KEPEMIMPINAN SEKOLAH BERBASIS
BUDAYA
SEBAGAI KUNCI PENINGKATAN
MUTU SEKOLAH
(Studi atas Tiga Kepala Sekolah dalam Buku Shaping
School Culture The Heart of Leadership Karya Terrence E. Deal dan Kent D. Peterson)
Disusun Oleh:
Rajibullah
Nur Azizah
Irham Sya’roni
Nur Endah
Kusumaningrum
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kuliah
Rekonstruksi Sistem dan Pemikiran Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Prof. Suyata, M.Sc., Ph.D
2017
Abstrak
Kata
Kunci: Budaya Sekolah, Kepala Sekolah, Mutu Pendidikan
A.
Pendahuluan
Setidaknya
ada lima aspek pokok yang perlu diperhatikan dalam upaya peningkatan mutu
sekolah, yaitu: (1) proses belajar mengajar, (2) kepemimpinan sekolah, (3)
manajemen sekolah, (4) sarana dan prasarana, dan (5) kultur sekolah (Depdikbud,
1999: 10). Dari kelima aspek tersebut, selama ini aspek kultur sekolah belum mendapat
perhatian serius dari pihak sekolah (terutama Kepala Sekolah). Padahal
peningkatan mutu pendidikan tidak dapat dilepaskan dari basis kultur sekolah. Yang
terjadi selama ini adalah usaha peningkatan mutu pendidikan di sekolah
cenderung menggunakan pendekatan struktural dengan menekankan pada aspek
teknis-administratif, bukan pada goal oriented (berorientasi pada
tujuan) yang lebih mengacu pada pendekatan kultural karena menyangkut values.
Dengan basis kultur tersebut, Kepala Sekolah, guru, siswa, dan orang tua akan merasa
memiliki (sense of belonging) terhadap pendidikan di sekolah, sehingga mereka
akan saling bekerjasama dan bersinergi dalam upaya mewujudkan peningkatan mutu sekolah.
Kepala
Sekolah sebagai figur utama penggerak peningkatan mutu sekolah sudah semestinya
membuka kesadaran akan urgensi pendekatan kultural ini. Sebagaimana dikatakan
Edmonds, kultur atau budaya sekolah ditandai oleh kekuatan kepala sekolah yang
lebih banyak di luar kantor mengamati kelas dan menerapkan kepemimpinan kolegial
dalam mengatasi masalah pengajaran, memiliki pemahaman yang jelas terhadap
tujuan sekolah, iklim sekolah tertib, teratur dengan mengusahakan setiap warga
bertanggung jawab, guru menerapkan harapan siswa berprestasi tinggi, dan adanya
kesediaan mengevaluasi performa siswa secara objektif.[1]
Dalam konteks
inilah studi atas budaya sekolah yang dikembangkan tiga Kepala Sekolah dalam buku
Shaping School Culture menemukan urgensinya. Tiga Kepala Sekolah yang
dimaksud adalah Charles
Baker, Kepala Sekolah Wheaton Wareenvile South High School; Rick Dufour, Kepala
Sekolah Adlai E. Stevenson High School; dan Joan Vydra, Kepala Sekolah Hawthorne
Elementary School. Ketiga Kepala Sekolah ini berhasil meningkatkan mutu sekolah
dengan peran kepemimpinannya yang berbasis budaya.
Merupakan
keniscayaan bahwa masing-masing sekolah memiliki karakteristik budaya. Begitu
pula ketiga sekolah tersebut, masing-masing memiliki profil budaya yang khas
dan berbeda dengan sekolah yang lain. Masing-masing juga menghadapi tantangan yang
berbeda pula. Walaupun demikian, secara umum pelajaran pokok yang bisa dipetik
dari tiga sekolah dengan tiga budaya berbeda itu adalah sama, yaitu bahwa revitalisasi
dan reaktualisasi kepemimpinan berbasis budaya dalam mengembangkan budaya
sekolah sebagai kunci utama penggerak mutu sekolah.[2]
B.
