang sangat penting dalam tasawuf. Hal
ini dapat dilihat dari pendapat ulama tasawuf yang senantiasa
mencantumkan zuhud dalam pembahasan tentang maqamat,meskipun
dengan sistematika yang berbeda – beda, al-Qusyairi menempatkan zuhud dalam
urutan maqam : al-taubah,al-wara’,al-zuhud, al-tawakkul dan al-ridla.[15]
Para peneliti baik dari kalangan orientalis maupun Islam
sendiri saling berbeda pendapat tentang faktor yang mempengaruhi zuhud.
Nicholson dan Ignaz Goldziher menganggap zuhud muncul
dikarenakan dua faktor utama,yaitu : Islam itu sendiri dan kependetaan Nasrani,
sekalipun keduanya berbeda pendapat tentang sejauhmana dampak faktor yang
terakhir.[16]
Harun Nasution mencatat ada lima pendapat tentang asal-usul zuhud.
Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi
oleh Phytagoras yang megharuskan meninggalkan kehidupan materi
dalam rangka membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan
berkontemplasi inilah yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan
sufisme dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan
bahwa dalam rangka penyucian roh yang telah kotor, sehingga bisa
menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia. Keempat, pengaruh Budha dengan
faham nirwananya bahwa untukmencapainya orang harus meninggalkan dunia dan
memasuki hidup kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong
manusia meninggalkan dunia dan mendekatkandiri kepada Tuhan untuk mencapai
persatuan Atman dengan Brahman.[17]
Setelah periode sahabat berlalu, muncul pula periode tabiin
(sekitar abad ke I dan ke II H). Pada masa itu kondisi sosial-politik sudah
mulai berubah darimasa sebelumnya. Konflik –konflik sosial politik yang bermula
dari masa Usman bin Affan berkepanjangan sampai masa – masa sesudahnya.Konflik
politik tersebut ternyata mempunyai dampak terhadap kehidupan beragama, yakni
munculnya kelompok kelompok Bani Umayyah,Syiah, Khawarij, dan
Murjiah. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, kehidupan politik berubah
total. Dengan sistem pemerintahan monarki, khalifah – khalifah BaniUmayyah
secara bebas berbuat kezaliman – kezaliman, terutama terhadap kelompok Syiah,
yakni kelompok lawan politiknya yang paling gencar menentangnya.Puncak
kekejaman mereka terlihat jelas pada peristiwa terbunuhnya Husein bin Alibin
Abi Thalib di Karbala. Kasus pembunuhan itu ternyata mempunyai pengaruh yang besar
dalam masyarakat Islam ketika itu. Kekejaman Bani Umayyah yang tak henti –
hentinya itu membuat sekelompok penduduk Kufah merasa menyesal karena mereka
telah mengkhianati Husein dan memberikan dukungan kepada pihak yang melawan
Husein. Mereka menyebut kelompoknya itu dengan Tawwabun (kaum
Tawabin). Untuk membersihkan diri dari apa yang telah dilakukan, mereka mengisi
kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaumTawabin itu dipimpin oleh
Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi[18]
Disamping gejolak politik yang berkepanjangan, perubahan kondisi
sosialpun terjadi, hal ini
mempunyai pengaruh yang besar dalampertumbuhan kehidupan beragama masyarakat
Islam. Pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat,secara umum kaum muslimin
hidup dalam keadaan sederhana. Ketika Bani Umayyah memegang
tampuk kekuasaan,hidup mewah mulai meracuni masyarakat, terutama terjadi di
kalangan istana.Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah tampak semakin
jauh dari tradisi kehidupan Nabi SAW serta sahabat utama dan semakin dekat dengan
tradisi kehidupan raja – raja Romawi. Kemudian anaknya,Yazid (memerintah 61
H/680 M – 64 H/683M), dikenalsebagai seorang pemabuk. Dalam sejarah, Yazid
dikenal sebagai seorang pemabuk. Dalam situasi demikian kaummuslimin yang saleh
merasa berkewajiban menyerukan kepada masyarakat untuk hidup zuhud,
sederhana, saleh,dan tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu. Diantara para
penyeru tersebut ialah Abu Dzar al-Ghiffari. Dia melancarkan kritik tajam
kepada Bani Umayyah yang sedang tenggelam dalam kemewahan dan menyerukan agar
diterapkan keadilan sosial dalam Islam. Sejak saat itu kehidupan zuhud menyebar
luas dikalangan masyarakat (I dan II H), sehingga muncul berbagai aliran yaitu :
1)
Aliran Madinah, sejak masa yang
dini,di Madinah telah muncul para zahid. Mereka kuat berpegang
teguh kepada al-Qur’an dan al-sunnah, dan mereka menetapkan Rasulullah sebagai
panutan kezuhudannya. Diantara mereka dari kalangan sahabat adalah Abu
Ubaidah al-jarrah (w.18 H) zuhud aliran ini tetap bercorak murni Islam dan konsisten pada
ajaran-ajaran Islam.
2)
Aliran
Bashrah, Mereka adalah penganut aliran ahlus sunnah, tapi cenderung
pada aliran mu’tazilah dan qadariyah. Tokoh mereka dalam zuhud adalah
Hasan al-Bashri, Malik ibn Dinar. Corak
yang menonjol dari para zahid Bashrah ialah zuhud dan
rasa takut yang berlebih-lebihan.
3)
Aliran Kufah, berasal
dari Yaman.Aliran ini bercorak idealistis. Dalam
aqidah mereka cenderung pada aliran Syi’ah dan Rajaiyyah.dan ini tidak aneh,
sebab aliran Syi’ah pertama kali muncul di Kufah. Para tokoh zahid Kufah
pada abad pertama Hijriyah ialah ar-Rabi’ ibn Khatsim (w. 67 H.) .
4)
Aliran
Mesir, Pada abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat suatu aliran zuhud lain,
yang dilupakan para orientalis, dan aliran ini tampaknya bercorak salafi. Sebagaimana diketahui, sejak penaklukan Islam terhadap Mesir,
sejumlah para sahabat telah memasuki kawasan itu,misalnya Amru ibn al-Ash,
Abdullah ibn Amru ibn al-Ash yang terkenal kezuhudannya, al-Zubair bin
Awwam dan Miqdad ibn al-Aswad.
Suatu kenyataan kelahiran tasawuf bermula dari gerakan zuhud dalam
Islam. Istilah tasawuf muncul pada pertengahan abad III Hijriyyah
oleh Abu Hasyim al-Kufy (w.250 H.) dengan meletakkan al-sufy di belakang
namanya. Jika pada akhir abad II ajaran sufi berupa kezuhudan, maka
abad III H, orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam
kecintaan (fana fi mahbub), bersatu dalam kecintaan (ittihad fi
mahbub), bertemu dengan Tuhan (liqa’), menjadi satu dengan
Tuhan (‘ain al jama’), sejak itu muncul karya –karya tentang tasawuf
oleh para sufi pada masa itu seperti al-muhasibi (w. 243 H.), al-Hakim
al-Tirmidzi (w. 285 H.), dan al-Junaidi (w. 297 H.) karena itu abad
III H dapat dikatakan sebagai abad mula tersusunnya ilmu tasawuf.[19]
Tahap pertama Tasawuf
(Abad III dan IV H), wacana tentang zuhud mulai digantikan oleh tasawuf. Ajaran
para sufi ini pun tidak lagi terbatas pada promosi gaya hidup zuhud
belaka, dalam tahap ini mulai memperkenalkan disiplin dan metode tasawuf,
termasuk konsep-konsep dan terminologi baru yang sebelumnya tidak
dikenal ; maqâm, hâl, ma‘rifah, tauhîd (dalam
maknanya yang khas tasawuf), fanâ’,hulûl, dan lain-lain.
