MAKALAH MODEL PENELITIAN TAFSIR
“RASIONALITAS AL-QUR’AN: STUDI
KRITIS TAFSIR AL-MANAR KARYA MUHAMMAD ABDUH DAN MUHAMMAD RASYID RIDHA” (DR. M. QURAISH SHIHAB)
Oleh:
Islahul Mawaddah
Nur Endah
Kusumaningrum
A.
Latar Belakang Masalah
Muhammad Abduh merupakan
salah satu tokoh gerakan modernisasi Islam yang menjadi penggerak perubahan dan
gerakan purifikasi terhadap nilai-nilai Islam di Mesir.[1] Muhammad Abduh
digambarkan dalam sejarah hidupnya lahir dan dibesarkan dalam suatu masyarakat
yang sedang disentuh oleh perkembangan-perkembangan mendasar di Eropa. Masyarakat
Mesir pada saat itu digambarkan oleh Sayyid Quthb dengan ungkapan “ suatu
masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapat pintu ijtihad, mengabaikan
peran akal dalam memahami syariat Allah atau mengistinbathkan hukum-hukum, karena mereka telah merasa
berkecukupan dengan hasil karya para pendahulu mereka yang juga hidup pada masa
kebekuan akal (jumud) serta yang berlandaskan khurafat. Sementara itu di Eropa
hidup suatu masyarakat yang mendewakan akal, khususnya setelah penemuan-penemua
ilmiah yang sangat mengagumkan itu, ditambah kecaman-kecaman yang dilontarkan
oleh orientalis terhadap ajaran-ajaran Islam.[2]
Di belahan bumi manapun umat Islam merasakan bahwa agama mereka selalu di hina
dan menjadi alat permainan politik mereka. Bahkan kultur kebudayaan dan
nilai-nilai sosial mereka dirusak dan dinodai sedemikian rupa sehingga
identitas sebagai muslim sejati sudah tidak tampak lagi dalam kehidupan nyata.[3]
Keadaan masyarakat Eropa
tersebut sebenarnya telah menampakkan benih-benih pengaruhnya sejak kedatangan
ekspedisi Prancis (Napoleon) ke Mesir (1789). Namun secara jelas pengaruh
tersebut mulai di rasakan oleh Muhammad Abduh saat ia memasuki al-Azhar, suatu lembaga
pendidikan tinggi yang berada di Mesir, pada saat itu lembaga pendidikan ini
terbelah ulamanya menjadi dua kelompok yaitu mayoritas dan minoritas. Kelompok
mayoritas merupakan kelompok yang menganut pola taqlid,
yakni mengajarkan kepada siswa bahwa pendapat-pendapat ulama terdahulu hanya sekedar dihafal, tanpa mengantarkannya kepada suatu usaha penelitian, perbandingan, dan pentarjihan. Sedangkan kelompok yang kedua, yakni kelompok yang menganut pola tajdid (pembaharuan) yang menitikberatkan pemikiran-pemikiran mereka ke arah penalaran dan pengembangan rasa.[4]
yakni mengajarkan kepada siswa bahwa pendapat-pendapat ulama terdahulu hanya sekedar dihafal, tanpa mengantarkannya kepada suatu usaha penelitian, perbandingan, dan pentarjihan. Sedangkan kelompok yang kedua, yakni kelompok yang menganut pola tajdid (pembaharuan) yang menitikberatkan pemikiran-pemikiran mereka ke arah penalaran dan pengembangan rasa.[4]
Kondisi diatas kemudian secara
langsung memberikan pengaruh yang besar terhadap
corak penafisran
AL-Qur’an pada saat itu. Menurut muhammad Abduh, kitab-kitab
tafsir yang berkembang pada saat itu dan masa-masa sebelumnya rata-rata telah
kehilangan fungsi sebagai kitab yang menjelaskan bahwa Al-Quran adalah petunjuk
bagi umat manusia (Hudan lin nas).
Bagi Muhammad Abduh kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa-masa sebelumnya
tidak lebih dari sekedar pemaparan berbagai pendapat ulama yang saling berbeda
dan berselisih yang akhirnya menjauh dari tujuan penurunan Al-Qur’an itu
sendiri.[5]
Sebagian besar dari kitab-kitab tafsir itu menurut oleh Muhammad Abduh sangat
gersang dan kaku karena penafisrannya hanya mengarahkan perhatian pangertian
kata-kata dan kedudukan kalimat dari segi i’rob, dan penjelasan lainnya yang
menyangkut segi-segi teknis kebahasaan yang dikandung oleh redaksi ayat-ayat
Al-Qur’an. [6]
Berawal dari kritik
serta kegelisahan yang di rasakan oleh Muhammad Abduh terhadap penafsiran Al-Quran
yang dilakukan oleh mufassir sebelumnya, kemudian menggugah keinginan Muhammad
Abduh untuk menafsirkan Al-Quran yang sesuai dengan konteks zaman yang
dialaminya. Tafsir ini pada awalnya bersumber dari gagasan-gagasan perkuliahan
Muhammad Abduh tentang Tafsir al-Qur’an yang ia disampaikan di Universitas
al-Azhar. Abduh sempat menyampaikan kuliah-kuliah tafsirnya dari surah
Alfatihah sampai dengan surah An-Nisa ayat 125, dan selanjutnya penafsiran
Al-Qur’an tersebut di lanjutkan oleh muridnya yang bernama Rasyid Ridha yang garis besarnya mengikuti metode dan
ciri-ciri pokok yang digunakan oleh gurunya (Muhammad Abduh), hasil penafsir
al-Qur’an dalam perkuliahan tersebut dicatat dan kemudian disusun oleh Muhammad
Rasyid Ridha menjadi sebuah karya dengan judul Tafsir al-Qur’an al-Hakim. Namun
kemudian, kitab ini lebih populer dengan sebutan Tafsir al-Manar.
Dari pemaparan diatas maka kemudian penulis terdorong untuk mengkaji lebih
lanjut tentang Tafsir Al-Manar karta Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang mana
dalam penafisirannya kedua tokoh ini menggunakan metode analisis (rasio) yang
mengoptimalkan peran kerja akal dengan pendekatan sosial kemasyarakatan (adabi al-ijtima’i), yang jauh berbeda
dengan cara penafsiran Al-Quran yang dilakukan oleh mufassir-mufassir sebelumnya.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa metode dan ciri-ciri penafsiran Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar ?
C.
Telaah Pustaka
Setelah Penulis melakukan
telaah pustaka terhadap beberapa karya, penulis menemukan beberapa karya ilmiah
yang berhubungan dengan makalah penulis, ada beberapa karya ilmiyah yang berkaitan
dengan dengan makalah penulis :
1.