Budaya Sekolah
Sebagai Kunci Utama Peningkatan Mutu Sekolah
Menurut M. Sastrapratedja, ada
dua pendekatan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Yang pertama
adalah pendekatan struktural yang memusatkan perhatian pada pengubahan
aspek-aspek struktural-birokratik, seperti job descriptions, tatanan
birokrasi, pengaturan hubungan antar unit organisasi, gaya kepemimpinan, dan
aspek struktur sekolah lainnya. Adapun yang kedua adalah pendekatan cultural dengan
pusat perhatian pada budaya keunggulan (culture of excellence), yang
menekankan pengubahan pada pikiran, kata-kata, sikap, perbuatan, dan hati
setiap warga sekolah. Lebih lanjut Sastrapratedja berpendapat bahwa pendekatan kultural
lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan struktural.[3]
Dalam pandangan Sastrapratedja,
budaya adalah pikiran, kata-kata, sikap, perbuatan, dan hati setiap warga. Dalam
konteks sekolah, budaya/kultur sekolah merupakan pikiran, kata-kata, sikap,
perbuatan, dan hati setiap warga di sekolah.[4]
Sementara Suyata, mengutip catatan James Traub, menyebut bahwa budaya sekolah adalah
etos, karakter sekolah, tak dapat dibeli dan dihitung, dan dapat berpengaruh
positif atau negative terhadap sikap dan perilaku siswa, guru, kepala sekolah berhadapan
dengan usaha perbaikan mutu, ia sumber keberhasilan dan dapat menjadi sumber
kegagalan sekolah.[5]
Ditinjau dari peningkatan mutu
sekolah, budaya sekolah dibedakan menjadi beberapa kategori[6],
yaitu:
1. Budaya sekolah
yang positif, yang meliputi kegiatan-kegiatan yang mendukung pada peningkatan
kualitas pendidikan, seperti (a) kerjasama dalam mencapai prestasi yang
melibatkan kepala sekolah, guru, siswa, pegawai, komite sekolah; (b) penghargaan
terhadap yang berprestasi, seperti: pujian, hadiah, sertifikat; (c) komitmen
terhadap belajar yang dimiliki guru dan siswa; (d) interaksi antar warga
sekolah yang hangat, harmonis, dan humanis.
2. Budaya sekolah
yang negatif, meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak mendukung pada peningkatan
kualitas pendidikan, seperti (a) Siswa takut berbuat salah (diancam, dihukum,
diejek); (b) siswa takut bertanya ataupun mengemukakan pendapat (malu, tidak
diberi kesempatan, takut dicemooh, takut pada guru); (c) siswa jarang melakukan
kerjasama dalam memecahkan masalah (tidak dibiasakan oleh guru, dianggap tidak
penting).
3. Budaya sekolah
yang netral, meliputi kegiatan yang kurang berpengaruh positif maupun negatif
pada peningkatan kualitas pendidikan, misalnya: arisan guru-guru di sekolah dan
seragam guru.
Deal & Peterson meenyebut
beberapa aspek kultur sekolah:
1. Tujuan dan Nilai
(Purpose and Values)
2. Upacara dan
Perayaan (Ritual and Ceremony)
3. Sejarah dan
Cerita (History and Stories)
4. Arsitektur dan
Artefak (Architecture and Artifacts)
Setiap sekolah pastilah
memiliki kebudayaannya sendiri yang bersifat unik, sehingga setiap sekolah
memiliki aturan tata tertib, kebiasaan-kebiasaan, upacara-upacara, mars/hymne
sekolah, pakaian seragam dan lambang-lambang yang khas. Karakteristik budaya di
setiap sekolah tersebut akan dihayati sehingga memengaruhi siswa di
masing-masing sekolah tersebut, seperti sikap dalam belajar, sikap terhadap
kewibawaan, dan sikap terhadap nilai-nilai. Sikap-sikap tidak terbentuk dari
kurikulum yang bersifat formal, tetapi dari kultur sekolah. Hal ini sebagaimana
ditegaskan Deal & Peterson dalam Shaping School Culture bahwa budaya
sangat berpengaruh terhadap semua aspek di sekolah (Cultures affects all
aspects of a shool). Bahkan, budaya sekolah merupakan kunci utama penggerak
mutu sekolah[7].