Tokoh-tokohnya termasuk Ma‘ruf Al-Karkhi (w. 200 H), Abu Sulaiman Al-Darani (w.
254 H), Dzul Nun Al-Mishri (w. 245 H), dan Junaid Al-Baghdadi. Pada masa
itu juga muncul karya-karya tulis yang membahas tasawuf secara teoretis ini,
termasuk karya-karya Al-Harits ibn Asad Al-Muhasibi (w. 243 H), Abu Said
Al-Kharraz (w. 279 H), Al-Hakim Al-Tirmidzi (w. 285 H), dan Junaid Al-Baghdadi
(w. 297 H). Masih di masa ini mulai muncul para sufi yang belakangan
dikenal mempromosikan tasawuf yang berorientasi “kemabukan” (sukr)
antara lain Al-Hallaj dan Ba Yazid Al-Busthami. Di antara ciri tasawuf mereka
adalah lontaran-lontaran ungkapan ganjil yang seringkali susah dipahami dan
terkesan melanggar keyakinan umum kaum Muslim (syathahât atau syathhiyât),
semisal “Akulah Sang Kebenaran” (Anâ Al-Haqq) atau “Tak ada apa
pun dalam jubah yang dipakai oleh Busthami selain Allah” (mâ fil-jubbah
illâ Allâh), dan sebagainya.
Tahap Tasawuf Falsafi (Abad VI H), merupakan perpaduan antara
pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis. Ibn
‘Arabî adalah tokoh utama aliran ini, di samping juga Al-Qunawi, muridnya.
Sebagian ahli memasukkan Al-Hallaj dan Abu (Ba) Yazid Al-Busthami juga ke dalam
kelompok ini. Aliran ini kadang disebut juga dengan ‘Irfân (Gnostisisme)
karena orientasinya pada pengetahuan (ma‘rifah atau gnosis)
tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu.
Tahap Tarekat (Abad VII H dan seterusnya) Meskipun tarekat
telah dikenal sejak jauh sebelumnya, seperti Tarekat Junaidiyyah yang bersumber
pada ajaran Abu Al-Qasim Al-Junaid Al-Baghdadi (w. 297 H) atau Nuriyyah yang
didirikan oleh Abu Hasan ibn Muhammad Nuri (w. 295 H), baru pada masa-masa
inilah tarekat berkembang dengan pesat. Termasuk di antaranya: Tarekat
Qadiriyyah yang bersumber pada ajaran Abdul Qadir Al-Jilani (w. 561
H) dari Jilan (termasuk wilayah Iran sekarang), Tarekat Rifa‘iyyah yang
didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 578 H), dan Tarekat Suhrawardiyyah yang didirikan
oleh Abu Najib Al-Suhrawardi (w. 563 H).
D. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid
Al Ghazali (Imam Al-Ghazali), di dunia barat dikenal dengan sebutan Al-Gazel, lahir pada tanggal 17 Jumadil
Awal tahun 450 Hijriah (1058 Masehi) di kota Thusi (Iran), memiliki
seorang saudara yang bernama Ahmad, adalah seorang ahli sains
sekaligus ulama’besar, tokoh tashawwuf terkemuka yang sangat terkenal, yang berhasil menyusun gagasan tashawwuf yang menciptakan
kompromi antara syari’at dan hakikat atau tashawwuf menjadi bangunan baru yang
cukup memuaskan kedua belah pihak, baik dari kalangan syar’I ataupun
lebih-lebih kalangan sufi, dengan karya besarnya yang amat
terkenal, kitab, “Ihya’ ‘Ulumuddin”. Ayah beliau seorang fakir yang
shalih, pengrajin kain shuf (kulit domba), selalu berkeliling
mengujungi ahli fikih dan majelis ceramah nasihat dan bermajelis
dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya dan
selalu berdoa diberi anak yang faqih dan ahli dalam ceramah
nasihat. Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali
menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli
dalam memberi ceramah nasihat.
Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada
temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan ;“Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan
saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka
saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan
untuk keduanya.” Setelahayahnya meninggal, temannya
tersebut mengajari keduanya ilmu sehingga habis harta peninggalan yang
sedikit tersebut, Ia dan adiknya disarankan belajar pada sebuah madrasah,
sekaligus untuk menyambung hidup mereka (465 H).
Imam Al-Ghazali belajar fikih dari Syaikh Ahmad bin
Muhammad Ar Radzakani di Thusi, kemudian pergi ke
Jurjan belajar kepada Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis
buku At Ta’liqat, selanjutnya pergi ke kota
Naisabur berguru pada Imam Haramain Al Juwaini, sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik
fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah
dan filsafat yang membuat kagum gurunya, Al Juwaini.
Setelah Al Juwaini meninggal, ia pergi ke
perkemahan Wazir Nidzamul Malik, tempat berkumpul para ahli ilmu,
menantang debat para ulama dan mengalahkan mereka, hingga Nidzamul
Malik mengangkatnya jadi pengajar di Madrasah
Nidzamiyah Baghdad(484 H), disinilah beliau berkembang, mencapai kedudukan
yang sangat tinggi dan menjadi terkenal. Namun kedudukan dan ketinggian
jabatan tidak membuatnya congkak dan cinta dunia, dalam jiwanya
berkecamuk perang bathin yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu
kezuhudan, la mengangkat saudaranya Ahmad sebagai penggantinya, lalu meninggalkan
Bagdad, kemudian pergi naik haji ke
tanah suci Mekah (488 H).
Tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus, menziarahi Baitul
Maqdis, kemudian kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat
masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin
Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah),
tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al
Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar, melatih jiwa dan
mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun[20].
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau
diminta tinggal diNaisabur untuk mengajar dimadrasah An-Nidzamiyah, beberapa tahun kemudian pulang
ke negerinya mendirikan satu madrasah dan asrama untuk orang-orang
shufi di samping rumahnya.Pada masa akhir hidupnya Imam Al-Ghazali menghabiskan
waktunya mengajar para penuntut ilmu, beribadah, mengkhatam Al-Qur’an,
berkumpul dengan ahli ibadah, kembali mempelajari
hadits sampai meninggal dunia. Berkata Imam Adz
Dzahabi ;
“Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih
Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai
semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam
kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya) ; Pada
subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya, lalu
beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan
berkata ; “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian
beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit
menguning (menjelang pagi hari).Beliau wafat di kota Thusi, hari Senin, 14
Jumada Akhir tahun 505 H, dikuburkan di pekuburan Ath
Thabaran.
E. Pemikiran Tashawwuf Imam Al-Ghazali
Sebagai tokoh sufi, Imam Al-Ghazali dikenal sebagai seorang ulama
usul fiqh dengan karyanya al-mustashfa, juga sebagai tokoh filsafat
dengan karyanya Tahafut al-Falasifah yang mengkritik konsep
berfikir para filosof saat itu. Ia menganggap ajaran pemikiran filsafat para filosof
telah melewati batas, sehingga menimbulkan kehawatiran mendalam dalam dirinya
akan rusaknya akidah kaum filsafat, karena itu beliau berinisiatif untuk
meluruskan pemikiran filsafat dengan menggagas kaedah-kaedah tasawuf sebagai jembatan guna mendamaikan syari’at
dengan tasawuf yang sempat mengalami clash pada zaman itu, yang berhasil
terkumpul dalam karya terbesarnya yang terkenal,”Ihya’ U’lum al-Din” (The
Revival of Religion Sciences).
