MODEL
PENELITIAN TASAWUF
IBNU ARABI:
WAHDAT AL-WUJUD DALAM PERDEBATAN
(KAUTSAR
AZHARI NOER)
MAKALAH
Disusun
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pendekatan
dalam Pengkajian Islam
Dosen
Pengampu: Prof. Iskandar Zulkarnain
Oleh:
Mohammad
Khotibul Umam
Bayu Wibawa
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Tasawuf
telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi kehidupan spiritual dan
intelektual Islam. Akan tetapi sejak timbulnya kecenderungan tasawuf yang
mengarah kepada panteisme, sebagaimana yang tampak dalam ajaran ittihad
Abu Yazid al-Bistami (w. 261/875) dan ajaran hulul Husayn ibn Manshur
al-Hallaj (w. 309/922), tasawuf tidak pernah luput dari kecurigaan dan kecaman karena
dianggap bertentangan dengan ajaran tauhid. Bahkan kecaman ini akhirnya mengundang
konflik antara ahli tasawuf dan ahli fiqih, atau antara ahli tarekat dan ahli
syari’at.
Sebagai
bentuk reaksi atas konflik tersebut, gerakan pembaharuan untuk mengintegrasikan
tasawuf dengan syariat telah diupayakan pada pertengahan kedua abad 3H./9M.[1] Berbagai
penyimpangan dan kecenderungan panteisme dapat dihilangkan untuk sementara.
Namun dalam perjalanannya, upaya itu mulai retak terutama ketika kecenderungan
kepada panteisme muncul kembali dengan bentuknya yang lebih jelas dalam ajaran wahdat
al-wujud Ibnu al-Arabi (w.638/1240). Maka Ibnu al-Arabi dan para
pengikutnya sering dikecam karena dianggap menganut ajaran yang menyamakan
Tuhan dengan alam,[2]
atau yang dalam istilah modern disebut panteisme atau monisme.
Kegelisahan
Kautsar Azhari Noer mengantarkan dirinya pada doktrin wahdat al-wujud
Ibnu al-Arabi. Menurutnya, doktrin wahdat al-wujud Ibnu al-Arabi telah
membangkitkan perdebatan panjang antara pengecam dan pembela doktrin ini. Persoalan
inti dalam wahdat al-wujud yang diperdebatkan adalah hubungan ontologis
antara Tuhan dan alam. Misalnya Ibnu Taymiyah – sebagai tokoh pengecam – menuduh
Ibnu al-Arabi zindik dan kafir karena menyamakan Tuhan dengan alam. Pandangan
Barat tradisional dan para sarjana Muslim juga mengatakan bahwa Ibnu al-Arabi
telah menghancurkan gagasan Islam tentang Tuhan sebagai suatu kekuatan yang hidup
dan aktif.[3]
Akan
tetapi, Seyyed Hossein Nasr beserta tokoh pembela yang lain[4] tidak
menyetujui pemakaian istilah panteisme untuk melabeli doktrin metafisis dan
Sufisme, termasuk doktrin wahdat al-wujud ibnu al-Arabi. Alasan bahwa doktrin
wahdat al-wujud bukan panteisme adalah; “Tuhan itu berbeda dan tidak
dapat dibandingkan dengan alam meski alam adalah penampakan Tuhan.”
Berangkat
dari perbedaan pendapat di atas, Kautsar Azhari Noer menilai bahwa doktrin wahdat
al-wujud Ibnu al-Arabi perlu dilakukan penelitian mengingat pengaruhnya
yang luar biasa dalam sejarah pemikiran Sufi hampir di seluruh pelosok negeri
Islam, termasuk di Indonesia. Boleh jadi penyamaan Tuhan dengan alam –
sebagaimana dalam doktrin wahdat al-wujud – adalah bentuk penghujatan
terhadap Tuhan dan bertentangan dengan ajaran tauhid. Namun demikian, ungkap
Kautsar Azhari Noer, penilaian apakah suatu doktrin bertentangan atau tidak
dengan tauhid itu masih memerlukan pandangan yang jernih, tanpa melibatkan prasangka
buruk, rasa kebencian dan permusuhan.
B.
Rumusan
Masalah
Sebagaimana
uraian latar belakang di atas, para tokoh pengecam doktrin wahdat al-wujud
menganggap doktrin ini sebagai panteisme, kufur dan bid’ah. Sbaliknya, para tokoh
pembelanya berpendirian bahwa doktrin wahdat al-wujud justru merupakan
bentuk tauhid yang paling tinggi. Lalu, bagaimana pandangan Kautsar Azhari Noer
terhadap panteisme wahdat al-Wujud Ibnu al-Arabi?
C.
