TEORI DASAR PENELITIAN AGAMA PENELITIAN AGAMA DI INDONESIA OLEH H. A. MUKTI ALI

TEORI DASAR PENELITIAN AGAMA
PENELITIAN AGAMA DI INDONESIA OLEH H. A. MUKTI ALI  (DALAM BUKU PENELITIAN AGAMA KARYA MULYANTO SUMARDI)


Disusun oleh:

Makalah Pendekatan dalam Pengkajian Islam

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Iskandar Zulkarnean, MA.


A.                Latar Belakang Masalah
Mukti Ali (1923-2004), dalam tulisannya berjudul Penelitian Agama di Indonesia, mengakui bahwa pengetahuan tentang agama Islam di Indonesia tidak mengalami perkembangan yang berarti bila dibandingkan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia, baik perubahan sistem budaya maupun sistem sosial.[1] Ketimpangan ini terutama disebabkan oleh kemandegan pengetahuan agama Islam sebagai akibat dari pendekatan yang bersifat normatif dan berorientasi doktrin semata. Padahal, untuk mengembangkan pengetahuan agama Islam, selain pendekatan normatif dan doktrin, perlu dikembangkan pula pendekatan baru yang bersifat sosio-historis dan menggalakkan penelitian tentang kondisi sosial dan kultural umat beragama di Indonesia.[2]
Ketimpangan ini mulai ditangkap oleh Mukti Ali saat menjadi dosen Perbandingan Agama di IAIN Yogyakarta (sekarang UIN Sunan Kalijaga) pada dasawarsa 1960-an. Dalam pengamatannya, dunia keilmuan di Indonesia saat itu telah semarak oleh penelitian para ahli ilmu sosial yang menghasilkan beragam temuan tentang kondisi masyarakat dari berbagai aspeknya. Bahkan, dalam perkembangannya, para ahli ilmu sosial itu memiliki kecenderungan pula untuk meneliti agama. Kecenderungan ini dimotivasi oleh kenyataan bahwa subjek penelitian mereka adalah masyarakat Indonesia yang agamais. Penelitian tentang aspek-aspek kehidupan masyarakat yang agamais tidak akan sempurna tanpa meneliti pula dorongan-dorongan yang menyebabkan timbulnya perilaku masyarakat tersebut, yang tidak lain adalah berasal dari keyakinan atau agama yang dianut masyarakat.[3]
Pada saat yang sama, para ahli ilmu agama justru belum menampakkan wajah ilmiahnya, terutama dalam penelitian-penelitian agama.[4] Padahal penelitian ilmiah merupakan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi yang harus dilakukan pula oleh IAIN dan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) agar selalu berjalan dinamis sesuai perkembangan zaman.[5] Menurut Mukti Ali, kondisi ini disebabkan adanya tiga kelemahan dalam tradisi akademik di IAIN, yaitu (1) lemahnya penguasaan bahasa asing khususnya Arab dan Inggris, (2) lemahnya mental keilmuan, dan (3) kelemahan dalam metodologi.[6]
Kondisi ini sangat memprihatinkan Mukti Ali sehingga mendorongnya untuk membenahi mutu IAIN dan PTAI agar benar-benar bermental ilmiah. Maka, pada Maret 1972, setengah tahun setelah dilantik menjadi Menteri Agama, Mukti Ali mengeluarkan sejumlah kebijakan penting untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, khususnya kelemahan metodologi. Di antara kebijakan penting yang dia ambil adalah penyelenggaraan short courses on Islamic studies dengan nama Post Graduate Course (PGC)[7] dan program Studi Purna Sarjana (SPS)[8] yang kemudian menjadi embrio Program Pascasarjana di IAIN. Selain itu, untuk memprakarsai kajian empiris dalam kajian agama, Mukti Ali juga membentuk Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Agama[9] di Departemen Agama dan menyelenggarakan Program Latihan Penelitian Agama (PLPA).[10]
Sejak Balitbang Agama dibentuk pada tahun 1975, problem metodologi penelitian agama menjadi salah satu topik sentral yang didiskusikan. Sangat dimaklumi karena metodologi merupakan salah satu aspek terpenting dalam sebuah penelitian. Dalam serangkaian pertemuan yang diselenggarakan Balitbang Agama muncul dua pandangan berbeda; sebagian menghendaki penelitian agama harus memiliki metodologi sendiri, sementara sebagian yang lain berpandangan bahwa penelitian agama tidak memerlukan bangunan metodologi baru, tetapi cukup dengan memanfaatkan metodologi yang ada dari berbagai disiplin, terutama ilmu-ilmu sosial dan budaya yang merupakan disiplin terdekat dengan kajian agama. Sebagai salah satu tokoh penting yang memiliki wawasan metodologis yang luas, Mukti Ali terpanggil untuk menawarkan gagasan metodologis yang dinilai lebih tepat diterapkan dalam upaya pengembangan penelitian agama.