Menurut Imam Al-Ghazali, tema ilmu sufi adalah Dzat, sifat
dan perbuatan Allah, buah dari pengetahuan tentang Allah adalah
timbulnya sikap mencintai Allah, karena cinta tidak akan muncul tanpa
“pengetahuan” dan perkenalan. Buah lain dari pengetahuan tentang Allah adalah
“tenggelam dalam samudra Tauhid”, karena seorang ‘arif tidak melihat
apa-apa selain Allah, tidak kenal selain Dia, di dalam wujud ini tiada lain
kecuali Allah dan perbuatan-Nya. Tidak ada perbuatan yang dapat dilihat manusia kecuali
itu adalah perbuatan Allah. Setiap alam adalah ciptaan-Nya. Barang siapa
melihat sesuatu sebagai hasil perbuatan Allah, maka ia tidak melihat kecuali
dalam Allah, ia tidak menjadi arif kecuali demi Allah, tidak mencintai kecuali
Allah. Kata beliau; “Mereka melatih hati, hingga Allah memperkenankan
melihatNya.
Para sufi banyak berbicara tentang kasyf dan mu’ayanah,
mampu berhubungan dengan alam malakut dan belajar darinya secara langsung,
mampu mengetahui lauhul-mahfuzh dan rahasia-rahasia yang dikandungnya, namun
bagaimanakah caranya agar manusia mampu mendapatkan kasyf dan mu’ayanah? Para
sufi menjawab, caranya dengan menuntut ilmu dan mengamalkannya.
Al-Ghazalimengatakan ; “Aku tahu bahwa tarekat mereka menjadi sempurna
dengan ilmu dan amal”
Jalan pertama,
yaitu Ilmu, Imam Al-Ghazli mulai mendapatkan ilmu kaum sufi
dari kitab Qut Al-Qulub Mu’amalah Al-Mahbub karyaAbu Thalib
Al-Makki dan kitab Ar-Ri’ayah li Huquq Allah karya Harits
Al-Muhasibi, serta ucapan-ucapan pucuk pimpinan sufi semisalAl-Junaidi,
As-Syibli, Al-Busthami, dan lain-lain. Katanya ; “Mendapatkan ilmu Tasawuf bagiku lebih
mudah dari pada mengamalkannya. Aku mulai mempelajari ilmu kaum sufi dengan
menelaah kitab-kitab dan ucapan-ucapan guru-guru mereka. Aku mendapatkan ilmu
dengan cara mendengar dan belajar. Nampaklah bagiku bahwa keistimewaan guru
besar sufi tidak mungkin digapai dengan cara belajar, tetapi dengan cara dzauq,
hal, dan memperbaiki sifat diri.”
Jalan kedua, yaitu dengan cara Tahalli (menghias
diri dengan sifat-sifat utama), Tkhalli (membersihkan diri
dari sifat-sifat yang rendah dan tercela) agar manusia dapat memberesihkan hati
dari pikiran selain Allah dan menghias hati dengan berzikir kepadaNya. Katanya
; “Adapun manfaat yang dicapai dari ilmu sufi adalah terbuangnya aral yang
merintangi jiwa, mensucikan diri dari akhlaknya yang tercela dan sifatnya yang
kotor, hingga dengan jiwa yang telah bersih itu hati menjadi kosong dari selain
Allah dan dihiasi dengan dzikir kepada Allah.”[21]
Dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, ia
menulis ; “Bagi hati, ada dan tiadanya sesuatu adalah sama. Lantas,
bagaimanakah hati meninggalkan semua urusan Dunia? Demi Allah, ini adalah jalan
yang sangat sukar, jarang sekali ada manusai yang sanggup melakukannya”[22]
Imam Al-Ghazali di kenal sebagai orang yang haus ilmu
pengetahuan, ia berusaha keras agar dapat mencapai suatu keyakinan
dan mengetahui hakikat segala sesuatu, selalu bersikap kritis
dan kadang tidak percaya terhadap adanya kebenaran semua macam
pengetahuan, kecuali yang bersifat inderawi dan pengetahuan hakikat
(oxioma atau sangat mendasar). Namun pada kedua pengetahuan inipun ia
akhirnya tidak percaya (skeptis). Hal ini ia ungkapkan dalam kitab Al
Mungidz : “Sikap skeptis yang menimpa diriku dan yangberlangsung
lama telah berakhir dengan suatu keadaan, dimana diriku tidak mempercayai
kepada pengetahuan inderawi, bahkan keraguan-keraguan ini semakin mendalam,
bagaimana pengetahuan inderawi itu bisa diterima seperti misalnya
penglihatan sebagai inderawi.”
Cukup lama Al-Ghazali berada dalam situasi tarik menarik antara
dorongan hawa nafsu dan panggilan akhirat, hingga akhirnya membuat hatinya
sedih dan kondisi fisiknya lemah, sampai-sampai dokter putus asa mengobatinya. Para dokter mengatakan ; “Penyakitnya
bersumber dari hati dan merembet ke tubuhnya. Penyakitnya tidak bisa diobati
kecuali mengistirahatkan pikiran dari factor-faktor yang membuatnya sakit”
Disaat menyadari ketidak mampuan dan semua upaya telah gagal,
akupun mau tak mau harus kembali pada Allah dalam keadaan yang terpaksa dan
tidak mempunyai pilihan lagi. Allah menjawab doa yang terpaksa jika
berdoa mengabulkan niatku, hinngga kini terasa mudah bagiku meninggalkan pangkat,
harta, anak, dan teman.”[23]
Setelah Al-Ghazali melihat bahwa ahli ilmu kalam, filosof dan kaum
batiniyah tidak mampu mengantarkannya mencapai keyakinannya dan hakikat, maka
dia melirik tasawuf, menurut pandangannya adalah harapan terakhir yang bisa
memberikannya kebahagiaan dan keyekinan. Ia mengatakan ;
“setelah
aku mempelajari ilmu-ilmu ini (kalam, filsafat, dan ajaran bathiniyah), aku
mulai menempuh jalan para sufi.”
Pemikiran Tashawwuf Imam Al-Ghazali bercorak Tashawwuf Islam Sunni yang didirikan diatas
pilar Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia berusaha mengembalikan tema-tema tentang
Akhlaq, Suluk, atau Hal pada sumber Islam, beliau mengatakan :
“Saya tahu benar bahwa para Sufi adalah para pencari
jalan Allah, dan bahwa mereka melakukan yang terbaik, dan jalan mereka
adalah jalan terbaik danakhlak mereka paling suci. Mereka
membersihkan hati mereka dari selain Allah dan mereka menjadikan
mereka sebagai jalan bagi sungai untuk mengalirnya kehadiran Ilahi ”[24]
Corak tasawuf Imam Al-Ghazali lebih ditekankan pada adab dan
tata krama., beliau berkata:Adab adalah pendidikan dhohir dan bathin, oleh
karenanya apabila seorang hamba telah berbuat baik secara dhohir dan
bathin maka ia telah menjadi sufi yang beradab. Barang siapa selalu
berperilaku sesuai dengan Sunah maka akan menerangi hatinya dengan
cahaya kemarifatan karena tidak ada kedudukan yang lebih mulia dari
mengikuti Nabi Muhammad yang dicintai Allah dalam perintah, perbuatan, dan
ahlaknya, baik dalam niat, ucapan maupun perbuatan.
Imam Al - Ghazali menghimpun akidah, syariat dan akhlak dalam
suatu sistematika yang kuat dan amat berbobot, karena itu teori-teori
tashawwufnya lahir dari kajian dan pengalaman pribadi setelah
melaksanakan suluk dalam riyadhah dan mujahadah yang intensif dan
berkesinambungan, dalam pandangannya, Ilmu Tasawuf mengandung 2 bagian penting,
pertama menyangkut ilmu mu'amalah dan bagian kedua menyangkut ilmu
mukasyafah, menurutnya, perjalanan tashawwuf hakekatnya adalah pembersihan
diri dan pembeningan hati terus menerus sehingga mampu mencapai musyahadah, ia
menekankan pentingnya pelatihan jiwa, penempatan moral atau akhlak yang
terpuji baik disisi manusia maupun Tuhan (Ajaran tashawwuf
psikomoral) yang mengutamakan pendidikan moral, dapat di lihat dalam
karya-karyanya seperti ; Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal,
Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad.