Telaah
Pustaka
Untuk
mengetahui sejauh mana objek kajian dan penelitian terhadap pemikiran Ibnu
al-Arabi tentang wahdat al-Wujud, maka dengan rasa antusiasme yang tinggi,
Kautsar Azhari Noer melakukan pra-penelitian terhadap sejumlah literatur yang
dianggapnya paling representatif. Adapun literatur yang dimaksud antara lain
adalah karya H. S Nyberg yang berjudul “Kleinere Schriften des Ibn ‘Arabi”.
Menurut Kautsar Azhari Noer, karya H. S Nyberg ini merupakan karya perintis
untuk kajian ilmiah tentang Ibnu al-Arabi. Karya perintis lainnya yang hampir
sama dengan Nyberg adalah karya M. Asin Palacios “El-Islam Cristian Izado”.
Namun demikian, ungkap Kautsar Azhari Noer, kedua sarjana itu tidak merujuk
kepada karya monumental Ibnu al-Arabi seperti Fusus al-Hikam.[5]
Selain
dua karya tersebut di atas, Kautsar Azhari Noer juga mengkaji hasil penelitian
para tokoh yang mengecam doktrin wahdat al-Wujud Ibnu al-Arabi sebagai
panteisme dan tokoh yang membela doktrin itu. Misalnya karya S.A.Q Husaini yang
berjudul “The Pantheistic Monism of Ibn al-Arabi”. Husaini menyimpulkan filsafat
Ibnu al-Arabi sebagai panteisme. Sedangkan karya yang membela doktrin wahdat
al-Wujud Ibnu al-Arabi adalah karya Henry Corbin “L’Imagination
Creatrice Dans Le Soufisme d’Ibn ‘Arabi”. Menurut Kautsar Azhari Noer, karya
terakhir ini merupakan studi yang mendalam meski Corbin sendiri terlalu jauh
melibatkan dirinya dalam pemikiran mistik Ibnu al-Arabi, sehingga Corbin berdiri
bukan lagi sebagai peneliti yang netral.
D.
Metodologi
Penelitian
Hampir
dapat dipastikan, bahwa produk penelitian Kautsar Azhari Noer ini adalah hasil
dari penelitian kualitatif jenis kepustakaan (Library Research),[6] karena dalam
proses penelitiannya, ia memanfaatkan berbagai sumber pustaka yang relevan. Adapun
sumber yang dianggapnya paling ensiklopedik adalah al-Futuhat al-Makkiyah dan
Fusus al-Hikam. Dua sumber inilah yang menurut Kautsar Azhari Noer paling
banyak memuat pemikiran Ibnu al-Arabi tentang wahdat al-Wujud. Gagasan
Ibnu al-Arabi tentang wahdat al-Wujud sebagaimana yang tertuang dalam
data primer dikonfrontasikan dan dikomparasikan dengan konsep Barat yang
dianggap mirip dengan wahdat al-wujud, sehingga diperoleh
kesinambungan dalam perbandingan. Untuk maksud ini, Kautsar Azhari Noer menggunakan
pendekatan filosofis-teologis, yaitu mendekati pandangan Ibnu al-Arabi tentang wahdat
al-wujud dengan menekankan pada alasan rasional yang dapat dijangkau akal
namun tidak mengabaikan teori agama.
BAB II
PEMBAHASAN
Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn al-Arabi al-Ta’i al-Haitami (selanjutnya
disebut Ibnu al-Arabi) adalah seorang sufi termasyhur di Andalusia. Ia
dilahirkan pada 17 Ramadhan 560H atau 28 Juli 1165M di Mursia, Spanyol bagian
Tenggara. Namun sejak Dinasti al-Muwahhidin menaklukan Mursia pada 567H/1172M,
Ibnu al-Arabi beserta keluarganya pindah ke Seville, suatu daerah di mana Ibnu
al-Arabi memulai dan mendalami jalan tarekat.[7]
Kemudian peristiwa lain yang juga membuat Ibnu al-Arabi berpindah dan bahkan harus
rela meninggalkan negeri kelahirannya, Spanyol, adalah ketika terjadi situasi religio-politis
yang tidak harmonis.[8] Keselamatan
Ibnu al-Arabi terancam karena ia termasuk salah satu pengikut jalan tarekat.
Selanjutnya pada 598H/1201M, Ibnu al-Arabi berpindah ke Makkah. Kemasyhurannya
tersebar dengan cepat, ia juga disambut oleh warga yang paling berpengaruh seperti
Abu Syaja Zahir. Kota Makkah, bagi Ibnu al-Arabi, bukan sekedar tempat untuk melaksanakan
ibadah haji, tetapi juga sebagai tempat meningkatkan kualitas kehidupan
mistiknya. Ibnu al-Arabi banyak memanfaatkan waktunya di Makkah untuk belajar
dan menulis[9]
sebelum pada akhirnya ia memutuskan untuk memilih Damaskus sebagai tempat
menetap hingga akhir hayatnya.
A.
