Metode Ijtihad Makiyyah dan Madaniyyah Menurut Mahmud Muhammad Thaha

MAKALAH USHUL FIQH
METODE IJTIHAD MAKIYYAH DAN MADANIYYAH
MENURUT MAHMUD MUHAMMAD THAHA

Mahmud Muhammad Thaha

Dosen Pengampu: Dr. M. Roy Purwanto, MA
Disusun Oleh:
Nurul Izah

A.    LATAR BELAKANG
Dewasa ini umat Islam dilanda krisis metodologi yang cukup memprihatinkan berkenaan dengan upaya mengembalikan eksistensinya pada realitas sosial, politik, hukum dan budaya dalam tata pergaulan internasional. Hal ini berkaitan dengan situasi dunia modern yang sudah banyak berubah pasca kolonialisme. Berbagai upaya pembaharuan dilakukan. Dalam upaya pembaharuan tersebut, muncullah tokoh-tokoh sarjana muslim, seperti Fazlur Rahman, Hassan Hanafi, Sayyid Husein Nasr, Mohammed Arkoun, Isma’il Razi al-Faruqi, Mahmûd Muhammad Thâhâ, Abdullahi Ahmed An-Na’im dan lain-lain.
Para tokoh tersebut berusaha menawarkan metodologinya masing-masing. Tawaran metodologi baru ini tidak seperti metodologi ulama klasik yang terlalu mencurahkan perhatian pada interpretasi literal terhadap Alquran dan Sunnah. Metodologi baru tersebut, terutama dari kelompok Liberalisme Religius, menekankan pada hubungan dilalektis antara perintah-perintah teks wahyu dan realitas dunia modern. Pendekatan yang digunakan adalah memahami wahyu baik dari sisi teks maupun konteksnya. Hubungan antara teks wahyu dan masyarakat modern tidak dibangun melalui interpretasi literalis, melainkan melalui interpretasi terhadap ruh dan pesan universal yang dikandung teks wahyu.
Di tengah percaturan pemikiran tersebut, Mahmûd Muhammad Thâhâ, seorang ulama dan pemikir Sudan mengambil bagian dan ikut berpartisipasi dengan menawarkan metodenya yang orisonil dan genuine. Di antara tokoh pembaharu yang ada, Mahmûd mempunyai latar belakang, landasan teologis dan kerangka epistemologis yang jauh berbeda. Mahmûd membedakan agama dengan syari’ah, syari’ah menurutnya hanya satu cara untuk memasuki agama, dan merupakan cara terendah atau batas minimal agama. Pandangan ini diserap oleh muridnya Abdullahi Ahmed An-Na’im . Sejalan dengan Mahmûd, An-Na’im menyatakan bahwa syari’ah bukanlah Islam itu sendiri melainkan hanyalah interpretasi terhadap teks (nash) yang dipahami melalui konteks historis tertentu.
Lebih jauh menurut Mahmûd, memang benar jika dikatakan bahwa syari’ah Islam sudah sempurna. Akan tetapi, kesempurnaannya bukan terletak pada kebakuannya yang dianggap final, dan dengan demikian menjadi berakhir dan berhenti dengan wafatnya Nabi, melainkan justru karena kemampuannya untuk terus berkembang maju. Perkembangannya dilakukan melalui “intiqâl min nashin ilâ nashin”, perpindahan dari satu teks ke teks yang lain. Yakni, perpindahan dari suatu teks yang tidak relevan ke teks yang lain yang dianggap relevan. Tegasnya, perpindahan dari teks untuk masa abad ketujuh ke teks untuk masa kini yang lebih beragam dan kompleks. Untuk itu terjadilah proses naskh, penghapusan atau penangguhan teks-teks Alquran yang dianggap tidak relevan. Gagasan Mahmûd mengenai syari’ah modern (humanis) dengan bertumpu pada redefenisi naskh ini menarik untuk dikaji.

B.     RUMUSAN MASALAH
Dari uraian yang dijelaskan pada latar belakang penulis mengangkat beberapa permasalahan dalam makalah ini yaitu:“Bagaiamana metode ijtihad makiyyah dan madaniyyah menurut Muhammad Mahmud Thoha?”

C.    PEMBAHASAN
1.      Biografi Muhammad Mahmud Thoha
Sebelum penulis melakukan telaah terhadap pemikiran Mahmud Muhammad Thoha tentang metode ijtihad Makiyyah dan Madaniah, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu tentang biografi beliau. Hal ini berkaitan dengan latar belakang pemikiran Muhammad Mahmd Thoha.