Telaah pustaka karya A. Athaillah “Rasyid Ridha,
Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar”. Rumusan masalah yang
diangkat oleh Athaillah adalah bagaimana pemikiran dan faham Rasyid Ridha
tentang masalah-masalah teologi dalam Islam dalam tafsir Al-Manar. Pendekatan
yang digunakan yaitu dengan kajian kepustakaan (library research),
dengan menggunakan sumber-sumber kepustakaan yang berkaitan dengan masalah
pokok yang dibahas dengan metode analisa
komparatif analisis kritis (perbadingan dengan aliran-aliran teologi Islam
lain) dan menuangkannya dengan deskriptif kritis analisis sebagai upaya untuk
manarik sesimpulan. Kesimpulan dari telaah pustaka karya Athaillah ini adalah
bahwasanya pemikiran teologi Islam Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar yakni
berciri dan bercorakkan rasional. Sedangkan metode yang digunakan Ridha pada
dasarnya mengikuti metode salaf, namun pada hal-hal tertentu mengikuti metode
khalaf dengan kesan untuk menghilangkan kesan pertentangan antara nas dan akal.
Beberapa pemikiran teologi Rasyid Ridha identik dan sejalan dengan pendirian
kaum salaffiyah, namun tidak berarti pemikirannya secara keseluruhan identik
dengan pendiri salafiyyah, sebab diantara pemikiran tokoh tersebut ada juga
yang sama dan selaras dengan pemikiran Maturidiyah dan Mu’tazilah, meskipun
tidak setingkat dengan rasional Mu’tazillah. Dari realitas tersebut maka dapat
dikatan bahwa teologi Rashid Ridha tidak
mengikuti teologi tertentu.[7]
2. Telaah
pustaka karya Prof.Dr Rif’at Syauqi Nawawi, MA, “Rasionalitas Tafsir
Muhammad Abduh Kajian Masalah Akidah dan Ibadat.” Rumusan masalah yang
diangkat oleh Nawawi dalam karyanya adalah bagaimana corak penafsiran Muhammad
Abduh dalam kajian masalah akidah dan Ibadat. Pendekatan yang
digunakan yaitu dengan kajian kepustakaan (library research) dengan mencari dan mengumpulkan bahan
literatur yang terkait dengan pembahasan, menggunakan Tafsir Al-Qur’an dan Juz
Amma kemudian dideskripsikan dan dianalisa hingga ditarik kesimpulan.
Kesimpulan dari telaah
pustaka ini yaitu Muhammad Abduh adalah seorang mufassir mandiri (al-mufassir
al-munfarid) yang berpengetahuan luas dan mempunyai pandangan dinamis dan
rasional dalam dunia tafsir dengan menggunakan prinsip penggunaan metode ilmiah
(al-manhaj al-‘ilm) dan prinsip kebebasan akal (hurriyat al-‘aql) dalam
menafsirkan Al-Qur’an. Rasionalitas tafsir Muhammad Abduh dalam bidang akidah
syaratnya adalah dengan pemikiran atau wawasan kefilsafatan dan penakwilan yang
dinamis, obyektif, ilmiah dan proposional. Adapun rasionalitas tafsirnya dalam
bidang ibadat syaratnya dengan uraian-uraian tentang hikmah dan pesan-pesan
moral yang terkandung dalam syarat ibadat.[8]
D. Metodologi Penelitian
Buku karya Quraish Shihab ini
merupakan sebuah kajian tentang pemikiran seorang tokoh mufassir yakni Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha yang didalamnya mengupas tentang kedalaman dan keluasan
ilmu mereka dalam bidang tafsir Al-Qur’an. Metodologi yang digunakan dalam
membantu pengumpulan data serta menggali semua Informasi yang menyangkut semua
data penelitian ialah dengan studi kepustakaan (library recearch). Penelitian
ini bersifat kepustakaan murni yang data-datanya diambil dari berbagai buku dan
literatur yang berkaitan dengan masalah yang ingin dipecahkan.
Dalam penelitiannya ini Quraish
Shihab menggunakan sumber data primer yaitu karya yang ditulis langusng oleh
kedua tokoh tersebut (Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha) berupa Kitab Tafsir al-Qur’an al-Hakim
(Tafsir Al-Manar), dan juga data sekunder dalam artian karya-karya lain yang ditulis oleh pihak
lain yang berkaitan dengan kedua tokoh tersebut. Dari kedua sumber data
tersebut kemudian dilakukanlah sebuah kajian analisis kritis terhadap kitab
karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
E. Ruang Lingkup Penelitian Atau Pembahasan
1. Metode penafsiran
Muhammad Abduh
Muhammad Abduh dalam
penafsiranya terhadap Al-Qur’an menggunakan pendekatan adabi ijtima’i atau
tafsir yang berorientasi pada sastra, budaya, dan kemasyarakatan. Menurut
M.Quraish Shihab ia menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bercorak
adabi ijtima’i ialah tafsir yang
menitikberatkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an pada segi ketelitian redaksi
Al-Qur’an kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan
menonjolkan tujuan dari diturunkannya Al-Qur’an, yakni sebagai petunjuk dalam
kehidupan, lalu menggandengkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum
alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia tanpa menggunakan
istilah-istilah disiplin ilmu kecuali dalam batas-batas yang sangat dibutuhkan.[9]
2. Ciri-Ciri
Penafsiran Muhammad Abduh
a. Memandang
setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi
Menurut
Muhammad Abduh terjalin hubungan serasi antara satu ayat dengan ayat lain dalam
surah. Menurutnya pengertian suatu kata atau kalimat harus berkaitan erat
dengan tujuan surah tadi secara keseluruhan, sebagai contoh adalah:
وَٱلۡفَجۡرِ وَلَيَالٍ عَشۡرٖ
(Demi fajar dan malam yang kesepuluh).[10]
Kata “layalin ‘asyr” (Al-Fajr:2)
misalnya tidak mungkin lepas dari kata “Wal-Fajr” (Al-Fajr:1) Abduh menjelaskan
bahwa kata “Al-Fajr” disini tidak dibarengi dengan satu sifat tertentu, sehingga
harus dipahami secara umum. Menurutnya apa bila Al-Qur’an bermaksud menjelaskan
tentang sesuatu hari atau waktu tertentu, maka hari dan waktu itu akan akan
dijuluki dengan sifat atau ciri-cirinya, seperti Yaum al-Qiyamah, Al-Yaum al-Mau’ud dan sebagainya. Tapi bila hari
dan waktu tidak ditentukan sifat dan cirinya maaka yang dimaksud adalah waktu
secara umum. Ide tentang keserasian
ayat-ayat satu surah sebenarnya bukan hal yang baru. Pencetus pertama kali
adalah Abu Bakar Al-Naisaburi dan telah dibuktikan oleh banyak ulama, antara
lain Al-Syatibi melalui penafsiran terhadap surat Al-mukminin. Keistimewaan
Abduh adalah, ia menjadikan keserasian tersebut sebagai salah satu faktor
penetapan arti serta tolak ukur dalam menilai pendapat-pendapat yang berbeda.