Wahdat
al-Wujud Ibnu al-Arabi
Istilah
wahdat al-wujud sebetulnya tidak pernah ditemukan dalam karya-karya Ibnu
al-Arabi. Kendati demikian, doktrin wahdat al-Wujud dialamatkan kepada
Ibnu al-Arabi karena ajaran-ajarannya yang dianggap mengandung ide-ide wahdat
al-wujud.[10]
Ajaran Ibnu al-Arabi yang dianggap mengandung ide wahdat al-wujud itu
misalnya:
“Tidak ada
keserupaan dalam wujud dan tidak ada pertentangan dalam wujud, karena
sesungguhnya wujud adalah satu realitas dan sesuatu tidak bertentangan dengan
dirinya sendiri”[11]
Pernyataan
tersebut memberikan makna signifikan, bahwa Ibnu al-Arabi sebetulnya tidak
hanya menekankan keesaan wujud, tetapi juga menekankan keanekaan realitas. Ia
mengajarkan konsep tanzih (ketakdapat-dibandingkan) dan tasybih
(kemiripan); konsep al-Bathin (Yang Tak Tampak) dan konsep al-Dzahir
(Yang Tampak) sebagaimana yang akan diuraikan pada bagian berikut.
1.
Wujud dan
‘Adam
Kata
wujud terutama dan lebih khusus digunakan oleh Ibnu al-Arabi untuk menyebut wujud Tuhan. Sebagaimana ungkapannya; “satu-satunya wujud adalah wujud
Tuhan; tidak ada wujud selain wujud-Nya.” Ini berarti, apa pun selain Tuhan tidak mempunyai wujud. Secara
logis dapat diambil kesimpulan bahwa kata wujud tidak dapat diberikan kepada
segala sesuatu selain Tuhan, alam dan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Namun
demikian, ibnu al-arabi juga memakai
kata wujud untuk menunjukkan segala sesuatu selain Tuhan. Tetapi ia menggunakan
dalam pengertian metaforis (majaz) untuk tetap mempertahankan bahwa
wujud hanya milik Tuhan, sedangkan wujud yang ada pada alam, hakikatnya adalah
wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya. Sebagaimana
cahaya hanya milik matahari,
tetapi cahaya
itu dipinjamkan kepada para penghuni
bumi. Hubungan antara Tuhan dan Alam sering digambarkannya dengan hubungan
antara cahaya dan kegelapan. Karena wujud hanya milik Tuhan, maka ‘adam (ketiadaan) adalah “milik” alam. Karena itu
ibnu al arabi mengatakan bahwa wujud adalah cahaya dan ‘adam adalah
kegelapan.[12]
2.
Al-Haqq dan
Al-Khalq
Ibnu al-Arabi memandang
realitas adalah satu, tetapi mempunyai dua sifat yang berbeda; yaitu sifat
ketuhanan dan sifat kemakhlukan. Sifat ketuhanan (lahut) hanya hadir
pada manusia, tidak pada makhluk-makhluk lain, sedangkan sifat kemanusiaan (nasut)
hadir pada Tuhan. Hubungan ontologis antara al-Haqq (Allah, Sang Pencipta,
Yang Esa, wajib al-wujud) dan al-Khalq (alam, mahkluk, yang
banyak, dan al-mawjudat), Ibnu al-Arabi memberikan perumpamaan
timbal-balik dengan dua aspek; (1) Perumpamaan bahwa al-Khalq adalah
cermin bagi al-Haqq menekankan aspek ontologis; dan (2) Perumpamaan bahwa
al-Haqq adalah cermin bagi al-Khalq menekankan aspek epistemologis. Kedua aspek ini, dalam sistem
ibn al-‘Arabi tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena keduanya adalah
subyek dan obyek secara serentak. Keduanya
adalah satu dan mempunyai peran yang sama secara timbal balik. Hanya saja al-Haqq
mempunyai wujud dan peran yang mutlak, sedangkan al-Khalq mempunyai
wujud dan peran yang relatif.[13]
3.
Tajalli
al-Haqq
Titik sumbu pemikiran Ibnu
al-Arabi yang berkaitan erat dengan doktrin wahdat al-wujud adalah
konsep tajalli (penampakan) al-Haqq. Menurutnya, Al-Haqq
melakukan dua kali proses tajalli. Tajalli pertama adalah
penampakan diri al-Haqq kepada diri-Nya sendiri dalam bentuk
“entitas-entitas permanen”, yaitu realitas-realitas yang hanya ada dalam ilmu
Tuhan, tetapi tidak ada dalam alam nyata. Entitas
permanen ini
tidak lain adalah
bentuk-bentuk penampakan Nama-nama
Tuhan pada taraf kemungkinan ontologis. Entitas permanen ini,
yang selamanya tidak
berubah dan tidak dapat diubah memberikan “kesiapan azali” kepada lokus (mahall)
untuk tajalli kedua. Tajalli kedua adalah penampakan
entitas-entitas permanen dari alam ghaib ke alam nyata, dari keesaan ke
keanekaan, dari batin ke zahir. Di sini al-Haqq menampakkan diri-Nya dalam
bentuk-bentuk yang tidak terbatas dalam alam nyata.[14]
4.
