PENGEMBANGAN
USHUL FIQH MENURUT HASAN TURABI
(TEORI QIYAS
AUSA’)
Oleh:
Nur Endah
Kusumaningrum
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kuliah
Ushul Fiqh
A.
Latar Belakang
Masalah
Sumber
hukum Islam yang paling mendasar pada tahap awal perkembangan Islam adalah
al-Qur’an, yang kemudian diperinci dan ditafsirkan oleh al-Sunnah. Pada tahap
selanjutnya, setelah Rasulullah wafat dan permasalahan hukum semakin meningkat,
maka dibutuhkan penalaran dan penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan
tersebut yang dikenal dengan istilah ijtihad yang salah satu alat pokoknya
menggunakan qiyas.[1]
Dalam sketsa pemikiran hukum dikenal bahwa
qiyas merupakan suatu metode penetapan hukum yang menempati posisi ke empat
dalam kerangka pemikiran hukum (ushul fiqh). Qiyas merupakan titik masuk
pertama dalam pintu ijtihad. Al-Mazini rekan Imam Syafi’I, menyatakan : “Para
ahli fikih sejak masa Rasulullah saw sampai masa kita sekarang dan seterusnya
sama-sama menggunakan qiyas”.[2]
Para ulama menilai bahwa semua produk hukum fiqh yang dihasilkan oleh metode
qiyas ini benar-benar valid dan memiliki kekuatan hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional. Imam Syafi’I membuat kualifikasi ketat
unsur-unsur yang ada pada metode qiyas. Menurutnya qiyas dapat berlaku dan
memiliki kekuatan hukum yang valid jika keempat syaratnya terpenuhi yaitu asl,
hukm asl, far’, dan illah.[3]
Zaman
terus berkembang, kehidupan manusia terus berlangsung, begitu juga dengan
permasalahan yang dihadapinya. Maka demi menjawab semua permasalahan diperlukan
pembaharuan dalam agama. Dimana pintu ijtihad harus dibuka selebar mungkin,
sehingga agama tidak akan menjadi doktrin yang ada dalam tataran teori dan
sesuatu yang sacral dan tidak tersentuh, melainkan agama hadir sebagai tuntutan
manusia. Dalam perjalanan selanjutnya banyak tokoh bermunculan guna memberikan
kontribusinya dalam rangka membangunkan masyarakat yang selama ini dalam masa
kemunduran dan mendambakan datangnya kembali The Golden Age Of Muslim. Di
antara tokoh kontemporer yang mencoba menciptakan kembali The Golden Age Of
Muslim adalah pemikir asal Sudan yaitu Hasan Turabi, yang dalam kesempatan ini,
pemakalah akan membahas mengenai beberapa pemikiran beliau.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis memfokuskan
pada permasalahan dalam makalah ini yaitu Bagaimana pengembangan ushul fiqh
dalam teori qiyas ausa’ menurut Hasan Turabi?
C.
Pembahasan
1.
Biografi Hasan Turabi
Hasan Turabi lahir di Kassala, Sudan
Timur pada tahun 1932, dia berasal dan tumbuh dari keluarga yang memiliki
tradisi panjang dalam pengajaran Islam dan sufisme. Dalam bidang pendidikan,
dia berhasil menyelesaikan pendidikan srata 1 (satu) di fakultas hukum di
Universitas Khartoum pada tahun 1955, kemudian dia juga berhasil menyelesaikan
S-2 dalam hukum di London pada tahun 1957, dan pada tahun 1964 dia memperoleh
gelar Ph.D, dalam bidang hukum tata negara dari Universitas Sorbonne, Paris.
