MAKALAH USHUL FIQH
Maqashid al-Syariah
(Izzudin bin Abdussalam)
Disusun Oleh:
Diah
Mahastuti
Dosen Pengampu :
Dr. Muhammad Roy Purwanto, MA.
A. Latar Belakang
Dalam upaya pengembangan pemikiran hukum dalam islam,
terutama dalam memberikan pemahaman dan kejelasan berbagai persoalan hukum
kontemporer, para mujtahid perlu mengetahui tujuan pentasyari’an hukum
dalam islam. Selain dari pada itu, tujuan hukum memang perlu untuk diketahui
dalam rangka mengenal pasti apakah satu ketentuan hukum masih dapat diterapkan
terhadap kasus yang lain atau karena adanya perubahan struktur sosial, hukum
tersebut tidak bisa lagi dipertahankan.[1]
Tujuan suatu hukum disebut dengan maqashid
asy-Syari’ah dapat dipahami dengan cara penelusuran terhadap ayat-ayat Al
Quran, dan tujuan dari asy-Syari’ah itu sendiri adalah untuk mendatangkan
kemaslahatan seluruh umat manusia. Baik di dunia mau pun di akhirat.[2]
Tujuan Syariah apakah bersifat ta’abudin atau ta’aqulli
adalam medan perdebatan yang terus berlangsung bagi ulama-ulama ahli dzahir dan
yang sependapat dengannya. Termasuk kelompok ta’abudin berpendapat bahwa
datangnya suatu syari’at tidak dipengaruhi oleh illat atau sifat dan tujuan
dari aturan tesebut. Allah menetapkan suatu hukum tidak berdasarkan oleh
maslahah dan mafsadahnya, tetapi aturan itu datang karena kehendak Allah SWT
sendiri, yang merupakan hak Allah dalam menetapkan sesuatu.
Dikalangan ulama yang mengatakan bahwa syariah ta’aquli
al-ma’(Mu’ allalah) mempunyai formulasi yang beragam dan mengalami perubahan
yang terus-menerus. Di kalangan syafi’iyyah selain al-Ghazali dan al-Juwaini,
yang mempunyai perhatian khusus terhadap maslahah adalah Izzudin bin
Abdussalam. Konsep maslahah dan mafsadah diuraikan secara berbeda
dengan apa yang diuraikan al-Ghazali dan Syatibi yang membagi maslahah kedalam
tiga menjadi dloruriyah, hajiah, dan tahsiniah. Izzudin lebih menekankan
pada perbedaan antara hakikiyah dan majazi yang masing-masingdibagi
menjadi dunia dan akhirat dan segala sesuatu yang menjadi perantara atau yang
mendatangkan maslahah dan mafsadah.[3]
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, peneliti
memfokuskan penelitian ini pada bagaimana konsep Maqasid Syariah menurut
Izzudin bin Abdussalam ?
C. Tujuan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka makalah ini
bertujuan untuk mengetahui konsep Maqasid Syariah menurut Izzudin bin Abdussalam.
D. Ruang Lingkup Pembahasan
Biografi
Abu Muhammad Izz al-Din Abdul Aziz Ibn Abdi al-Salam
lahir di Damaskus Syiriatahun 557 H dan wafat di Mesir tahun 660 H. beliau
seorang ulama ahli hadis dan ahlifikih bermazab Syafi’i. izzudin pertama kali
belajar banyak tentang fikih dari al-Farkh ibn Asakir, seorang ulama
Syafi’iyah. Kitab yang pertama dikajinya adalah Tanbih . kemudian atas
anjuran gurunya, ia memperdalam berbagai ilmu yang lain, seperti syair arab
kuno. Setelah itu, ia mengembangkan rihlah-nya dengan mengkaji ilmu para ulama besar, dan
juga belajar mengenai filsafat, kalam, dan tasawuf.[4]
Izzudin bin Abdussalam bukanlah dari keluarga yang berada, bahkan beliau adalah
seorang yatim piatu diwaktu masih dalam masa anak-anak. Meruntungnya beliau
disayangi oleh seorang ulama yang mengajukannya bekerja sebagai penjaga sendal
di masjid, dari disinilah awal dimulai karirnya.