Mahmud Muhammad Thoha lahir pada tahun 1909 atau 1911 di sebuah kota kecil bernama Ruf’ah di tepian timur Sungai Nil. Dalam usia kecil di sudah ditinggal oleh kedua orang tuanya, ibunya meninggal tahun 1915 dan ayahnya meninggal tahun 1920. Dia dibesarkan di lingkungan keluarga besarnya sampai dewasa.[1]
Mahmud Muhammad Thoha menyelesaikan studi di bidang Tehnik di Gordon Memorial College yang kemudian menjadi University of Khartoum pada 1936. Setelah menyelesaikan studinya, beliau menjadi pegawai jawatan kereta api kurang lebih empat tahun di Sudan. Setelah berhenti dari jawatan kereta api beliau mendirikan lembaga pendidikan sekitar tahun 1940-an.
Selain aktif di dunia pendidikan beliau berpatisipasi aktif di perjuangan pergerakan Sudan dari pemerintahan kolonial Anglo-Egyption yaitu pada tahun 1930-an. Namun ia tidak sependapat dengan kaum terpelajar Sudan karena menyerahkan keahlian dan kemampuannya kepada pemimpin agama seketarian tradisional yang hanya menyerukan dukungan dari masyarakat Sudan. Pada tahun 1945 beliau dengan sahabatnya mendirikan partai politik Al-Hizb al-Jumhuri sebgai sarana untuk memperjuangkan ideologi untuk kemajuan masyarakat Sudan.
Dalam berpendapat ia sering mengeluarkan pemikiran-pemikiran keagamaan yang bercampur dengan pendapat pribadinya yang tidak pernah difatwakan oleh para ulama yang lain sebelumnya. Menurutnya pendapat yang disampaikan tentang visi islam di masa depan merupakan pemberian hidayah dari Allah (namun bukan wahyu) bukan hasil pemikiran rasioanal.[2]
Sebagai pendiri Al-Hizb al-Jumhuri pemikiran MAHMUD MUHAMMAD THAHA sangat mempengaruhi doktrin-doktrin pergerakan partai. Adapun tujuan yang ini dicapai melalui partai tersebut adalah:
1.      Membentuk pribadi-pribadi bebas yang berfikir sekehendaknya, berkata sekehendak fikirnnya dan bekerja sesuai dengan yang dikatakannya.
2.      Membentuk sebuah masyarakat “shalih”, yaitu masyarakat yang tegak di atas prinsip persamaan ekonomi, politik dan sosial. Persamaan ekonomi dimulai dari sosialisme dan terus berkembang menuju komunisme. Persamaan politik dimulai dari demokrasi perwakilan langsung dan berakhir pada kebebasan pribadi secara mutlak, di mana setiap pribadi memiliki aturan sendiri-sendiri. Sedangkan persamaan sosial mewujud dalam penghapusan diskriminasi kasta, ras, keturunan, warna kulit dan kepercayaan.
3.      Memerangi rasa takut. “Rasa takut yang menjadi biabg keladi setiap kerusakan moral dan kejelekan perilaku ialah takut kepada Tuhan. Jiwa kesatria seseorang tidak akan sempurna selama ia masih dijangkiti rasa takut. Jiwa kewanitaan seseorang wanita tidak akan sempurna selama ia masih dijangkiti rasa takut, apapun bentuk dan tingkatannya. Sebab kesempurnaan hanya dapat dicapai dengan terlepasnya seseorang dari rasa takut.”[3]
Pada tahun 1946 M MAHMUD MUHAMMAD THAHA beserta beberapa koleganya di tangkap dan dijatuhi hukuman. Beliau dipenjara satu tahun ketika menolak berhenti dari aktiitas politik yang menentang pemerintahan kolonial. Karena mendapatkan banyak protes dari partai Republik maka Mahmud dibebaskan setelah lima puluh hari dipenjara.
Setelah Ja’far Numeire menjadi presiden melalui kudeta militer pada tahun 1969 M, sekuruh partai politik di Sudan dibubarkan. Pada awal pemerintahan Numeire melarang Mahmumud Thaha untuk ceramah dan menulis berbagai pandangannya di surat kabar. Pada tanggal 13 Mei 1983 M Mahmud Thaha dan sebagian pengikutnya ditahan tanpa pemeriksaan resmi, karena membuat selebaran mengkritik kebijakan pemerintah dalam menangani masalah yang merugikan non-muslim.