B.                 Fokus Kajian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, fokus kajian dalam makalah ini adalah: Metode apa yang digagas Mukti Ali untuk mengembangkan penelitian agama di Indonesia?

C.                Kajian Pustaka
Berdasarkan penelusuran pemakalah terhadap beberapa referensi, ditemukan beberapa karya ilmiah yang berkaitan dengan makalah Mukti Ali ini.
1.         Agama dan Cakupan Ilmu Agama” yang ditulis oleh W. Bonar Sidjabat dalam buku Penelitian Agama; Masalah dan Pemikiran karya Mulyanto Sumardi.[11] Sidjabat menitikberatkan tulisannya pada persoalan pengertian universal tentang agama yang belum disepakati oleh kalangan penganut-penganut agama, khususnya di Indonesia. Karena itu Sidjabat memberi stimulus atas pengertian agama sebagai “keprihatinan”. Sementara dalam hal cakupannya, Sidjabat memandang bahwa cakupan ilmu agama sangat luas, karena itulah agama bisa diteliti oleh siapa pun dengan menggunakan metodologi yang tidak tunggal, tetapi beragam. Sidjabat juga mengungkapkan bahwa dalam dunia ilmu pengetahuan di Indonesia penelitian agama belum mendapatkan tempat sewajarnya. Para peneliti, khususnya ahli sosiologi dan ahli antropologi sosial, biasanya hanya menekankan aspek sosial dalam melihat agama. Dalam tulisan itu Sidjabat tidak mengemukakan metode yang digunakan dalam memaparkan gagasannya.

2.         Ilmu Perbandingan Agama (Sebuah Pembahasan tentang Methodos dan Sistema) karya Mukti Ali yang dipublikasikan pada tahun 1975.[12] Dalam buku ini Mukti Ali mengenalkan beberapa metode atau pendekatan dalam mengkaji agama secara ilmiah. Di sini Mukti Ali telah menarik pembedaan antara pendekatan apologis dan pendekatan ilmiah. Ia menegaskan bahwa Perbandingan Agama (Studi Agama) bukanlah apologi. Perbandingan Agama bukan suatu alat untuk mempertahankan kepercayaan dan agama seseorang, melainkan alat untuk memahami fungsi dan ciri agama. Kesulitan dalam studi agama menurut Mukti Ali adalah bagaimana harus bersikap objektif dalam mengkaji agama tanpa berat sebelah. Untuk menghindari apologi dan sikap tidak objektif, Mukti Ali menggagas pentingnya kerjasama antara ilmu Perbandingan Agama dan ilmu-ilmu sosial lainnya untuk memahami dan menafsirkan fenonema agama. Ia menyatakan bahwa untuk mendapatkan materi, alat-alat penelitian, dan perbaikan metode Ilmu Perbandingan Agama banyak tergantung pada ilmu-ilmu lain, seperti prasejarah, sejarah, arkeologi, geografi, antropologi fisik, etnologi, psikologi, filologi, sosiologi, psikologi sosial, kritik kitab suci dan pengetahuan lainnya termasuk ekonomi, hukum dan lembaga politik.

Berbeda dengan dua pustaka di atas, di mana pustaka pertama hanya menyinggung sekilas tentang metodologi penelitian agama dan pustaka kedua lebih berfokus pada metode atau pendekatan dalam pengkajian ilmu perbandingan agama, makalah Mukti Ali ini secara khusus mengelaborasi gagasannya tentang metodologi penelitian agama di Indonesia.

D.                Metodologi Penelitian
Dalam penelitian agama, Mukti Ali menggunakan suatu metode yang dia sebut dengan “metode sintesis”, yaitu memadukan secara bersamaan antara metode doktriner dan metode ilmiah dengan pendekatan religio-scientific (ilmiah-agamais) atau scientific-cum-doktrinair.

