Visi dan Nilai: Dasar Budaya Sekolah

Makalah Rekontruksi Sistem dan Pemikiran Pendidikan Islam


­
Disusun Oleh:
Ahmad Abdul Qiso
Hermansyah
Imam Satria
Muslimatu Shaliha
Zairina Qonita Muna

Dosen Pengampu:
Prof. Suyata, Ph.D
2017

A.    Latar Belakang Masalah
Dalam sebuah organisasi, adanya visi dan misi dipandang sangat penting untuk menyatukan persepsi, pandangan dan cita-cita, harapan dan bahkan impian-impian semua pihak yang terlibat di dalamnya. Keberhasilan dan reputasi organisasi sangat tergantung pada sejauh mana misi yang diembannya dapat terpenuhi. Oleh karenanya diperluhkan visi dan misi yang jelas yang dapat memberikan motivasi dan kekuatan gerak untuk mencapai prestasi menuju masa depan dengan berbagai keunggulannya.[1]
Berbading lurus dengan pernyataan di atas, sekolah sebagai salah satu organisasi yang bergerak dalam dunia pendidikan, harus berangkat dari suatu persepsi atau pandangan yang sama antara semua elemen yang terlibat, sehingga sekolah mampu menciptakan suasa sekolah yang kondusif dan suasana pembelajaran yang efektif. Untuk menyatuhkan berbagai pendangan dan persepsi itu diperlukan suatu rumusan yang dapat mendiskripsikan semua pendapat, hal ini harus dituangkan dalam bentuk visi dan misi. Karena dua hal ini merupakan hal yang sangat penting dalam pendidikan. Namun, keberhasilan akan terlihat apabila misi yang merupakan suatu upaya sekolah untuk mencapai visi dapat berjalan dengan baik.
Dalam upaya menjalankan misi sekolah, diperlukan suatu kepercayaan dan nilai yang diyakini dan aplikasikan bersama-sama. Tanpa adanya hal ini, sulit bagi sekolah untuk merealisasikan suatu misi. Namun, realita yang terjadi sekarang ini, di beberapa sekolah masih terdapat ketidaksepemahan antara individu-individu yang terlibat dalam sekolah, misalnya antara kepala sekolah dan guru, guru dean guru, guru dan orang tua, guru dan siswa. Untuk itu maka pemabahasan dalam makalah ini menjadi penting utuk di kaji, sebagai upaya untuk memberikan pemahaman yang utuh bagi steakholder di sekolah, supaya memiliki kesamaan persepsi dan tujuan. Sehingga harapannya akan lahirlah sekolah-sekolah yang mampu melahirkan siswa-siswa yang sukses dengan pengetahuan yang memadai dan akhlak yang mulia.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kepercayaan dalam organisasi?
2.      Bagaimana misi dan tujuan dari sekolah?
3.      Apa tujuan dan definisi dari sukses?
4.      Apa yang dimaksud dengan nilai, kepercayaan, asumsi, dan norma?
5.      Apa yang dimaksud dengan remistifikasi sekolah?

C.    Pandangan dan Nilai: Dasar Kebudayaan
1.      Kepercayaan dalam Organisasi
Setiap kelompok manusia mempunyai kesatuan kepercayaan (persepsi) yang mengarahkan sudut pandang kelomok tersebut. Begitupun sekolah, kesatuan persepsi (kepercayaan) inilah yang mendasari bagaimana sekolah itu terbentuk?,mengapa harus ada? Dan nilai apa yang harus ada?. Kepercayaan ini adalah jantung dari sekolah (sumber spritualnya). Dalam mendekati makna kepercayaan ini dalam sekolah kita akan menggunakan istilah misi, tujuan, nilai, dan keyakinan.[2]
2.      Misi dan Tujuan (Visi) Sekolah
Inti budaya sekolah yaitu misi dan tujuan. Misi dan tujuan menanamkan nilai  yang memotivasi guru untuk mengajar, kepala sekolah untuk memimpin, siswa untuk belajar, serta kepercayaan orang tua dan masyarakat kepada sekolah. Pernyataan untuk menyusun misi dan tujuan sering terwujud dalam pernyataan misi dan visi.[3]
Dalam sistem manajemen dan kepemimpinan pendidikan, visi dan misi menempati posisi terpenting. Visi harus dirumuskan lebih awal sebagai pijakan organisatoris yang kemudian dituangkan dalam bentuk misi berupa program dan kegiatan untuk mewujudkan visi tersebut. Lebih jauh, misi menjabarkan atau menyusun program aksi dalam sebuah rencana (master plan) yang matang dan fleksibel  untuk dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu secara bertahap.[4]  Pentingnya visi dan misi digambarkan oleh H.A.R Tilaar sebagai berikut:[5]