Pada tanggal 19 Desember 1984 M Mahmud Thaha dibebaskan setelah ditahan sekitar 19 bulan tanpa tuduhan yang jelas. Satu minggu setelah dibebaskan Mahmud Thaha menyebarkan selebaran tentang pencabutan undang-undang baru dan menuntut jaminan kebebasan sipil bagi seluruh rakyat Sudan secara demokratis. Menurut mereka, undang-undang itu mendistorsi islam, melecehkan manusia, dan membahayakan integrasi nasioanal. Karena selebaran itu, Mahmud Thaha ditangkap pada tanggal 5 Januari 1985 M atas tuduhan berusaha mengubah konstitusi, menghasut dan mendorong oposisi inkonstitusional terhadap pemerintah, mengganggu stabilitas umum, serta menjadi anggota organisasi terlarang. Pada tanggal 18 Januari 1985 M, Mahmud Thaha dijatuhi hukuman gantung beserta 4 pengikutnya karena pemikirannya tentang pengembangan pemikiran baru tentang syariat dalam negara modern namun oleh pemerintah pemikirannya dianggap murtad (kafir). Empat pengikutnya yang dihukum gantung yaitu:
1.      Tajuddin Abd al-Razaq (35 tahun), seorang buruh disalah satu pabrik tenun.
2.      Khalid Bakir Hamzah (22 tahun), mahasiswa Universitas Kairo cabang Khartum.
3.      Muhammad Shalih Basyir (36 tahun), pegawai pada perusahaan al-Jazirah.
4.      Abd al-Lathif Umar (51 tahun), wartawan surat kabar al-Shihafah.
Dari keempat pengikut Mahmud Thaha tersebut menyatakan taubat dan selamat dari hukuman setelah pelaksanaan hukuman terhadap MAHMUD MUHAMMAD THAHA. Dan mereka selamat dari hukuman gantung.

2.      Metode Ijtihad Hukum MAHMUD MUHAMMAD THAHA
       Perkembangan teknologi dan informasi dewasa ini kian pesat dan maju, polemik yang ditimbulkan karena perkembangan zaman juga semakin kompleks. Hal ini menuntut para ulama secara terus menerus melakukan ijtihad di bidang Fiqh secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan nantinya.Jika kita melihat ijtihad pada zaman dahulu kala itu umat islam mengalami era taqlid yang begitu panjang seperti pada waktu ijtihad ulama empat madzhab.
       Pandangan tentang status ijtihad, minimal ada tiga kelompok besar diantara para yuris Islam.  Kelompok Pertama, menolak ijtihad secara mentah-mentah dengan alasan, bahwa produk ulama salaf telah mampu menjawab semua tantangan zaman dan masalah-masalah kontemporer dewasa ini. Tinggal bagaimana merelevansikan pemikiran-pemikiran mereka terhadap kondisi dan situasi saat ini. Kelompok ini lebih memilih taqlid, dan mengikuti pola pandang bahwa kreativitas fiqh selalu disandarkan kepada para Imam mujtahidnya.
      Kelompok kedua, kelompok yang menganjurkan untuk ijtihad dan secara ekstrim menolak taqlid. Kelompok ini lebih puritan, namun sikapnya menolak taqlid mentah-mentah, sehingga memunculkan sikap gegabah dalam melakukan ijtihad. Mereka tidak mau lagi menengok khazanah pemikiran ulama salaf, dalam memproduksi kebutuhan fiqh yang berkembang, yaitu cukup dengan mengambil dalil dasar Alqur’an dan Assunnah. Karena itu, dari kelompok ini muncul beberapa mujtahid baru yang mengatasnamakan dirinya sebagai pembaharu Islam, yang secara kritis sering mereduksi pemikiran-pemikiran mapan para ulama fiqh itu sendiri. Yang sangat disayangkan, sikap ekstrim ini menjadikan keroposnya khazanah intelektual Islam, mengingat prasyarat-prasyarat ijtihad yang seharusnya dipenuhi oleh seorang mujtahid diabaikan begitu saja.
       Kelompok ketiga, mereka lebih moderat. Para pakar fiqh yang mengambil “jalan tengah” ini tetap bersemangat agar fiqh Islam senantiasa aktual sepanjang zaman. Tetapi tidak melepaskan dataran tempat berpijak para ulama pendahulunya (as-salaf al-shalih), sebab apa yang telah dicapai oleh ulama salaf itu dalam sekala global telah memenuhi tuntutan psikologis para yuris Islam pada umumnya. Kelompok ini cukup berhasil mengkolaborasikan antara metode ulama salaf dengan ulama modern, bahkan secara komprehensif menghasilkan apa yang disebut dengan ijtihad kolektif (ijtihad jama’i).[4]
       Menurut MAHMUD MUHAMMAD THAHA pada kategori yang telah dijelaskan di atas yaitu lebih condong pada kelompok ulama yang berpandangan moderet. Menurutnya dalam persoalan ijtihad memandang tidak perlunya batasan-batasan seperti yang banyak diuraikan oleh para ulama. konsep ijtihad yang dikehendaki oleh Taha adalah ijtihad yang memberi kebebasan bagi individu tanpa memperhatikan batasan-batasan atau aturan-aturan yang telah digariskan oleh syari’ah historis.
