PENGEMBANGAN USHUL FIQH MENURUT HASAN TURABI

PENGEMBANGAN USHUL FIQH MENURUT HASAN TURABI
(TEORI QIYAS AUSA’)

Oleh:
Nur Endah Kusumaningrum


Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kuliah
Ushul Fiqh


A.      Latar Belakang Masalah
            Sumber hukum Islam yang paling mendasar pada tahap awal perkembangan Islam adalah al-Qur’an, yang kemudian diperinci dan ditafsirkan oleh al-Sunnah. Pada tahap selanjutnya, setelah Rasulullah wafat dan permasalahan hukum semakin meningkat, maka dibutuhkan penalaran dan penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan tersebut yang dikenal dengan istilah ijtihad yang salah satu alat pokoknya menggunakan qiyas.[1]
            Dalam sketsa pemikiran hukum dikenal bahwa qiyas merupakan suatu metode penetapan hukum yang menempati posisi ke empat dalam kerangka pemikiran hukum (ushul fiqh). Qiyas merupakan titik masuk pertama dalam pintu ijtihad. Al-Mazini rekan Imam Syafi’I, menyatakan : “Para ahli fikih sejak masa Rasulullah saw sampai masa kita sekarang dan seterusnya sama-sama menggunakan qiyas”.[2] Para ulama menilai bahwa semua produk hukum fiqh yang dihasilkan oleh metode qiyas ini benar-benar valid dan memiliki kekuatan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Imam Syafi’I membuat kualifikasi ketat unsur-unsur yang ada pada metode qiyas. Menurutnya qiyas dapat berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang valid jika keempat syaratnya terpenuhi yaitu asl, hukm asl, far’, dan illah.[3]
Zaman terus berkembang, kehidupan manusia terus berlangsung, begitu juga dengan permasalahan yang dihadapinya. Maka demi menjawab semua permasalahan diperlukan pembaharuan dalam agama. Dimana pintu ijtihad harus dibuka selebar mungkin, sehingga agama tidak akan menjadi doktrin yang ada dalam tataran teori dan sesuatu yang sacral dan tidak tersentuh, melainkan agama hadir sebagai tuntutan manusia. Dalam perjalanan selanjutnya banyak tokoh bermunculan guna memberikan kontribusinya dalam rangka membangunkan masyarakat yang selama ini dalam masa kemunduran dan mendambakan datangnya kembali The Golden Age Of Muslim. Di antara tokoh kontemporer yang mencoba menciptakan kembali The Golden Age Of Muslim adalah pemikir asal Sudan yaitu Hasan Turabi, yang dalam kesempatan ini, pemakalah akan membahas mengenai beberapa pemikiran beliau.

B.       Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis memfokuskan pada permasalahan dalam makalah ini yaitu Bagaimana pengembangan ushul fiqh dalam teori qiyas ausa’ menurut Hasan Turabi?