Di samping itu ia juga banyak menerapkan ide ini dalam penafsiran-penafsiran
hal-hal yang kurang mendapat perhatian dari pendahulu-pendahulunya.[11]
b. Ayat Al-Qur’an
bersifat umum
Ciri ini berintikan
pandangan bahwa petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an berkesinambungan, tidak dibatasi
oleh suatu masa dan tidak pula di tunjukkan kepada orang-orang tertentu.
Walaupun itu sejalan dengan kaidah ilmu tafsir yang berbunyi: “Pemahaman arti
suatu ayat berdasarkan kepada redaksinya yang umum, Bukan pada sebab turunnya
yang khusus”, namun Muhammad Abduh sangat memperluas pengertian dari kaidah diatas, sehingga menurutnya salama satu
ayat dinilainya dapat bersifat umum, maka keumuman itu di nyatakannya walaupun
kadang bertentangan dengan kaidah-kaidah bahasa.[12]
Sebagaimaa contoh penafsirannya dalam surat Al-Lail 15 dan 17.
لَا يَصۡلَىٰهَآ إِلَّا ٱلۡأَشۡقَى ١٥ ٱلَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ ١٦ وَسَيُجَنَّبُهَا
ٱلۡأَتۡقَى ١٧
Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang
yang paling celaka, yang mendustakan (kebenaran) dan
berpaling (dari iman), Dan kelak akan dijauhkan orang
yang paling takwa dari neraka itu.[13]
Kata Asyqa
dan atqa oleh Abduh dianggap mencakup semua orang pada segala masa selama ia
memiliki sifat-sifat tersebut. Sehingga menurutnya kata tersebut tidak hanya
ditunjukkan untuk Umayyah bin Khalaf sebagaimana petunjuk turunnya, tetapi ia
mencakup orang-orang yang berdosa walaupun mukmin yang karena lemahnya iman
yang ia miliki sehingga mengakibatkan ia melakukan dosa yang tdak akan
dilakukan seorang mukmin. Sebaliknya kata Al-Atqa
yang disepakati para ulaam Asbab Al-Nuzulnya ditujukan kepada Abu Bakar
Al-Shiddiq, oleh Abduh ditafsirkan mencakup semua orang mukmin yang istiqomah, bahkan mereka yang pernah
melakukan dosa tertentu. Pendapat tersebut berbeda dengan pendapat ulama yang
menyatakan bahwa kaidah tersebut tidak dapat diterapkan pada ayat-ayat khusus
yang mana turunnya mengangkat orang-orang tertentu, kalau redaksinya tidak
bersifat umum.
- Al-Qur’an adalah sumber Aqidah dan Hukum
Muhammad
Abduh menjelaskan apa yang di maksud dengan ciri ini sebagai berikut:
“Saya inginkan agar Al-Qur’an menjadi
sumber yang kepadanya disandarkan segala mazhab dan pandangan keagamaan;
bukannya mazhab-mazhab tersebut menjadi pokok dan ayat-ayat Al-Qur’an dijadikan
pendukung untuk mazhab-mazhab tersebut”[14]
Dari sini Abduh menyatakan bahwa para
pemikir Islam terdahulu (mujtahid) telah berjasa dalam usaha mereka, tapi itu
bukan berarti bahwa kita harus mendahulukan pendapat-pendapat mereka ketimbang
petunjuk-petunjuk yang kita pahami dari ayat-ayat Al-Qur’an. Karena itu pula ia
mengecam sebagian mufasir yang menyatakan bahwa ada ayat-ayat tersebut tidak
sejalan dengan pandangan mazhab mereka. Sebagaimana contoh pendapat Muhammad
Abduh tentang tayamum pada surah Al-Nisa’ ayat 43:
ۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ
أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ
فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ
بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا ٤٣
Dan jika kamu sakit atau sedang
dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh
perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan
tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun.[15]
Muhammad Abduh berpendapat bahwa
ayat ini sudah sangat jelas artinya. Menurutnya ayat ini menunjukkan : (1)
seorang yang sakit atau (2) yang dalam perjalanan, sama hukumnya dengan (3)
seseorang yang berhadas kecil, atau (4) seseorang yang berhadas besar tetapi
tidak mendapatkan air. Ini berarti bahwa perintah”... maka bertayamumlah kamu
...” bukan merupakan syarat bagi keempat macam keadaan tersebut diatas tetapi
ia hanya berlaku dalam keadaan ke 3 dan ke 4 yang tersebut diatas.
- Penggunaan akal yang luas dalam memahami
ayat-ayat Al-Qur’an
Menurut
Muhammad Abduh bahwa wahyu dan akal tidak mungkin bertentangan, maka Abduh
menggunakan akal secara luas untuk memahami (menafsirkan) ayat-ayat Al-Quran. Beberapa
penafsirannya mengenai ayat akidah dan syariah, mencerminkan ciri ini. Sebagaimana
penafsirannya pada surah Al-Baqarah ayat 255 :
ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡحَيُّ ٱلۡقَيُّومُۚ [16]
Kesimpulannya
bahwa arti , tiada Tuhan selain Dia, bahwa
tiada tiada dalam wujud ini pemilik kekuasaan yang sebenarnya terhadap jiwa
(kecuali Dia), sehingga jiwa terdorong untuk mengagungkan dan menyakini bahwa
hanya kekuasaannyalah penganugrahan suatu kebajikan atau keterhindaran dari
keburukan. Abduh menolak bahwa pengertian Hidup bagi Tuhan dalam arti Hidup
terus menerus tetapi menurutnya arti “hidup” bagiNya adalah bahwa Dia sumber
pengetahuan dan kekuasaan.
Menghadapi
ayat-ayat yang kelihatan sukar maka menurut Muhammad Abduh, “dapat mentakwilkan
ayat-ayat tersebut atau tidak membahasnya dan menyerahkan makna atau
pengertiannya kepada Allah. Kedua cara tersebut sebenarnya sudah di tembuh oleh
ulama terdahulu sedangnya Muhammad Abduh sendiri lebih memilih cara yang
pertama, sehingga kemudian cukup banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang di
tafsirkannya, misalnya ayat-ayat terkait kisah Adam, kisah sapi betina yang
disebutkan dalam surah Al-Baqoroh, serta pengertian malaikat , dan sebagainya.[17]
- Menentang dan memberantas taqlid
Muhammad
Abduh berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk membuktikan bahwa Al-Qur’an
memerintahkan umatnya untuk menggunakan akal mereka, serta melarangnya
mengikuti pendapat-pendapat terdahulu walaupun pendapat tersebut dikemukakan
oleh orang yang seyogianya paling dihormati dan dipercaya tanpa mengetahui
secara pasti hujah-hujah yang menguatkan pendapat tersebut. Berangkat dari
pandangannya tersebut Muhammad Abduh menggunakan setiap ayat yang mengecam
tadlid, walaupun sebenarnya ayat tersebut menyangkut sikap kaum musyrikin. Kecaman
juga ditujukan Muhammad Abduh kepada kaum muslimin khususnya yang
perpengetahuan akan tetapi hanya mengikuti ulama-ulama terdahulu tanpa
memperhatikan hujjahnya.