       Satu contoh misalnya ketika Taha menolak ayat yang membedakan antara laki-laki dan perempuan (turun di Madinah) yang berbunyi “laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian laki-laki atas perempuan dan karena laki-laki yang memberi nafkah kepada kaum perempuan” (Q.S 4:34) dan harus digantikan dengan ayat makkiyah yang lebih menghargai mengedepankan prinsip kesetaraan yaitu ayat “tidaklah seorang membuat dosa melainkan kembali kepada dirinya; dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, kepada Tuhan (kamu) akan kembali segala urusan” (Q.S 6:164).Hal ini tidak berbeda ketika dalam melakukan istinbath hukum lebih mengedepankan prinsip maqosid al syari’ah. Di mana tujuan utama dari ayat Q.S 4:34 atau surat an-Nisa secara keseluruhan adalah untuk mensejajarkan kaum laki-laki dan perempuan. Namun oleh kebanyakan ahli hukum Islam (syari’ah historis) teks-teks tersebut dipahami secara tekstual sehingga yang tampak adalah diskiriminasi bahkan pemarginalan Al Qur’an terhadap kaum perempuan.
       Contoh lain, pada persoalan hukum pidana. Di mana syari’ah historis memerintahkan hukum potong tangan terhadap pencuri. Ini didasarkan pada ayat madaniyyah, dan bagi Taha hukuman ini harus diganti dengan bentuk hukuman yang lain (didasarkan pada ayat makkiyah yang lebih menghargai prinsip kebebasan individu dan hak untuk hidup) dengan alasan hukuman ini (potong tangan) mengekang dan memberangus hak hidup seseorang. Sebenarnya konsep tersebut pernah dilakukan Umar dalam memberikan hukuman bagi seorang pencuri tanpa harus memotong tangannya sesuai dengan ayat madaniyyah.[5]
       Dari pernyataan di atas, dari contoh-contoh tersebut dari pemikiran Mahmud Thaha adalah istinbath hukum dengan lebih mengedepankan prinsip maqasid al syariah.Yaitu istinbath dengan lebih mempertimbangkan perlindungan terhadap lima hal pokok, yaitu; perlindungan terhadap agama, keturunan, hidup, harta dan akal.

3.      Definisi Makkiyyah dan Madaniyyah MAHMUD MUHAMMAD THAHA
       Kalau para ulama terdahulu mendefinisikan Makkiyah sebagai bagian Al Qur’an yang turun sebelum peristiwa hijrah Nabi SAW ke Madinah dan mendefinisikan Madaniyyah bagian Al Qur’an yang turun pasca hijrah, menurut Mahmud Thaha tidaklah demikian. Menurut Mahmud Thaha Makiyyah adalah bagian Al Qur’an yang esensial (ushul) yang didalamnya terdapat nilai-nilai fundamental dan universal islam, yakni keadilan, persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan, toleransi, nilai dasar demokrasi, hak-hak asasi manusia. Sedangkan Madaniyyah adalah bagian Al Qur’an yang furu’, yang berisi ajaran yang kurang toleran, kurang menimbang keadilan, bias gender dan kurang menghormati dan bertoleransi terhadap pluralisme agama.
       Pemikiran Mahmud Thaha lebih mengedepankan hak asasi manusia yaitu kaitanya dengan hubungan masyarakat yaitu merujuk pada perkembangan peradaban yang berlaku saat ini dan juga pemikiran beliau juga didasarkan pada kandungan Al Qur’an tentang karakteristik teks-teks pada ayat makiyyah dan madaniyyah. Mahmud Thaha mendefenisikan Makkiyyah-Madaniyyah berdasarkan lebih kepada siginfikansi kandungan makna ayat, universal atau tidak. Dalam hal ini ia mengajukan argumen sebagai berikut: Pertama, Alquran merupakan wahyu terakhir dan Nabi Muhammad merupakan Nabi yang terakhir juga. Konsekuensinya, Alquran harus berisi semua yang dikehendaki Allah untuk diajarkan, baik ajaran yang akan diterapkan segera maupun ajaran yang akan diterapkan pada waktu yang akan datang. Kedua; Demi martabat dan kebebasan yang dilimpahkan Allah kepada seluruh umat manusia, Allah menghendaki umat manusia belajar melalui pengalaman praktis mereka sendiri dengan tidak bisa diterapkannya pesan Mekkah yang lebih awal yang kemudian ditunda dan digantikan oleh pesan Madinah yang lebih praktis.