Komponen Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan
Visi
 
 






















3.      Tujuan dan Definisi dari Sukses
Tujuan adalah sesuatu yang diharapakn tercapai setelah sesuatu usaha atau kegiatan selesai. Maka pendidikan, karena merupakan suatu usaha dan kegiatan yang berproses melalui tahap-tahap dan tingkatan-tingkatan, tujuannya bertahap dan bertingkat. Tujuan pendidikan bukanlah suatu benda yang tetap dan statis, tetapi ia merupakan keseluruhan dari keperibadian seseorang, berkenaan dengan seluruh aspek kehidupannya.[6] 
Soleh Subagja menjelaskan lebih terperinci, bahwa rumusan tujuan pendidikan tidak hanya didasarkan pada situasi dan kondisi atau kebutuhan peserta didik semata, melainkan pandangan yang lebih holistik menunjukkan bahwa ia sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi masyarakat luas sesuai dengan tuntutan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karen itu, peran manusia sebagai subyek pendidikan sangat menetukan obyektifitas tujuan pendidikan. Namun, pada akhirnya apapun jenis atau model desain sistem pendidikan tujuannya berujuang pada upaya untuk menciptakan manusia-manusia terbaik (berkualitas).[7] Dan pendidikan ini, menurut Al-Syaibany,  harus mengarahkan pada perubahan-perubahan pada tiga bidang asasi, yaitu: tujuan-tujuan individual, sosial dan profesional.[8]
Tujuan pendidikan terdiri atas:[9]
a.       Tujuan umum
Tujuan umum ialah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan cara lain.Tujuan umum pendidikan harus dikaitkan dengan tujuan pendidikan nasional dan harus dikaitkan pula dengan tujuan institusional lembaga yang menyelenggarakan pendidikan tersebut.
b.      Tujuan akhir
Pendidikan itu berlangsung selama hidup, maka tujuan akahirnya terdapat pada waktu hidup di dunia ni terlah berakhir pula.
c.       Tujuan sementara
Tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal.   
d.      Tujuan operasional
Tujuan operasional ialah tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu.
Kesuksesan menurut Schein (1985) adalah merefleksikan tujuan-tujuan dari sekolah yang berbeda antar sekolah-sekolah. Hal ini bias kita lihat di bawah ini:[10]
a.       Mencapai keberhasilan ekstrakulikuler
Di beberapa sekolah, keberhasilannya lebih terlihat pada kegiatan atletik (ekstrakulikuler), mengalahkan keberhasilan dalam bidang akademik.
b.      Kinerja yang baik
Di beberapa sekolah, memberikan pehatian khusus dalam penilaian.Guru di nilai sukses dalam mengajar apabila mereka telah mampu melakukan pekerjaan dengan baik. Jika proses pembelajarannya terorganisasi dengan baik, mereka akan berhasil.
c.       Pembelajaran untuk kalangan atas
Di beberapa sekolah, keberhasilan diukur dengan jumlah penerimaan siswa (input). Budaya yang terbentuk dalam sekolah-sekolah ini adalah lebih berfokus pada kebutuhan (keberhasilan) siswa kalangan atas dan kebutuhan siswa lainnya diabaikan.
d.      Bertahan atau tidak membuat masalah
Beberapa sekolah menentukan keberhasilan yang dicapai, dengan melakukan pengamatan setiap hari, minggu, atau tahun. Staf merasa senang saat mereka tidak diawasi. Fokus budaya hanya pada siswa.
e.       Membuat inovasi baru setiap bulan
Beberapa sekolah mendefiniskan keberhasilan dengan ditemukan sesuatu yang baru. Hal ini diaplikasikan dengan menggunakan pendekatan baru, teknologi baru, atau menggunakan pandangan baru yang sedang populer (senantiasa ada inovasi/karya baru). Perubahan itu sendiri menjadi misi bersama.
f.       Pembelajaran untuk semua siswa
Beberapa sekolah memberikan hati dan jiwa mereka untuk mecari standar pembelajaran yang tinggi untuk semua siswa. Waktu dan perhatian dihabiskan untu memperbaiki pembelajaran. Sekolah memgadakan perayaan saat semua siswa berhasil.
4.      Nilai, Kepercayaan, Asumsi, dan Norma
a.       Nilai
Dalam Tasaurus Bahasa Indonesia, nilai diartikan sebagai angka atau skor, harga atau kualitas, dan adab, etik, kultur, norma, padanangan hidup dan sila.[11] Sedangakan menurut Terrence E. Deal dan Kent D. Peterson, Nilai adalah ekspresi sadar tentang apa tujuan sebuah organisasi. Nilai mendefinisikan standar kebaikan, kualitas atau keunggulan yang mendasari perilaku dan pengambilan keputusan dan apa yang orang perdulikan. Nilai bukan sekedar tujuan dan hasil. [12]
Secara spesifik nilai (value), berarti harga, makna, isi dan pesan, semangat, atau jiwa yang tersurat dan tersirat dalam fakta, konsep, dan teori, sehingga bermakna secara fungsional. Sedangakan menurut Winataputra Nilai adalah harga atau kualitas sesuatu. Artinya sesuatu dianggap memiliki nilai apabila secara instrinsik memiliki kemanfaatan.[13] 