Muhammad
Abduh menulis:
Al-Quran mengajarkan kepada penganutnya agar
menuntut hujjah, karena Al-Qur’an mengantarkan mereka kepada jalan yang benar.
Adalah wajar bagi seorang muslim yang memiliki keyakinan untuk menuntut dari
lawannya atau mengajaknya dengan menggunakan dalil-dalil. Demikian kebiasaan
ulama-ulama terdahulu, mengutarakan sesuatu dengan dalil, menuntut dalil serta
melarang menerima sesuatu tanda dalil. Tetapi setelah kepergian mereka
datanglah “khalaf yang thaleh” (penerus-penerus yang tidak sholeh) untuk
menerapkan taqliq, bahkan memerintahkannya.[18]
Diketahui bahwa beberapa hal yang
dikemukakan oleh Muhammad Abduh diatas ditemui dalam sekian banyak ayat-ayat
Al-Qur’an yang ditafsirkannya, walaupun sebenarnya ayat-ayat tersebut pada
dasarnya ditujukan kepada kaum musyrikin yang mepertahankan keyakinan mereka
karena mengikuti orang tua mereka yang sesat. Bahkan karena semangat Muhammad
Abduh yang meluap-luap untuk meberantas taqlid, ia mengecam sikap ini melalui
penafsirannya terhadap ayat ayat yang sebenarnya tidak mempunyai hubungan
dengan taqlid. Sebagaimana penafsirannya terhadap Firman Allah dalam surah
Abasa ayat 38-42 :
وُجُوهٞ يَوۡمَئِذٖ مُّسۡفِرَةٞ ٣٨
ضَاحِكَةٞ مُّسۡتَبۡشِرَةٞ ٣٩
وَوُجُوهٞ يَوۡمَئِذٍ عَلَيۡهَا غَبَرَةٞ ٤٠ تَرۡهَقُهَا قَتَرَةٌ ٤١ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَفَرَةُ ٱلۡفَجَرَةُ ٤٢
Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa dan
bergembira ria, dan banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu, dan ditutup
lagi oleh kegelapan, Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.[19]
Menurut penafsiran Muhammad
Abduh berseri-seri wajahnya adalah mereka yang menuntut kebenaran dengan hujjah
sehingga tidak mempercai sesuatu kecuali berdasarkan dalil bukan berdasarkan
pendapat si A atau pendapat terdahuku (kecuali pendapat Rasulluah). Dan
orang-orang yang wajahnya dipenuhi dengan debu mereka yang mengikuti orang tuanya
pemimpinnya dan oran orang terdahulu tanpa menggunakan hujjah.
Kecaman terhadap taqlid yang dilakukan oleh
Muhammad Abduh diatas jelas tidak mempunyai kaitan sedikitpun dengan kandungan
ayat diatas. Sebagai konsekuensinya abduh menyatakan bahwa pintu ijtihad telah
terbuka bagi mereka yang mempunyai persyaratan-persyaratan tertentu. Sebenarnya
apa yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh merupakan cara terbaik guna mendapatkan
hukum-hukum atau ketetapan-ketetapan yang sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an.
Akan tetapi sikap mengecam taqlid melalui
ayat-ayat yang tidak mengandung kecaman tersebut bukanlah sesuatu yang wajar
untuk ditiru.
- Tidak merinci persoalan-persoalan yang disinggung
secara mubham (tidak jelas) atau sepintas lalu oleh Al-Qur’an.
Di
dalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang sudah jelas satinya walaupun tidak
terperinci, seperti meyangkut “sapi” dalam surah Al-Baqarah ayat 67 atau
al-qoryah (kampung) dalam ayat 58 surah Al-Baqarah atau Ash-habul-Kahfi (Al-Kahfi
ayat 18). Dalam hal ini sebagian musafir kemudian menafsirkannya dengan
mengurai secara terperinci yang mana pada umumnya tidak ada sumber yang dapat
dipertanggung jawabkan. Sebagaimana tafsir Ats’labi, An-Naisaburi, Al-Baghawi
dan Al-Khazin. Sedangkan Muahammad Abduh dalam menafsirkan ayat-ayat Qur’an
tidak menempuh cara demikian. Ia beranggapan tujuan utama ayat-ayat yang
menyinggung hal-hal semacam ini dapat dicapai tanpa harus merinci dan
menjelaskan arti lafal tersebut. Sehingga terkadang Abduh tidak menejelaskan
arti suatu kata Al-Qur’an apabila ia menganggap bahwa pembahasan arti tersebut
tidak banyak gunanya atau selama makna yang dikandung dalam ayat tersebut telah
dapat dipahami secara baik.[20]
Sebagaimana yang ditempuhnya ketika menafsirkan kata “Abba” dalam surah Abasa
ayat 31:
وَفَٰكِهَةٗ وَأَبّٗا
Dan buah-buahan serta
rumput-rumputan.[21]
Abduh menyatakan,
Bahwa yang dituntut dari anda adalah pemahamanarti yang menyangkut ayat-ayat
ini dan tujuannya. Yakni bahwa Allah telah menganugrahkan nikmat yang
banyak baik dalam diri anda ataupun
untuk kehidupan anda serta kebutuhan ternak anda. Apabila pemikiran Abduh terhadap hal-hal yang
masih dapat dijangkau pemikiran dan pandangan mata sedemikian, maka dapat
dipahami hal-hal yang menyangkut ukhrowi seperti shirat, Mizan, Surga, Neraka,
dan sebagainya lebih tidak diperinci lagi olehnya selama tidak dijumpai
penjelasan yang pasti dari Al-Qur’an dan Sunnah.
- Sangat kritis dalam menerima hadis-hadis Nabi
SAW
Dilatarbelakangi
oleh sikap Muhammad Abduh yang dinilai sangat rasional, maka kemudian ia
mempunyai pendapat bahwa sanad (rangkaian perawi yang meriwayatkan mengantarkan
satu kelas) belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Dalam salah satu surat
yang dikirim kepada salah satu ulama yang berada di India abduh menulis:
“Apakah nilai suatu sanad yang secara pribadi tidak
saya kenal perawi-perawinya, tidak pula keadaan serta kedudukannya deri segi
kepercayaan dan hafalan?”