       Pemikiran Mahmud Thaha lebih mengedepankan pada hak asasi manusia dalam versi barat dari pada kandungan dalam Al Qur’an, hal ini berbeda dengan pemikiran ulama-ulama terdahulu. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Al Qur’an :
       Artinya: “Ayat mana saja yang kami naskahkan, atau kami jadikan (manusia), atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya, tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”[6]
        Ayat di atas dijadikan sebagai landasan baik oleh jumhur maupun oleh Mahmoud Muhammad Taha. Oleh jumhur redaksi “nunsiha” dipahami sebagai penghapusan atau penggantian sebagaimana yang terdapat dalam kamus lisan al arab. Namun oleh Mahmoud Muhammad Taha kata “nunsiha” dipahami berbeda dengan apa yang telah dipahami jumhur. Oleh Taha kata dipahami sebagai penangguhan.
Menurut pandangan jumhur ulama terdahulu ayat tersebut bahwa nasakhmerupakan teori penghapusan yang dilakukan oleh ayat satu terhadap ayat yang lain sehingga membuat Mahmud Thaha tidak sepakat dengan pendapat jumhur ulama. Menurutnya penghapusan yang diterjemahkan kembali oleh Mahmud Thaha yaitu penghapusan ayat madaniyyah terhadap ayat makiyyah. Padahal sebenarnya para jumhur ulama tidak berpendapat demikian bahwa nasakh merupakan penghapusan ayat madaniyyah terhadap ayat makiyyah melainkan penghapusan yang dilakukan oleh ayat yang datangnya kemudian terhadap ayat yang datangnya kemudian terhadap ayat yang datangnya lebih dahulu yang keduanya bertentangan dalam satu hal (kejadian) yang selanjutnya berbeda pula dalam hal hukum.
       Dalam hal ini ada perbedaan persepsi dari MAHMUD MUHAMMAD THAHA bahwa beliau tidak menyadari dan tidak menganlisa dalam memberikan kritik kepada jumhur ulama padahal hanya beberapa ayat saja yang mengalami penghapusan dan ayat-ayat yang tertentu saja. Namun sebenarnya ketika ditelaah lebih jauh lagi ternyata apa yang disampaikan oleh MAHMUD MUHAMMAD THAHA tidak jauh beda dengan apa yang telah disampaikan oleh jumhur. Kata penangguhan menurut Mahmud Thaha sebenarnya berimplikasi sama dengan apa yang telah dikemukakan jumhur yaitu sama dengan tidak memberlakukan salah satu ayat. Kalau jumhur yang tidak diberlakukan adalah ayat yang datangnya lebih dahulu yang selanjutnya lebih identik dengan ayat makkiyyah sedangkan Mahmud Thaha ayat yang tidak diberlakukan adalah ayat madaniyyah.

4.      Landasan Pemikiran MAHMUD MUHAMMAD THAHA
       Muhammad Muhammad Thaha, seorang cendekiawan Sudan sebenarnya tidak menolak konsep bahwa Islam merupakan agama yang menghargai kebebasan individu, hak asasi manusia termasuk pada persoalan kebebasan beragama. Justru, lewat bukunya Mahmud mencoba untuk memilah ayat mana dalam al-Qur’an yang sesuai dengan pesan HAM saat ini. 