b.      Kepercayaan
Dalam Tasaurus Bahasa Indonesia, kepercayaan merupakan akidah, anutan, iktikad, iman, keyakinan, pengakuan, agama, dan din.[14] Sedangkan menurut Terrence E. Deal dan Kent D. Peterson, kepercayaana dalah bagaimana kita memahami dan menangani keadaan disekitar kita. Keyakinan berasal dari pengalaman kelompok, pribadi serta melalui membaca buku dan artikel.[15]
Kepercayaan (beliefs) menjadi sangat penting bagi sekolah, karena ia memberikan pemahaman tentang keadaan siswa (berubah atau tidak berubah), tanggung jawab guru untuk terus belajar (sedikit atau banyak), sumber dari pengetahuan guru (pengalaman, penelitian, atau intiusi), dan keberhasilan pendidikan (tidak akan tercapai atau akan bisa dicapai).[16]
c.       Asumsi
Dalam Tasaurus Bahasa Indonesia, asumsi adalah hipotesis, konsep, dugaan, pengandaian, dan perkiraan.[17] Asumsi sering dipandang sebagai system kepercayaan, persepsi dan nilai. Asumsi tertanam pada budaya dan membentuk pemikiran serta tindakan dengan cara yang hebat. Sebuah sekolah mungkin memiliki asumsi tentang salah seroang siswa, tentang menurunya kualitas pengajaran, atau tentang penurunan kualitas kurikulum. Asumsi budaya sulit di nilai karena sangat terkait dengan kepercayaan.[18]
d.      Norma
Dalam Tasaurus Bahasa Indonesia, norma adalah adat, asas, etika, hukum, kaidah, konvensi, kulutur, nilai, padangan hidup, patokan, pedoman, pegangan, rel, dan tata cara.[19] Adapun norma yang dimaksudkan dalam bukunya Terrence E. Deal dan Kent D. Peterson (shaping School Culture), Norma itu mengkondisikan asumsi, nilai, dan kepercayaan. Ketiga hal tersebut merupakan jantungnya organisasi yang memebrikan prediktabilitas dan stabilitas. Norma berkembang secara formal dan informal di sekolah untuk menemukan dan memperkuat cara-cara tertentu untuk bertindak.[20]
Dalam sekolah misalnya, norma mengatur bagaimana pakaian guru, bagaimana memperlakukan orang tua, dan apa yang harus dibicarakan selama beberapa kali bertemu, dan seberapa sering seorang guru harus menghadiri workshop.[21]
Setiap sekolah memiliki norma positif yang bervariasi. Kilman, Shephier dan King, dan Deal adn Peterson, telah mengidentifikasi norma positif di sekolah, yaitu:[22]
1.      Perlakukan orang lain dengan hormat
2.      Melihat potensi setiap orang sebagai sumber wawasan dan keahlian
3.      Merespon setiap keadaan
4.      Memulai perubahan untuk meningkatkan kinerja
5.      Mendorong orang lain yang mempunyai gagasan baru
6.      Kesadaran akan biaya
7.      Memperkenalkan sekolah dengan bangga
8.      Alokasi waktu harus sesuai dengan tugas yang dijalankan
9.      Jangan mengkritik sekolah di depan siswa atau masyarakat
10.  Nikmati dan antusiaslah dengan pekerjaan
11.  Membantu dan mendukung sesama rekan di sekolah
12.  Bagikan informasi yang membuat organisasi menjadi lebih baik
13.  Mementingkan kebutuhan siswa daripada kebutuhan pribadi
Disamping itu, peneliti yang sama juga mengidentifikasi norma negatif yang ada di beberapa sekolah, yaitu:[23]
1.      Jangan selalu sependapat dengan kepala sekolah
2.      Jangan membuat masalah
3.      Menyepelekan wanita
4.      Mengabaikan sekolah
5.      Benci pada pekerjaan
6.      Menyembunyikan ide dan informasi dari orang lain
7.      Memperlakukan rekan kerja dengan buruk
8.      Terlihat sibuk dan inovatif padahal tidak
9.      Menghargai dan mengenali orang lain berdasarkan politik
10.  Menertawakan dan mengkritik mereka yang inovatif
11.  Mengeluh dan mengkritik sekolah anda ke luar
12.  Mengeluh terus menerus tentang segala hal
13.  Tidak percaya dengan teman
14.  Membagikan informasi bila menguntungkan diri sendiri
15.  Memenuhi kebutuhan diri sendiri baru murid
16.  Mengabaikan kurikulum, perintah dan pelajaran yang bermasalah
5.      Remistifikasi Sekolah
Setiap sekolah dalam meningkatkan budaya sekolah, memberikan fokus perhatian yang berbeda-beda. Beberapa sekolah fokus pada tujuan dan misi. Ada yeng mementingkan mengoreksi dan memperkuat asumsi. Ada yang mencoba mengkonsolidasasikan dan mengkomunikasikan nilai dan keyakinan. Dan ada yang menganalisis norma-norma yang tidak tertulis yang dapat membantu dan mengalangi pendidikan.[24]
Apa cara yang digunakan dalam mencapat tujuan, pertanyaannya sama: Bagaimana kita mengembaikan kepercayaan kepada sekolah? Bagaimana kita mengembalikan kepercayan diri para guru dan meyakinkan masyarakat bahwa sekolah layak dipercaya dan didukung oleh mereka?. Restrukturasi (pengelolaan kembali) atau penetapan standar baru tidak akan berhasil sebagaimana yang diharapakn oleh para pembaharu tanpa demistifikasi dan restrukturasi sekolah dan kelas.[25] 