C.      Pembahasan
1.      Biografi Hasan Turabi
            Hasan Turabi lahir di Kassala, Sudan Timur pada tahun 1932, dia berasal dan tumbuh dari keluarga yang memiliki tradisi panjang dalam pengajaran Islam dan sufisme. Dalam bidang pendidikan, dia berhasil menyelesaikan pendidikan srata 1 (satu) di fakultas hukum di Universitas Khartoum pada tahun 1955, kemudian dia juga berhasil menyelesaikan S-2 dalam hukum di London pada tahun 1957, dan pada tahun 1964 dia memperoleh gelar Ph.D, dalam bidang hukum tata negara dari Universitas Sorbonne, Paris.
            Dalam bidang akademik, dia pernah menjabat sebagai dekan Fakultas Hukum Universitas Khourtoum, akan tetapi jabatan tersebut tidak terlalu lama, karena beliau menjadi anggota parlemen dan Sekretaris Jendral Islamic Center pada bulan Desember 1964. Dan pada tahun 1969, setelah berlangsungnya upaya kudeta oleh kaum kiri, pertama kali dia mendekam di penjara Sudan hingga tahun 1977, di tahun ketika dia memilih Perjanjian Rekonsiliasi Nasional dengan Nimeiri. Dia menjadi jaksa agung dari tahun 1979 hingga 1982 dan menjadi kepala penasehat masalah-masalah hukum dan luar negeri hingga maret 1985. Dia dan pemuka-pemuka gerakan Islam lainnya kemudian dijebloskan ke penjara, dan hanya dibebaskan ketika rezim Nimeiri jatuh.[4]
            Pada tahun 1988, Front Nasional Islam (NIF) yang dipimpin oleh Hasan Turabi berkoalisi dengan pemerintahan Shadiq al-Mahdi dan mengantarkannya menjadi jaksa agung, lalu deputi Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri. Dia juga pernah menjabat sekretaris Jenderal Kongres Islam Khartoum yang beranggotakan partai-partai, kelompok-kelompok, dan tokoh-tokoh gerakan Nasionalis Islam yang berasal dari 55 negara Muslim dan Barat. Sejak pemilu 1996, dia menjabat sebagai ketua parlemen, yaitu suatu kedudukan kedua yang paling berkuasa di negerinya sesudah presiden yang dijabat oleh Jenderal Umar al-Basyir, juniornya di partai NIF. Di sisi lain, Umar al-Basyir menginginkan agar Sudan berdiri sendiri tanpa bergantung kepada negara lain. Sedangkan Hasan Al-Turabi menginginkan kerjasama negara-negara di era globalisasi.
            Pada Februari 2001, dia ditahan atas tuduhan berkhianat kepada negara. Sebagai pemimpin partai oposisi Popular Nasional Congres (PNC), dia telah mendatangani kesepakatan saling pengertian dengan John Garang De Mabior, yaitu seorang gerakan Pemberontak Kristen bersenjata di Sudan Selatan SPML/A (Sudan People’s Liberation Movement/Army). Tuduhan ini kurang bukti sehingga lebih dari delapan belas bulan pengadilan belum membuka kasusnya. Orang kemudian percaya bahwa alasan penahanannya adalah karena dia dianggap cukup menganggu pemerintahan al-Bassyir. Akan tetapi meskipun dia dipenjara, banyak kalangan yang percaya bahwa dia adalah pemimpin Sudan yang sebenarnya sejak berdirinya Republik Islam Sudan.
            Hasan Turabi dipandang sebagai tokoh gerakan Islam internasional dan salah seorang pemikir yang terkemuka. Kontribusi karya-karyanya dalam pemikiran Arab hingga Islam modern berawal dari Women In Islam dan The Prayer yang terbit diakhir 1960-an, dan The Islamic Movement In Sudan (1989). Disamping itu karyanya yang berbahasa Arab diantaranya Al-Iman wa Atsaruha fi Al-Hayat, Al-Muslim Baina Al-Wujdan wa Al-Sultan., Tajdid Al-Fikr Al-Islami dan Al-Wihdah wa Al-Dimukrattiyah wa Al-Fann dan Qadaya at-Tajdid. Adapun makalahnya tentang kaum perempuan dan kedudukan komunitas non muslim di negara-negara Islam telah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Inggris. Dia juga menyumbang satu bab tentang negara Islam untuk Islam and Development, sebuah buku yang disunting oleh John L Esposito. Semasa di penjara dia menyelesaikan The Political Vocubulary Of Islam.[5]

2.      Pemikiran Hasan Turabi
a.      Ushul Ad-Din
            Keadaan agama sejak disyariatkan oleh Allah senantiasa mengalami pembaruan yang menghubungkan yang awal dengan yang terakhir, meskipun risalah-risalah silih berganti datang mengisahkan risalah sebelumnya dan memberikan kabar gembira tentang risalah sesudahnya serta membangun kebenaran yang tetap diatas dasar-dasarnya. Dan ketika Allah menyempurnakan pengajaran manusia, sejarah memelihara risalah yang terakhir dengan syari’at yang lengkap dan abadi.[6]
            Selama ini pembicaraan yang berkenaan syar’u man qoblana hanya terpaku pada deskripsi tentang perbedaan pendapat seputar kehujjahannya dalam hukum-hukum, sebab syari’at yang terdahulu merupakan permulaan bagi gerakan kita menuju Allah. Oleh karena itu, Rasulullah saw berpegang pada apa yang beliau ketahui dari syari’at itu, sehingga datanglah wahyu yang membenarkan. Di dalam pembenaran, ada pembaruan yang menghidupkan kekuatan lama yang masih menjadi sebab yang relevan untuk tujuan beribadah kepada Allah dan dalam penghapusan ada pembaruan yang mengembangkan sebab-sebab ibadah, dan di dalam kisah-kisah ada hikmah yang dipetik dari kebaikan amal para salaf. Sebagai contoh dan teladan dan dari kejelekan amal mereka sebagai pelajaran dan nasehat sebagaimana Allah berfirman dalam surat Hud ayat 120:


كُلاًّ نَّقُصُ عَلَيْكَ مِنْ أَنْباَۤءِ الرُّسُلِ مَا تُثَبِّتُ بِهِ فُؤَا دَ كَۚ وَجَاۤءَكَ فِى هٰذِهِ الْحَقُّ
وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَىٰ لِلْمُؤْمِنِيْنَ
                                                “Dan semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu; dan dalam surat Ini Telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.”[7]
                                                Pada dasarnya dalam memahami al-Qur’an tidaklah sempurna kecuali dengan mengkaji kembali syari’at-syari’at umat terdahulu, dan melalui kajian yang lengkap mengenai as-Sunnah yang menjelaskan dengan ucapan dan amal perbuatan Nabi Muhammad saw. Memahami Sunnah nabi tidaklah cukup hanya mengkaji hadis-hadis yang sampai kepada Rasulullah saw saja, sebab amalan para sahabat adalah perpanjangan tangan yang tidak terputus dari masa penurunan wahyu, bahkan kemajuan ke arah yang sama dengan sunnah yang perlu dipelajari, agar sunnah dapat dipelajari dengan baik. Dengan demikian, kita tidak bisa memahami masa lalu kecuali dalam konteks masa yang datang setelahnya.
                                    Dalam perjalanan sejarah ada kaum konservatif yang memandang masa lalu sebagai warisan yang didalamnya terkandung solusi yang cukup memadai bagi seluruh tantangan baru. Menurut mereka tidak ada jalan lagi untuk mengadakan pembaruan dalam urusan agama, kemajuan agama telah terhenti pada usaha ulama salaf, kebebasan ijtihad terhapus di dalam pandangan generasi selanjutnya. Dengan demikian kebebasan agama telah dibatasi dalam ruang dan waktu tertentu di masa lalu.[8]    
                          