       David Litle, dalam bukunya yang diterjemahkan ke dalam “Kajian Lintas Kultural Islam-Barat Kebebasan Agama dan Hak-hak Asasi Manusia”, menyebutkan “ seorang penulis seperti James Piscatorng menyimpulkan bahwa penghormatan terhadap kehidupan dan harta benda dan praktik toleransi serta persaudaraan yang diajarkan oleh Islam, menujukkan bahwa Islam “tidak dapat disangsikan banyak titik temu dengan gerakan hak asasi manusia belakangan ini”, dapat juga dikatakan bahwa Islam “tidak mengajukan gagasan dasar tentang hak asasi manusia yang tidak dapat dicabut, Islam juga tidak menghindari perbedaan menurut jenis kelamin dan agama”.[7]
       MAHMUD MUHAMMAD THAHA yang berpandangan bahwa ayat-ayat makkiyyah lebih egaliter dan universal serta sesuai dengan kondisi saat ini dibanding dengan ayat madaniyyah yang lebih bersifat sektarian dan membedakan antara individu yang satu dengan yang lain terutama antara kaum perempuan dan laki-laki serta antara muslim dan non muslim. Asumsi ini oleh beliau lebih didasarkan pada model penyebutan atau permulaan yang ada di masing-masing ayat baik itu ayat makkiyah maupun ayat madaniyyah. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan penulis
adalah, apakah ayat-ayat yang turun pasca hijrah (madaniyah) secara keseluruhan bersifat sektarian dan diskriminatif yang mutlak harus dilakukan oleh umat Islam pada waktu itu atau ada beberapa ayat madaniyyah yang ketika dilihat dari kandungannya -ruh al tasyri’- mempuyai karakter yang sama dengan ayat makkiyah walaupun ayat tersebut dimulai penyebutan sesuatu yan sektarian, seperti kataﻳﺎاﻳﻬﺎاﻟﺬﻳﻦاﻣﻨﻮا (egaliter, universal, dan lain sebagainya) atau sebaliknya.[8]
       Sebelum menelaah lebih jauh apakah semua teks yang turun di Madinah merupakan teks-teks yang mengebiri kebebasan individu (hak asasi manusia, terlebih penulis akan menguraikan perbedaan antara teks madaniyyah dan teks makkiyah. Secara garis besar, setiap ayat yang dimulai dengan lafaz ﻳﺎاﻳﻬﺎاﻟﺬﻳﻦأﻣﻨﻮا merupakan ayat madaniyyah, dan setiap aya yang dimulai dengan ﻳﺎاﻳﻬﺎاﻟﻨﺎس  merupakan ayat makkiyah kecuali surat al Haj ayat 77.[9] Di samping perbedaan tersebut, seruan teks makkiyah lebih mengedepankan persoalan prinsip dasar kepercayaan (iman), penyampaian syari’at secara global, sedangkan teks madaniyyah dalam penyampaian lebih menekankan pada syari’at secara terperinci dan seruan tentang pensyari’atan kaidah-kaidah jihad (perang).[10]
       Satu contoh, pada persoalan ciri-ciri yang membedakan antaraayat makkiyah dan ayat madaniyyah.Zarkasy memandang bahwa ayat makkiyah dalam persolan khitobnya menggunakan kata ياايهاالناس(kataini mempunyai atau mengandung arti universal), sedangkan ayatmadaniyyah menggunakan khitob ﻳﺎاﻳﻬﺎاﻟﺬﻳﻦأﻣﻨﻮاyang berimplikasipada persoalan sektarianisme.[11]
Kaitannya dengan hal ini Mahmud Thaha memandang bahwa semua ayatmadaniyyah identik dengan kekerasan dalammemberikan seruan dan melakukan diskriminasi antara laki-laki danperempuan maupun antara muslim dan non muslim. Sebagai contoh ayat madaniyyah yang menolak pernyataan Taha dan mengatakan bahwa antara laki-laki dan perempuan mempunyaikedudukan yang sama adalah penafsiran Abu al Futuh al Razi (w.538/1144) terhadap surat al Imron ayat 193,[12]Maka Tuhanmemperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “SesungguhnyaAku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antarakamu, baik laki-laki maupun perempuan (karena) sebagian kamu adalahketurunan dari sebagian yang lain.[13]
Contoh lain dari ayat madaniyyah yang menjunjung tinggi prinsip HAM, di mana ayat tersebut memandang bahwa manusia mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Tuhan adalah surat al Hujurat ayat 13.
Artinya: “hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seseorang laki-laki seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Meskipun ayat ini dimulai dengan lafaz ﻳﺎأﻳﻬﺎاﻟﻨﺎس  sebagaima kebanyakan ayat makkiyah, namun kenyataanya adalah ayat tersebut merupakan bagian dari teks-teks madaniyyah dan ayat ini turun pada saat penaklukan kota Mekkah.[14] Kaitannya dengan ayat tersebut teradapat indikasi keberpihakan kepada laki-laki antara laki-laki dan perempuan. namun ketika kita melihat lebih mendalam sebenarnya sama antara laki-laki dan perempuan. Karena laki-laki mempunyai kedudukan di atas kaum perempuan ketika dia diberi kelebihan oleh Tuhan dari yang lainnya, namun ketika laki-laki tidak diberi kelebihan dari yang lain maka ungkapan al-Qur’an tentang kelebihan laki-laki dibanding perempuan dikembalikan lagi pada prinsip yang dasar bahwa hakekat manusia adalah sama tidak memandang jenis kelamin (al Hujurat ayat 13).