D.    Kesimpulan
Dari pembasahan pemakalah di atas, dapat kita tarik kesimpulan ke dalam beberapa hal berikut ini:
1.      Setiap kelompok manusia mempunyai kesatuan kepercayaan (persepsi) yang mengarahkan sudut pandang kelomok tersebut. Begitupun sekolah, mereka mempunyai kesatuan persepsi (kepercayaan).
2.      Inti budaya sekolah yaitu misi dan tujuan. Misi dan tujuan menanamkan nilai  yang memotivasi guru untuk mengajar, kepala sekolah untuk memimpin, siswa untuk belajar, serta kepercayaan orang tua dan masyarakat kepada sekolah.
3.      Tujuan adalah sesuatu yang diharapakn tercapai setelah sesuatu usaha atau kegiatan selesai. Namun, pada akhirnya apapun jenis atau model desain sistem pendidikan tujuannya berujuang pada upaya untuk menciptakan manusia-manusia terbaik dan suskes.
4.      Dalam budaya sekolah terdapat empat hal yang mendasarinya, yaitu:
a.       Nilai. Nilai adalah ekspresi sadar tentang apa tujuan sebuah organisasi.
b.      Kepercayaan. Kepercayaan dalah bagaimana kita memahami dan menangani keadaan disekitar kita.
c.       Asumsi. Asumsi tertanam pada budaya dan membentuk pemikiran serta tindakan dengan cara yang hebat
d.      Norma. Norma mengkondisikan asumsi, nilai, dan kepercayaan.
5.      Dalam usaha remististikasi sekolah, setiap sekolah memberikan fokus perhatian yang berbeda-beda. Apa cara yang digunakan dalam mencapai tujuan, pertanyaannya sama: Bagaimana kita mengembaikan kepercayaan kepada sekolah? Bagaimana kita mengembalikan kepercayan diri para guru dan meyakinkan masyarakat bahwa sekolah layak dipercaya dan didukung oleh mereka?.