Dalam konteks pendidikan,
pengertian mutu mencakup input, proses, dan output pendidikan (Depdiknas,
2001). Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan
untuk berlangsungnya proses. Proses pendidikan merupakan berubahnya sesuatu
menjadi sesuatu yang lain dengan mengintegrasikan input sekolah sehingga mampu
menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan, motivasi dan minat belajar
yang tinggi. Output pendidikan merupakan kinerja sekolah yang dapat diukur dari
kualitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, dan moral kerjanya.
Dalam konsep yang lebih luas, mutu pendidikan mempunyai makna sebagai suatu
kadar proses dan hasil pendidikan secara keseluruhan yang ditetapkan sesuai
dengan pendekatan dan kriteria tertentu (Surya, 2002).[8]
C.
Leadership
Sebagai Basis Peningkatan Mutu Sekolah
Menurut
Glasser, kepemimpinan (leadership) menjadi tumpuan perbaikan mutu
sekolah.[9]
Dalam leadership ini kepala sekolah menjadi figur kunci dalam membangun budaya
sekolah yang bernilai positif. Pola hubungan yang dia bangun dengan guru tidak
lagi hierarkik dan birokratik, tetapi kolegial (equal). Kemampuan kepala
sekolah sebagai leader dapat dianalisis dari beberapa hal berikut.[10]
1. Kepribadian
Kepribadian kepala sekolah
sebagai leader tercermin dalam sifat-sifat (1) jujur, (2) percaya diri,
(3) tanggung jawab, (4) berani mengambil risiko dan keputusan, (5) berjiwa
besar, (6) emosi yang stabil, dan (7) teladan.
2. Pengetahuan
terhadap tenaga kependidikan
Pengetahuan kepala sekolah
terhadap tenaga kependidikan tercermin dalam kemampuan (1) memahami kondisi
tenaga kependidikan (guru dan non-guru), (2) memahami kondisi dan karakteristik
peserta didik, (3) menyusun program pengembangan tenaga kependidikan, (4)
menerima masukan, saran, dan kritikan dari berbagai pihak untuk meningkatkan
kepemimpinannya.
3. Visi dan
misi sekolah
Pemahaman kepala sekolah terhadap
visi dan misi sekolah tercermin dalam kemampuannya untuk (1) mengembangkan visi
sekolah, (2) mengembangkan misi sekolah, dan (3) melaksanakan program untuk
mewujudkan visi dan misi ke dalam tindakan.
4. Kemampuan
mengambil keputusan
Kemampuan kepala sekolah dalam mengambil
keputusan tercermin dari kemampuannya (1) mengambil keputusan bersama tenaga
kependidikan di sekolah, (2) mengambil keputusan untuk kepentingan internal
sekolah, dan (3) mengambil keputusan untuk kepentingan eksternal sekolah.
5. Kemampuan
berkomunikasi
Kemampuan berkomunikasi tercermin
dalam kemampuannya (1) berkomunikasi secara lisan dengan tenaga kependidikan di
sekolah, (2) menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan, (3) berkomunikasi secara
lisan dengan peserta didik, dan (4) berkomunikasi secara lisan dengan orang tua
dan masyarakat sekitar lingkungan sekolah.
D.
Model Keberhasilan
Kepala Sekolah dalam Membangun Kultur Sekolah
Pengembangan
mutu sekolah adalah suatu yang unik, khas, dan bukan universal. Karena itulah setiap
sekolah dapat merumuskan gagasan dan model pengembangannya sendiri-sendiri
karena setiap memang memiliki basis kultural yang berbeda-beda. Upaya
pengembangan dan peningkatan mutu ini sangat dipengaruhi oleh budaya yang
dibangun di lingkungan sekolah tersebut. Bahkan, budaya sekolah menjadi kunci
utama untuk mengembangkan mutu sekolah, dan budaya sekolah berkait kelindan
dengan kemampuan kepala sekolah sebagai leader (bukan sekadar manajer).
Dalam
Shaping School Culture[11],
Deal & Peterson mengemukakan hasil penelitiannya terhadap tiga kepala
sekolah yang dinilainya berhasil memainkan peran leadership-nya dalam
upaya peningkatan mutu sekolah dengan pendekatan kultural terhadap tiga sekolah
yang memiliki budaya khas dan berbeda.