E.                 Pembahasan
1.         Biografi Singkat Mukti Ali
Beliau adalah Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali, lahir di Cepu, Jawa Tengah, pada 23 Agustus 1923, dengan nama kecil Boedjono. Selain terkenal sebagai ulama ahli perbandingan agama, Abdul Mukti Ali juga terkenal sebagai cendekiawan muslim pembaharu pemikiran Islam di Indonesia melalui kajian keislaman (islamic studies).
Pada usia delapan tahun, Boedjono dimasukkan dalam pendidikan formal di HIS (Hollandsch Inlandsche School), sekolah milik Pemerintah Hindia Belanda setingkat Sekolah Dasar. Setamat dari HIS Boedjono melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Termas, Pacitan, yang didirikan oleh K.H. Abdul Manan (1830-1862), ayahanda Syaikh Mahfudz at-Turmusi. Di Termas ini Boedjono mengaji kepada “hamidain”, K.H. Hamid Dimyati dan K.H. Abdul Hamid Pasuruan. Oleh K.H. Abdul Hamid Pasuruan, nama Boedjono diganti menjadi Abdul Mukti, sedangkan nama Ali diambil dari nama ayah Boedjono, yaitu H. Abu Ali.
Selain nyantri resmi di Pesantren Termas, Mukti Ali sekali tempo juga nyantri beberapa pesantren lain, seperti Tebuireng, Lasem, dan sebagainya. Selanjutnya Mukti Ali meneruskan pendidikannya di Sekolah Tinggi Islam (STI) Yogyakarta, yang sekarang bernama Universitas Islam Indonesia (UII). Dari sinilah Mukti Ali memulai pengembaraan keilmuannya sebagai ulama intelektual dan ulama pembaharu. Mukti Ali melanjutkan pendidikan di Fakultas Sastra Arab Universitas Karachi, Pakistan, dengan spesialisasi Sejarah Islam. Di universitas yang sama Mukti Ali melanjutkan program Ph.D. Kemudian pada 1955 Mukti Ali melanjutkan belajarnya di Universitas Mc Gill di Montreal, Kanada, dengan spesialisasi Ilmu Perbandingan Agama. Pada September 1971 sampai Maret 1978 Mukti Ali dipercaya menjadi Menteri Agama menggantikan K.H. Mohammad Dahlan.
Abdul Mukti Ali meninggal dunia pada 5 Mei 2004 dalam usia 81 tahun, dan dimakamkan di pemakaman keluarga besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga di Desa Kadisoko, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman.[13]