Al-Dzahir dan
Al-Bathin
Dikatakan bahwa Tuhan maupun
alam, kedua-duanya tidak dapat dipahami kecuali sebagai satu kesatuan antara
kontradiksi-kontradiksi ontologis. Salah satu bentuk utama kontradiksi dalam
struktur ontologis Ibnu al-Arabi adalah hubungan antara al-Dzahir (Yang
Tampak) dan al-Bathin (Yang Tidak Tampak). Hubungan ini memiliki
keunikan yang ditandai dengan dua ciri: yaitu afirmatif dan negatif. Ciri
afirmatif dalam hubungan keduanya terwujud sejauh penyatuan keduanya. Pada
aspek ini, al-Dzahir dan al-Bathin adalah satu karena keduanya
adalah sama-sama entitas al-Haqq Yang Esa, sehingga keduanya selalu
bersama dan tidak terpisah. Berlawanan dengan ciri pertama, ciri negatif ada selama
al-Dzahir, ketika menegaskan “keakuan” dirinya, juga menegasikan
“keakuan” al-Bathin, begitu sebaliknya ketika al-Bathin menegaskan
“keakuan” dirinya, menegasikan “keakuan” al-Dzahir. Jadi masing-masing
sama menegasikan “keakuan” diri lawannya. Jika ciri pertama menunjukkan
kesamaan antara Yang Tampak dan Yang Tidak Tampak, maka ciri yang kedua
menunjukkan perbedaan keduanya.[15]
5.
Yang Satu
dan Yang Banyak
Mengutip W.C. Chittick, Kautsar
Azhari Noer mengatakan bahwa kesatuan wujud (wahdat al-wujud) bukanlah
deskripsi yang memadai untuk memahami ontologi Ibnu al-Arabi, karena dalam
banyak karyanya, Ibnu al-Arabi juga menegaskan keanekaan realitas bahwa wujud
sepenuhnya dipahami sebagai Yang Satu dan Yang Banyak sekaligus. Ibnu al-Arabi membandingkan
struktur ontologis bahwa Yang Satu menampakkan diri-Nya dalam banyak bentuk
yang tidak terbatas pada alam, pada satu pihak, dengan strukur matematis bahwa Yang
Satu “melahirkan” bilangan-bilangan yang jumlahnya tidak terbatas, pada pihak
lain. Menurut Ibnu al-Arabi, Yang Satu dalam struktur matematis adalah sumber pokok semua bilangan,
dan bilangan-bilangan itu tidak lain daripada berbagai bentuk manifestasi diri
dari Yang Satu.[16]
6.
Tanzih dan Tasybih
Tanzih dan
tasybih adalah dua istilah yang sangat penting dalam perdebatan tentang
hubungan ontologis antara Tuhan dan alam sejak periode awal perkembangan ilmu
kalam. Ibnu al-Arabi tidak puas dengan aliran teologi manapun, baik yang
mendukung tanzih maupun yang mendukung tasybih. Menurut Ibnu
al-Arabi, tanzih (membersihkan) dan tasybih (menyerupakan) harus
dipadukan sebab keduanya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam
terminologi Ibnu al-Arabi, tanzih menunjukkan aspek “kemutlakan” (itlaq)
pada Tuhan, sedangkan tasybih menunjukkan aspek “keterbatasan” (taqayyud)
pada-Nya. Dilihat dari segi zat-Nya, Tuhan adalah munazzah, bersih dari
dan tidak dapat diserupakan dengan alam dan ketidaksempurnaanya, dalam
pengertian ini Tuhan tidak dapat diketahui dan tidak dapat dilukiskan. Namun
jika dilihat dari segi Nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya dan penampakan diri-Nya
dalam bentuk alam, maka Tuhan adalah Musyabbah, serupa dengan makhluk-makhluk-Nya
pada tingkat tertentu.[17]
7.
Zat dan
Nama-nama Tuhan
Dalam konteks ini, Ibnu
al-Arabi memberikan pernyataan yang saling bertentangan dan sulit dipahami. Di
satu sisi ia mengatakan bahwa tidak ada suatu nama pun yang dapat disematkan
kepada zat Tuhan, karena zat Tuhan tidak dapat diketahui secara mutlak, zat
Tuhan tidak berhubungan dengan nama-nama dan alam. Di sisi lain, ia mengatakan bahwa
zat Tuhan hanya memiliki sifat-sifat yang berlawanan dengan sifat-sifat yang
dimiliki oleh alam. Menurut Azhari Noer, ungkapan Ibnu al-Arabi tersebut menunjukkan
bahwa ia menekankan sisi tanzih Tuhan secara absolut. Nama-nama yang
tidak ada hubungannya dengan zat Tuhan adalah nama-nama yang menyatakan tasybih.