Dalam bidang akademik, dia pernah
menjabat sebagai dekan Fakultas Hukum Universitas Khourtoum, akan tetapi
jabatan tersebut tidak terlalu lama, karena beliau menjadi anggota parlemen dan
Sekretaris Jendral Islamic Center pada bulan Desember 1964. Dan pada tahun
1969, setelah berlangsungnya upaya kudeta oleh kaum kiri, pertama kali dia
mendekam di penjara Sudan hingga tahun 1977, di tahun ketika dia memilih
Perjanjian Rekonsiliasi Nasional dengan Nimeiri. Dia menjadi jaksa agung dari tahun
1979 hingga 1982 dan menjadi kepala penasehat masalah-masalah hukum dan luar
negeri hingga maret 1985. Dia dan pemuka-pemuka gerakan Islam lainnya kemudian
dijebloskan ke penjara, dan hanya dibebaskan ketika rezim Nimeiri jatuh.[4]
Pada tahun 1988, Front Nasional
Islam (NIF) yang dipimpin oleh Hasan Turabi berkoalisi dengan pemerintahan
Shadiq al-Mahdi dan mengantarkannya menjadi jaksa agung, lalu deputi Perdana
Menteri dan Menteri Luar Negeri. Dia juga pernah menjabat sekretaris Jenderal
Kongres Islam Khartoum yang beranggotakan partai-partai, kelompok-kelompok, dan
tokoh-tokoh gerakan Nasionalis Islam yang berasal dari 55 negara Muslim dan
Barat. Sejak pemilu 1996, dia menjabat sebagai ketua parlemen, yaitu suatu
kedudukan kedua yang paling berkuasa di negerinya sesudah presiden yang dijabat
oleh Jenderal Umar al-Basyir, juniornya di partai NIF. Di sisi lain, Umar
al-Basyir menginginkan agar Sudan berdiri sendiri tanpa bergantung kepada
negara lain. Sedangkan Hasan Al-Turabi menginginkan kerjasama negara-negara di
era globalisasi.
Pada Februari 2001, dia ditahan atas
tuduhan berkhianat kepada negara. Sebagai pemimpin partai oposisi Popular
Nasional Congres (PNC), dia telah mendatangani kesepakatan saling pengertian
dengan John Garang De Mabior, yaitu seorang gerakan Pemberontak Kristen
bersenjata di Sudan Selatan SPML/A (Sudan People’s Liberation
Movement/Army). Tuduhan ini kurang bukti sehingga lebih dari delapan belas
bulan pengadilan belum membuka kasusnya. Orang kemudian percaya bahwa alasan
penahanannya adalah karena dia dianggap cukup menganggu pemerintahan
al-Bassyir. Akan tetapi meskipun dia dipenjara, banyak kalangan yang percaya
bahwa dia adalah pemimpin Sudan yang sebenarnya sejak berdirinya Republik Islam
Sudan.
Hasan Turabi dipandang sebagai tokoh
gerakan Islam internasional dan salah seorang pemikir yang terkemuka.
Kontribusi karya-karyanya dalam pemikiran Arab hingga Islam modern berawal dari
Women In Islam dan The Prayer yang terbit diakhir 1960-an, dan The Islamic
Movement In Sudan (1989). Disamping itu karyanya yang berbahasa Arab diantaranya
Al-Iman wa Atsaruha fi Al-Hayat, Al-Muslim Baina Al-Wujdan wa Al-Sultan.,
Tajdid Al-Fikr Al-Islami dan Al-Wihdah wa Al-Dimukrattiyah wa Al-Fann dan
Qadaya at-Tajdid. Adapun makalahnya tentang kaum perempuan dan kedudukan
komunitas non muslim di negara-negara Islam telah diterjemahkan dan diterbitkan
dalam bahasa Inggris. Dia juga menyumbang satu bab tentang negara Islam untuk
Islam and Development, sebuah buku yang disunting oleh John L Esposito. Semasa
di penjara dia menyelesaikan The Political Vocubulary Of Islam.[5]
2.
Pemikiran Hasan Turabi
a.
