Maqashid Ibn Taimiyyah

 Makalah Ushul Fiqh
Maqashid Ibn Taimiyyah


Disusun Oleh:
Imam Satria

A.    Latar Belakang
Maqashid as-Syariah merupakan kajian ushul fiqh paruhan kedua pada abad ke 8 H. ditandai dengan lahirnya ulama dari Granada "Abu Ishaq As-Syatibi.hal ini dikarenakan pada perkembangan awal. Ushul Fikih sebagai dasari filsafat dari hukum islam menaruh perhatian besar pada kajian kebahasaan, hal ini jelas terlihat dari perdebatan ulama yang berkisar pada kaidah "al 'Ibrah bi umum al-Lafzh laa bi Khusus as-Sabab" yang dipegang oleh mayoritas ulama dan kaidah "al Ibrah bi khusus as-Sabab laa bi Umum al-Lafzh" yang dipengang oleh minoritas ulama. 
Perkembangan selanjutnya, kadiah-kaidah kebahasaan ini sudah tidak memadai lagi unutk menjadi dasar hukum islam dalam memecahkan masalah-masalah yang terus berkembang. sehingga mereka mulai mengkaji prinsip-prinsip nilai yang terkandung dalam  Syariat. untuk selanjutnya, meski belum secara eksplisit menyebutkan maqashid as-Syariah, dapat diidentifikasi bahwa kajian terhadap tujuan-tujuan umum hukum islam ditemukan pada kaijan masalik al-'Illah. kelebihan maqashid as-Syariah yang menjadi dasar hukum islam, menurut Prof Syamsul Anwar, diantaranya mengubah wajah syariat islam menjadi lebih luwes, fleksibel dan sesuai dengan konteks zaman. 
maqashid as-Syariah itu sendiri, menurut ulama maqashidiyyun, secara umum-sebagaimana yang dipaparkan oleh al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustasfa, adalah kajian terhadap maslahat manusia yang terdapat dalam dalil-dalil hukum islam, baik itu pada al-Qur'an dan as-Sunnah.
tulisan ini, berisi tentang sedikitpembahasan konsep Maqashid as-Syariah ibnu Taimiyah. dalam tulisan ini hanya dipaparkan konsep menurut Ibnu Taimiyah, karena menurut penulis, kajian terhadap maqashid as-Syariah menurut as-Syatibi sudah sangat banyak.
  