Sebaliknya, nama-nama yg menyatakan tanzih menafikan semua nama dan
sifat makhluk dari zat Tuhan. Dengan kata lain, zat Tuhan memiliki nama-nama tanzih
tetapi tidak memiliki nama-nama tasybih.[18]
8.
Al-A’yan
al-Tsabitah
Konsep al-a’yan al-tsabitah
(entitas-entitas permanen) memiliki kedudukan yang sangat penting dalam teori
ontologi Ibnu al-Arabi. Dalam struktur ontologinya, Ibnu al-Arabi berpendapat
bahwa “entitas-entitas permanen” menempati posisi tengah antara Tuhan dan alam,
antara al-haqq dalam keabsolutan-Nya dan alam nyata. Ciri-ciri “entitas-entitas
permanen” sebagai konsekuensi posisi tengah antara al-haqq dan al-khalq
adalah bahwa ia “ada” (mawjudah) dan “tiada” (ma’dumah) pada
waktu yang sama. Sepintas lalu, ciri ini kelihatan kontradiktif. Namun dalam
ontologi Ibnu al-Arabi “entitas-entitas permanen” ini sebetulnya mempunyai
wujud tetapi wujudnya itu adalah wujud yang hanya ada dalam ilmu Tuhan dan
hanya ada dalam pikiran, bukan wujud inderawi. Jadi, ia mempunyai sifat wujud
karena ia mempunyai wujud (wujud) dalam pikiran, dan mempunyai sifat
ketiadaan (‘adam) karena ia tidak mempunyai wujud dalam alam empiris
yang dapat diindera.[19]
9.
Al-Insan
al-Kamil
Al-insan
al-kamil
(Manusia Sempurna) dalam doktrin Ibnu al-Arabi mengandung paradok kesempurnaan. Manusia sempurna adalah manusia yang “merendah” dalam arti tunduk,
patuh dan pasrah kepada Tuhan;
ia mengaktualisasikan ubudiyyah-nya. Manusia sempurna juga
dapat berarti
manusia yang “meninggi” dalam arti derajatnya tinggi dan mulia karena ia
memantulkan semua nama dan sifat Tuhan secara sempurna dan seimbang, ia
mengaktualisasikan khilafah-nya. Semakin “merendah” manusia itu dihadapan tuhan, maka semakin tinggi derajatnya.
Semakin tunduk ia kepada tuhan, maka semakin banyak ia menyerap nama-nama Tuhan. Semakin banyak ubudiyyah-nya, semakin sempurna khilafahnya,
dan semakin meningkat ia kepada
derajat
manusia sempurna.[20]
B.
Panteisme
Untuk
memulai studinya tentang definisi panteisme, Kautsar Azhari Noer mengerahkan
perhatiannya pada definisi yang dikemukakan oleh Flint.
“Panteisme
adalah teori yang memandang segala sesuatu yang terbatas sebagai aspek,
modifikasi, atau bagian belaka dari satu wujud yang kekal dan ada dengan
sendirinya; yang menandang semua benda material dan semua pikiran partikular
sebagai yang mesti berasal dari suatu subtansi tak terhingga yang tunggal.
Subtansi absolut yang esa itu – wujud maha meliputi yang esa – disebutnya Tuhan.
Jadi, Tuhan, menurutnya adalah semua yang ada dan tidak sesuatupun yang tidak
tercakup secara essensial dalam, atau yang tidak mesti berkembang keluar dari,
Tuhan.”[21]
Panteisme
dalam penjelasan Flint kelihatannya sangat berlebihan dalam menekankan imanensi
Tuhan, sehingga bisa timbul kesan bahwa transendensi Tuhan tidak tampak atau
hilang sama sekali. Definisi Flint tersebut diduga, bahkan hampir dapat
dipastikan telah ditiru oleh Henry C. Thiessen.
Panteisme
adalah teori yang berpendapat bahwa segala sesuatu yang terbahas dalam aspek,
modifikasi, atau bagian belakang dari satu wujud yang kekal dan ada dengan
sendirinya. Ia memandang Tuhan sebagai satu dengan alam natural. Tuhan adalah
semuanya; semuanya adalah Tuhan. Ia muncul dalam berbagai bentuk masa kini yang
diantaranya mempunyai unsur-unsur ateistik, politeistik, teistik.[22]
Panteisme
dalam definisi Thiessen mengidentikkan Tuhan dengan alam dan dengan demikian
tampaknya menyatakan imanensi Tuhan secara total dan menolak, atau mengabaikan
transendensi-Nya.
Di samping
dua definisi di atas, baik dari Flint maupun Thiessen, Kautsar Azhari Noer juga
meninjau definisi panteisme yang dikemukakan oleh beberapa penulis seperti C.E
Plumptre, Allanson Picton, W.S Urquhart, E.R Naughton, Peter A. Angeles, Paul
J. Glenn, dan Louis Leahy, tetapi panteisme yang mereka maksud – sejauh yang
dipahami Kautsar Azhari Noer – adalah panteisme dalam definisi yang tidak
mengakui transendensi Tuhan dan personalitas-Nya.