Izzudin pernah mengajar fikih dan ushul fikih
mazhab safi’i yaitu mazhab yang dianut oleh Solahudin al Ayyubi. Guru Izzudin
yang pertama dan terkenal dekat adalah al-Farkh Ibn Asakir. Beliau tidak hanya
memberikan ilmu, tetapi juga pekerjaan ketika Izzudin kecil terhimpit
kemiskinan. Izzudin juga belajar ushul fikihpada al-Amidi, selain itu Izzudin
juga memiliki mitra dialog yaitu Jamal al-Din Ibn al-Hajib.[5]
Izzudin diberi gelar Sultan al-Ulama (rajanya para
ulama) oleh muridnya, Ibnu Daqiq Al-id. Gelar ini sebagai legistimasiatas kerja
keras beliau menjaga reputasi para ulama pada masanya. Usaha ini
diimplementasikan dalam sikap-sikapnya yang tegas saat melawan tirani dan
kediktatoran. Beliau lah yang mengomandani para ulama dalam beramar ma’ruf nahi
munkar.[6]
Karya Izzudin bin Abdussalam sangatlah banyak,
diantaranya yaitu Al-Isyarah Wa Al-Ijaz Fi Ba’diAl-Anwa’ Al-Majaz Fi
Al-Qur’an, Bidayatu al-Sul fi Tafdlil a-Rasul, Qawa’id al-Ahkam li Masholi
al-Anam, Al-Fawa’id al-Ghoyah fi Ikhtishor al-Nihayah, Al-Qowa’id al-Kubra wa
al-Sughra, Maqasid al-Ri’ayah, Al-Imam fi Adillat al-Ahkam, Al-Fatawa
al-Mishriyah dan Al-farq baina al-iman wa al-Islam.[7]
Konsep
Maqasid Syariah
Secara etimologi, maqasid al shariah adalah
gabungan dari dua kata : maqasid dan al Syariah. Kata shari’ah,
secara etimologi bermakna jalan menuju mata air. Sedangan secara
terminologi, Syari’ah didefinisikan sebagai perintah dan larangan Tuhan
yang berhubungan dengan tingkah laku kehidupan manusia. Sedangkan maqsid yang
berarti tujuan.[8]Maqasid
al Shariah yaitu tujuan atau makna-makna yang diharapkan dan dipelihara
dari adanya hukum baik dalam hal tingkah laku mau pun dalam akidah dan
aspek-aspek lain dalam kehidupan. Allah menurunkan suatu aturan tentunya
memiliki maqsid (tujuan tertentu) baik itu memberikan maslahah atau pun
mencegah datangnya mafsadah.
Para ulama mutaakhirin (kontemporer)
mendefinisikan maqasid syariah sebagai berikut : menurut Tahrir Ibnu
Asyur, maqashid syariah adalah makna-makna dan hikmah-hikmah yang telah
diperhatikan oleh Allah dalam segala ketentuan hukum syari’ah baik yang kecil
maupun yang besar. Sedangkan ‘Allal al-Fasy mendefinisikan maqashid syariah sebagai
tujuan-tujuan dan rahasia-rahasia yang telah ditetapkan Allah dalam setiap
hukum. Menurut Izzudin maqasid syariah yang berarti setiap perintah dan
larangan Syara pada dasarnya untuk mewujudkan tujuan syariah.[9]
Dalam hal ini yang dimaksudkan izzudin, adanya suatu aturan adalah untuk
menarik kemaslahatan atau untuk menolak suatu kerusakan. Setiap perintah
mengandung maslahah, baik yang datangnya dari perintah maupun larangan. Dalam
hal ini Izzudin menggunakan istilah Maslahah.