Satu hal mencolok yang dilakukan Imam Al-Ghazali pada tasawuf
adalah upayanya dalam mengalihkan tema-tema Dzauq (rasa), Tahliq (terbang),
Syathahat, dan Tahwil menjadi nilai-nilai yang praktis. Ia mengobati hati dan bahaya jiwa, lalu
mensucikannya dengan akhlaq yang mulia. Upaya ini nampak jelas terlihat dalam
kitab Al-Ihya’-nya. Ia bebicara tentang akhlaq yang mencelakakan(al-Muhlikat)
dan akhlaq yang menyelamatkan (al-Munjiyat). Al-Muhlikat adalah setiap akhlaq
yang tercela (madzmum) yang dilarang al-Qur’an. Jiwa harus dibersihkan dari
akhlaq yang tercela ini. Al-Munjiyat adalah akhlaq yang terpuji (mahmud), sifat
yang disukai dan sifatnya orang-orang muqarrabin dan shiddiqin, dan menjadi
alat bagi hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhan semesta alam.[25]
Ketika beragam kecenderungan berfikir, baik yang bernuansa agama
maupun rasio, berbenturan dan beradu argumentasi, Imam Al-Ghazali merasakan
dirinya berhadapan dengan samudera luas, dengan gulungan ombak yang sangat
dahsyat dan dalam, ia tidak memposisikan dirinya sebagai “penggembira”
yang hanya ikut-ikutan dalam gelombang dahsyat itu, ia tidak merasa takut
terhadap luasnya samudera, kedalaman dasar samudera dan besarnya gelombang.[26]
Al-Ghazali merasakan dirinya di antara mazhab yang terpecah belah,
kelompok-kelompok perusak, filsafat asing dan bid’ah-bid’ah pemikiran,
sebagaimana tergambar dalam bait kata-katanya yang begitu menggugah hati dengan
gemuruh semangat dan keberanian ;
ketika masih muda, aku menyelami samudera yang dalam ini. Aku menyelaminya sebagai penyelam handal
dan pemberani, bukan sebagai penyelam penakut dan pengecut. Aku menyerang
setiap kegelapan dan mengatasi semua masalah, menyelami kegoncangan. Aku teliti
aqidah setiap kelompok dan menyingkap rahasia cara pikir setiap golongan, agar
aku bisa membedakan antara kelompok yang memperjuangkan kebenaran dan kelompok
yang memperjuangkan kebathilan, agar bisa membedakan antara pengikut sunnah dan
pencipta bid’ah”.
Imam Al-Ghazali berupaya membersihkan
tasawuf dari ajaran-ajaran asing yang merasukinya, agar tasawuf berjalan di
atas koridor Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia menilai negatif terhadap syathahat dan
sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan wujud) sebagaimana yang di
propagandakan oleh al-Hallaj dan lainnya., untuk itu ia menyodorkan paham baru
tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa
diikuti penyatuan dengan-Nya, ia
menjauhkan semua kecenderungan genotis yang mempengaruhi para filosuf Islam,
sekte Isma'iliyah, aliran Syi’ah, Ikhwan al-Shofa, paham ketuhanan Aristoteles,
seperti emanasi dan penyatuan.
F. Pandangan Imam Al-Ghazali Tentang Syari’at
Imam Al-Ghazali teguh memegangi
syari’at, Tashawwuf dilakukan dengan memegang teguh dan
mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga dalam perilaku dan ucapannya,
ia mengatakan ; “seorang arif sejati mengatakan, “jika
kamu melihat seorang manusia mampu terbang di awang-awang dan mampu berjalan di
atas air, tetapi ia melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syari’at, maka
ketahuilah dia itu setan.”[27] Dan
secara terus terang ia menyatakan ; seseorang yang telah mendapatkan
penyingkapan (kasyf) dan penyaksian (musyahadah) tidak layak mengeluarkan suatu
ucapan yang bertentangan dengan aqidah Islam, yakni aqidah tauhid murni yang
membedakan mana Tuhan dan mana hamba, serta menegaskan bahwa Tuhan
adalah Tuhan dan hamba adalah hamba. Itulah aqidah yang dipegang teguh
Al-Ghazali.[28] Lebih
jauh, Al-Ghazali menyatakan ; bahwa kebersatuan dengan Tuhan (ittihad)
secara rasional tidak mungkin terjadi.
Dari susunan Ihya’ ‘Ulum al-Dien tergambar pokok pikiran
Al-Ghazali mengenai hubungan syariat dan hakekat atau tasawuf ; Sebelum
mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang harus memperdalam ilmu tentang
syari’at dan aqidah telebih dahulu. Tidak hanya itu, dia harus konsekuwen
menjalankan syari’at dengan tekun dan sempurna. Sesudah menjalankan
syari’at dengan tertib dan penuh pengertian, baru dimulai mempelajari tarekat.
Yaitu tentang mawas diri, pengendalian nafsu-nafsu, dan menjalankan dzikir,
hingga akhirnya berhasil mencapai ilmu kasyfi atau penghayatan ma’rifat.
Salah satu tuduhan yang kerap dialamatkan kepada tasawuf adalah
bahwa tasawuf mengabaikan atau tidak mementingkan syari’at. Tuduhan ini berlaku
hanya bagi kasus-kasus tertntu yang biasanya terdapat dalam tasawuf tipe “Keadaan
Mabuk”(sur, intoxication), yang dapat membedakan dari tasawuf tipe “keadaan-tidak-mabuk”(sahw,
sobiety). Para sufi “yang mabuk” merasakan keintiman denga Tuhan
dan sangat yaqin pada kasih sayangNya, sedangkan para sufi “yang-tidak-mabuk”
dikuasai rasa takut dan hormat kepada Tuhan dan tetap khawatir terhadap
kemurkaanNya. Yang pertama cenderung kurang mementingkan
syari’at dan menyatakan terang-terangan persatuan denagan Tuhan,
sedangkan yang kedua memelihara kesopanan (adab) terhadap
Tuhan, sangat menekankan pentingnya syari’at. tasawuf tidak dapat
dipisahkan dengan syri’at, karena syri’at adalah jalan awal yang
harus ditempuh untuk menuju tasawuf.
Dalam Al-Futuhat Al-Makkiyah, Ibn Al-‘Arabi menyatakan ; “jika engkau betanya apa itu tasawuf ? Maka kami
menjawab, tasawuf adalah mengikatkan diri kepada kelakuan-kelakuan baik
menurut syri’at secara lahir dan batin dan itu adalah akhlaq mulia.Ungkapan-ungkapan kelakuan baik menurut syari’at dalam perkataan
Ibn al-‘Arabi ini menunjukkan bahwa tasawuf harus berpedoman pada syari’at.
Menurut sufi ini, syari’at adalah timbangan dan pemimpin yang harus di ikuti
dan diikuti oleh siapa saja yang menginginkan
keberhasialan tasawuf.