B.     Rumusan Masalah
Seperti apakah konsep Maqashid al-Syariah Menurut Ibnu Taimiyyah

C.    Pembahasan
1.      Biografi
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim bin Taimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari Senin tanggal 10 Rabiul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729 H. Kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kamu muslimin pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang Syaikh, Khatib dan hakim di kotanya.[1]
Ibn Taimiyah terkenal sangat cerdas sehingga pada usia 17 tahun, ia telah dipercaya masyarakat untuk memberikan pandangan-pandangan mengenai masalah hukum secara resmi.[2] Para ulama yang merasa sangat risau oleh serangan-serangannya serta iti hati terhadap kedudukannya di Istana Gubernur Damaskus, telah menjadikan pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah sebagai landasan untuk menyerangnya. Dikatakan oleh lawan-lawannya, bahwa pemikiran Ibn Taimiyah sebagai klenik, antroporpisme, sehingga pada awal 1306 M Ibn Taimiyah dipanggil ke Kairo kemudian dipenjarakan.
Masa hidup Ibn Taimiyah berbarengan dengan kondisi dunia Islam yang sedang mengalami disintegrasi, dislokasi sosial, dan dekadensi moral dan akhlak. Kelahirannya terjadi lima tahun setelah Bagdad dihancurkan pasukan Mongol, Hulagu Khan. Oleh sebab itu, dalam upayanya mempersatukan umat Islam, mengalami banyak rintangan, bahkan ia harus wafat di dalam penjara.
Lingkungan keluarga Ibnu Taimiyah sangat mendukung perkembangannya untuk kelak menjadi seorang ulama dan pemikir Islam besar.Ayahnya, Syihab al-Din ‘Abd al-Halim adalah seorang ahli hadits dan fakih madzhab Hanbaly yang memiliki jadwal mengajar di Mesjid Jami ‘Umawy.Ia juga kemudian menjabat sebagai kepala para ulama (masyikhah) di Dar al-Hadits al-Sukriyah. Sang ayah ini kemudian meninggal saat Ibnu Taimiyah berusia 21 tahun, tepatnya di tahun 682 H.
Di samping hal itu, ada beberapa faktor lain yang juga dapat disimpulkan sebagai penyebab kecemerlangan pemikiran Ibnu Taimiyah di kemudian hari. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Kekuatan hafalan dan pemahamannya yang luar biasa. Di usia yang masih sangatkecil ia berhasil menyelesaikan hafalan al-Qur’annya. Setelah itu, ia pun mulai belajar menulis dan hisab. Kemudian membaca berbagai kitab tafsir, fikih, hadits dan bahasa secara mendalam. Semua ilmu itu berhasil dikuasainya sebelum ia berusia 20 tahun.
2.       Kesiapan pribadinya untuk terus meneliti. Ia dikenal tidak pernah lelah untuk belajar dan meneliti. Dan itu sepanjang hidupnya, bahkan ketika ia harus berada dalam penjara. Mungkin itu pulalah yang menyebabkan ia tidak lagi sempat untuk menikah hingga akhir hayatnya.
3.      Kemerdekaan pikirannya yang tidak terikat pada madzhab atau pandangan tertentu. Baginya dalil adalah pegangannya dalam berfatwa. Karena itu ia juga menyerukan terbukanya pintu ijtihad, dan bahwa setiap orang –siapapun ia- dapat diterima atau ditolak pendapatnya kecuali Rasulullah saw. Itulah sebabnya ia menegaskan, “Tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa kebenaran itu terbatas dalam madzhab Imam yang empat.”[3]