Ushul Ad-Din
Keadaan agama sejak disyariatkan
oleh Allah senantiasa mengalami pembaruan yang menghubungkan yang awal dengan
yang terakhir, meskipun risalah-risalah silih berganti datang mengisahkan
risalah sebelumnya dan memberikan kabar gembira tentang risalah sesudahnya
serta membangun kebenaran yang tetap diatas dasar-dasarnya. Dan ketika Allah
menyempurnakan pengajaran manusia, sejarah memelihara risalah yang terakhir
dengan syari’at yang lengkap dan abadi.[6]
Selama ini pembicaraan yang
berkenaan syar’u man qoblana hanya terpaku pada deskripsi tentang
perbedaan pendapat seputar kehujjahannya dalam hukum-hukum, sebab syari’at yang
terdahulu merupakan permulaan bagi gerakan kita menuju Allah. Oleh karena itu,
Rasulullah saw berpegang pada apa yang beliau ketahui dari syari’at itu,
sehingga datanglah wahyu yang membenarkan. Di dalam pembenaran, ada pembaruan
yang menghidupkan kekuatan lama yang masih menjadi sebab yang relevan untuk
tujuan beribadah kepada Allah dan dalam penghapusan ada pembaruan yang
mengembangkan sebab-sebab ibadah, dan di dalam kisah-kisah ada hikmah yang
dipetik dari kebaikan amal para salaf. Sebagai contoh dan teladan dan dari
kejelekan amal mereka sebagai pelajaran dan nasehat sebagaimana Allah berfirman
dalam surat Hud ayat 120:
كُلاًّ
نَّقُصُ عَلَيْكَ مِنْ أَنْباَۤءِ الرُّسُلِ مَا تُثَبِّتُ بِهِ فُؤَا دَ كَۚ
وَجَاۤءَكَ فِى هٰذِهِ الْحَقُّ
وَمَوْعِظَةٌ
وَذِكْرَىٰ لِلْمُؤْمِنِيْنَ
“Dan
semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang
dengannya kami teguhkan hatimu; dan dalam surat Ini Telah datang kepadamu
kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.”[7]
Pada dasarnya dalam memahami
al-Qur’an tidaklah sempurna kecuali dengan mengkaji kembali syari’at-syari’at
umat terdahulu, dan melalui kajian yang lengkap mengenai as-Sunnah yang
menjelaskan dengan ucapan dan amal perbuatan Nabi Muhammad saw. Memahami Sunnah
nabi tidaklah cukup hanya mengkaji hadis-hadis yang sampai kepada Rasulullah
saw saja, sebab amalan para sahabat adalah perpanjangan tangan yang tidak
terputus dari masa penurunan wahyu, bahkan kemajuan ke arah yang sama dengan
sunnah yang perlu dipelajari, agar sunnah dapat dipelajari dengan baik. Dengan
demikian, kita tidak bisa memahami masa lalu kecuali dalam konteks masa yang
datang setelahnya.
Dalam
perjalanan sejarah ada kaum konservatif yang memandang masa lalu sebagai
warisan yang didalamnya terkandung solusi yang cukup memadai bagi seluruh
tantangan baru. Menurut mereka tidak ada jalan lagi untuk mengadakan pembaruan
dalam urusan agama, kemajuan agama telah terhenti pada usaha ulama salaf,
kebebasan ijtihad terhapus di dalam pandangan generasi selanjutnya. Dengan
demikian kebebasan agama telah dibatasi dalam ruang dan waktu tertentu di masa
lalu.[8]
b.
Pengembangan Ushul Fiqh
Ilmu ushul fiqh telah menorehkan
sejarahnya melalui perjalanan panjang yang cukup mengesankan dalam penentuan
arah dan dinamika perubahan masyarakat. ilmu ini juga telah memberikan corak
yang jelas bagi peradaban Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Telah banyak
pemikiran besar yang mencoba menggali sejumlah aturan dan kaidah fiqh dari
berbagai teks wahyu. Para Juris Islam yang dikomandani oleh Imam al- Syafi’i
telah berupaya mengukuhkan ilmu ushul fiqh baik secara partikular maupun universal
sehingga ummat merasa yakin bahwa tidak ada satu celah pun yang tidak tersentuh
oleh ilmu ini.[9]
Namun demikian, bukan berarti tidak
ada kalangan yang hendak menggugat dilakukannya pembaharuan terhadap bangunan
ushul fiqh sebagai sebuah metodologi hukum. Hasan Turabi, Pemikir Islam dari
Sudan, menyerukan dilakukannya reformasi ushul fiqh. Turabi pada dasarnya dapat
mengakui kegemilangan ushul fiqh klasik yang telah dibangun secara susah payah
oleh Ulama’ terdahulu. Akan tetapi seiring dengan mundurnya kehidupan beragama
belakangan ini maka ummat Islam tidak mampu melahirkan fiqh baru yang cemerlang
setelah fiqh menjadi sebuah disiplin ilmu. Dari kenyataan ini Turabi menengarai
adanya kejumudan ushul fiqh sehingga perlu ada langkah-langkah pembaharuan.