2.      Pandangan Mukti Ali Tentang Penelitian Agama di Indonesia
Taufik Abdullah mengatakan dalam bukunya Metodologi Penelitian Agama, ketika penelitian agama baru saja mulai digalakkan, ada seorang ulama yang berkata dengan nada mengejek, “Baru kali ini saya mendengar agama diteliti.” Kisah ini barangkali hanyalah legenda modern, dan kisah ini tidak akan benar-benar terjadi jika semua orang mempunyai kesepahaman tentang konsep penelitian agama.[14]
Adalah Mukti Ali yang memelopori penelitian agama di Indonesia pada dekade 1960-an dengan mengenalkan metode-metode ilmiah. Bagi Mukti Ali, agama selain berisi kepercayaan juga berisi hal-hal yang bisa dibahas secara ilmiah. Dengan demikian, penelitian agama tidak perlu dicurigai akan mereduksi kesakralan dan kebenaran agama. Justru penitian agama mutlak dilakukan dan ditumbuh-kembangkan untuk menjawab tantangan permasalahan umat beragama sesuai perkembangan zaman.
Penelitian agama, menurut Mukti Ali, adalah penelitian yang menyangkut pengalaman umat beragama di tengah-tengah masyarakat. Penelitian agama berhubungan dengan ekspresi manusia sebagai hamba Allah dan sebagai masyarakat yang menjalankan tugas-tugas keagamaannya di dunia. Penelitian ini berpijak pada sesuatu yang konkret, yakni pengalaman umat yang nyata.[15] Adapun objek dari penelitian ini adalah tindak laku umat beragama atau pengaruh timbal balik atau saling memengaruhi antara masyarakat dan agama. Agama memengaruhi jalannya masyarakat, demikian juga pertumbuhan masyarakat memengaruhi pemikiran terhadap agama.[16]
Dalam paparan ilmiahnya, Mukti Ali terkesan memandang identik antara “penelitian agama” dan “penelitian keagamaan”. Oleh Mukti Ali, kedua term ini dikesankan sama dan bisa saling bertukar.[17] Kecenderungan Mukti Ali dalam mengidentikkan kedua term ini ditangkap pula oleh Atho’ Mudzhar. Padahal, menurut Mudzhar, penggunaan istilah “penelitian agama” dan “penelitian keagamaan” selayaknya perlu diberi batas yang tegas. Mengutip Middleton, Mudzhar mengemukakan bahwa penelitian agama (research on religion) adalah penelitian terhadap materi agama (ritus, mitos, dan magik) yang dapat dikaji dari perspektif teologis, historis, komparatif, maupun psikologis, sedang penelitian keagamaan merupakan penelitian terhadap sistem keagamaan (religious system) yang bersifat sosiologis. Sasaran penelitian agama adalah doktrin, sementara sasaran penelitian keagamaan adalah agama sebagai gejala sosial.[18]
Lebih lanjut Mudzhar berpendapat, jika pembedaan ini diikuti, perdebatan mengenai ada tidaknya metodologi penelitian agama tentu tidak akan terjadi. Penelitian agama yang sasarannya adalah agama sebagai doktrin dapat menggunakan metodologi yang sudah ada, misalnya ushul fiqih dalam penelitian hukum dan ilmu mushthalah hadis dalam penelitian hadis. Sementara penelitian keagamaan yang sasarannya adalah agama sebagai gejala sosial cukup meminjam metodologi penelitian sosial yang sudah ada.[19]
Terlepas dari silang pendapat mengenai dua term tersebut, Mukti Ali memandang bahwa penelitian agama di Indonesia sangat penting dikembang-galakkan karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, dengan masyarakatnya yang sosialistis religius. Urgensi penelitian agama tidak hanya bagi kalangan ilmuwan dan dunia ilmu pengetahuan, tetapi juga bagi para pemimpin agama Islam serta perencana dan pelaksana pembangunan di Indonesia.[20] Bagi pemimpin agama Islam, hasil penelitian keagamaan akan sangat berguna untuk meningkatkan usaha-usaha dakwah, pendidikan, dan sosial. Sedangkan bagi para perencana dan pelaksana pembangunan, hasil penelitian ini akan menghindarkan mereka dari “kekeliruan” yang menyinggung sentimen dan kepekaan rasa agama dari masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, penelitian keagamaan sangat diperlukan, baik untuk kepentingan pembangunan nasional maupun untuk pembangunan kehidupan agama itu sendiri.[21]
Menurut Mukti Ali penelitian agama melingkupi tiga aspek sebagai berikut.
1.      Refleksi agamaniah[22]
Refleksi agamaniah adalah refleksi atas agama itu sendiri dan refleksi dalam agama. Dalam hal ini perlu dipahami tentang ajaran agama itu sendiri dan bagaimana manifestasinya dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian tampaklah bahwa hidup beragama bukan hanya hidup batin dan bukan pula hal pribadi. Hidup beragama berpangkal pada kepercayaan terhadap agama yang diyakini dan bagaimana menerapkan keyakinan itu dalam kehidupan masyarakat sesuai dengan ucapan batin.[23] Dalam buku lain Mukti Ali menyebut refleksi agamaniah sebagai refleksi agamis, yaitu refleksi atas iman dan refleksi dalam iman. Beriman adalah berkeyakinan yang diikuti dengan perbuatan yang sesuai dengan keyakinannya itu.[24]
2.      Pengungkapan iman dalam situasi konkret
Agama sebagai refleksi iman tidak hanya terbukti dalam ucapan keyakinan dan iman, tetapi agama juga merefleksikan sejauh mana iman itu diungkapkan dalam kehidupan dunia ini. Dengan demikian, iman tidak cukup hanya diucapkan lewat kata, tetapi harus direfleksikan dalam perbuatan nyata atau situasi konkret.[25]
3.      Peneliti dalam penelitian agama harus seorang yang agamais
Dalam pandangan Mukti Ali, fakta-fakta sosial biasanya mengandung banyak interpretasi, dan penginterpretasiannya sangat tergantung pada pertanyaan peneliti dan latar belakang peneliti. Agama bersifat sangat pribadi dan dalam, karena itulah untuk mengamatinya harus dilakukan secara hati-hati. Bagi Mukti Ali, faktor peneliti lebih berperan penting dalam penelitian dibanding metode penelitian. Seorang peneliti yang secara teknik penelitian sangat baik belum tentu dapat menemukan persoalan-persoalan agama pada seseorang, kecuali peneliti itu beriman dan berefleksi atas imannya atau agamanya. Jika peneliti bukan orang yang beragama, dia hanya akan sanggup mengonstatir atau menyimpulkan dan memberi pernyataan tentang adanya suatu gejala agamaniah, agamawi, atau religiusitas, tetapi bukan iman atau religiusitas itu sendiri. Karena itulah penelitian agama tidak mungkin dilakukan oleh peneliti yang tidak mengetahui seluk beluk persoalan pokok agama.[26] Di antara sikap agamais seorang peneliti adalah memiliki pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah sosial dan agama, memiliki integritas pribadi, sensitif dalam persepsi, disiplin dalam imajinasi, dan reserve dalam mental.[27] Objektivitas atau netralitas bukan merupakan kriteria utama dalam proses penelitian agama, karena ada kriteria lain yang juga ikut menentukan, yaitu penilaian “subjektif” si peneliti. Inilah yang membedakan antara penelitian agama dan penelitian sosiologi agama atau psikologi agama.[28]