Berdasarkan definisi diatas, dalam mengkaji teori maqasid
menurut izzudin ada dua kata kunci yang harus dianalisis yaitu mashlahah
dan mafsadah.[10]Dilihat
dari lafalnya, kata al-maslahah adalah kata bahasa Arab yang berbentuk mufrad
(tunggal). sedangkan bentuk jama’nya adalah al-mashalih. Dilihat dari segi
lafalnya, kata al-maslahah setimbang dengan maf’alah dari kata ash shalah. Kata
tersebut mengandung makna “keadaan sesuatu dalam keadaan yang sempurna,
ditinjau dari segi kesesuaian fungsi sesuatu itu dengan peruntukannya”. Misalnya,
keadaan dan fungsi pedang yang sesuai adalah untuk menebas (memotong). Kata
yang sama dan hampir sama maknanya dengan kata al-maslahah yaitu al-khair
(kebaikan), al-naf’u (manfaat) dan al hasanah (kebaikan). Sedangkan
kata yang hampir sama dengan al-mafsadah ialah asy-syarr (keburukan),
adh-dharr (bahaya) dan al-sayyi’ah (keburukan).Al Quran sendiri
menggunakan kata al hasanah untuk menunjukan pengertian maslahah, dan
menggunakan al-sayyi’ah untuk menunjukan suatu mafsadah.[11]
Menurut Izzudinkata kunci Pertama mashlahah yang
artinya manfaat atau kemanfaatan. Mashlahah terdiri dari ladzat
(kenikmatan) dan afrakh (kesenangan) dan segala sesuatu yang menjadi
wasilah dari keduanya. Terlepas dari itu, mashlahah dibedakan menjadi
dua, yaitu haqiqi (sesungguhnya) dan majazi (semu). Haqiqi dibagi
menjadi dua yaitu ladzat (kenikmatan) dan afrakh (kesenangan).
Masing-masing dari keduanya digolongkan lagi menjadi dua, yaitu duniawi dan
ukhrawi. Sedangkan Majazi adalah setiap perantara yang mendatangkan keduanya.[12]
Hukum Islam
(syariah) seluruhnya merupakah maslahah, yang representasinya bisa
berbentuk penghilangan mafsadah dan berbentuk perwujudan kemanfaatan.
Tidak ada suatu hukum yang mengandung kemadarratan melainkan diperintahkan
untuk menjauhinya dan tidak suatu hukum yang mengandung maslahah, kecuali
diperintahkan untuk mewujudkannya.
Kenikmatan dunia yang dimaksud tidaklah terbatas kepada
materi semata, tetapi juga immateri, seperti iman dan makrifat. Kenikmatan
duniawi dapat diketahui penyebabnya dengan adat dan ditemukan melalui
pertimbangan akal. bagi orang yang berakal, sebelum datangnya aturan sekali
pun, dapat mengetahui bahwa menolak mafsadah dan mewujudkan maslahah adalah
perbuatan yang terpuji. Sedangkan kenikmatan akhirat hanya dapat diketahui
lewat naql yang ditelusuri lewat dari dalil-dalil syara baik Al
Quran, sunnah, qiyas.
Untuk merealisasikan maslahah hakikiyah baik yang
bersifat duniawi mau pun ukhrawi, dibutuhkan perantara yang disebut maslahah
majazi. Namun sebab atau perantara tersebut tidak selalu sejalan dengan maqasid,
artinya tidak selalu sebab dari kemaslahatan adalah kemaslahatan. Begitu juga
yang terkait dengan mafsadah. Terkadang sebab-sebab dari maslahah adalah
mafsadah, tetapi hal tersebut diperintahkan karena mendatangkan maslahah.[13]
Kemaslahatan yang menjadi tujuan syariat ini dibatasi dalam lima hal,
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Setiap hal menganndung penjagaan atas
lima hal ini disebut maslahah dan setiap hal yang membuat hilangnya lima hal
ini disebut mafsadah.[14]
Maqasid
dan Tingkatan Amal
Setiap perintah adalah maslahah baik didunia
maupun akhirat, dan setiap larangan adalah mafsadah di dunia mau pun di
akhirat. Setiap perintah dan larangan pasti memiliki tingkatan yang
berbeda-beda terkait dengan apa yang terkandung di dalamnya (besaran
kemaslahatannya dan kerusakannya). perintah yang mewujudkan kemaslahatan
terbaik adalah yang utama seperti iman, dan perbuatan yang mendatangkan sesuatu
yang lebih jelek termasuk perbuatan yang rendah seperti kufur.