Sebagaimana Ibn al’Arabi, Hussen Naser, seorang pemikir dari Iran
berulangkali menekankan ; bahwa tidak ada tasawwuf tanpa syari’at. Islam
sebagai agama sangat menekankan
keseimbangan memanifestasikan dirinya dalam kesatuan syari’at (hukum Tuhan) dan
tharikat (jalan spiritual), yang sering disebut sufisme atau tasawuf. Apabila
syari’at adalah dimensi eksoteris Islam, yang lebih banyak berurusan aspek
lahiriyah, maka tharikat adalah dimensi esoteric Islam, yang lebih banyak
berurusan dengan aspek bathiniyah.Pentingnya menjaga kesatuan syari’at dan
tharikat dituntut oleh kenyataan bahwa segala sesuatu di alam ini,
termasuk manusia, mempunyai aspek lahiraiyah dan bathiniyah. Ajaran-ajaran
Islam dinamakan Syari’at Islam, yang mencakup
segenap peraturan-peraturan Allah, yang dibawa/disampaikan oleh Nabi Muhammad,
untuk seluruh manusia, dalam mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan
menusia sesamanya dan hubungannya dengan makhluk lain. Dan peraturan itu
berfaedah untuk mensucikan jiwa manusia dan menghiasinya dengan
sifat-sifat yang utama. Inilah pengertian syari’at yang biasa dipakai oleh para
Ulama’ Salaf.[29]
Tashawuf adalah satu cabang dari Syari’at Islam, seperti halnya
dengan Tauhid (aqidah) dan fiqih yang merupakan cabang dari Syari’at
Islam. Seperti di dalam hadist yang diriwayatkan dari Umar ra, yang
mengisayaratkan tiga unsure dasar syari’at Islam tentang ; Islam, Iman dan Ihsan.[30]
Ihsan termasuk
amal hati dalam hubungan dengan ma’bud (Tuhan). Ini tidak dipelajari dalam ilmu kalam dan fiqh, tetapi dalam Tasawuf. Adapun yang berkenaan dengan amal lahir seperti
shalat, puasa, zakat dan haji, itulah yang dipelajari dalam ilmu fiqh, yang
menyangkut soal aqidah dipelajari di dalam ilmu Kalam.[31]
Selain dari Ihsan, tashawwuf juga membahas tentang hubungan
manusia dengan sesamanya yang disebut akhlaq, seperti halnya
dengan fiqh, selain membahas tentang rukun Islam juga membahas tentang
muamalat maliah, jinayat, munahkat dan qoda’, karena persoalan ini erat
hubungannya dengan masalah pokok yang
disebutkan Nabi di atas (Islam, Iman, Ihsan), contoh ; tentang
penyakit dengki (hasad).
Dengki menurut hadist Rasul dapat memakan amal seperti
api memakan kayu bakar. Dari hadist ini (tentang Islam, Iman, Ihsan) dapat
dipahamkan bahwa dengki yang merusak hubungan dengan sesama manusia
juga dapat merusak hubungan dengan Tuhan. Karena itu masalah akhlaq yang
tercela dan akhlaq yang terpuji yang tumbuh di dalam hati dapat dipelajari
dalam ilmu Tasawuf. Dengan ini jelas, betapa kedudukan Tasawuf dengan rangkaian
syari’at Islam.[32]
Tasawuf Islam tidak akan ada kalau tidak ada Tauhid. Tegasnya tiada
guna pembersihan hati kalau tidak beriman. Tasawuf Islam sebenarnya
adalah hasil dari aqidah yang murni dan kuat yang seseuai dengan kehendak Allah
dan RasulNya.[33]
Sungguh sudah banyak penganut Tashawuf yang tergelincir di bidang
ini. Banyak para Shufi yang telah mengaku dirinya Tuhan atau manifestasi Tuhan.
Ada pula yang mengaku bahwa para Nabi lebih rendah derajatnya dari para wali.
Ada yang mengi’tikadkan bahwa ibadat-ibadat yang kita kerjakan tidak sampai
kepada Tuhan kalau tidak dengan merabithahkan guru lebih dahulu. Dan bayak
macam-macam I’tiqad yang sesat yang bersumber dari akal filsafat pemikiran
manusia. Oleh sebab itu untuk mendalami tasawuf Islam terlebih dahulu harus
dimatangkan
pengertian Tauhid Islam. Amal Tasawuf akan rusak binasa kalau tidak didahului
oleh pengertian tentang Tauhid. Demikianlah hubungan antara ilmlu
Tasawuf dengan ilmu Tauhid (syari’at). Tasawuf tidak aka nada kalau tidak ada
Tauhid dan Tauhid tidak akan tumbuh subur dan berbuah lebat kalau tidak ada
Tasawuf.[34]
Kemudian soal pendalaman perasaan agama dan pemantapan iman, Imam Al-Ghazali melihat bahwa tasawuf adalah sarana yang hebat untuk
untuk mendukung bagi pendalaman rasa agama (spiritualitas Islam) dan untuk
memantapkan dan menghidupkan iman. Dengan ilmu kalam orang baru bisa mengerti
tentang pokok-pokok keimanan, namun tidak bisa menanamkan keyakinan yang mantap
dan menghidupkan pengalaman agama. Oleh karena itulah tasawuflah sarana yang
paling hebat untuk mengobati penyakit formalism dan kekeringan rasa keagamaan
ini menurut Al-Ghazali.[35]
Yang menjadi masalah kemudian, bagaimana cara mengawinkan dan
mengkompromikan tasawuf dengan syari’at itu? Atau dengan kata lain bagaimana
mengkompromikan syari’at dan hakikat sehingga keduanya tidak saling menggusur,
akan tetapi justru saling mendukung.? Kebutuhan ini wajar, karena para sufi
sendiri mengembangkan ajaran mereka adalah untuk menyemarakkan kehidupan agama,
dan bukan untuk merusaknya. Namun bagaimana caranya, itu yang belum bisa di
kemukakan oleh para ulama’ sufi.
Imam al-Qusyairi (w, 1074M.) dalam risalahnya merumuskan
harapan ; “Syari’at itu perintah untuk melaksanakan ibadah, sedang
hakikat menghayati kebesaran Tuhan (dalam ibadah). Maka setiap syari’at yang
tidak diperkuat dengan hakikat tidak diterima; dan setiap hakikat yang tidak
terkait dengan syari’at, pasti tak menghasilkan apa-apa. Syari’at datang dengan kewajiban pada hamba, dan hakikat memberikan ketentuan
Tuhan. Syari’at memerintahkan mengibadahi pada Dia. Syari’at melakuakan yang
diperintahkan Dia, hakikat menyaksikan ketentuanNya, kadarNya, baik yang
tersembunyi ataupun yang tampak diluar”[36]
Walaupun cita-cita untuk menjalin keselarasan pengamalan
tashwwuf dengan syari’at telah di cetuskan dan menjadi keprihatinan
ulama’-ulama’ sufi sebelumnya, namun baru Imam Al-Ghazali yang secara
konkrit berhasil merumuskan bangunan ajarannya. Konsep yang
mengkompromikan dan menjalin secara ketat antara pengalaman sufisme dengan syari’at dalam
karya yang paling monumental Ihya’ Ulumu ad-Din.[37]
G. Pandangan Imam Al-Ghazali Tentang Ma’rifat.
Menurut Imam Al-Ghazali, ma’rifat adalah
mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang
segala yang ada, alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir-qolb dan
roh. Saat sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi cahaya
Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya akan mengalami
iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya kepada sang sufi
hingga yang dilihatnya hanya Allah, di sini sampailah ia ke tingkat ma’rifat.
Menurut Al-Ghazali proses mengenal Allah tidak
dapat hanya dengan menggunakan akal sebagaimana yang diyakini oleh para kaum
filsafat, bahwa pengenalan Allah dengan dhauq atau perantara intuitif (batini)
akan lebih dapat memberikan keyakinan dan ketenangan spiritual daripada hanya
sebatas bersandar dengan akal.[38] Untuk
sampai pada mahabbah dan ma’rifat yang sempurna kepada Tuhan tentunya seorang
sufi terlebih dahulu harus melewati berbagi maqom dan melewati batas fana’.