3.      Gagasan Metodologis Mukti Ali dalam Penelitian Agama
Penggunaan metode ilmiah dalam penelitian agama mulai dikenalkan Mukti Ali pada dekade 1960-an melalui orasi ilmiahnya yang berjudul Ilmu Perbandingan Agama (Sebuah Pembahasan tentang Methodos dan Sistima). Walaupun disampaikan dalam konteks Ilmu Perbandingan Agama, paparan ilmiahnya ini tercatat sebagai fase awal penggunaan metode ilmiah dalam penelitian agama.[29] Selain itu, Mukti Ali juga menekankan pentingnya kerjasama antara Ilmu Perbandingan Agama dan ilmu-ilmu sosial untuk memahami dan menafsirkan fenomena sosial. Pada waktu itu penggunaan metode ilmiah dan ilmu-ilmu sosial dalam mengkaji agama masih dianggap asing oleh umat Islam. Karena itu Mukti Ali berusaha meyakinkan pembaca muslim bahwa penggunaan metode ilmiah dan ilmu-ilmu sosial dalam mengkaji agama sangat mungkin dilakukan tanpa perlu mengorbankan kebenaran Islam.[30]
Selanjutnya, pada dekade 1970-an, muncullah sengketa pendapat antara dua kelompok sarjana Muslim mengenai metode penelitian agama. Satu kelompok menghendaki agar penelitian agama memiliki metodologi tersendiri yang khas. Mereka berargumentasi, bahwa metode-metode yang selama ini digunakan dalam penelitian agama sering kali kurang tepat sehingga tidak mampu menerangkan dengan jelas apa sebenarnya makna di belakang fakta-fakta keagamaan. Sementara kelompok yang lain cenderung mempertahankan metode yang selama ini telah digunakan. Mereka berpandangan bahwa dalam penelitian agama tidak perlu membangun metode baru, tetapi cukup memanfaatkan metode yang sudah ada dari berbagai disiplin, terutama disiplin ilmu-ilmu sosial dan budaya.[31]
Silang pendapat mengenai hal ini mendorong Mukti Ali untuk menawarkan gagasan metodologis yang menurutnya tepat digunakan dalam penelitian agama. Dorongan itu semakin kuat ketika Mukti Ali mencermati lulusan IAIN dan PTAI kala itu sangat lemah dalam hal metodologi. Menurut Mukti Ali, mengkaji Islam dengan berbagai aspeknya tidaklah cukup dengan menggunakan metode ilmiah saja, demikian pula tidak bisa hanya secara dogmatis/doktriner. Tetapi dua pendekatan itu (ilmiah dan doktriner) harus digunakan secara bersama. Karena itulah Mukti Ali memandang bahwa metode yang lengkap untuk mendekati agama adalah sintesis dari metode ilmiah dan dogmatis/doktriner, yang kemudian diistilahkannya metode religio-scientific atau scientific-cum-doctrinair atau ilmiah-agamis.[32]
Untuk mengembangkannya, Mukti Ali menekankan pentingnya kerjasama antara ahli ilmu agama dan ahli ilmu sosial mengingat masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan tersendiri. Ahli ilmu agama dan ahli ilmu sosial dituntut saling mendekat dan bekerjasama dalam meneliti fenomena keagamaan. Ahli ilmu sosial tidak cukup mengkaji dan memahami fenomena keagamaan hanya berdasarkan perspektif ilmu sosial tanpa melibatkan perspektif agama. Sebaliknya, kalangan ahli ilmu agama juga tidak cukup hanya mengkaji fenomena keagamaan dengan menggunakan pemikiran spekulasi teoritis atau metode deduktif, tetapi diperlukan juga metode empiris dan induktif dalam memahami agama sebagaimana yang dilakukan dalam ilmu sosial.[33] Dalam perkembangannya, Mukti Ali merasa sangat bersyukur bahwa gagasannya itu bisa direalisasikan dengan lahirnya penelitian-penelitian yang merupakan hasil dari kerjasama antara ahli ilmu agama dan ahli ilmu sosial.[34]