                    Ketidakmatangan metode yang diterapkan oleh Taha sehingga sulit dipertanggungjawabkan secara epistimologis tidak bisa dilepaskan dari proses bagaimana beliau menemukan metode ini. Di mana beliau menemukan metode tersebut pada saat beliau diasingkan (khalwah) tidak melalui penelitian secara empirik yang bisa dipertanggungjawabkan. Sebagaimana dalam bukunya beliau mengatakan bahwa seolah-olah beliau memperoleh ilham untuk melakukan pembaharan hukum atau pemahaman teks-teks al-Qur’an lewat nasakh yang oleh beliau dipahami sebagai penangguhan kembali ayat-ayat madaniyyah dan pemberlakuan kembali ayat-ayat makkiyyah.[15]
                    Problem yang dihadapi ketika kita akan mengungkap pemikiran Thaha adalah pada persoalan metodologis, bahkan ini dialami oleh An-Na’im (murid Taha). Muhyar Fanani dalam risetnya (Abdullah an-Na’im: Paradigma Baru Hukum Publik Islam) mengungkapkan tiga hal yang harus dihadapai; pertama, problem metodologi mistik Taha. Metodologi mistik Thaha menjadi sulit untuk dipertanggungjawabkan secara epistimologis karena metode semacam ini sulit untuk diverifikasi.  Kedua, problem teori nasakh model baru. Dalam teori ini, Taha
dengan data yang kurang akurat menganggap bahwa dalam teori hukum klasik, ayat madaniyah menghapus ayat makkiyah. Pandangan yang mengantarkan Taha untuk memperbarui teori nasakh ini perlu diklarifikasi terlebih dahulu karena tidak didukung fakta ilmiah. Dalam ilmu ushul al fiqh, ayat madaniyah tidak menghapus ayat makkiyah melainkan men- takhsis ayat makkiyah.[16]
       Antara menghapus dan men-takhsis sangat berbeda. Menghapus memiliki konsekuensi bahwa ayat yang dihapus tidak berlaku lagi, sedangkan men-takhsis berarti bahwa ayat yang di-takhsis (dalam hal ini ayat makkiyah) masih diangap berlaku. Dengan melaksanakan ayat pen-takhsis (ayat madaniyyah) berarti melaksanakan ayat yang di-takhsis (ayat makkiyah). Di samping itu dalam ilmu ushul al fiqh, nasakh hanya dipakai sebagai senjata pamungkas apabila ada dua
dalil yang bertentangan dan tidak bisa dirujukkan. Ayat makkiyah dan ayat madaniyyah, menurut ilmu ushul al fiqh bukanlah dua dalil yang bertentangan. Karena itu menganggap bahwa kedua kelompok ayat itu telah terjadi proses nasakh adalah sikap yang kurang memiliki argumentasi yang valid.[17]
                    Ketiga, problem kategori pendapat aneh (qaul nadir). Jika dihadapkan pada ilmu ushul al fiqh pendapat Taha termasuk dalam kategori qaul syazz atau qaul nadir. Dalam sejarah perkembangan pemikiran hukum Islam, pendapat-pendapat syazz semacam ini telah banyak dikenal meski dalam maslah yang berbeda. Pendapat yang masuk dalam kategori yang demikian, biasanya akan sulit mendapatkan tempat di hati umat Islam, karena pendapat itu bertentangan dengan pendapat jumhuryang tidak pernah menyatakan bahwa antara ayat makkiyah dan ayat madaniyyah telah terjadi proses nasakh.[18]

D.    KESIMPULAN
Dengan pandangan seperti di atas, Mahmûd telah memperkenalkan gagasan relatifisme historis dalam pendekatannya terhadap syari’ah. Syari’ah historis (Risalah Pertama) dimaksudkan untuk jenis masyarakat di masa lampau. Masyarakat tersebut tidak lagi hadits dan tidak dapat, atau lebih tepatnya tidak boleh, dibangkitkan kembali pada zaman modern. Sebaliknya kaum muslimin harus memegang teguh ayat-ayat Alquran yang sesuai dengan kondisi masyarakat modern. Ayat-ayat tersebut adalah ayat-ayat dasar (ayat-ayat Makiyyah), yang mempunyai standar lebih tinggi dari pada ayat-ayat cabang (ayat-ayat Madaniyyah) dan muatannya sejalan dengan konstitusionalisme, hak-hak asasi manusia universal, dan perdamaian internasional. Syari’ah modern yang humanis harus didasarkan atas ayat-ayat ini, sementara syari’ah historis harus ditinggalkan. Dengan melakukan hal ini sama sekali tidak berarti menolak atau membuang Islam, namun justru berarti kembali ke semangat aslinya.