2.      Pandangan Maqashid al-Syariah Ibnu Taimiyah
Dalam mendefinisikan syr'iat, Imam Ibnu Taimiyah memiliki definisi yang lebih umum dibandingkan ulama-ulama Ushul dan fuqa'ha yang lain. Akan tetapi ada sebagian ulama yang memiliki definisi yang sama dengan Imam Ibnu Taimiyah seperti halnya Abu Bakr al-A'jiri, beliau mendefinisikan syar'it sebagai “segala sesuatu yang disyariatkan oleh Allah yang mencakup akidah wal-ahkam –hukum-”
Ibnu Taimiyah juga mengkritik ulama-ulama yang mengatakan bahwa syariah hanya terfokus pada hukum saja, tidak ada kaitannya dengan problem-problem akidah. Beliau mengatakan "pada realitasnya syar'iat yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad meliputi kemaslahatan dunia dan ahkirat, dan syari'at adalah apa-apa yang tercantum dalam al-kitab dan al-sunnah, dan semua yang direalisasikan oleh salaf yang berkaitan dengan akidah, al-ushul, al-ibadat, politik, peradilan, pemerintahan.[3]
Adapun persoalan yang dianggap penting untuk dipertegas disini adalah mengetahui pandangan Ibnu Taimiyah yang sering dia gunakan dalam konteks maqashid, dimana dengan mengetahui pandangan tersebut, kita bisa menangkap makna-makna daripada Maqashid yang dibangun oleh Ibnu Taimiyah. Selanjutnya dari pandangan tersebut nanti, akan membawa kita untuk mengenal teori-teori Maqashid versi Imam mujtahid Ibnu Taimiyah. Adapun dari pandangan-pandangan tersebut adalah:
1.      Pada perbuatan Allah terdapat tujuan yang dicintai dan balasan yang agung.
2.      Al-Hikmah merupakan hasil daripada tujuan Allah dan maksud perbuatan tersebut.
3.      Barangsiapa yang mengingkari bahwa dalam syari’at mencakup mashlahat dan Maqashid terhadap manusia di dunia dan di akhirat, maka hal tersebut menunjukkan kesalahan yang jelas. Hal tersebut diketahui melalui al- darurat.
4.      Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa Allah memiliki tujuan dan maksud yang sama pada penciptaan dan perintahnya.
5.      Sesungunya ketika tujuan yang diinginkan oleh Allah secara syar'i tercapai, maka hal itu memastikan terealisasinya ubudiyyah kepadanya.[4]
3.      Konsep maqosid as-syari’ah ibnu taimiyah
Untuk memahami konsep Maqāid as-Syarī'ah Ibnu Taimiyah ada baiknya kita berangkat dari rumusan umum paraJumhūr usul fikih.Secara umum. Kebanyakan ulama usul fikih merumuskan tujuan puncak dari penetapan syariat didasari pada tiga aspek,
a)      Tujuan Primer atauarūriyyāh
Tujuan primer hukum islam adalah hukum yang mesti ada demi danya kehidupan manusia, ababila tujuan itu tidak tercapai maka akan menimbulkan ketidak serasian kemaslahatan kehidupan manusia didunia dan di akhirat bahkan merusak kehidupan itu sendiri. Kebutuhan hidup yang primer ini hanya bisa tercapai bila terpelihara 5 hukum islam yang disebut daruriyat Al-khoms atau al- kulliyat al-khoms atau sering juga disebut maqosid al syariah.
b)      Tujuan Sekunder atau al-haajiy
Tujuan sekunder hukum islam adalah terpeliharanya tujuan kehidupan manusia yang terdiri atas berbagai kebutuhan atas berbagai kehidupan sekunder hidup manusia itu. Kebutuhan hidup sekunder ini bila terpenuhi atau terpelihara akan mengakibatkan kesulitan bagi manusia. Namun demikian kesempitan tersebut tidak akan mengakibatkan kerusakan yang menimbulkan kerusakan hidup manusia secara umum. Kebutuhan hidup yang bersifat sekunder ini terdapat dalam ibadah, adat,muamalat, dan jinyat. Terpeliharanya tujuan sekunder ini terdapat hukum islam.
Tujuan sekunder dalam bidang muamalat dapat tercapai melalui dengan adanya hukum musaqoh dan salam. Musaqoh merupakan sistem kerjasama dalam pertanian, yakni sistem bagi hasil yang dikenal dengan sebutan paroan sawah. Jual beli salam yaitu sistem jual beli melalui pesanan dan pembayaran dimuka atau dikemudian hari setelah terjadi penyerahan barang yang diperjual belikan.
c)       Tujuan tertier atau al-tahsi’iy
adalah ialah tujuan hukum yang ditujukan untuk menyempurnakan hidup manusia dengan cara melaksanakan apa-apa yang baik dan yang paling layak menurut kebiasaan dan menghindari hal-hal yang tercela menurut akal sehat. Pencapaian tujuan tertier hukum islam ini biasanya terdapat dalam bentuk budi pekerti yang mulia atau akhlakul karimah. Budi pekerti atau akhlak muli uni mencakup etika hukum.Baik etika hukum ibadah, muamalat, adat, pidana, atau jinayat dan muamalat atau keperdataan.