Turabi mengemukakan contoh yang
dikembangkan Imam Ibnu Hazm tentang konsep istishab. Walaupun Ibnu Hazm termasuk salah seorang penganut madzhab
dzahiriyyah, namun ia mampu membuka pintu perkembangan fiqh. Ibnu Hazm
mempunyai perhatian cukup luas dalam masalah politik, hukum, dan
persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan. Kasus-kasus seperti inilah yang
sesungguhnya banyak dihadapi ummat Islam sekarang ketimbang kasus-kasus lain
yang bersifat khusus. Aspek kehidupan ummat memerlukan ijtihad yang amat luas
dan memerlukan kesungguhan intelektual di dalam upaya memberikan penekanan yang
kuat pada aspek- aspek tersebut dan pada sejumlah kaidah ushul fiqh yang relevan.[10]
Dalam beragam persoalan yang
bersifat umum kita mesti merujuk pada teks-teks wahyu yang ada melalui sejumlah
kaidah penafsiran yang mendasar. Namun demikian, pendekatan seperti ini saja,
masih menurut Turabi, belumlah cukup lantaran sedikitnya jumlah teks wahyu.
Karena itu, kita perlu mengembangkan metode ijtihad yang akan memperluas
pandangan yang dibangun di atas fondasi teks-teks yang jumlahnya sangat
terbatas tadi. Dalam konteks ini, Turabi menawarkan penggunaan qiyas untuk
mengembangkan teks dan memperluas materinya. Menurutnya, qiyas merupakan dimensi
paling luas dalam ijtihad. Penilaian seperti ini sesungguhnya pernah dilakukan
oleh al-Syafi’i dua abad belas silam. Dalam persoalan ijtihad al-Syafi’I mempunyai
cakupan sangat luas dengan qiyas. Artinya, menurut beliau qiyas itu identik
dengan seluruh aktivitas ijtihad dalam rangka melahirkan hukum-hukum.
Qiyas yang dikembangkan selama ini
menurut Turabi sangat sempit cakupannya. Kondisi seperti ini perlu.mendapatkan
perhatian sehingga kita bisa mempolanya serta menjadikannya sebagai sebagian
dari sarana kebangkitan fiqh. Pengertian qiyas sesungguhnya amat luas mencakup
makna signifikansi spontan dengan persoalan sebelumnya. Selain itu, ia juga
mencakup makna teknis yang dibuat oleh para Juris untuk menyandarkan hukum asal
pada hukum turunannya. Hal ini dilakukan dengan mengompromikan illat hukum yang
baku kepada hal lain yang mereka syaratkan di dalam pokok dan cabangnya serta
objek hukumnya. Ini adalah bagian dari qiyas yang mencakup kasus-kasus baru
yang dinisbatkan pada kasus- kasus lama yang jelas dan telah ditetapkan hukumnya
melalui teks wahyu.[11]
Dengan pendekataan seperti ini maka
para Juris Islam atau Fuqaha’ dapat menentukan hukum pada beberapa kasus yang
benar-benar baru. Seperti inilah gambaran qiyas terbatas yang barangkali
penafsirannya perlu disempurnakan sehingga dapat menjangkau aneka perkembangan
yang terus terjadi. Bidang yang luas dalam agama hampir tidak ditemukan pola
penyelesaiannya kecuali melalui qiyas alami yang bebas dari sejumlah
persyaratan yang mengikat yang sesungguhnya hal tersebut dibuat oleh para
Filsuf Yunani dan kemudian dinukil oleh para Juris Islam.