b.      Pengembangan Ushul Fiqh
            Ilmu ushul fiqh telah menorehkan sejarahnya melalui perjalanan panjang yang cukup mengesankan dalam penentuan arah dan dinamika perubahan masyarakat. ilmu ini juga telah memberikan corak yang jelas bagi peradaban Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Telah banyak pemikiran besar yang mencoba menggali sejumlah aturan dan kaidah fiqh dari berbagai teks wahyu. Para Juris Islam yang dikomandani oleh Imam al- Syafi’i telah berupaya mengukuhkan ilmu ushul fiqh baik secara partikular maupun universal sehingga ummat merasa yakin bahwa tidak ada satu celah pun yang tidak tersentuh oleh ilmu ini.[9]
            Namun demikian, bukan berarti tidak ada kalangan yang hendak menggugat dilakukannya pembaharuan terhadap bangunan ushul fiqh sebagai sebuah metodologi hukum. Hasan Turabi, Pemikir Islam dari Sudan, menyerukan dilakukannya reformasi ushul fiqh. Turabi pada dasarnya dapat mengakui kegemilangan ushul fiqh klasik yang telah dibangun secara susah payah oleh Ulama’ terdahulu. Akan tetapi seiring dengan mundurnya kehidupan beragama belakangan ini maka ummat Islam tidak mampu melahirkan fiqh baru yang cemerlang setelah fiqh menjadi sebuah disiplin ilmu. Dari kenyataan ini Turabi menengarai adanya kejumudan ushul fiqh sehingga perlu ada langkah-langkah pembaharuan.
            Turabi mengemukakan contoh yang dikembangkan Imam Ibnu Hazm tentang konsep istishab. Walaupun Ibnu  Hazm termasuk salah seorang penganut madzhab dzahiriyyah, namun ia mampu membuka pintu perkembangan fiqh. Ibnu Hazm mempunyai perhatian cukup luas dalam masalah politik, hukum, dan persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan. Kasus-kasus seperti inilah yang sesungguhnya banyak dihadapi ummat Islam sekarang ketimbang kasus-kasus lain yang bersifat khusus. Aspek kehidupan ummat memerlukan ijtihad yang amat luas dan memerlukan kesungguhan intelektual di dalam upaya memberikan penekanan yang kuat pada aspek- aspek tersebut dan pada sejumlah kaidah ushul fiqh yang relevan.[10]
            Dalam beragam persoalan yang bersifat umum kita mesti merujuk pada teks-teks wahyu yang ada melalui sejumlah kaidah penafsiran yang mendasar. Namun demikian, pendekatan seperti ini saja, masih menurut Turabi, belumlah cukup lantaran sedikitnya jumlah teks wahyu. Karena itu, kita perlu mengembangkan metode ijtihad yang akan memperluas pandangan yang dibangun di atas fondasi teks-teks yang jumlahnya sangat terbatas tadi. Dalam konteks ini, Turabi menawarkan penggunaan qiyas untuk mengembangkan teks dan memperluas materinya. Menurutnya, qiyas merupakan dimensi paling luas dalam ijtihad. Penilaian seperti ini sesungguhnya pernah dilakukan oleh al-Syafi’i dua abad belas silam. Dalam persoalan ijtihad al-Syafi’I mempunyai cakupan sangat luas dengan qiyas. Artinya, menurut beliau qiyas itu identik dengan seluruh aktivitas ijtihad dalam rangka melahirkan hukum-hukum.
            Qiyas yang dikembangkan selama ini menurut Turabi sangat sempit cakupannya. Kondisi seperti ini perlu.mendapatkan perhatian sehingga kita bisa mempolanya serta menjadikannya sebagai sebagian dari sarana kebangkitan fiqh. Pengertian qiyas sesungguhnya amat luas mencakup makna signifikansi spontan dengan persoalan sebelumnya. Selain itu, ia juga mencakup makna teknis yang dibuat oleh para Juris untuk menyandarkan hukum asal pada hukum turunannya. Hal ini dilakukan dengan mengompromikan illat hukum yang baku kepada hal lain yang mereka syaratkan di dalam pokok dan cabangnya serta objek hukumnya. Ini adalah bagian dari qiyas yang mencakup kasus-kasus baru yang dinisbatkan pada kasus- kasus lama yang jelas dan telah ditetapkan hukumnya melalui teks wahyu.[11]
            Dengan pendekataan seperti ini maka para Juris Islam atau Fuqaha’ dapat menentukan hukum pada beberapa kasus yang benar-benar baru. Seperti inilah gambaran qiyas terbatas yang barangkali penafsirannya perlu disempurnakan sehingga dapat menjangkau aneka perkembangan yang terus terjadi. Bidang yang luas dalam agama hampir tidak ditemukan pola penyelesaiannya kecuali melalui qiyas alami yang bebas dari sejumlah persyaratan yang mengikat yang sesungguhnya hal tersebut dibuat oleh para Filsuf Yunani dan kemudian dinukil oleh para Juris Islam.
            Seruan Turabi untuk dilakukannya pembaharuan ilmu ushul fiqh begitu intens-nya disuarakan. Bahkan untuk keperluan ini beliau menyusun sebuah buku monografi bertajuk tajdidu ’ilmi ushul al-fiqh (Pembaharuan Ilmu Ushul Fiqh). Namun jika dicermati lebih dalam, seruan tersebut sesungguhnya kurang menyentuh esensi persoalan. Sebab pembaharuan atau reformasi menuntut adanya tawaran kaidah-kaidah baru sebagai wujud perbaikan dari kaidah-kaidah yang sudah melembaga selama ini. Hal ini belum nampak tersuguhkan secara elaboratif dalam seruannya tersebut. Apa yang dilakukan Turabi sebenarnya seruan moral untuk mengoptimalkan penggunaan ushul fiqh untuk mereformasi bangunan fiqh yang sesuai dengan perkembangan. Atau dengan ungkapan lain, apa yang dilakukan Turabi adalah bagaimana pengembangan ilmu ushul fiqh bisa dilakukan baik dari segi teknis maupun materinya. Dengan pola pengembagan seperti ini maka bangunan ushul fiqh yang sudah melembaga sesungguhnya masih bisa kita pertahankan dengan mengaplikasikannya sesuai persoalan-persoalan kontemporer yang dihadapi ummat belakangan ini. Pada kenyataannya, upaya pembaharuan apa pun yang dilakukan ujung-ujungnya juga tidak keluar dari lingkup bangunan ushul fiqh yang telah dirumuskan sebelumnya.[12]
            Dengan keprihatinan seperti ini maka apa yang menjadi seruan Turabi sesungguhnya sama dengan persepsi kebanyakan para Juris akhir-akhir ini menyangkut kurang diberdayakannya ilmu ushul fiqh untuk menorehkan ketentuan-ketentuan hukum baru sesuai tingkat perkembangan masyarakat. Keprihatinan seperti ini juga dilatari cara pandang sebagian besar masyarakat terhadap disiplin ilmu ushul fiqh. Mereka mengapresiasi ilmu ushul fiqh sebatas sebagai warisan yang mesti dipelajari dalam bentuknya yang bersih dan murni. Selain itu, keterbatasan metode pengajaran dan kesulitan bahasa yang terdapat pada sebagian sumber-sumber primer ilmu ushul fiqh turut mengondisikan problem pemberdayaan ilmu ini di tengah kehidupan beragama. Karena itu, jika kita menginginkan ilmu ini berkembang pesat secara alami dalam kehidupan beragama maka kita mesti mengubah cara pandang kita terhadap disiplin ilmu ini selain juga harus mengembangkan metode kajian dan pengajaran sesuai konteks perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
            Kaidah-kaidah ushul fiqh yang ada sesungguhnya diadopsi dari nilai-nilai universal ajaran agama, sehingga ia tidak mudah ketinggalan zaman dalam menyikapi aneka persoalan yang terus berkembang. Faktor lain yang menyebabkan ilmu ushul fiqh mampu beradaptasi dengan perubahan adalah keterlibatan logika formal dalam perumusan kaidah-kaidah-nya. Begitu rasionalnya bangunan kaidah ushul fiqh sampai-sampai banyak kalangan yang berestimasi bahwa disiplin ilmu ini sebenarnya merupakan produk impor dari Filsafat Yunani Kuno.[13]
            Turabi termasuk pemikir yang mempunyai anggapan demikian. Menurutnya, persoalan ushul fiqh semisal qiyas, merupakan prinsip- prinsip yang berasal dari filsafat yunani dan logika ilmiah. Jika semua itu dapat berubah maka demikian pula dengan ushul fiqh. Apabila prinsip-prinsip logika Yunani mengalami perkembangan sebagaimana metodologi ilmu alam dan ilmu sosial maka ummat Islam mesti pula menggunakan prinsip-prinsip tersebut dalam ijtihad.
            Dengan pendekatan seperti ini maka upaya pembaharuan ushul fiqh dapat dilakukan. Pandangan seperti ini juga mempunyai kelemahan akademik karena seolah-olah Islam tidak mempunyai metodologi ilmiah sama sekali. Keterlibatan logika ilmiah seperti terperagakan dalam filsafat Yunani memang tidak dapat dipungkiri terjadi dalam rumusan kaidah-kaidah ilmu ushul fiqh. Namun untuk mengatakan ilmu ushul fiqh sepenuhnya produk impor dari filsafat yunani kuno juga kurang proporsional. Sebab, logika ilmiah yang diperagakan dalam ilmu ushul fiqh dilandaskan pada esensi ajaran wahyu secara universal selain juga mengapresiasi logika ketika hendak menghubungkan teks dengan indikasi hukumnya. Dari perpaduan inilah kemudian lahir rumus-rumus dan metodologi ilmiah dalam Islam yang kemudian membentuk epistemologi ushul fiqh.[14]