- Charles Baker, Wheaton Wareenvile South High School
Charles
Baker adalah Kepala Sekolah Wheaton Warrenville South High School (WWSHS), sekolah menengah umum yang terletak di
pinggiran sebelah barat kota Chicago. Sekolah tersebut melayani siswa dari dua
komunitas yang berbeda, yaitu siswa dari keluarga berpendidikan dan kaya serta
siswa dari keluarga “kerah biru” (kelas menengah ke bawah).
Sekolah
ini baru dibangun pada tahun 1993[12].
Sebelumnya telah ada sekolah lain, yaitu Wheaton Central High School (WCHS), yang berusia hampir satu abad. Namun, karena
suatu hal, Wheaton Central terpaksa
harus menutup sekolahnya dan menggabungkan para siswanya ke dalam keluarga besar WWSHS. Di sinilah terlihat bagaimana kepemimpinan
Baker mampu mengatasi masalah
penggabungan sekolah tersebut dengan pendekatan kultural. Aneka upacara, ritual, tradisi, dan
simbol yang dimiliki Wheaton
Central tidak serta merta dimusnahkannya. Baker justru menghargai dan mempertahankan nilai-nilai kultural Wheaton Central. Baker berdiskusi
dan bekerjasama dengan para siswa untuk menentukan artefak apa yang harus
diambil dari sekolah lama untuk dipasang di sekolah baru.
Pada wisuda terakhir di sekolah lama, Baker membagikan catatan pribadi yang ia
tulis di atas kartu berwarna jingga kepada empat ratus wisudawan. Melalui catatan itu Baker meminta mereka menyanyikan lagu spesial bersamanya. Semua terharu atas sikap Baker tersebut. Tak
seorang pun yang tak
meneteskan air mata saat Baker menyanyikan lagu “Auld Lang Syne”[13]
bersama para siswa dan wisudawan. Semuanya
menangis. Acara tutup tahun hari
itu benar-benar mengharukan dan penuh penghormatan.
Baker juga meyakinkan mereka bahwa tradisi-tradisi yang
pernah ada di WCHS akan tetap dilestarikan dan menjadi bagian dari tradisi
WWSHS. Setelah bergabung dengan WWSHS, para siswa ikut dilibatkan dalam menentukan cara terbaik untuk menggabungkan stempel dan
moto/slogan dari sekolah lama ke dalam stempel dan moto sekolah yang
baru. Di sekolah lama terdapat empat lorong utama, yang masing-masing lorong diberi
nama dari empat motto berikut: “Darmasiswa/Pengetahuan, Komitmen, Tradisi, dan Integritas.” Akan tetapi, muncul
problem ketika empat motto itu hendak dipasang di sekolah baru. Ternyata di
sekolah baru hanya ada tiga lorong. Karenanya, para siswa lalu mengusulkan agar
ketiga lorong itu diberi nama dengan tiga motto yang pertama, yakni “Darmasiswa/Pengetahuan,
Komitmen, dan Tradisi.”
Baker juga membagikan catatan pribadi
yang dia tulis di atas kertas kartu oranye kepada calon wisuda Wheaton Central. Baker
sengaja memilih warna itu karena itu adalah warna sekolah Wheaton Central yang
sebentar lagi tinggal kenangan. Melalui catatan itu Baker mengajak mereka menyanyikan
lagu spesial bersamanya sehingga semua terharu dengan sikap penghormatan Baker tersebut.
Artefak-artefak dari sekolah lama diberi ruang yang sama dalam galeri karya di
sekolah baru.
Salah satu maskot yang sangat dipuja di
sekolah lama adalah macan. Untuk menghargai maskot itu bersama kisah yang
melatarinya, dalam kesempatan reuni alumni, Baker menyuguhkan cerita tentang
Tiger atau macan di hadapan para alumni. Bahkan, pernah pula Baker memainkan
drama Tiger ini lengkap dengan kostum harimau. Saat kostum dibuka, para alumni
dan siswa terkejut ternyata sosok di balik kostum itu adalah kepala sekolah
mereka yang sangat mereka cintai. Bahkan,
pernah pula Baker membawa seekor anak harimau dalam
acara reuni alumni. Atas upaya Baker ini, Tiger akhirny benar-benar melekat
kuat di hati para alumni. Hampir semua aksesoris saat itu tidak luput dari maskot
Tiger. Baker juga mengingatkan dan mengetuk kepedulian mereka bahwa habibat macan
hampir punah sehingga harus dijaga dan dilestarikan. Jalinan emosional mereka pun
terikat sangat kuat. Saat di antara mereka dirundung musibah, mereka saling
membahu memberikan bantuan dan sokongan baik materi maupun nonmateri.