Seruan Turabi untuk dilakukannya
pembaharuan ilmu ushul fiqh begitu intens-nya disuarakan. Bahkan untuk
keperluan ini beliau menyusun sebuah buku monografi bertajuk tajdidu ’ilmi
ushul al-fiqh (Pembaharuan Ilmu Ushul Fiqh). Namun jika dicermati lebih dalam,
seruan tersebut sesungguhnya kurang menyentuh esensi persoalan. Sebab
pembaharuan atau reformasi menuntut adanya tawaran kaidah-kaidah baru sebagai
wujud perbaikan dari kaidah-kaidah yang sudah melembaga selama ini. Hal ini
belum nampak tersuguhkan secara elaboratif dalam seruannya tersebut. Apa yang
dilakukan Turabi sebenarnya seruan moral untuk mengoptimalkan penggunaan ushul
fiqh untuk mereformasi bangunan fiqh yang sesuai dengan perkembangan. Atau
dengan ungkapan lain, apa yang dilakukan Turabi adalah bagaimana pengembangan
ilmu ushul fiqh bisa dilakukan baik dari segi teknis maupun materinya. Dengan
pola pengembagan seperti ini maka bangunan ushul fiqh yang sudah melembaga
sesungguhnya masih bisa kita pertahankan dengan mengaplikasikannya sesuai
persoalan-persoalan kontemporer yang dihadapi ummat belakangan ini. Pada
kenyataannya, upaya pembaharuan apa pun yang dilakukan ujung-ujungnya juga
tidak keluar dari lingkup bangunan ushul fiqh yang telah dirumuskan sebelumnya.[12]
Dengan keprihatinan seperti ini maka
apa yang menjadi seruan Turabi sesungguhnya sama dengan persepsi kebanyakan
para Juris akhir-akhir ini menyangkut kurang diberdayakannya ilmu ushul fiqh
untuk menorehkan ketentuan-ketentuan hukum baru sesuai tingkat perkembangan
masyarakat. Keprihatinan seperti ini juga dilatari cara pandang sebagian besar
masyarakat terhadap disiplin ilmu ushul fiqh. Mereka mengapresiasi ilmu ushul
fiqh sebatas sebagai warisan yang mesti dipelajari dalam bentuknya yang bersih
dan murni. Selain itu, keterbatasan metode pengajaran dan kesulitan bahasa yang
terdapat pada sebagian sumber-sumber primer ilmu ushul fiqh turut mengondisikan
problem pemberdayaan ilmu ini di tengah kehidupan beragama. Karena itu, jika
kita menginginkan ilmu ini berkembang pesat secara alami dalam kehidupan
beragama maka kita mesti mengubah cara pandang kita terhadap disiplin ilmu ini
selain juga harus mengembangkan metode kajian dan pengajaran sesuai konteks
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Kaidah-kaidah ushul fiqh yang ada
sesungguhnya diadopsi dari nilai-nilai universal ajaran agama, sehingga ia
tidak mudah ketinggalan zaman dalam menyikapi aneka persoalan yang terus
berkembang. Faktor lain yang menyebabkan ilmu ushul fiqh mampu beradaptasi
dengan perubahan adalah keterlibatan logika formal dalam perumusan
kaidah-kaidah-nya. Begitu rasionalnya bangunan kaidah ushul fiqh sampai-sampai
banyak kalangan yang berestimasi bahwa disiplin ilmu ini sebenarnya merupakan
produk impor dari Filsafat Yunani Kuno.[13]
Turabi termasuk pemikir yang
mempunyai anggapan demikian. Menurutnya, persoalan ushul fiqh semisal qiyas,
merupakan prinsip- prinsip yang berasal dari filsafat yunani dan logika ilmiah.
Jika semua itu dapat berubah maka demikian pula dengan ushul fiqh. Apabila
prinsip-prinsip logika Yunani mengalami perkembangan sebagaimana metodologi
ilmu alam dan ilmu sosial maka ummat Islam mesti pula menggunakan
prinsip-prinsip tersebut dalam ijtihad.
Dengan
pendekatan seperti ini maka upaya pembaharuan ushul fiqh dapat dilakukan.
Pandangan seperti ini juga mempunyai kelemahan akademik karena seolah-olah
Islam tidak mempunyai metodologi ilmiah sama sekali. Keterlibatan logika ilmiah
seperti terperagakan dalam filsafat Yunani memang tidak dapat dipungkiri
terjadi dalam rumusan kaidah-kaidah ilmu ushul fiqh. Namun untuk mengatakan
ilmu ushul fiqh sepenuhnya produk impor dari filsafat yunani kuno juga kurang
proporsional. Sebab, logika ilmiah yang diperagakan dalam ilmu ushul fiqh
dilandaskan pada esensi ajaran wahyu secara universal selain juga mengapresiasi
logika ketika hendak menghubungkan teks dengan indikasi hukumnya. Dari
perpaduan inilah kemudian lahir rumus-rumus dan metodologi ilmiah dalam Islam
yang kemudian membentuk epistemologi ushul fiqh.[14]
c.
Gerakan Fiqh dari Masa Kejumudan ke
Pembaharuan
Pada dasarnya di masyarakat kita
sekarang, mereka sangatlah takut [akan kebebasan berijtihad. Banyak orang yang
takut ketika berhadapan dengan pendapat baru yang sama sekali berbeda dengan
para ulama salaf, seolah-olah yang diperbolehkan bagi seorang mujtahid hanyalah
memilih dan menemukan pendapat lama yang relevan dengan kondisi tertentu atau
mengemukakan alasan baru yang mengemukakan pendapat ulama salaf tersebut.