Fana’ merupakan satu istilah yang
menggambarkan seorang sufi yang telah melakukan proses takhalli dan tahalli.
Orang yang mencintai Tuhan akan berusaha bertakhalli (membersihkan diri dan
jiwa dari segala macam sifat yang dibenci Tuhan). Begitu juga sebaliknya
setelah seorang sufi melakukan tahkalli (pembersihan) maka ia akan mengisi
hidupnya dengan sifat-sifat yang dicintai oleh Tuhan atau bertahalli.[39]
Ma’rifat merupakan bagian dari finalitas
maqomat seorang sufi. Setelah seorang sufi melewati berbagai maqom mulai dari
taubah, wira’i, zuhud, faqru, sabar, tawakal, dan ridho maka sampailah ia pada
satu tsamroh atau hasil dari perjalanan kesufian tersebut. Tsamroh itulah yang
dalam kitab Ihya’ U’lum al-Din di namakan dengan mahabatullah. Keterikatan antara ‘mahabbah’ dan makrifat dalam pemikiran sufisme amat
erat seolah sepasang kembar yang tak dapat dipisahkan baik subtansi maupun
sifat-sifatnya. Dari makrifat lahir mahabbah, cinta. Tiada pengenalan yang
tidak melahirkan cinta. Ini berlaku dalam setiap taraf spritual. Proses ma’rifat (pengenalan) seseorang kepada Tuhannya untuk mencapai mahabbah
berbeda-beda. Imam Al-Ghazali membagi kelompok orang-orang yang sampai pada
tingkat ma’rifat dan mahabbah kepada dua tingkatan yaitu :[40]
Pertama, tingkatan seseorang yang kuat dalam ma’rifat.
Dia adalah seseorang yang menjadikan Tuhan sebagai awal ma’rifatnya dan
kemudian dengan ma’rifat itu ia mengenal segala sesuatu yang selain Tuhan.
Kedua, tingkatan seseorang yang lemah
ma’rifatnya. Yaitu seseorang yang bermula dengan mengenal ciptaan Tuhan
kemudian dengan ma’rifatnya ia mengenal Tuhan.
Finalitas dari sebuah mahabbah dan ma’rifat yang sempurna adalah
terbukanya hijab dan terjadinya tajalli atau penampakan Tuhan pada makhluknya.
Seorang yang telah sampai pada maqom ini akan merasa hidupnya terpenuhi oleh
cahaya Tuhan, bahkan terkadang saat berada dalam kondisi sakran (mabuk)
seseorang akan mengeluarkan ucapan-ucapan teopatis atau dalam istilah tasawuf
syatotoh.
Yang menarik dari konsep ma’rifat Imam Al-Ghazali adalah penolakannya pada konsep-konsep tokoh sufi sebelumnya,
seperti ; Abu Yazid dengan konsep ittihad, al-Hallaj dengan konsep hulul, ibn
Arabi dengan konsep wahdah al-wujud. Menurut Imam Al-Ghazalipaham tersebut berkecenderungan ke arah ketuhanan yang bercorak
panteistis-imanenis yang menggambarkan Tuhan sebagai Dzat yang imanen dalam
diri manusia, yang mana ia melihat itu semua sebagai paham yang akan merusak
konsep tauhid yang menjadi ciri khas dogma teologi dalam Islam. Dalam bukunya, al-Munqidz, ia melihat
rumusan mengenai kedua konsepsi ini sebagai khayalan semata. Katanya, “
sampailah ia ke derajat yang begitu dekat dengan-Nya sehingga ada orang yang
mengiranya sebagai hulul, ittihad atau wushul. Semua persepsi itu adalah salah
belaka. … barang siapa mengalaminya, hendaklah hanya mengatakan bahwa itu suatu
hal yang tak dapat diterangkan, indah, baik, utama, dan jangan lagi bertanya.”[41]
Dengan batasan ini bisa dilihat, al-Ghazali
mempertahankan keyakinan mengenai Tuhan sebagai Dzat yang transenden. Artinya
Tuhan adalah Dzat yang mengatasi dan berbeda dengan manusia : Ada perbedaan
mendasar antara Tuhan dan makhluk (manusia) secara jelas dalam pandangan
al-Ghazali. Akan tetapi penolakan Imam Al-Ghazali terhadap hulul dan ittihad di atas tidak otomatis
merupakan penolakannya pada pengalaman orang-orang yang telah mencapai maqom
ma’rifat. Bagi al-Ghazali, pengalaman itu benar adanya. Kaum `arifun, setelah
pendakiannya ke langit hakekat, sepakat bahwa mereka tak lagi melihat dalam
wujud ini kecuali Tuhan.
Ucapan al-Hallaj ana al-Haq, dan ucapan-ucapan tokoh sufi lainnya
yang dianggap aneh dan menyesatkan sebenarnya hanyalah merupakan kata-kata
teopatis atau syafahat. Ia merupakan ucapan yang terlepas di bawah kontrol kesadaran seseorang
saat berada dalam keadaan mabuk (sakran) akan cinta Tuhan. Ucapan-ucapan itulah
yang selanjutnya disebut sebagai ajaran ittihad, hulul dan wihdatul wujud.
Menurut dia, ilmu sejati atau ma’rifat sebenarnya adalah mengenal Tuhan.
Mengenal Hadrat Rububiyah. Wujud Tuhan meliputi segala Wujud. Tidak ada yang
wujud, melainkan Tuhan dan perbuatan Tuhan. Tuhan dan perbuatannya adalah dua,
bukan satu. Itulah koreksi Imam Al-Ghazali atas pendirian al-Hallaj dan ulama sufi lainnya.
Wujudnya ialah kesatuan semesta (wihdatul wujud). Alam keseluruhan ini adalah
makhluk dan ayat (bukti) tentang kekuasaan dan kebesaran-Nya. Sedangkan
penglihatan akan Tuhan melalui alam dan makhlukNya adalah sebatas tajalli atau
penampakan akan keberadaan Tuhan bukan berarti Tuhan menyatu dengan alam
apalagi mengalami persatuan ke dalam tubuh manusia.
H. Pujian
Dan Kritikan Terhadap Thasawwuf Imam Al-Ghazali
Pengaruh pemikiran al-Ghazālī dalam dunia Islam amat mendalam dan
luas sekali. Hasil karyanya dibaca dan dikaji di Timur dan Barat serta oleh
kalangan bangsa Arab atau bukan Arab, bahkan pengkaji-pengkaji bukan Islam
turut meneliti hasil karyanya dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa
termasuk bahasa Indonesia.
Beberapa pujian oleh para peminat atau pencinta jasa Imam Al-Ghazālī ;
- Pernyataan al-Yafi’i: “Kalau wujud nabi selepas Nabi Muhamad pasti orang
itu ialah al-Ghazālī.”
- Imam Nawawi pula pernah berkata: “Hampir-hampir Kitab Ihyā
mengambil tempat al-Qur’an.”
- Kata al-Subky: “Tidak tahu ada orang selepas al-Ghazāli yang sama
sepertinya terutama dari segi kadar memiliki ilmu. Pasti tidak ada orang yang
akan datang sepertinya.”[42]
Banyak tokoh-tokoh yg terlibat dalam penyebaran dan
perkembanga agama Islam di seluruh dunia, termasuk tokoh-tokoh pada zaman
Rasulullah. Antara nama-nama besar yang memberi sumbangan kepada dunia Islam
ialah Imam As-Syafi’e, Imam Malik, termasuk Imam Al-Ghazali dengan karya
beliau yg paling terkenal dan jadi rujukan di seluruh dunia yaitu Ihya
Ulum Al-Din. Imam Al-Ghazali banyak memberi sumbangan pada dunia Islam
sehingga digelar Hujjatul Islam (pembela Islam).[43]
Imam Al-Ghazali adalah nama yang tidak asing lagi di telinga kaum
muslimin. Beliau merupakan seorang teologi Islam, ahli hukum, ahli falsafah dan
sufi termasyur, juga merupakan salah seorang sarjana yang paling terkenal dalam
sejarah pemikir
Islam Sunni.