Mukti Ali menegaskan bahwa meneliti masyarakat beragama berarti meneliti gejala-gejala yang erat hubungannya dengan gejala-gejala masyarakat beragama. Cara mengkaji gejala-gejala tersebut mirip dengan cara pengumpulan data dalam Sosiologi. Tetapi pengumpulan data itu bukanlah Sosiologi melulu, karena umat beragama menafsirkan gejala-gejala dalam masyarakat itu dalam cahaya ajaran agamanya. Jadi, penelitian agama tidak hanya memaparkan data, tetapi sekaligus menafsirkannya. Itulah sebabnya terbuka ruang yang sangat luas bagi metode empiris untuk digunakan dalam penelitian agama, mendampingi metode historis yang telah lebih dulu melekat dalam penelitian agama.[35]
Pada intinya, bagi Mukti Ali, seluruh metode penelitian agama sebaiknya berwarna atau bersifat agamaniah, yakni bahwa penelitian agama itu bertitik tolak dari permasalahan agama dan bahwa proses diagnosa dan prognosa diarahkan oleh salah satu skema evaluasi yang diambil dari agama pula.[36] Secara operasional dan aplikatif, pendekatan ini bisa diwujudkan melalui tahapan: (1) dengan seksama mengamati fakta-fakta, (2) menentukan di mana letak kemungkinan-kemungkinan yang paling menonjol, yakni mencoba memahami arti di balik fakta-fakta itu, (3) berdasarkan pemahaman yang rasional pada tahap 1 dan 2 mencoba melihat dari segi cahaya agama, dan (4) menilai dalam cahaya agama pelaksanaan konkret sesuai dengan situasi historis.[37] Keempat tahapan ini jika dilihat dari perspektif pendekatan scientific-cum-doctriner, menunjukkan bahwa tahapan 1 dan 2 menggunakan metode scientific (tahap penyaringan data), sedang tahapan 3 dan 4 menggunakan metode doktriner (tahap interpretasi).[38]
Dalam pandangan selanjutnya, Mukti Ali membagi corak penelitian ilmu-ilmu sosial ke dalam tiga bagian: deskripsi, eksplorasi, dan verifikasi. Kriteria yang membedakan ketiga corak ini adalah peranan hipotesis-hipotesis. Dalam penelitian deskriptif tidak ada hipotesis; dalam penelitian eksploratif hipotesis baru dibentuk pada akhir penelitian; sedangkan dalam penelitian verifikatif, hipotesis justru menjadi titik tolak untuk diuji atau diverifikasi. Karena, menurut Mukti Ali, penelitian agama tidak bermaksud mengembangkan teori-teori baru tentang agama, umat, dan sebagainya, tetapi sekadar melukiskan kelompok sosial beserta gejala-gejala keagamaannya, maka tipe penelitian yang cocok untuk penelitian agama adalah deskriptif, tanpa ada hipotesis.[39] Dalam hal pengumpulan data, Mukti Ali merekomenasikan beberapa metode atau teknik yang bisa digunakan, di antaranya adalah dokumen pribadi[40], questionnaire, interview, public opinion poll, oberservasi sosiologis dan antropologis[41], perbandingan agama, pendekatan genetic (meneliti pertumbuhan agama), grafik dan statistik.[42]
Mencermati metode atau teknik penelitian yang disarankan Mukti Ali di atas menunjukkan bahwa ia mendukung penggunaan pendekatan dan metode kualitatif maupun kuantitatif dalam penelitian agama. Istilah nomothetic, statistic, questionnaire, dan public opinion poll merupakan bagian dari tradisi penelitian kuantitatif. Sementara istilah idiographic dan observasi (partisipan) merupakan bagian dari tradisi kualitatif.