Menyadari bahwa setiap siswa memiliki kegemaran dan
kecenderungan berbeda, Baker memberi nilai dan apresiasi kepada siswa tidak hanya
dari satu aspek tertentu. Mereka yang suka olahraga akan mendapat pujian di
bidang itu. Mereka yang menyukai alam dan binatang mendapatkan apresiasi pula. Begitu
pula kecenderungan-kecenderungan yang lain. Semua dimotivasi oleh Baker untuk menjadi yang terbaik sesuai bakat dan kemampuan mereka. Sebagai leader Baker
berhasil melaksanakan tugas kepemimpinannya sebagai pelayan kebutuhan siswa.
- Rick Dufour, Adlai E. Stevenson High
School
Kepala sekolah yang satu ini meminpin sekolah berbeda
dengan budaya yang juga tidak sama. Di sekolah yang dia pimpin, para siswa diklasifikasikan dalam lima kelas
berdasarkan tingkat
kemampuan masing-masing sesuai hasil tes. Para siswa yang masuk dalam kelas dengan tingkat
kemampuan rendah atau sedang terus diberi motivasi agar berkembang. Kebijakan
ini (dan kebijakan-kebijakan lain) tidak dia ambil sendirian, tetapi melibatkan guru, orang tua, staf, juga siswa. Dufour juga senang berbagi
penelitian tentang sekolah-sekolah efektif, mengumpulkan informasi tentang
kinerja akademis sekolah-sekolah terbaik di negara lain, lalu membandingkannya
dengan sekolah yang dia pimpin sampai akhirnya hal itu membuahkan kesepakatan
dan kesepahaman tentang visi dan misi Stevenson agar lebih baik dan berkembang.
Dufour mendudukkan para guru
dalam pola relasi kolegial dengan dirinya. Karena
itulah Dufour sering memperlihatkan penghargaannya kepada guru, termasuk dengan
melibatkan mereka dalam diskusi-diskusi pengambilan kebijakan. Tidak hanya para
guru, tetapi para staf non-guru pun mendapat perlakuan apresiatif yang sama. Beragam
penghargaan untuk guru dan staf non-guru juga diberikan, tidak hanya saat
mereka berprestasi tetapi juga dalam momentum-momentum bersejarah mereka,
seperti ulang tahun, pernikahan, dan lainnya. Bahkan, mereka yang pensiun pun
tetap mendapat penghormatan dan penghargaan yang istimewa. Pada tahun 1991 Stevenson ditetapkan sebagai salah satu sekolah
menengah terbaik di Amerika.
- Joan Vydra, Hawthorne Elementary School
Lain
lagi dengan budaya di sekolah yang dipimpin Joan Vydra. Saat pertama kali memegang
amanah kepemimpinan di Hawthorne
Elementary School, Vydra bergerak cepat untuk memahami dan beradaptasi
dengan ritual dan tradisi di sekolah tersebut. Sepanjang tahun pertama Vydra banyak
melakukan diskusi dan sinergi dengan orang tua serta staf untuk mencari, mengevaluasi,
dan memutuskan kebijakan-kebijakan. Sampai akhirnya tercetus
tema menarik untuk menjadi bagian budaya di sekolah tersebut. Tema tersebut
adalah “sekolah kecil dengan hati yang besar”. Melalui tema ini Vydra membangkitkan
dan menumbuh-kembangkan emosional siswa agar lebih memiliki kepedulian dan perhatian
baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Misalnya, setiap hari Selasa,
siswa memperlihatkan kepedulian dan perhatian mereka kepada keluarga dengan cara
menulis catatan atau surat berisikan ucapan terima kasih kepada orang tua.