Dalam
tafsir Muhammad abduh banyak hadis yang dinilai oleh ulama-ulama sebagai hadis
yang shohih akan tetapi oleh Muhammad Abduh di tolak atau diabaikan karena
dinilainya hadis-hadis tersebut tidak sesuai dengan pemikiran logis atau tidak
sejalan dengan dengan redaksi aya-ayat Al-Qur’an. Sebaliknya ada beberapa hadis
dan riwayat-riwayat yang dinilai oleh ulama sebagai hadis dho’if (lemah) justru oleh Muhammad Abduh dikukuhkan karena dia
menilai bahwa kandungan hadist tersebut sejalan dengan pemikiran logika.
Sebagaimana pengabaian terhadap hadis-hadis Bukhari dan Muslim menyangkut wahyu
pertama yang turun (Iqra’) dan pengukuhannya terhadap riwayat-riwayat dha’if
yang dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib yang menyatakan bahwa Al-Fatihah
merupakan wahyu pertama.
Penolakan
terhadap hadis-hadis ahad pada hakikatnya bukan merupakan ciri khas Muhammad
Abduh, imam dan ulama-ulama mazhab Fiqh pun juga melakukan hal yang demikian
dalam ijtihad mereka, hanya saja ulama-ulama mazhab telah sepakat untuk
menjadikan hadis-hadis ahad yang shahih sebagai hujjah dalam menetapkan suatu
hukum dan tidak membatasi pengertian sunah hanya pada sunnah amaliyah dan mutawatir yang mana berbeda dengan Muhammad Abduh yang membatasi
sunnah pada sunnah amaliyah dan mutawatir sehingga hadis yang dijadikan
hujjahpun sangat terbatas.[22]
- Sangat kritis terhadap pendapat-pendapat
sahabat dan menolak Israiliyat.
Muhammad
Abduh selain sangat kritis dalam menerima hadis-hadis nabi ia juga sangat
berhati-hati dalam menerima pendapat-pendapat sahabat, apa lagi pendapat
sahabat itu berbeda satu sama lain sehingga untuk menguatkan salah satunya
dibutuhkan pemikiran yang mendalam, yakni pemikiran yang, menurut Abduh,
bukannya tertuju kepada ayat-ayat Qur’an, tetapi tertuju kepada pendapat orang
tentang ayat Qur’an. Hal ini menurut Abduh tidak sejalan dengan tuntunan
Al-Qur’an. Dikatakan oleh Abduh:
“Allah
SWT tidak menanyakan kepada kita, di hari kemudian tentang ucapan-ucapan orang
atau apa yang mereka pahami tetapi Tuhan akan menuntut pertanggungjawaban
tentang Kitabnya yang ditunkan sebagai pembimbing dan penuntun serta Sunah
Nabi-Nya yang menjelaskan apa yang diturunkan kepada kita itu”[23]
Dalam hal ini bukan berarti Muhammad
Abduh menolak semua tafsir sahabat, ia hanya menerima tafsir tersebut apabila
dianggap olehnya sejalan dengan pemikiran logis. Muhammad Abduh menerima pendapat yang
menisbatkan kepada sayyidina Ali r.a. tentang wahyu pertama yakni Al-Fatihah
dengan alasan bahwa Ali r.a lebih mengetahui tentang hal tersebut dibanding
orang lain, bahkan di jumpai bahwa Abduh tidak menolak pendapat yang kadang
ditolak oleh ulama lain walaupun dirasakan dalam pendapat tersebut ada unsur
israiliyat[24]
- Mengaitkan penafsiran Al-Quran dengan kehidupan sosial
Muhammad Abduh merupakan tokoh
peletak dasar penafsiran yang bercorak ijtima’i
(budaya dan kemasyarakatan). Ayat-ayat yang ditafsirkannya selalu
dihubungkan dengan keadaan masyarakat dalam usaha mendorong ke arah kemajuan
dan pembangunan. Abduh menilai bahwa keterbelakangan dan keteritinggalan
masyarakat Islam sisebabkan oleh dangkalnya pengetahuan akibat taqlid dan pengabaian peran akal. Karena
itu setiap mendapat kesempatan melalui ayat-ayat Al-Qur’an untuk mengikis
hal-hal negatif tersebut pasti kesempatan tersebut digunakannya sampai
terkadang dirasakan adanya semacam pemaksaan dalam menghubungkan masalah tadi,
semisal dalam penafisrannya menyangkut menyangkut ayat 112 surah Al-Baqoroh
atau ayat 39-42 surah Abasa.
Muhammad Abduh berusaha pula untuk menafsirkan ayat-ayat
Al-Quran dengan penafsiran ilmiah, baik itu ilmu yang berhubngan dengan ilmu
alam maupun dengan sosiologi serta ia mengarahkan pandangannya kepada perbaikan
gaya bahasa Arab. Menurut Muhammad Abduh kemampuan bahasa bukanlah dinilai dari
pengetahuan tata bahasa atau istilah-istilah ilmu bahasa, tetapi di nilai dari
rasa bahasa yang telah meresap dalam jiwa seseorang. Atas dasar tersebut maka
di dalam tafsir Muhammad Abduh tidak banya memberikan perhatian terhadap kosa
kata atau tata bahasa dan gaya bahasa kecuali hanya batas-batas yang
menghantarkan kepada pemahaman kandungan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an. [25]
3. Ciri-Ciri Penafsiran Rasyid Ridha
a.
Menganggap satu surah sebagai satu
kesatuan ayat-ayat yang serasi
Ketika menafsirkan firman Allah dalam surah Ali ‘Imran : 37
كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيۡهَا زَكَرِيَّا ٱلۡمِحۡرَابَ وَجَدَ عِندَهَا
رِزۡقٗا
“Setiap Zakaria masuk
untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati rezeki di sisinya.[26]”Muhammad Abduh menolak pendapat yang menyatakan bahwa rezeki yang
dimaksud adalah buah-buahan musim dingin yang didapatnya di musim panas dan
sebaliknya, dengan alasan bahwa pengertian“rejeki”tidak harus dikaitkan dengan
suatu hal yang luar biasa. Pernyataan datangnya rezeki dari Allah adalah suatu
hal yang wajar bagi kaum Mukminin sejak dahulu hingga masa kini, walaupun
rezeki tersebut diperoleh dengan cara luar biasa.