aspekarūriyyāh dalam kehidupan yang menjadi usul, dibagi lagi menjadi lima segi; segi menjaga agama, jiwa, keturunan, akal dan harta. Menurut 'Abdullah al-Qaraāwi, penetapan dalam pandangan ini berangkat dari pemahaman bahwa dasar dari ditetapkannya pembagian tersebut berasal dari hukum pidana yang dibuat oleh syāri' yang bertujuan untuk menjaga ke lima hal tersebut, seperti dalam perinciannya:[5]
1.      menjaga agama sebagai hal yang arūriyyāh, karena syāri'menetapkan hukuman bagi orang murtad dan balasan bagi orang yang berjihad dijalan Allah.
2.       menjaga jiwa sebagai hal yang arūriyyāh, karena syāri'menetapkan hukum qisa dan ketentuan dalam perang
3.      menjaga akal sebagai hal yang arūriyyāh, karena syāri'menetapkan hukum cambuk bagi peminum khamr
4.      menjaga keturunan sebagai hal yang arūriyyāh, karenasyāri' menetapkan hukum bagi pelaku zina
5.      menjaga harta sebagai hal yang arūriyyāh, karena syāri' menetapkan hukum potong tangan bagi pencuri.
Sementara menurut Ibnu Taimiyah bahwa konsep yang didasarkan pada hukum pidana seperti ini kurang memadai, karena rumusan ini mencerminkan bahwa kebanyakan para ulama usul hanya memandang maslahat berdasarkan maslahat harta dan jasad semata. Padahal terdapat dasar masalahat yang harusnya lebih dipertimbangkan seperti masalahat dan mafsadah yang diukur dari hati dan jiwa[6], yaitu Maslahat yang terwujud dari keimanan dan kemafsadahan yang disebabkan oleh "kelalaian" sebagaimana yang difirmankan Allah:
Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan "janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas". (Q.S.al-Kahfi : 28).
Berdasarkan hal ini, maka Ibnu Taimiyah memiliki rumusan tersendiri dalam konsep "menjaga agama" dan "menjaga akal", yang berbeda dari rumusan para Jumhūr usul fikih:
1.      "Menjaga Agama" Menurut Ibnu Taimiyah
      kebanyakan ahli usul fikih menjelaskan makna "menjaga agama" adalah menjaga eksistensi agama yang didasarkan pada hukum-hukum pidana yang telah ditetapkan syariatSehingga dalam pembahasannya mereka lebih banyak membicarakan tentang hukum-hukum murtad, pelaku bid'ah dan ketentuan-ketentuan jihad dijalan Allah. Ibnu Taimiyah memberikan pandangan yang lain dengan menganggap bahwa penjelasan yang diberikan Jumhūr sangatlah sempit.[7]
Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa menjaga agama itu adalah mengikuti dan mematuhi ajaran agama itu sendiri.Agama dalam pengertian yang luas, melingkupi sumber-sumber pokoknya dan ketetapan syariat yang dirumuskan dari sumber-sumber tersebut. Karena tanpa risalah agama ini, maka kehidupan manusia tidaklah bermanfaat, sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah
  
"Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan".(Al- An’am: 122)
bahwa manusia itu adalah makhluk yang "mati" di bawah naungan  kebodohannya, lalu Allah menghidupkannya dengan risalah keagamaan yang menyinari dan menghilangkan gelapnya kebodohan. Risalah agama adalah ruh kehidupan yang membedakan antara hidupnya orang beriman yang betul-betul hidup dengan hidupnya orang kafir yang pada hakikatnya mati karena tidak mengikuti risalah agama.[8]
Untuk itu, mengikuti agama sebagai aplikasi dari pemeliharaan agama adalah hal yang paling penting dan palingarūriyyāh dari pada semua hal, bahkan lebih dibutuhkan dari pada butuhnya orang yang sakit dari obat. Hal ini juga didasarkan bahwa risalah agama merupakan penopang dasar dalam menegakkan kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat.Tanpa mengikuti risalah agama maka kemaslahatan dunia dan agama tidak bisa terwujud.Karena manusia sebagaimukallaf di dalam mencapai mashalah, dituntut untuk mengusahakan hal-hal yang bermanfaat dan menjauhi hal-hal yang mafsadah.Disinilah salah satu fungsi risalah agama, yaitu menjadi penjelas dan pembeda terhadap hal-hal yang memberi manfaat dan hal-hal yang membawa pada kerugian. Menerangkan kebaikan, keburukan, kebenaran dan kesalahan yang semua itu diukur dari kadar hakikatnya. Sebab penjelasan syariat atas semua hal di atas tidak berdasarkan rasa dan panca indra saja. Karena jika begitu, maka tidak ada bedanya dengan apa yang dinalar oleh hewan sesuai insting mereka. Juga tidak ada bedanya dengan manusia yang tidak bisa membedakan segala hal secara hakikat hanya dengan akal mereka.
Berdasarkan pentingnya hal ini, maka dituntut bagi semuamukallaf untuk berusahas sebaik-baiknya, mengerahkan segala kemampuannya untuk memahami risalah agama dan mematuhinya.Untuk itu, mengetahui sumber-sumber syariat yang didasarkan pada periwayatan dan penukilan merupakan hal yang wajib (arūriyyāh), sebab –sebagaimana yang telah dijelaskan- akal tidak cukup untuk memahaminya.[9]