F.                 Sumbangan dalam Ilmu Keislaman
Gagasan dan pemikiran Mukti Ali tentang metodologi penelitian agama memberikan kontribusi besar bagi pengembangan penelitian-penelitian selanjutnya. Boleh dibilang ia merupakan pelopor pembaharuan pemikiran dalam kajian Islam di Indonesia. Penelitian agama yang semula kurang mendapat perhatian serius dari para sarjana muslim, atas sumbangsih pemikirannya, mulai digalakkan dan terus dikembangkan. Agama yang semula hanya didekati secara dogmatis dan doktriner, mulai terbuka untuk didekati pula secara empiris dan ilmiah. Perkembangan positif ini tentu sangat menggembirakan bagi ilmu keislaman agar tidak mengalami kemandegan/kejumudan, tetapi berkembang mengikuti perubahan zaman.

G.                Kesimpulan
Dalam pandangan Mukti Ali, penelitian agama di Indonesia sangat penting dan diperlukan karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, dengan masyarakat yang sosialistis religius. Tentang istilah “penelitian agama”, tampaknya Mukti Ali mengidentikkan istilah ini dengan “penelitian keagamaan”, tanpa memberi batas pembeda yang tegas antara keduanya.
Menurut Mukti Ali, mengkaji Islam dengan berbagai aspeknya tidaklah cukup hanya menggunakan metode ilmiah, begitu pula tidak bisa hanya dengan pendekatan dogmatis/doktriner. Karena itulah Mukti Ali menawarkan metode yang lengkap untuk meneliti agama, yaitu metode religio-scientific atau scientific-cum-doctrinair atau ilmiah-agamais. Metode ini merupakan sintesis dari metode ilmiah dan dogmatis/doktriner. Untuk mengembangkannya, ahli ilmu agama dan ahli ilmu sosial dituntut saling berdekatan dan bekerjasama.
Penelitian agama, bagi Mukti Ali, tidak dimaksudkan untuk mengembangkan teori-teori baru tentang agama, umat, dan sebagainya, tetapi sekadar melukiskan kelompok sosial beserta gejala-gejala keagamaannya. Karena itu Mukti Ali menilai bahwa tipe penelitian yang cocok digunakan dalam penelitian agama adalah deskriptif tanpa hipotesis. Adapun metode atau teknik pengumpulan datanya bisa berupa dokumen pribadi, questionnaire, interview, public opinion poll, oberservasi sosiologis dan antropologis, perbandingan agama, pendekatan genetic, grafik dan statistik.

H.                Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik., M. Rusli Karim (ed.)., 2004, Metodologi Penelitian Agama Suatu Pengantar, Cet. 2, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Abdullah, M. Yatimin., Cet. 1, 2006, Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Amzah.
Ali, H.A. Mukti., 1981, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta: Rajawali.
________________, 1975, Ilmu Perbandingan Agama (Sebuah Pembahasan tentang Methodos dan Sistema), Yogyakarta: PT Al-Falah.
_________________, 1996, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, Bandung: Mizan.
Azra, Azyumardi., dan Saiful Umam, Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosil-Politik, 1998, diunduh dari https://kemenag.go.id/file/dokumen/11.MuktiAli3.pdf diakses pada 23 September 2017.
https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/page/1018-Sejarah, diakses pada 16 November 2017, pukul 12:29 WIB.
Basuki, A. Singgih., 2013, Pembaruan Pemikiran Keagamaan dan Keilmuan, Yogyakarta: Suka Press.
Bekker, Anton., Achmad Charris Zubair., 1990, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.
Damami, Mohammad., dkk., (ed.), 2000, Lima Tokoh IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta:  IAIN Sunan Kalijaga.
Mastuhu., M. Deden Ridwan (ed.)., Cet. 1, 1998, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antar-Disiplin Ilmu Agama, Bandung: Penerbit Nuansa bekerjasama dengan Pusjarlit.
Mudzhar, M. Atho’., 1998, Metodologi Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahmadi, Juli 2015, “Pemikiran Metodologis A. Mukti Ali Tentang Penelitian Agama”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 14, No. 2.
Riyanto, Waryani Fajar., 2014, Studi Islam Indonesia (1950-2014), Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta.
Sudjangi (ed.), 1992, Kajian Agama dan Masyarakat 15 Tahun Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, 1975-1990, Jakarta: Departemen Agama RI.
Sumardi, Mulyanto, 1982, Penelitian Agama; Masalah dan Pemikiran, Jakarta: Sinar Harapan.
Suprayogo, Imam dan Tobroni, 2003, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Suwadi, dkk., 2012, Panduan Penulisan Skripsi, Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga.