Perhatian
dan kepedulian dibudayakan pula terhadap lingkungan mereka. Misalnya, pada
Kamis para siswa membersihkan dan merawat keindahan sekolah mereka. Begitu pada
musim semi, sekolah bersinergi dengan orang tua untuk mengadakan aksi menanam pohon
di sekitar sekolah. Budaya ini pada akhirnya melekat dalam cara hidup mereka sehingga
menjadi karakter yang positif. Para orang tua dengan
latar belakang profesi yang berbeda juga berkontribusi positif terhadap siswa
sesuai latar profesi masing-masing. Misalnya, orang tua siswa yang berprofesi
di dunia penerbitan aktif membantu menerbitkan tulisan para siswa. Pun apabila
ada siswa yang kurang mampu secara ekonomi, kepala
sekolah dan stafnya bersinergi dengan beberapa keluarga untuk
"mengadopsi" siswa kurang mampu tersebut.
Vydra juga menginisiasi terbitnya bulletin mingguan untuk orang
tua, yang berisi kegiatan-kegiatan terkini para siswa dan catatan-catatan berisi
aspek-aspek yang bisa dilakukan orang tua untuk meningkatkan prestasi,
membangun harga diri, dan untuk berkontribusi pada keberhasilan sekolah. Karya-karya
siswa baik berupa cerita maupun lainnya juga dimuat dalam bulletin itu. Dalam
hal ini orang tua merupakan mitra sekolah yang saling bekerjasama demi
mewujudkan kesuksesan dan prestasi siswa.
Perayaan
dan permainan adalah bagian yang sangat teratur di Hawthone. Perayaan dan
penghargaan diberikan Vydra kepada guru dan stafnya dengan cara yang penuh
kejutan. Misalnya, atas kerja keras guru, Vydra kerap menyelipkan hadiah dan
ucapan terima kasih (maupun ucapan lain yang mengekspresikan hal setema) untuk
sang guru. Hadiah yang diberikan tidak harus bernilai mahal, tetapi keberadaannya
cukup membuat hati para guru tersentuh. Kepemimpinan Vydra telah mengubah
budaya Hawthorne menuju mutu sekolah yang lebih baik.
E.
Kesimpulan
Setiap sekolah memiliki budaya khas yang berbeda dengan
sekolah lain. Memperlakukan karakteristik budaya secara positif akan membawa perubahan
positif pula bagi sekolah. Bahkan, budaya sekolah merupakan kunci utama
penggerak mutu sekolah. Namun, kultur sekolah ini tidak akan memiliki arti jika
tidak disentuh dan dikelola secara baik oleh kepemimpinan kepala sekolah yang
berbasis budaya.
Begitu pula model tiga sekolah dalam buku Shaping
School Culture tiga juga memiliki
budaya dan tantangan yang berbeda. Masing-masing bersifat unik. Baker dan
stafnya memanfaatkan tradisi, cerita, dan maskot untuk membangkitkan semangat
sekolah dan meningkatkan mutu pendidikan. Dufour dan para pemimpin informalnya
menekankan pentingnya pengembangan kepercayaan bersama bahwa semua siswa dapat
berhasil. Vydra dan stafnya membawa masyarakat berbagi bersama dengan
menekankan pentingnya nilai-nilai kepedulian terhadap diri sendiri, sesame
manusia, dan lingkungan.
F.
Daftar
Pustaka
Deal, Terrence E., Kent D.
Peterson., 1999, Shaping School Culture The Heart Of Leadership,
California: Jossey-Bass Inc Publisher.
Suyata,
“Perbaikan Mutu Pendidikan Transformasi Sekolah dan Implikasi Kebijakan”, Pidato
Dies pada Upacara Dies Natalis XXXIV IKIP Yogyakarta, 23 Mei 1998.
Sastrapratedja, 2001, Majalah
Ilmiah Dinamika Pendidikan, No. 2/Th. VIII, Nov. dalam “Model Peningkatan Mutu
Pendidikan Sekolah Dasar Berbasis Kultur Sekolah Untuk Mewujudkan Sekolah
Efektif”. 2013, Laporan Tahunan Penelitian Hibah Bersaing, Yogyakarta:
UNY.