2. "Menjaga Akal" Menurut Ibnu Taimiyah
Jumhūr ulama berpendapat bahwa tujuan ditetapkannya syariat juga untuk memelihara akal, dari situ maka Allah menetapkan hukum bagi peminum khamr. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah sepakat dengan para Jumhūr uūliyīn, akan tetapi, beliau meluaskan jangkauan dari "menjaga akal", yaitu tidak hanya pada larangan meminum khamr, akan tetapi juga larangan bermain judi, catur dan undian dengan dadu. Beliau memberi alasan bahwa semua permainan yang di dalamnya ada kerugian maka hal itu diharamkan berdasarkan kesepakatan, begitu pula dengan permainan yang mencegah dari hal yang wajib dan mendorong untuk berbuat yang haram.Hal ini juga mencakup permainan-permainan yang berpeluang untuk memperlambat dari melakukan kewajiban dan kebaikan seperti mengerjakan shalat, belajar, atau menghambat dalam memahami agama.[10] Hal ini berdasarkan firman Allah:
  
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali".(an-Nisa :142)

Begitu juga permainan-permainan yang membuat sibuk pemainnya sehingga lalai dari melakukan amalan-amalan sunnah sebagai pelengkap amalan wajib, atau menyibukkan orang dari perbuatan yang lebih baik untuk diri sendiri dan untuk orang lain; melalaikan dari menyuruh kepada yang baik dan mencegah dari yang mungkar. Semua hal ini berdasarkan kesepakatan diharamkan, contohnya saja berdusta atau bersumpah yang jelek meski itu dalam perlombaan. Maka jika hal yang demikian saja diharamkan lalu bagaimana dengan catur dan permainan dadu yang memang dalam kebiasaan selalu mendorong pada hal-hal yang tidak baik bahkan tidak dibolehkan?.[11]
       Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah berbeda dari sebagian ulamasyāfi'iyah dan ulama lainnya yang membolehkan permainan catur selama tidak melakukan taruhan. Karena mereka menganggap bahwa lafal al-maysir yang terdapat dalam surat al-Mā'idah : 91, hanya menunjukkan pada permainan yang mengandung taruhan,sehingga yang diharamkan adalah memakan harta yang bathil.[12]
D.    Kesimpulan
Dari makalah diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa muqoshid syari’ah menurut ibnu Taimiyyah adalah syar'it sebagai “segala sesuatu yang disyariatkan oleh Allah yang mencakup akidah wal-ahkam –hukum. Adapun pandangan-pandangan maqasid syariah menurut ibnu taimiyah adalah:
1.      Pada perbuatan Allah terdapat tujuan yang dicintai dan balasan yang agung.
2.      Al-Hikmah merupakan hasil daripada tujuan Allah dan maksud perbuatan tersebut.
3.      Barangsiapa yang mengingkari bahwa dalam syari’at mencakup mashlahat dan Maqashid terhadap manusia di dunia dan di akhirat, maka hal tersebut menunjukkan kesalahan yang jelas. Hal tersebut diketahui melalui al- darurat.
4.      Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa Allah memiliki tujuan dan maksud yang sama pada penciptaan dan perintahnya.
Ibnu Taimiyah memiliki rumusan tersendiri dalam konsep "menjaga agama" dan "menjaga akal", yang berbeda dari rumusan para Jumhūr usul fikih.


*) Makalah Prarevisi


[1]Abul Hasan Ali An-Nadawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1995, h.41
[2]Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001, h.130
[3]Ibid.160
[4]http://ichacabee.blogspot.co.id/2015/06/maqoshid-syariah-ibnu-taimiyyah.html
[5]'Abdurraman Yūsuf al-Qarāwi, Naariyyah maqāid as-Syarī'ah 'inda Ibni Taimiyah wa Jumhūr al-Uūliyyin, (Mesir, Jāmi'ah al-Qāhirah, 2000), hal. 171
[6]Ibid. Hal. 172.
[7]Ibid. Hal. 177.
[8]Ibid .
[9]Ibid . Hal 180
[10]Ibid . Hal 196
[11]Ibid . Hal 197
[12]Ibid .Hal 199.

Komentar