  
E.     DAFTAR PUSTAKA
Mahmud Muhammad Thoha, The Second Message of Islam, (Syracuse: University Press, 1987)
Yusuf Al-Qardhawi, Ijtihad Kontemporer; Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan, Terj. Ahmad Sathori, Surabaya; Risalah Gusti, 1995, hal. 16-17. lihat juga Ilyas Supena dan M. Fauzi, Dekontruksi dan Rekontruksi Hukum Islam, Yogyakarta; Gamma Media, 2002
Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Pustaka, Bandung, Cet. III, 1995
Al Qur’an Al Karim,
David Litle, dkk, Kajian Lintas Kultural Islam-Barat Kebebasan Agama dan Hak-hak Asasi Manusia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet. I, 1997
Manna al Khaththan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo
Muhammad Ibn Muhammad Abu Syuhbah, al Madkhal li Dirasat al Qur’an al Karim, Maktabah al Sunah
Al Zarkasy, Op. Cit., hlm. 188 Lihat juga pada Manna’ al Khaththan, Mabahis fi Ulum
Al Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo, t.th
Louise Marlow, Masyarakat Egaliter Visi Islam diterjemahkan dari Hierarchy andEgalitarianism in Islamic Thought, Mizan, Bandung, 1999, Cet. I
Muhammad Wafa, Ta’arud al Adillah asy Syar’iyyah min al Kitab wa as Sunnah wa at Tarjih baiynaha, al Muttanabi, Kairo, 1992/1412
Sumber http://www.al-ahkam.net/home/ tentang sejarah dan doktrin pemikiran politik partai al-Hizb al-Jumhuri yang didirikan oleh Mahmud Muhammad Thaha dan rekan-rekanya.


*) Makalah Prarevisi


[1] Mahmud Muhammad Thoha, The Second Message of Islam, (Syracuse: University Press, 1987), 2.
[2]Ibid,. 4.
[3] Sumber http://www.al-ahkam.net/home/ tentang sejarah dan doktrin pemikiran politik partai al-Hizb al-Jumhuri yang didirikan oleh Mahmud Muhammad Thaha dan rekan-rekanya.
[4] Yusuf Al-Qardhawi, Ijtihad Kontemporer; Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan, Terj. Ahmad Sathori, Surabaya; Risalah Gusti, 1995, hal. 16-17. lihat juga Ilyas Supena dan M. Fauzi, Dekontruksi dan Rekontruksi Hukum Islam, Yogyakarta; Gamma Media, 2002,  hal. 164.
[5] Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Pustaka, Bandung, Cet. III, 1995, hlm. 275
[6]Al Qur’an Al Karim,
[7] David Litle, dkk, Kajian Lintas Kultural Islam-Barat Kebebasan Agama dan Hak-hak Asasi Manusia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet. I, 1997, hlm. 38 
[8]Manna al Khaththan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo, hlm, 61.
[9]Ibid,. Hlm 62.
[10] Muhammad Ibn Muhammad Abu Syuhbah, al Madkhal li Dirasat al Qur’an al Karim, Maktabah al Sunah, hlm.  205-208 
[11]Al Zarkasy, Op. Cit., hlm. 188 Lihat juga pada Manna’ al Khaththan, Mabahis fi Ulum
Al Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo, t.th, hlm. 61
[12]Merupakan teks yang diturunkan di Madinah sebagaimana disebutkan oleh al Zarkasy dalam al Burhan fi Ulum al Qur’an bahwa surat al- Imron merupakan salah satu ayat atau suratsurat madaniyyah. Lihat al Zarkasy, Op. Cit, hlm. 194
[13]Louise Marlow, Masyarakat Egaliter Visi Islam diterjemahkan dari Hierarchy andEgalitarianism in Islamic Thought, Mizan, Bandung, 1999, Cet. I, hlm. 32
[14] Al Zarkasyi, Op. Cit, hlm 195.
[15]Mahmoud Muhammad Taha, Op.Cit., hlm. 30-31 
[16] al Ghazali, al Mustasfa min Ilm al Ushul, Maktabah al Jayyidah, t.t, hlm 71 
[17]Muhammad Wafa, Ta’arud al Adillah asy Syar’iyyah min al Kitab wa as Sunnah wa at Tarjih baiynaha, al Muttanabi, Kairo, 1992/1412, hlm. 8
[18]A. Khudori Soleh, Op. Cit., hlm. 14  

Komentar