c.       Gerakan Fiqh dari Masa Kejumudan ke Pembaharuan
            Pada dasarnya di masyarakat kita sekarang, mereka sangatlah takut [akan kebebasan berijtihad. Banyak orang yang takut ketika berhadapan dengan pendapat baru yang sama sekali berbeda dengan para ulama salaf, seolah-olah yang diperbolehkan bagi seorang mujtahid hanyalah memilih dan menemukan pendapat lama yang relevan dengan kondisi tertentu atau mengemukakan alasan baru yang mengemukakan pendapat ulama salaf tersebut. Padahal ijtihad merupakan sebuah respon atas berbagai tantangan yang berubah-ubah dan kondisi sejarah yang bergerak. Di era sekarang ini, ketika kejumudan cukup lama dan ijtihad disia-siakan, maka seharusnya kita mendukung dengan sepenuh hati upaya pembaharuan sebagai upaya menutup kekurangan itu.
             Dengan demikian, upaya melakukan ijtihad dewasa ini menuntut keberanian berpendapat dan kekuatan kesabaran dalam menghadapi tekanan kaum konservatif, terutama dalam memandang, bahwa pembaharuan adalah luas sekali dan hampir membentuk sebuah revolusi fiqh yang mengusahakan perubahan kondisi dengan cepat.[15]