Namun
demikian, Kautsar Azhari Noer nampaknya sepakat dengan definisi W.C Stace yang
mengatakan bahwa panteisme adalah filsafat yang menyatakan bersama-sama
sekaligus dua proporsi; (1) Alam identik dengan Tuhan; (2) Alam berbeda dengan,
yaitu untuk mengatakan, tidak identik dengan, Tuhan.[23] Definisi
ini, menurut Kautsar Azhari Noer, dapat berarti bahwa panteisme dalam pengertian
Stace memandang bahwa Tuhan adalah identik dan berbeda dengan alam, yang
berarti Tuhan itu imanen dan transenden sekaligus. Inilah definisi yang yang
dianggap tepat oleh Kautsar Azhari Noer jika memang istilah panteisme harus
disematkan ke dalam konsep wahdat al-wujud.
C.
Polemik
Pemakaian Istilah Panteisme untuk Wahdat al-Wujud
Istilah
panteisme yang disematkan untuk wahdat al-wujud mengundang perdebatan
yang tak kunjung reda. Di samping banyak sarjana yang memberikan label panteisme
untuk wahdat al-wujud, banyak pula sarjana yang menolaknya. Maka pada
bagian ini, pembahasan akan dikerahkan kepada dua pendapat itu, baik pendapat
yang mendukung pemberian label pantesime maupun pendapat yang menolaknya.
1.
Pendapat-pendapat
yang Mendukung Pemakaian Istilah Panteisme
Panteisme, sebagaimana wahdat
al-wujud Ibnu al-Arabi, dalam pandangan Barat tradisional dianggap tidak
mengakui “Tuhan sebagai suatu kekuatan yang hidup dan aktif”, yang tidak lain
adalah Tuhan yang personal. Ini berarti bahwa panteisme tidak mengenal hubungan
personal antara hamba dan Sang Pencipta. Padahal, hubungan personal ini adalah
suatu kemestian religius dalam Islam yang menuntut kepatuhan sang hamba kepada
Tuhannya. Sistem Ibnu al-Arabi yang dikenal dengan istilah wahdat al-wujud
diberi label panteisme oleh para sarjana Barat tradisional karena sistem itu,
sebagaimana panteisme menurut pandangan mereka, menolak personalitas dan
transendensi Tuhan. Tetapi, menurut Annemarie Schimmel, pandangan Barat
tradisional itu masih harus dikoreksi kembali. Ia berpedanpat bahwa selama wahdat
al-wujud masih mempertahankan transendensi Tuhan, maka selama itu pula wahdat
al-wujud tidak dapat diberi label panteisme.[24]
Edward J. Jurji dan Gerhard
Endress juga memberikan label panteisme kepada wahdat al-wujud Ibnu
al-Arabi. Endres, seperti Jurji, dalam memandang pemikiran Ibnu al-Arabi
tampaknya menekankankan satu sisi saja dari wahdat al-wujud Ibnu
al-Arabi, yaitu “keleburan”, atau “keidentikan” Tuhan dengan alam, dan
mengabaikan sisi lain, yaitu “perbedaan” antara kedua-duanya. Dengan kata lain,
Endres melihat hanya sisi imanensi (tasybih), dan tidak melihat sisi
transendensi (tanzih).[25]
Nampaknya Hamka juga demikian, hanya melihat dari satu sisi dari sistem Ibnu
al-Arabi, yaitu sisi tasybih. Di samping itu, senada dengan Jurji,
Endres, Husaini dan Hamka, Yunasril Ali juga memandang bahwa al-wujud Ibnu
al-Arabi adalah panteisme karena menekankan secara total imanensi Tuhan dan
mengingkari transendensi-Nya.[26] Semua
pandangan tersebut, menurut Kautsar Azhari Noer, bertentangan dengan sistem Ibnu
al-Arabi yang menekankan kedua aspek itu: imanensi dan transendensi Tuhan
sekaligus.
2.