Padahal ijtihad merupakan sebuah respon atas berbagai tantangan yang
berubah-ubah dan kondisi sejarah yang bergerak. Di era sekarang ini, ketika
kejumudan cukup lama dan ijtihad disia-siakan, maka seharusnya kita mendukung
dengan sepenuh hati upaya pembaharuan sebagai upaya menutup kekurangan itu.
Dengan demikian, upaya melakukan ijtihad
dewasa ini menuntut keberanian berpendapat dan kekuatan kesabaran dalam
menghadapi tekanan kaum konservatif, terutama dalam memandang, bahwa
pembaharuan adalah luas sekali dan hampir membentuk sebuah revolusi fiqh yang
mengusahakan perubahan kondisi dengan cepat.[15]
D.
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas, dapat diketahui bahwa
pengembangan ushul fiqh menurut pemikiran Hasan Turabi dalam teori qiyas ausa’
yakni dalam beragam persoalan yang bersifat umum, kita mesti merujuk pada
teks-teks wahyu yang ada melalui sejumlah kaidah penafsiran yang mendasar.
Namun demikian, pendekatan seperti ini saja, masih belumlah cukup lantaran
sedikitnya jumlah teks wahyu. Karena itu, kita perlu mengembangkan metode
ijtihad yang akan memperluas pandangan yang dibangun di atas fondasi teks-teks
yang jumlahnya sangat terbatas tadi. Dalam konteks ini, Turabi menawarkan
penggunaan qiyas untuk mengembangkan teks dan memperluas materinya. Menurutnya,
qiyas merupakan dimensi paling luas dalam ijtihad.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Sulaeman, 1996, Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum
Islam Kajian Qiyas Imam Syafi’I, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Al-Khatib‘., Abdul Karim , 2005, Ijtihad
Menggerakan Potensi Dinamis Hukum Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Departemen Agama RI, 2006, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, Jakarta: Maghfirah Pustaka
Hatta, Moh., 2015 “Pemikiran Hukum
Islam Hasan Al-Turabi”, Darussalam Jurnal Pendidikan, Komunikasi, dan
Pemikiran Hukum Islam, No.1 Vol 7,September 2015, Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya.
Roy Muhammad., 2004, Ushul
Fiqh Madzhab Aristoteles, Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Ushul Fiqh,
Yogyakarta: Safiria Insania Press.
Yazid ,A., 2011,“Epistimologi Ushul Fiqh:Antara
Pembaharuan dan Pemberdayaan Mekanisme Istinbath Al-Ahkam”, Jurnal
Asy-Syir’ah, No.1 Vol.45, 2011, Surabaya: Fakultas IAIN Ibrahimy Situbondo
Jawa Timur.
*)Makalah Prarevisi
[1] Muhammad
Roy, Ushul Fiqh Madzhab Aristoteles, Pelacakan Logika Aristoteles dalam
Qiyas Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hlm. 36.
[2]
‘Abdul Karim Al-Khatib, Ijtihad Menggerakan Potensi Dinamis Hukum Islam,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hlm.75
[3]
Sulaeman Abdullah, Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam Kajian Qiyas
Imam Syafi’I, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), hlm. 114.
[4]
Moh.Hatta, “Pemikiran Hukum Islam Hasan Al-Turabi”, Darussalam Jurnal
Pendidikan, Komunikasi, dan Pemikiran Hukum Islam UIN Sunan Ampel Surabaya,
No.1 Vol 7, (September 2015), hlm. 189, kolom 1.
[5] Ibid,
hlm 191
[6] Ibid,
hlm 192
[7]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2006),
hlm.235
[8] Moh.Hatta,
Pemikiran…, hlm.193
[9]A.Yazid,“Epistimologi
Ushul Fiqh:Antara Pembaharuan dan Pemberdayaan Mekanisme Istinbath Al-Ahkam”,
Jurnal Asy-Syir’ah,No.1 Vol.45, 2011, hlm 1028, kolom 14.
[10] Ibid,
hlm 1029
[11]Ibid,
hlm 1030
[12] Ibid,
hlm 1031
[13] Ibid,
hlm 1032
[14] Ibid,
hlm 1032
[15]
Moh.Hatta, Pemikiran…, hlm.198
Komentar
Posting Komentar