  
D.      Kesimpulan
            Dari pemaparan diatas, dapat diketahui bahwa pengembangan ushul fiqh menurut pemikiran Hasan Turabi dalam teori qiyas ausa’ yakni dalam beragam persoalan yang bersifat umum, kita mesti merujuk pada teks-teks wahyu yang ada melalui sejumlah kaidah penafsiran yang mendasar. Namun demikian, pendekatan seperti ini saja, masih belumlah cukup lantaran sedikitnya jumlah teks wahyu. Karena itu, kita perlu mengembangkan metode ijtihad yang akan memperluas pandangan yang dibangun di atas fondasi teks-teks yang jumlahnya sangat terbatas tadi. Dalam konteks ini, Turabi menawarkan penggunaan qiyas untuk mengembangkan teks dan memperluas materinya. Menurutnya, qiyas merupakan dimensi paling luas dalam ijtihad.

DAFTAR PUSTAKA
            Abdullah, Sulaeman, 1996,  Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam Kajian Qiyas Imam Syafi’I, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.

Al-Khatib‘., Abdul Karim , 2005, Ijtihad Menggerakan Potensi Dinamis Hukum Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama.

Departemen Agama RI, 2006, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Maghfirah Pustaka

            Hatta, Moh., 2015 “Pemikiran Hukum Islam Hasan Al-Turabi”, Darussalam Jurnal Pendidikan, Komunikasi, dan Pemikiran Hukum Islam, No.1 Vol 7,September 2015, Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya.

            Roy Muhammad., 2004, Ushul Fiqh Madzhab Aristoteles, Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Ushul Fiqh, Yogyakarta: Safiria Insania Press.

Yazid ,A., 2011,“Epistimologi Ushul Fiqh:Antara Pembaharuan dan Pemberdayaan Mekanisme Istinbath Al-Ahkam”, Jurnal Asy-Syir’ah, No.1 Vol.45, 2011, Surabaya: Fakultas IAIN Ibrahimy Situbondo Jawa Timur.


*)Makalah Prarevisi


[1] Muhammad Roy, Ushul Fiqh Madzhab Aristoteles, Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hlm. 36.
[2] ‘Abdul Karim Al-Khatib, Ijtihad Menggerakan Potensi Dinamis Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hlm.75
[3] Sulaeman Abdullah, Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam Kajian Qiyas Imam Syafi’I, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), hlm. 114.
[4] Moh.Hatta, “Pemikiran Hukum Islam Hasan Al-Turabi”, Darussalam Jurnal Pendidikan, Komunikasi, dan Pemikiran Hukum Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, No.1 Vol 7, (September 2015), hlm. 189, kolom 1.
[5] Ibid, hlm 191
[6] Ibid, hlm 192
[7]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2006), hlm.235
[8] Moh.Hatta, Pemikiran…, hlm.193
[9]A.Yazid,“Epistimologi Ushul Fiqh:Antara Pembaharuan dan Pemberdayaan Mekanisme Istinbath Al-Ahkam”, Jurnal Asy-Syir’ah,No.1 Vol.45, 2011, hlm 1028, kolom 14.
[10] Ibid, hlm 1029
[11]Ibid, hlm 1030
[12] Ibid, hlm 1031
[13] Ibid, hlm 1032
[14] Ibid, hlm 1032
[15] Moh.Hatta, Pemikiran…, hlm.198

Komentar