Pendapat-pendapat
yang Mengkritik Pemakaian Istilah Panteisme
Selanjutnya pembicaraan akan
diarahkan kepada pendapat yang menolak pemakaian istilah panteisme untuk menjuluki
doktirn wahdat al-wujud Ibnu al-Arabi. Diantara pendapat-pendapat itu,
yang perlu dikemukakan adalah pendapat Henry Corbin. Sebagaimana yang telah dipahami
Corbin, Ibnu al-Arabi sebetulnya masih tetap mempertahankan perbedaan dan
ketidaksetaraan antara Tuhan dan alam, antara Pencipta dan ciptaan, antara al-Haqq
dan al-Khalq. Di duga keras bahwa dalam pandangan Corbin, panteisme
menolak perbedaan dan ketidaksetaraan ini. Padahal Wahdat al-wujud tetap
mempertahankan transendensi Tuhan, sedangkan panteisme melenyapkannya. Inilah
alasan kenapa Corbin mengecam pengkategorian sistem Ibnu al-Arabi ke dalam
panteisme.[27]
Tuduhan bahwa wahdat al-wujud Ibnu al-Arabi adalah
panteisme juga disanggah oleh Seyyed Hossein Nasr. Ada dua alasan yang menjadi titik
sentral Nasr untuk menyanggah tuduhan panteistik yang diarahkan kepada para
sufi. Pertama, panteisme adalah sistem filosofi, seadangkan Ibnu al-Arabi dan
para sufi lain yang sealiran dengannya tidak pernah mengikuti dan/atau
menciptakan sistem apapun. Kedua, panteisme mengajarkan untuk kontinuitas
subtansial antara Tuhan dan alam, sedangkan Ibnu al-Arabi mengakui transendensi
absolut Tuhan di atas setiap kategori, termasuk kategori subtansial.[28]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Penelitian
dan pembahasan tentang doktrin wahdat al-Wujud merupakan usaha untuk mendalami
khazanah intelektual dan pemikiran Syeikh Muhyi al-Din Ibnu al-Arabi. Dalam konteks
ini, Kautsar Azhari Noer tidak bermaksud mengadakan pembelaan wacana atas mainstream
pemikiran yang menyeret wahdat al-Wujud Ibnu al-Arabi menjadi samar
di atas meja perdebatan. Akan tetapi lebih kepada upaya untuk memoderatori, sekaligus
menanggapi hipotesa sebagian tokoh yang mengecam Ibnu al-Arabi sebagai
panteisme, maupun tokoh yang membela Ibnu al-Arabi sebagai bukan panteisme.
Kautsar
Azhari Noer melihat bahwa doktrin wahdat al-wujud tidak dapat dipandang
sebagai suatu yang menyimpang dari ajaran tauhid. Anggapan bahwa wahdat
al-wujud Ibnu al-Arabi adalah panteisme sangat tergantung kepada definisi
yang dimaksud. Jika yang dimaksud adalah definisi yang menyatakan bahwa
panteisme menekankan secara total imanensi Tuhan dan menolak transendensi-Nya,
maka wahdat al-wujud bukanlah panteisme, karena definisi panteisme ini
tidak sejalan dengan doktrin wahdat al-wujud, yang menekankan tidak
hanya imanensi Tuhan, tetapi juga transendensi-Nya. Tetapi jika yang dimaksud
adalah definisi yang menyatakan bahwa panteisme menekankan imanensi dan
transendensi Tuhan sekaligus, maka wahdat al-wujud dapat dikategorikan
sebagai panteisme, karena definisi panteisme ini sejalan dengan doktrin wahdat
al-wujud yang juga menekankan dua sisi; yaitu imanensi dan transendensi
Tuhan.
Untuk
maksud di atas, lanjut Kautsar Azhari
Noer, kalau pun panteisme harus disematkan kepada wahdat al-wujud,
maka definisi panteisme yang tepat untuk mendeskripsikan wahdat al-wujud
adalah definisi yang diajukan oleh W.T. Stace. Karena panteisme dalam definisi
Stace memandang bahwa Tuhan identik dan berbeda dengan alam, yang berarti Tuhan
adalah imanen dan transenden sekaligus. Dengan demikian, maka tuduhan bahwa
Ibnu al-Arabi menyamakan Tuhan dengan alam sehingga tidak ada lagi perbedaan
antara keduanya, dan karena itu Ibnu al-Arabi dianggap telah mengajarkan
doktrin sesat, maka hal ini tidak dapat dibenarkan. Karena tuduhan itu muncul
dari kesalahpahaman orang-orang yang melihat hanya dari sisi tasybih dan
imanensi Tuhan dalam doktrin wahdat al-wujud serta mengabaikan sisi tanzih
dan transendensi-Nya. Padahal Ibnu al-Arabi sangat menekankan kedua sisi dan
memadukan antara keduanya.
B.
Sumbangan
dalam Ilmu Keislaman
Secara teoritis, buku
Kautsar Azhari Noer tentang wahdat al-wujud Ibnu al-Arabi ini telah
memberikan kontribusi positifnya dalam rangka memperkaya perspektif bagi para
peminat studi ketauhidan. Salah satu yang menjadi makna pentingnya adalah;
bahwa Kautsar Azhari Noer mencoba memberikan warna baru tentang konsep wahdat
al-wujud Ibnu al-Arabi. Gagasan-gagasan dasar Ibnu al-Arabi beserta aspek-aspeknya yang mengandung kontroversi disajikan secara
jernih dalam buku ini. Adapun secara praktis, buku Kautsar Azhari Noer dapat
dijadikan sebagai acuan bagi pengembangan pendidikan Islam, terutama yang
menyangkut dengan masalah pembelajaran, seperti pentingnya pendekatan tasawuf
dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
C.