*) Makalah Prarevisi


[1] Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama; Masalah dan Pemikiran, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hlm. 22.
[2] H.A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta: Rajawali, 1981), hlm. 322-323.
[3] Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama, hlm.. 20.
[4] Ibid., hlm 22.
[5] A. Singgih Basuki, Pembaruan Pemikiran Keagamaan dan Keilmuan, (Yogyakarta: Suka Press, 2013), hlm. 83.
[6] Ibid,, hlm. 80-82.
[7] PGC pertama diselenggarakan pada tahun 1971 selama tiga bulan di IAIN Yogyakarta. Mata kuliah PGC (1971-1973) adalah Ilmu Perbandingan Agama, Fiqih, Ilmu Pendidikan, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis, dan Metodologi Penelitian Sosial dan Agama. Lihat A. Singgih Basuki, Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali (Yogyakarta: Suka Press, 2013), hlm. 84.
[8] SPS diselenggarakan sebanyak tujuh angkatan yang diikuti oleh dosen-dosen IAIN dari seluruh Indonesia. Ada tiga mata kuliah inti yang menjadi titik tekan SPS, terutama pada tahun 1974 hingga 1976, yaitu Sejarah, Filsafat, dan Metode Penelitian Sosial dan Agama. Mata kuliah lainnya adalah Ilmu Perbandingan Agama, Fiqih, Pendidikan, Tafsir, pengajaran Bahasa Arab (kelimanya dari tahun 1971-1973), Alam Pikiran Modern dalam Islam, Ijtihad dan Bermazhab, dan Aliran Kebatinan (ketiganya pada tahun 1977). Lihat Waryani Fajar Riyanto, Studi Islam Indonesia (1950-2014), (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2014), hlm. 266-272.
[9] Balitbang Agama dibentuk melalui Keputusan Presiden RI No. 44 dan 45 Tahun 1974, yang dijabarkan oleh Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 18 Tahun 1975. Tugas dan fungsinya antara lain: menyelenggarakan pembinaan semua unit penelitian dan pengembangan di lingkungan Departemen Agama yang mencakup semua jenis penelitian dan pengembangan, baik yang diselenggarakan sendiri oleh Balitbang maupun oleh unsur-unsur lain dalam Departemen Agama. Berdasarkan KMA Nomor 1 Tahun 2001, Balitbang Agama berubah nama menjadi Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan. Lihat https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/page/1018-Sejarah, diakses pada 16 November 2017, pukul 12:29 WIB.
[10] PLPA sejak tahun 1976/1977 hingga tahun 1990-an telah berlangsung 13 angkatan dan telah menghasilkan 296 alumni dari seluruh Indonesia. Peserta PLPA terdiri atas para peneliti di lingkungan Balitbang Agama, IAIN, perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian yang lain. Lihat Sudjangi (ed.), Kajian Agama dan Masyarakat 15 Tahun Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, 1975-1990 (Jakarta: Departemen Agama RI, 1992), hlm. x.
[11] Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama; Masalah dan Pemikiran, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982).
[12] A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama (Sebuah Pembahasan tentang Methodos dan Sistema), (Yogyakarta: PT Al-Falah, 1975).
[13] Disarikan dari Mohammad Damami, Syaefan Nur, Sekar Ayu Aryani, dan Syafa 'atun al-Mirzanah, “Lima Tokoh IAIN Sunan Kalijaga:Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, M.A.” dalam Lima Tokoh IAIN Sunan Kalijaga, (Yogyakarta:  IAIN Sunan Kalijaga, 2000) .
[14] Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed), Metodologi Penelitian Agama; Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm. vii.
[15] Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama, hlm. 23.
[16] Ibid., hlm. 22.
[17] Terhitung sebanyak dua kali Mukti Ali menggunakan istilah “penelitian keagamaan” yang disama-artikan dengan “penelitian agama”. Lihat: Ibid.
[18] M. Atho Mudzhar, Metodologi Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 35-36.
[19] Ibid., hlm. 36-37.
[20] Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama, hlm. 21-22.
[21] H.A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama…, hlm. 324.
[22] Perilah nomenklatur agamaniah yang berulang kali disebut oleh Mukti Ali dalam buku Mulyanto Sumardi, pemakalah belum menemukan dasar gramatikalnya. Namun, pemakalah menduga bahwa agamaniah yang dikehendaki oleh Mukti Ali adalah semakna dengan agamais atau agamawi.
[23] Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama, hlm. 25.
[24] H.A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama, hlm. 329.
[25] Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama..., hlm. 26.
[26] ibid, hlm. 26-27.
[27] ibid, hlm. 28.
[28] H.A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama..., hlm. 331-332.
[29] Rahmadi, “Pemikiran Metodologis A. Mukti Ali Tentang Penelitian Agama”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 14, No. 2, (Juli 2015), hlm. 112.
[30] Ibid., hlm. 113.
[31] Mulyanto Sumardi, “Pengantar” dalam Mulyanto Sumardi (ed.), Penelitian Agama, hlm. 1-2. Lihat pula M. AthoMudzhar, Pendekatan Studi Islam , hlm. 36-37.
[32] A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 79.
[33] Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama..., hlm. 21.
[34] Ibid., hlm. 24.
[35] Ibid.,hlm. 25-26.
[36] Ibid.,hlm. 28.
[37] Ibid.,hlm. 26.
[38] Rahmadi, “Pemikiran Metodologis A. Mukti Ali …, hlm. 112.
[39] Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama..., hlm. 27-28.
[40] Dokumen pribadi dapat diteliti dengan menggunakan pendekatan nomothetic jika jumlahnya banyak dan pendekatan idiographic jika dokumennya hanya satu atau sedikit. Di antara kedua pendekatan ini, menurut Mukti Ali, pendekatan nomothetic lebih memiliki bobot ilmiah daripada pendekatan idiographic. Walaupun demikian, pendekatan idiographic juga memungkinkan memiliki bobot ilmiah jika memang didukung oleh sumber-sumber lain. Lihat Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama..., hlm. 29.
[41] Dalam observasi sosiologis dan antropologis, Mukti Ali lebih menganjurkan untuk menggunakan participant orservation. Lihat Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama..., hlm. 29-30.
[42] Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama..., hlm. 29-30.

Komentar