E.     Daftar Pustaka
Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Daradjat, Zakiah, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2016.
Deal, Terrence E. dan Kent D. Peterson, Shaping School Culture: The heart of leadership, San Fransisco: Jossey-Bass Inc, 1999.
Endarmoko Eko, Tesaurus Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009.
Minarti, Sri, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah, 2016.
Subagja, Soleh, Gagasan Liberalisasi Pendidikan Islam, Malang: Madani, 2010.
Subur, Pembelajaran Nilai Moral Berbasis Kisah, Yogyakarta: Kalimedia, 2015.






[1] Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2016), hlm. 209.
[2] Terrence E. Deal dan Kent D. Peterson, Shaping School Culture: The heart of leadership, (San Fransisco: Jossey-Bass Inc, 1999), hlm. 23
[3] Ibid., Terrence E. Deal dan Kent D. Peterson, hlm. 23-24.
[4] Ibid., Sri Minarti, hlm. 210.
[5] Ibid.,
[6] Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2016), hlm. 29.
[7] Soleh Subagja, Gagasan Liberalisasi Pendidikan Islam, (Malang: Madani, 2010),  hlm. 46
[8] Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 399.
[9] Ibid., Zakiah Daradjat, dkk , hlm. 30-32.
[10] Ibid., Terrence E. Deal dan Kent D. Peterson, hlm. 24-26.
[11] Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 429.
[12] Ibid., Terrence E. Deal dan Kent D. Peterson, hlm. 26.
[13] Subur, Pembelajaran Nilai Moral Berbasis Kisah, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm. 51.
[14] Ibid.,Eko Endarmoko, hlm. 468.
[15] Ibid., Terrence E. Deal dan Kent D. Peterson, hlm. 26-27.
[16] Ibid.,
[17] Ibid.,Eko Endarmoko, hlm. 38.
[18] Ibid., Terrence E. Deal dan Kent D. Peterson, hlm. 27.
[19] Ibid.,Eko Endarmoko, hlm. 431.
[20] Ibid., Terrence E. Deal dan Kent D. Peterson, hlm. 27.
[21] Ibid.,
[22] Ibid., hlm. 27-28.
[23] Ibid., hlm. 28-29.
[24] Ibid., hlm. 29.
[25] Ibid.,

Komentar