Pendapat Abduh diatas
dijelaskan oleh Rasyid Ridha secara rinci dengan mengemukakan sebab
dicantumkannya kisah Maryam dalam surah Ali ‘Imran. Rasyid Ridha, bersumber
dari gagasan Abduh , menyatakan bahwa tujuan utama turunnya Al-Qur’an adalah
untuk menjelaskan akidah ketuhanan, kebangkitan dan pembalasan, serta wahyu dan
kenabian.[27]
Dan jika surah Ali ‘Imran ini telah dijelaskan tentang ketuhanan dan hari
kebangkitan, maka rangkaian ayat-ayat ini ditafsirkan menyangkut kenabian. Dari
sini maka harus dihubungkan dengan Firman Allah dalam surah Ali ‘Imran : 33,
yaitu:
إِنَّ ٱللَّهَ ٱصۡطَفَىٰٓ
ءَادَمَ وَنُوحٗا وَءَالَ إِبۡرَٰهِيمَ وَءَالَ عِمۡرَٰنَ عَلَى ٱلۡعَٰلَمِينَ
“Sesungguhnya Allah telah
memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga Imran atas yang hidup di alam
raya (pada masanya).”[28]
b.
Ayat-ayat Al-Qur’an bersifat umum
Ketika menafsirkan arti
“ya’muru” dalam firman Allah pada surat At-Taubah : 17, yaitu:
وَمَا كَانَ لِلۡمُشۡرِكِينَ أَن يَعۡمُرُواْ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ
“Tidaklah wajar (bukanlah menjadi sifat)
orang-orang musyrik memakmurkan masjid-masjid Allah.”[29]
Rasyid Ridha tidak sependapat dengan
mufasir-mufasir yang membatasi arti “memakmurkan” dengan ibadah murni (mahdhah)
semata-mata atau dalam arti umrah ke masjid Al-Haram dan sebagainya, tetapi
“memakmurkan” masjid menurutnya adalah beribadah kepada Allah, apapun bentuknya
antara lain berada serta bertempat tinggal di dalamnya untuk tujuan
mengurusnya, membangun, dan sebagainya.
c.
Al-Qur’an adalah sumber akidah dan hukum
Sebagaimana halnya Muhammad
Abduh yang menyatakan bahwa masalah-masalah akidah dan hukum seharusnya
bersumber dari Al-Qur’an dan hadis, bukannya dari ide-ide yang dianut oleh
seseorang lalu dicari legitimasinya dari Al-Qur’an dan hadis, maka demikian
pula sikap Rasyid Ridha yang kadang tidak sejalan dengan pendapat tokoh-tokoh
aliran akidah atau mazhab fiqh.[30]
Sebagai contoh, dapat dikemukakan pendapatnya tentang pemakan riba melalui
penafsirannya terhadap surah Al-Baqarah : 275, yaitu:
ۖ
وَمَنۡ عَادَ فَأُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ
Dan barangsiapa yang (mengambil/memakan riba) maka orang-orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.
Menurut Rasyid Ridha, dalam ayat ini tidak ada sama sekali suatu
petunjuk yang menyatakan bahwa ia ditujukan kepada orang-orang yang meghalalkan
riba, karena bila demikian, maka tiada lagi ancaman yang ditujukan kepada
mereka yang mengambil memakan riba sambil mengakui bahwa riba adalah haram.
Pendapatnya ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama tafsir yang
menyatakan bahwa ancaman kekekalan di neraka pada ayat ini ditujukan bukan
kepada siapa yang makan riba, tetapi siapa yang memakannya disertai dengan
keyakinan bahwa riba halal, karena dengan menghalalkannya ia telah keluar dari
iman, sehingga wajar kekal di neraka.[31]
d.
Penggunaan akal secara luas dalam
memahami ayat-ayat
Rasyid Ridha menolak
pendapat-pendapat ulama yang menyatakan bahwa firman Allah tentang jin dalam surat
Al-A’raf : 27, yaitu:
إِنَّهُۥ يَرَىٰكُمۡ هُوَ وَقَبِيلُهُۥ مِنۡ حَيۡثُ لَا
تَرَوۡنَهُمۡۗ
“Sesungguhnya ia (jin) dan
pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat
melihat mereka.”[32]
Rasyid Ridha menolak
pendapat yang mengecualikan beberapa kasus hal sehingga memungkinkan manusia
terkadang dapat melihatnya. Menurut Rasyid Ridha, orang yang mengaku melihat
jin, maka hal tersebut hanyalah akibat khayalannya ataukah ia melihat suatu
binatang yang aneh sehingga diduganya jin.
Semua hadis yang memberitakan tentang penglihatan
jin adalah dhaif karena tidak ada satu hadis pun menyangkut dapatnya manusia
melihat jin yang termasuk di dalam kategori sahih.
e.
Bersikap hati-hati terhadap hadis Nabi
SAW
Sebagaimana halnya gurunya
Muhammad Abduh, Rasyid Ridha juga tidak menerima semua hadis-hadis Nabi,
walaupun hadis tersebut ditemukan dalam Shahih Bukhari atau Shahih Muslim, yang
oleh banyak orang ulama keduanya merupakan kitab-kitab yang hadis-hadisnya
dapat dipertanggungjawabkan. Namun, Rasyid Ridha seringkali berusaha menolak
suatu hadis dengan menggunakan alasan-alasan disiplin ilmu hadis sendiri,
berbeda halnya dengan Muhammad Abduh. Misalkan penolakannya terhadap hadis yang
diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah:
“Abu Hurairah berkata “Rasulullah saw memegang tangan ku sambil
bersabda,”Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung menciptakan tanah pada hari
Sabtu, menciptakan gunung pada hari Ahad, dan menciptakan tumbuh-tumbuhan di
situ pada hari hari Senin, menciptakan keburukan pada hari selasa, menciptakan
cahaya pada hari Rabu, menciptakan binatang melata pada hari Kamis, dan
menciptakan Adam sesudah Ashar hari Jum’at, akhir penciptaan pada akhir saat
dan saat-saat hari Jum’at antara Ashar sampai malam.”
Dalam hadis ini disebutkan
Penciptaan Allah dalam waktu tujuh hari, sedangkan di dalam surah Al-A’raf : 54 Allah berfirman:
إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ
فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ
“Sesungguhnya Tuhan kamu
ialah Allah yang Telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia
bersemayam di atas 'Arsy”[33]
Karena itu Bukhari dan sekian ulama hadis yang lain membicarakan
hadis tersebut dan menyatakan bahwa ia bersumber dari Abu Hurairah melalui
Ka’ab Al-Ahbar dan bukannya suatu hadis yang marfu’ (bersumber dari Nabi saw).
Dengan demikian Rasyid Ridha menolak satu hadis.
f.
Bersikap hati-hati terhadap pendapat
sahabat
Rasyid Ridha sebagaimana
halnya Muhammad Abduh sangat berhati-hati terhadap riwayat-riwayat yang
mengemukakan pendapat-pendapat sahabat. Kehati-hatian tersebut disebabkan oleh
apa yang telah diuraikan ketika dikemukakan pendapat Muhammad Abduh dalam hal
yang sama.