Daftar
Pustaka
Bizawi, Zainul Milal, Perlawanan
Kultural Agama Rakyat, Yogyakarta: Samha, 2002.
Noer, Kautsar Azhari, Ibn
al-Arabi; Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, Jakarta: Paramadina, 1995.
Suwadi, dkk., Panduan
Penulisan Skripsi, Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Agama
Islam, FITK UIN Sunan Kalijaga, 2012.
*) Makalah Prarevisi
[1] Tokoh-tokoh yang tergabung dalam gerakan pembaharuan antara lain ialah
Abu Said al-Kharraz (w. 286/899), Abu al-Qasim Muhammad al-Junayd (w. 298/911),
Abu Bakar Muhammad al-Kalabadzi (w. 385/995), dan Abu Hamid al-Ghazali (w.
505/1111). Ulasan lengkap lihat Kautsar Azhari Noer, Ibn al-Arabi; Wahdat
al-Wujud dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 4
[2] Dalam
konteks Indonesia, hal serupa dialamatkan kepada Syekh Siti Jenar, Sunan
Panggung, Syekh Amongraga, Hamzah Fanshuri, Syekh A. al-Mutamakkin, dan Syekh
Muhyi al-Din al-Jawi. Lihat Zainul Milal Bizawi, Perlawanan Kultural Agama
Rakyat, (Yogyakarta: Samha, 2002), hlm. 74.
[3]
Para sarjana itu antara lain ialah A. E Affifi, Fazlur Rahman, S.A.Q Husaini,
Hamka, Ahmad Daudy, Endang Saifuddin Anshari, Yunasril Ali, Muhammad Ashraf,
dan Suad al-Hakim. Lihat Kautsar Azhari Noer, Ibn al-Arabi; Wahdat al-Wujud
dalam Perdebatan, ... hlm. 5
[4] Tokoh itu
antara lain ialah Mir Valiuddin, Sayyid Athar Abbas Rizvi, dan Harun Nasution. Lihat
Kautsar Azhari Noer, Ibn al-Arabi; Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, .. hlm.
6
[5] M. Takeshita seperti dikutip Kautsar Azhari Noer mengatakan bahwa karya
Nyberg di samping membatasi bidang kajian pada tiga karya, Nyberg juga
mempergunakan sedikit karya al-Futuhat al-Makkiyah. Sedangkan Asin
Palacios justru menghindari apapun tentang metafisika Ibnu al-Arabi. Lihat
Kautsar Azhari Noer, Ibn al-Arabi; Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, ...
hlm. 8-9.
[6] Yaitu jenis
penelitian yang berusaha menghimpun data penelitian dari khazanah literatur dan
menjadikan “dunia teks” sebagai objek
utama analisisnya.
Lihat Suwadi,
dkk., Panduan Penulisan Skripsi, (Yogyakarta: Jurusan
Pendidikan Agama Islam, FITK
UIN Sunan Kalijaga, 2012), hlm. 20.
[7] Seperti
diceritakannya sendiri, Ibnu al-Arabi memasuki jalan sufi (tarekat) secara
formal pada 580M/1184H, tepatnya saat ia berusia dua puluh tahun. Suasana
kehidupan guru-guru sufi menjadi faktor paling kondusif yang mempercepat
pembentukan diri Ibnu al-Arabi menjadi seorang sufi. Ulasan lengkap lihat
Kautsar Azhari Noer, Ibn al-Arabi; Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan,
(Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 18.
[8] Sebenarnya
pada waktu itu sedang terjadi ketegangan antara para sufi dan para penguasa.
Para penguasa (al-Muwahhidin) mengancam akan menyiksa para sufi karena mereka
dicurigai menggerakkan tarekat-tarekat, dan mengadakan perlawanan terhadap
rezim yang berkuasa. Lihat Kautsar Azhari Noer, Ibn al-Arabi; Wahdat
al-Wujud dalam Perdebatan, ... hlm. 19.
[9]
Selama di Makkah, Ibnu al-Arabi berhasil menyelasaikan karya ensiklopedik monumentalnya
seperti al-Futuhat al-Makkiyah, disamping karya yang lain seperti
al-Futuhat al-Makkiyah, Misykat al-Anwar, Hilyat al-Abdal, Taj
al-Rasail, dan Ruh al-Quds. Lihat Kautsar Azhari Noer, Ibn
al-Arabi; Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, ... hlm. 21.
[10] Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh W.C. Chittick, orang yang pertama kali
menggunakan istilah wahdat al-wujud adalah Sadr al-Din al-qunawi.
Pendapat ini sekaligus membatalkan dugaan Ibrahim Madkur dan Suad al-Hakim yang
mengatakan bahwa Ibnu Taimiyyah lah yang orang yang pertama menggunakan istilah
wahdat al-wujud. Ulasan lebih lanjut lihat Kautsar Azhari Noer, Ibn
al-Arabi; Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, ... hlm. 36.
Komentar
Posting Komentar