Ia memiliki pengaruh dan pemikiran yang tersebar ke seluruh dunia
Islam melalui karya-karyanya meliputi ilmu pengetahuan seperti
ilmu kalam(teologi Islam), fikah (hukum Islam), tasawauf, falsafah, akhlak
dan autobiografi. Dia dipandang
paling berjasa dalam mendamaikan tasawuf dan syariat sehingga tasawuf dapat
diterima oleh sebahagian besar umat Islam. Beliau juga berjasa mengembangkan
dan menyebarkan aliran Asy’ariyah yg dianuti oleh majority Ahli Sunnah Wal
Jamaah.[44]
Di kalangan ahli-ahli falsafah, pengkritik al-Ghazālī yang
termasyhur ialah Ibnū Rusyd, ia menolak perbahasan-perbahasan
al-Ghazālī terhadap ahli-ahli falsafah. Contoh kritikan
dalam penulisannya ialah Tahāfut al-Tahāfut bagi menjawab tulisan
al-Ghazālī dalam kitab Tahāfut al-Falāsifah.[45] Ibnū
Rusyd mempertahankan ahli-ahli falsafah dengan hujah yang keras
sebagaimana serangan al-Ghazālī terhadap mereka. Ibnū Rusyd berhujah
dengan penuh kefahaman dan kehandalan tetapi dalam analisis terakhir
ternyata hujah-hujah al-Ghazālī lebih berkesan daripada penentangnya.
Sanggahan Ibnū Rusyd menyatakan bahawa al-Ghazālī menentang ahli falsafah
semata-mata untuk mendapat penghargaan daripada golongan tradisional tidak
dapat dibuktikan. Beliau juga menuduh al-Ghazālī tidak tetap dalam pemikirannya.
Contoh, beliau menyebut bahawa dalam kitab Misykātul al-Anwār, al-Ghazālī
memberi sokongan kepada teori emanasi yang sudah dikritik dalam Tahafut.
Menurut beliau lagi, ajaran-ajaran al-Ghazālī mendatangkan bahaya kepada
agama danfalsafah. Ibnū Rusyd menyatakan mengenai pemikiran
al-Ghazālī : “Satu hari kamu berbangsaYaman apabila bertemu
dengan orang Yaman. Tetapi apabila kamu bertemu seseorang dari Ma’ad
, kamu mendakwa kamu dari ‘Adnan!”
Tuduhan tidak konsisten terhadap al-Ghazālī juga dibuat oleh
ahli falsafah Islam lain seperti Ibnū Tufail menyebut dalam karyanya
bahawa al- Ghazālī: “terikat di satu tempat tetapi bebas di tempat lain.
Ia menafikan beberapa perkara tetapi kemudian mengisytiharkannya
benar.” Sungguhpun beliau menunjukkan beberapa kontradiksi dalam karya
al-Ghazālī tetapi keseluruhannya Ibnū Tufail mengagumi ajaran al-Ghazālī
yang dapat dikesan dalam karya Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn.
Ibnū Taymiyah berpendapat bahawa Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn karangan
al-Ghazālī secara amnya adalah sebuah kitab yang ditulis dengan baik dan
menggunakan gaya yang menarik. Pada masa yang sama, Ibnū Taymīyah memberi
kritikan kerena empat sebab:[46]
- Pertama, pemikiran al-Ghazālī jelas menunjukkan peninggalan
falsafah Yunani. Dalam menjelaskan ketauhidan Allah, kenabian dan hari akhirat,
beliau memperkenalkan banyak konsep yang dipegang oleh ahli-ahli falsafah
pada masa itu. Dalam Muwāfaqāt, beliau menyatakan komentar Abū Bakar bin al-‘Arabī iaitu
sahabat dan pelajarnya bahawa al-Ghazālī telah mendalami ilmu falsafah dan
mahu menolak pemikiran itu tetapi sukar. Oleh sebab itu, Ibnū Taymīyah
menentang falsafah. Beliau mendapati setengah penulisan al-Ghazālī tidak dapat
diterima dari pada sudut keagamaan.
- Kedua, dalam
penulisan Ihyā ‘Ulūm al-Dīn al-Ghazālī menggunakan analisis logik
yang dibuat berdasarkan premis umum dan khusus dengan tujuan
mendapatkan kesimpulan kerana ini tidak bertepatan dengan semangat
al-Qur’an dan Sunnah.
- Ketiga, kitab
Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn mempunyai banyak konsep dan ajaran ahli-ahli turūq
suffīyah dan pertanyaan-pertanyaan mereka mengenai
pendapat kasyāf ke dalam kebenaran ilahi.
- Keempat, Kitab Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn mengandung banyak hadist yang
diragui kesahihannya.
Ibnū Jawzī juga telah menunjukkan kesilapan-kesilapan mengenai beberapa peristiwa
sejarah yang disebut oleh al-Ghazālī dalam Ihyā’. Ibnū Jawzi mengatakan
bahwa al-Ghazālī telah menyebut beberapa contoh ahli sufi atau cara-cara
mereka untuk muraqabah dan pembersihan jiwa (tazkīyah al-nafs) yang tidak
dibolehkan dalam syariat, apalagi untuk diikuti orang
awam. Walau bagaimanapun Ibn Jawzi mengakui keberkesanan Ihyā’
dan sumbangannya amat berharga kepada pemikiran Islam selepas itu. Beliau
juga telah meringkaskan Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn di dalam kitab Minhāaj
al-Qāsididīn dan meninggal bahagian-bahagian yang boleh diperbahaskan.
I. Nasehat Tasawuf Imam Al-Ghazali
Penulis merasa penting untuk memasukan nasehat Imam Al-Ghazali
kepada muridnya ini dengan tujuan semakin memperjelas pemahaman atas kerangka
pemikirannya mengenai tashawwuf, yakni berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah
Rasullulah.
Bahwa suatu hari, Imam al-Ghazali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu
Imam beliau bertanya bebeapa hal.[47]
Pertama, “Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?. ”
Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman, dan
kerabatnya. Imam al-Ghazali menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi yang
paling dekat dengan kita adalah “Mati”. Sebab itu sudah janji Allah SWT bahwa
setiap yang bernyawa pasti akan mati. (QS. Ali Imran 185)
Lalu Imam al-Ghazali meneruskan pertanyaan yang kedua. “Apa yang
paling jauh dari diri kita di dunia ini?”.
Murid-muridnya ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari, dan
bintang-bintang. Lalu Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa semua jawaban yang
mereka berikan adalah benar. Tapi yang paling benar, ujarnya, adalah “MASA
LALU.”
Bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak bisa
kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari
yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.
Lalu Imam al-Ghazali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga. “Apa
yang paling besar di dunia ini?”.
Murid-muridnya ada yang menjawab gunung, bumi, dan matahari. Semua
jawaban itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di
dunia ini adalah “Nafsu” (QS. Al- a’araf: 179). Maka kita harus hati-hati
dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.
Pertanyaan keempat adalah, “Apa yang paling berat di dunia ini?”.
Ada yang menjawab baja, besi, dan gajah. Semua jawaban sampean
benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah “memegang AMANAH” (QS.
Al Ahzab 72). Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu
ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini.
Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga
banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak bisa memegang amanahnya.
Pertanyaan yang kelima adalah, “Apa yang paling ringan di dunia
ini ?”.
Ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu
benar kata Imam al-Ghazali. Namun menurut beliau yang paling ringan di dunia
ini adalah ‘meninggalkan SHALAT’. Gara-gara pekerjaan kita tinggalkan shalat,
gara-gara meeting kita juga tinggalkan shalat.
Lantas pertanyaan keenam adalah, “Apakah yang paling tajam di dunia
ini?”.
Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang. Benar kata Imam
al-Ghazali. Tapi yang paling tajam adalah “lidah MANUSIA”. Karena melalui
lidah, manusia dengan gampangnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya
sendiri.
J. Kesimpulan
Tashawwuf adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari tentang jalan atau cara yang ditempuh dalam
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jalan atau cara yang dimaksud
dengan melalui pembersihan rohani, peningkatan amal saleh, berakhlak mulia
dan tekun melakukan ibadah menurut contoh Rasulullah SAW disertai dengan
melakukan zuhud, berkhalwat dan kontemplasi (merenung dan berpikir dengan
sepenuh perhatian). Dari segi bahasa Tashawwuf adalah
sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana,
rela berkorban untuk kebahagiaan dan selalu bersikap bijaksana, sikap jiwa yang
demikian pada hakikatnya adalah ahlak mulia.
Imam Al-Ghazali menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah Rasullulah sebagai
pegangan utama dan atau titik tolak manusia dalam menjalani hidup, baik untuk
kepentingan lahiriah maupun bathiniah, semata untuk mendapat keridhaan Allah,
untuk mencapainy itu semua manusia perlu memiliki ilmu, baik ilmu syariat
maupun ilmu tashawwuf, keduanya tidak bisa dipisahkan, orang hanya akan
berhasil mencapai tingkat ma’rifatullah (mengenal Allah) setelah menjalani
syariat secara benar, dan mengenal Allah bukan berarti menyatu dengan Allah,
sebab tidak mungkin itu terjadi. Bahwa pencapaian ketingkat ma’rifat bukanlah
suatu hal yang dapat dipelajari dengan akal semata seperti pendapat para ahli
filsafat terdahulu, bahwa keberhasilan dalam pencapaian ma’rifat akan tercermin
pada ahklak manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Shohibul wafa, K.H.A. 1975.
“Miftahus Shudur”. Diterjemahkan oleh Prof. K.H. Aboebakar Atjeh menjadi “Kunci
Pembuka Dada”. Jilid 1 dan 2. Tasikmalaya, Jawa barat: Yayasan Serba Bakhti
Suryalaya.
Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al Qur’an Departemen Agama RI. (1974). “Al-Qur’an dan Terjemahnya”
, Jakarta: Depag RI.
Imam Abu Hamid AlGhozali, Ihya’ U’lum al-Din.
Amin Syukur, dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme Tasawuf
AlGhozali,
Muhammad
Nurshomad, Al-Hayat al-Ruhiyah fi al-Islam, Inti Tasawuf.
Abu
Bakar, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo, Ramadhani,1984.
Sufi dari Zaman ke Zaman,
terj.Ahmad Rofi Utsman, Bandung, Pustaka, 1997.
Dewan Redaksi Ensiklopedi
Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1993
Hasan, Abd-Hakim, al-Tasawuf
fi Syi’r al-Arabi, Mesir, al-Anjalu al-Misriyyah,1954
Munawir,Ahmad warson, al-Munawwir
: Kamus Arab-Indonesia, PP. al-Munawwir,Yogyakarta, 1984
Nasution, Harun, Falsafat
dan Mistisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang,1995
Syukur,
Amin, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta,Pustaka Pelajar, 2002
[2] SUMBER; KM. Murdani, S.Th.I & Ismail SEJARAH
PERKEMBANGAN TASAWWUF, 3 Januari
2010, hkhusus.wordpress.com/2010/01/03/sejarah-perkembangan-tasawwuf/
[5] SUMBER; KM.
Murdani, S.Th.I & Ismail SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWWUF, 3 Januari
2010, hkhusus.wordpress.com/2010/01/03/sejarah-perkembangan-tasawwuf/
[11] Abd. Hakim Hasan, al-Tasawuf
Fi Syi’r al-Arabi, (Mesir : al-Anjalu al-Misriyyah), 1954, hlm. 42. Lihat
juga Prof. D. Amin Syukur MA, Zuhud…, op.cit, hlm. 2
[13] Dr. Abu al-Wafa
al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung :
Pustaka), 1977, hlm. 54
[17] hlm. 58-59; lihat juga Prof.Dr. Amin Syukur MA,Zuhud…,op.cit.,hlm.
4-5; Bandingkan dengan Reynold A. Nicholson, Mistik Dalam Islam,
(Jakarta : Bumi Aksara),1998,hlm. 8-2
[18] Dewan Redaksi
EndiklopediIslam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta.PT.Ichtiar Baru Van Joeve), 1993,
hlm.80- 81
[24] al-Munqidh min ad-dalal, p. 13.http://barrynuqoba.
wordpress.com/2007/05/17/pengakuan-ulama-besar-fiqh-tentang-tasawwuf-dan-ulama-sufi/
[26] Sumber
: Tasawuf antara
Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Dr. Abdul Fattah Sayyid Ahmad. Khalifah Jakarta.
[27] Ta Tasawuf
antara Agama dan Filsafat. Dr. Ibrahim Hilal. Pustaka Hidayah Bandung. Cet. I.
hal. 89. Th. 2002sawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Hal 234
[28] Tasawuf antara Agama dan Filsafat. Dr. Ibrahim Hilal. Pustaka
Hidayah Bandung. Cet. I. hal. 89. Th. 2002
[29] Pengantar Ilmu
Tasawuf. Drs. Yunasril Ali. Pedoman Ilmu Jaya. Jakarta. Cet. I. hal. 29. Th
1987 M
[30] Pengantar Ilmu
Tasawuf. Drs. Yunasril Ali. Pedoman Ilmu Jaya. Jakarta. Cet. I. hal. 29. Th
1987 M
[34] Pengantar Ilmu Tasawuf. Drs. Yunasril Ali. Pedoman Ilmu Jaya.
Jakarta. Cet. I. hal. 29. Th 1987 M,hal. 36.
[37] Pengantar Ilmu Tasawuf. Drs. Yunasril Ali. Pedoman Ilmu Jaya.
Jakarta. Cet. I. hal. 29. Th 1987 M,hal. 162.
[43] Abd Aziz bin Harji, Kelahiran
Imam Al-Ghazali dan Sumbangannya kepada Tamadun Islam,
abstrak, http://az-esei- jan2010.blogspot.com/2010/04/kelahiran-imam-al-ghazali-dan.html, Thursday,
April 22, 2010
[45] Pujian dan Kritikan Terhadap ImamAl-Ghazali,ABDUL SALAM HJ.
YUSSOF ABSTRACThttp://www.ukm.my/jmalim/images/vol_06_2005/abdul_salam_2005.pdf
[46] Pujian dan
Kritikan Terhadap ImamAl-GhazaliABDUL SALAM HJ.
YUSSOF, ABSTRA, Thttp://www.ukm.my/jmalim/images/vol_06_2005/abdul_salam_2005.pdf
[47] Sumber ; Nasehat Tasawuf Imam al-Ghozali; Enam Pertanyaan
Imam al-Ghazali Posted
on 23/02/2012 by Si
pencari ilmu,ipencariilmu.wordpress.com/2012/02/23/nasehat-tasawuf-imam-al-ghozali-enam-pertanyaan-imam-al-ghazali/
Komentar
Posting Komentar