Ulama-ulama tafsir mengakui
bahwa banyak sekali riwayat-riwayat yang mengemukakan pendapat-pendapat sahabat
yang nilainya jauh dari predikat shahih, khususnya yang mengatasnamakan Ali bin
Abi Thalib, dan Ibnu Abbas.[34]
Satu riwayat dari Ibnu Abdil Hakam yang menyatakan “saya mendengar Syafi’iy
berkata: Tidak sah (riwayat yang dinisbahkan) dari Ibnu Abbas menyangkut tafsir
kecuali 100 hadis.”
Dari sini Rasyid Ridha
dijumpai sangat berhati-hati dalam riwayat-riwayat para sahabat, terutama Ibnu
Abbas, sehingga dia menggunakan berbagai argumentasi untuk menolaknya.
4. Perbedaan-Perbedaan Antara
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
Pada dasarnya Rasyid Ridha
mengikuti metode dan ciri-ciri pokok yang digunakan gurunya Muhammad Abduh.
Namun terdapat perbedaan antara keduanya setelah Rasyid Ridha menulis Al-Manar
atas usahanya sendiri. Perbedaan tersebut menyangkut:
a.
Keluasan
pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadis-hadis Nabi SAW.
Dalam menafsirkan al-qur’an Rasyid
Ridha banyak sekali memaparkan hadis-hadis Nabi, riwayat para sahabat dan
tabi’in yang dinilainya shahih. Penilaiannya lebih ketat dari sekian banyak
tokoh tafsir dan hadis, dan penilaian tersebut tidak hanya terbatas pada sisi
kandungan riwayat, tetapi juga sisi transmisi perawi-perawinya.
Ketika Rasyid Ridha menafsirkan ayat pertama surat
Al-Maidah berikut ini :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِ
“Wahai orang-orang yang beriman, tunaikanlah
secara sempurna akad-akad (perjanjian)”[35]
Ia mengutip pendapat-pendapat para sahabat dan tabi’in tentang arti العقود
serta macam-macamnya, kemudian dijelaskannya bahwa perintah menunaikan “akad”
(perjanjian) dalam ayat tersebut secara umum dan mutlak sehingga dengan
demikian segala macam perjanjian pada dasarnya mubah.
Demikian pula
dengan syarat-syarat yang menyangkut perjanjian, khususnya jika perjanjian itu
masalah keduniaan, karena mengharamkan sesuatu itu harus berdasarkan pada
dalil. Dari pendapatnya inilah Rasyid Ridha mengemukakan hadis-hadis yang
dimaksud, antara lain:
الصلح جا ئز بين المسلمين
الا صلحا احل حرا ما او حرم حلالا والمسلمون على شرووط هم
“Perdamaian/persepakatan dibenarkan
antara kaum muslimin kecuali perdamaian/persepakatan yang meghalalkan sesuatu
yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal, kaum muslimin (berkewajiban)
memenuhi syarat-syarat yang mereka tetapkan.”
b. Keluasan pembahasan tentang penafsiran
ayat dengan ayat yang lain.
Ada
dua bentuk penafsiran ayat dengan ayat yang ditempuh oleh Rasyid Ridha, antara
lain:
a.
Menafsirkan kandungan suatu ayat dengan
kandungan ayat-ayat yang lain. Misalnya ketika menafsirkan firman Allah SWT
dalam surat Al-An’am : 165
وَهُوَ ٱلَّذِي جَعَلَكُمۡ خَلَٰٓئِفَ ٱلۡأَرۡضِ وَرَفَعَ بَعۡضَكُمۡ
فَوۡقَ بَعۡضٖ دَرَجَٰتٖ لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُم
“Dan
Dialah yang menjadikan kamu penguasa di bumi, dan Dia meninggikan sebagian kamu
atas sebagian yang lain beberapa tingkat karena Dia hendak mengujimu melalui
apa yang diberikannya kepadamu.”[36]
Menurut Rasyid Ridha banyak ayat-ayat
yang turun menafsirkan ayat ini, dan yang menjelaskan bahwa nikmat Tuhan baik
yang terdapat pada diri manusia maupun di alam raya ini merupakan “fitnah”
(ujian) Tuhan bagi hamba-hamba-Nya, dalam arti mendidik dan menguji mereka agar
tampak secara jelas siapakah diantara mereka yang lebih baik amalnya dan
seseorang akan menyadari keadilan pembalasan Tuhan di dunia dan di akhirat.
Kemudian ayat-ayat yang menjelaskan
arti ayat Al-An’am 165 tersebut antara lain surat Al-A’raf : 168, Surat Hud :
7, Surat Al-Mulk : 2, Surat Al-Kahfi : 7, Surat Al-Furqan : 20, Surat Ali
‘Imran : 186, Surat Al-Baqarah : 155, Surat Muhammad : 31, Surat Al-Ankabut :
1-2, dan Surat An-Naml “ 40.
Setelah mengutip bagian-bagian yang
berhubungan dengan ujian yang dimaksud dalam surat al-an’am : 165 yang
ditafsirkannya, Rasyid Ridha menyatalkan bahwa Allah SW memberikan petunjuk
kepada kita dalam ayat-ayat ini, cara menuju jalan yang harus ditempuh dalam
rangka menjadikan kita sebagai khalifah-khalifah di bumi ini, serta meninggikan
tingkat sebagian atas sebagian yang lain. Jalan tersebut adalah kesabaran
menghadapi kesulitan dan kesyukuran.
b.
Menafsirkan arti satu kata dalam
rangkaian satu ayat dengan kata yang sama pada ayat-ayat yang lain. Sebagai
contoh penafsiran Rasyid Ridha terhadap arti اجل dalam ayat kedua surat Al-An’am:[37]
هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن طِينٖ ثُمَّ قَضَىٰٓ أَجَلٗاۖ وَأَجَلٞ
مُّسَمًّى عِندَهُۥۖ
Menurut Rasyid Ridha siapa yang
menelusuri kata “اجل ” dalam Al-Qur’an yang disebutkan dalam
konteks pembicaraan tentang manusia, dia akan menemukan bahwa kata tersebut
berarti umur manusia yang berakhir dengan kematian. Ayat-ayat lainnya yang
berhubungan dengan Surat Al-An’am : 2 adalah Surat Hud : 3, Surat An-Nahl : 61,
Surat Thaha : 129, Surat Al-Ankabut : 53, Surat Fathir : 45, Surat Az-Zumar :
42, Surat Ghafir : 67, dan Surat Nuh : 4.
c. Penyisipan pembahasan-pembahasan yang
luas menyangkut permasalahan yang dibutuhkan masyarakat.