Farida
Hanum, 2011, Sosiologi Pendidikan, Yogyakarta: Kanwa Publisher, dalam “Model Peningkatan Mutu
Pendidikan Sekolah Dasar…”
Suyata,
Em., “Strategi Budaya & Kepemimpinan dalam Perbaikan Pendidikan”,
disampaikan dalam perkuliahan Pascasarjana FIAI UII pada 25 November 2017. Ppt Materi
Perkuliahan bertanggal 13 Februari 2013.
Fitrah,
Muh., Februari 2017, “Peran Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan”,
Jurnal Penjaminan Mutu.
Suyata,
“Kepemimpinan dan Budaya Organisasi”, disampaikan dalam perkuliahan
Pascasarjana FIAI UII pada 25 November 2017.
Mulyasa, E., 2006, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Cet. VIII,
Bandung: Remaja Rosdakarya.
*) Makalah Prarevisi
[1] Suyata,
“Perbaikan Mutu Pendidikan Transformasi Sekolah dan Implikasi Kebijakan”, Pidato
Dies pada Upacara Dies Natalis XXXIV IKIP Yogyakarta, 23 Mei 1998, hlm. 22.
[2] Terrence
E. Deal and Kent D. Peterson, Shaping School Culture The Heart Of Leadership,
(California: Jossey-Bass Inc Publisher, 1999), hlm. 69.
[3] Sastrapratedja. 2001. Majalah
Ilmiah Dinamika Pendidikan, No. 2/Th. VIII, Nov. dalam “Model Peningkatan Mutu Pendidikan
Sekolah Dasar Berbasis Kultur Sekolah Untuk Mewujudkan Sekolah Efektif”, Laporan
Tahunan Penelitian Hibah Bersaing, (Yogyakarta: UNY, 2013).
[4] Ibid.
[5] Suyata,
“Perbaikan Mutu Pendidikan Transformasi Sekolah …, hlm. 22.
[6] Farida
Hanum, Sosiologi Pendidikan, (Yogyakarta: Kanwa Publisher, 2011) dalam dalam “Model Peningkatan Mutu Pendidikan
Sekolah Dasar…”
[7]
Em. Suyata, “Strategi Budaya & Kepemimpinan dalam Perbaikan Pendidikan”,
disampaikan dalam perkuliahan Pascasarjana FIAI UII pada 25 November 2017. Ppt Materi
Perkuliahan bertanggal 13 Februari 2013.
[8] Muh.
Fitrah, “Peran Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan”, Jurnal
Penjaminan Mutu, Februari 2017, hlm. 33.
[9]
Suyata, “Kepemimpinan dan Budaya Organisasi”, disampaikan dalam perkuliahan
Pascasarjana FIAI UII pada 25 November 2017.
[10] E.
Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Cet. VIII, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2006), hlm. 115-116.
[11] Terrence
E. Deal and Kent D. Peterson, Shaping School Culture The Heart Of Leadership,
(California: Jossey-Bass Inc Publisher, 1999), hlm. 69-82.
[12] Sumber lain menyebut bahwa sekolah
tersebut berdiri pada 1992, setelah melalui perjalanan sejarah yang panjang
mulai berdirinya Wheaton High School (1876–1925), Wheaton Community High School
(1925–1964), Wheaton Central High School (1964–1992), Wheaton-Warrenville High
School (1973–1983), sampai akhirnya berdiri Wheaton Warrenville South High
School (1992–sekarang).
Lihat https://en.wikipedia.org/wiki/Wheaton_Warrenville_South_High_School
diakses pada 5 Desember 2017, pukul 15.22 WIB.
[13]
Lagu ini diciptakan oleh Robert Burns (Skotlandia, 1759-1796). Secara harfiah, Auld
Lang Syne berarti 'sejak sudah lama sekali', 'dulu sekali', atau 'hari-hari
yang telah berlalu'. Selain dinyanyikan dalam acara wisuda dan perpisahan, Auld
Lang Syne sering dinyanyikan pula dalam perayaan malam tahun baru masehi.
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Auld_Lang_Syne
dan http://srireskyawati.blogspot.co.id/2014/09/sejarah-lirik-lagu-dan-terjemahan-auld.html
diakses pada 7 Desember 2017, pukul 12.03 WIB.
Komentar
Posting Komentar