Penyisipan pembahasan-pembahasan yang
luas menyangkut permasalahan yang dibutuhkan masyarakat, yakni berupa bidang
hukum, bidang perbandingan agama, bidang sunatullah (Hukum-hukum Allah dalam
masyarakat), dan perkembangan Ilmu Pengetahuan.
d. Keluasan Pembahasan Tentang Arti
Mufradat (Kosakata), Susunan Redaksi.
Dalam
banyak ayat Rasyid Ridha berusaha untuk menjelaskan pengertian-pengertian yang
dikandung oleh satu kata, atau rahasia-rahasia yang dapat ditarik dari susunan
suatu redaksi, khususnya yang berbeda dengan redaksi ayat lain yang juga
berbicara tentang persoalan yang sama.
Apa
yang ditempuh Rasyid Ridha ini dan oleh ulama-ulama tafsir sebelumnya, dikenal
dengan istilah Tafsir Muqaran yang salah satu bagiannya adalah membandingkan
ayat-ayat Al-Qur’an yang berbeda redaksinya padahal masing-masing berbicara
tentang masalah yang sama, atau membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang
redaksinya sama/mirip sedang konteks masing-masing berbeda.
F.
Sumbangan Dalam
Keilmuan
Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridha dengan karya mereka tafsir
Al-Manar telah memerikan sumbangan yang sangat besar dalam dunia
penafsiran, dengan memberikan corak
penafsiran yang baru dan berbeda dari para mufassir-mufassir sebelumnya. Kitab
tafsir ini juga berusaha menghindari kelemahan kitab-kitab tafsir sebelumnya
melalui metode budaya masyaratakat dengan penjabaran lebih luas dibanding
dengan kitab-kitab tafsir sebelumnya, serta dengan menetapkan prinsip-prinsip
baru dalam penafsirannya. Tafsir ini berusaha menampilkan Al-Quran dalam wajah
yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan
dengan masyarakat, semua itu lebih mendungkung lagi tujuan utama dari kehadiran
Al-Qur’an.
Sedangkan dari studi kritis
yang di lakukan oleh Quraish Shihab terhadap kitab tafsir Al-Manar memberikan
gambaran yang jelas kepada kita tentang bagaimana corak penafsiran serta metode
dan prinsip penafsiran yang digunakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
beserta keistimewaan dan kelemahan masing-masing tokoh.
G. Kesimpulan
Corak penafsiran dalam tafsir Al-Manar
ialah penafsiran dengan pendekatan adabi ijtima’i atau tafsir yang
berorientasi pada sastra, budaya, dan kemasyarakatan.
Ciri-ciri penafsiran Muhammad Abduh:
· Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat
yang serasi.
· Ayat Al-Qur’an bersifat umum
· Al-Qur’an adalah sumber Aqidah dan Hukum
· Penggunaan akal yang luas dalam memahami ayat-ayat
Al-Qur’an
· Menentang dan memberantas taqlid
· Tidak merinci persoalan-persoalan yang disinggung
secara mubham (tidak jelas) atau sepintas lalu oleh Al-Qur’an.
· Sangat kritis dalam menerima hadis-hadis Nabi SAW
· Sangat kritis terhadap pendapat-pendapat sahabat dan
menolak Israiliyat.
· Mengaitkan
penafsiran Al-Quran dengan kehidupan sosial
Ciri-ciri penafsiran Rasyid Ridha:
·
Menganggap
satu surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi
·
Ayat-ayat
Al-Qur’an bersifat umum
·
Al-Qur’an
adalah sumber akidah dan hokum
·
Bersikap
hati-hati terhadap hadis Nabi SAW
·
Bersikap
hati-hati terhadap pendapat sahabat
Perbedaan-Perbedaan Antara Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha:
·
Keluasan
pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadis-hadis Nabi SAW.
·
Keluasan
pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat yang lain.
·
Penyisipan
pembahasan-pembahasan yang luas menyangkut permasalahan yang dibutuhkan
masyarakat.
·
Keluasan
Pembahasan Tentang Arti Mufradat (Kosakata), Susunan Redaksi.
DAFTAR PUSTAKA
A.Athaillah, Ulama dan Cendikiawan Muslim Rasyid Ridha:
Konsep Teologi dan Rasional Dalam Tafsir Al-Manar, Jakarta: Erlangga, 2006.
Ahma Izan, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung:
Humaniora, 2007.
M. Quraish
Shihab, Studi Kritis Tafsir al Manar:
Karya Muhammad ‘Abduh dan M. Rasyid Ridha, Bandung: Pustaka Hidayat, 1994.
Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas
Tafsir Muhammad Abduh Kajian Masalah Akidah dan Ibadah, Jakarta:
Paramadina, 2002.
[1] Izan Ahma, Metodologi
Ilmu Tafsir, (Bandung: Humaniora, 2007), hlm. 25.
[2] Shihab, M. Quraish, Studi Kritis
Tafsir al Manar: Karya Muhammad ‘Abduh dan M. Rasyid Ridha, (Bandung: Pustaka Hidayat, 1994), hlm. 17.
[3] Izan Ahma, Metodologi…,
hlm. 25.
[4]Shihab, M. Quraish, Studi..., hlm. 17-18.
[7] Athaillah A, Ulama dan Cendikiawan
Muslim Rasyid Ridha: Konsep Teologi dan Rasional Dalam Tafsir Al-Manar,
(Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 390-391.
[8] Nawawi Rif’at Syauqi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian
Masalah Akidah dan Ibadah, (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 203-211
[9] Shihab, M. Quraish, Studi..., hlm.110.
[10] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, (Jakarta: CV Darus Sunnah, 215), hlm. 594.
[11] Shihab, M. Quraish, Studi..., hlm.
26-27.
[13] Departemen Agama RI, Al-Qur’an...,
hlm. 596.
[14] Shihab, M. Quraish, Studi..., hlm.
29.
[15] Departemen Agama RI, Al-Qur’an...,
hlm. 86.
[16] Ibid., hlm. 37.
[17] Shihab, M. Quraish, Studi..., hlm.
31-33.
[19] Departemen Agama RI, Al-Qur’an...,
hlm. 586.
[20] Shihab, M. Quraish, Studi..., hlm.
47.
[21] Departemen Agama RI, Al-Qur’an...,
hlm. 586.
[22] Shihab, M. Quraish, Studi..., hlm.
51-53.
[26] Departemen Agama RI, Al-Qur’an...,
hlm. 55.
[28] Departemen Agama RI, Al-Qur’an...,
hlm. 55.
[31] Ibid., hlm 75.
[32] Departemen Agama RI, Al-Qur’an...,
hlm. 154.
[33] Ibid., hlm. 158.
[35] Departemen Agama RI, Al-Qur’an...,
hlm. 107.
[36] Ibid., hlm. 151.
[37] Ibid., hlm. 129.
Komentar
Posting Komentar