Berpijak pada konsep maslahah dan mafsadah dan
tingkatan-tingkatannya. Izzudin membedakan tingkatan amal dalam beberapa
kategori yang didasarkan kepada kemaslahatan dan kerusakan yang ditimbulkannya
: a) sesuatu yang disyariatkan (yang diperintahkan atau dilarang) dibedakan
menjadi dua, yaitu yang tidak jelas bahwa hal tersebut menarik kemaslahatan dan
menolak kerusakan serta bersifat ta’abudi dan yang jelas bahwa hal tersebut
menarik kemaslahatan dan menolak kerusakan yang karenanya bersifat ma’qulah
al-ma’na, b) pembagian amal menjadi wajib, sunnah, mubah, haram, dan
makruh, dan yang fardhu dibedakan menjadi fardlu ‘ain dan fardlu
kifayah. c) pembedaan dosa kedalam dosa besar dan dosa kecil, d) perbedaan
keutamaan karena pengaruh waktu dan tempat dan antara dunia dan akhirat.[15]
Ijtima’
al-Mashalih wa al-Mafasid
Ada
pun konsep Ijtima menurut Izzudin bin abdussalam yaitu :[16]
Ijtima’ Mashalih, kemaslahatan yang terkandung dalam perbuatan terkadang
tidak tunggal tetapi plural. Jika kebaikan-kebaikan yang terkandung, semua
berdimensi ukhrawi jika memungkinkan dianjurkan untuk mewujudkan semuanya,
tetapi jika tidak pilih salah satu yang paling utama. Jika tingkatannya sama
dan tidak memungkinkan mewujudkan semuanya, maka perlu dipilih dengan
berdasarkan ijtihad. Contohnya, menyelamatkan orang yang tenggelam yang ma’
shum atas melaksanakan salat.
Jitima’ Mafasid, tidak hanaya satu kemaslahatan yang terkandung dalam
perbuatan, kemungkinan juga terjadi pada kerusakan yang terkandung dalam
perbuatan. Jika kemungkinan meninggalkan mafsadat kemungkinan itu harus diambil.
Apa bila tidak dapat meninggalkan semuanya, maka dipilih meninggalkan yang
paling jelek kemudian yang lebih jelek. Contohnya, bolehnya memakan harta orang
lain karena terpaksa. Alasannya karena mafsadat memakan harta orang lain
lebih ringan dari rusaknya juwa (mati).
Ijtima’ Mashalih ma’a Mafasid, jika dalam suatu perkara terkumpul maslahah dan mafsadah,
maka penyelesaiannya adalah beberapa kemungkinan. Jika kemungkinan tersebut
adalah mewujudkan maslahah dan menolak kerusakan, maka pilihan tersebut
harus dilakukan. Jika terjadi kesulitan, dan kemungkinan terjadi kerusakan yang
lebih besar, maka yang harus dihindari adalah mafsadat. Contohnya, boleh
melafadzkan kalimat kufut karena terpaksa, tetapi hatinya tetap beriman. Namun
kalau mengambil pilihan tegas dan sabar maka hal tersebut lebih utama.
Ruang
Lingkup Maqasid : Hak Allah dan Hak Hambanya
Jumhur Ulama berpendapat semua ketetapan syara yang
ditetapkan Allah adalah untuk kepentingan manusia. Imam asy-Satibi misalnya,
menegaskan bahwa berdasarkan penelitian, semua hukum syara ditetapkan
untuk kepentingan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Dalam penetapan al
Maslahah, Jumhur ulama membaginya kedalam dua ruang lingkup, yaitu : dalam hal
ibadah dan muamalah. Pembagian ini didasarkan atas perbedaan tujuan asy-Syari’
dalam penetapan hukum bidang ibadah dan muamalah. Sebagaimana digambarkan oleh
Izzudin bin Abdussalam (w. 660 H), penetapan hukum dalam bidang ibadah menjadi
sepenuhnya hak Allah, sedangkan mu’amalah merupakan hak manusia.[17]
Lebih rincinya dalam menarik kemaslahatan dan menolak
kerusakan, Izzudin membagi kedalam hak Allah, hak hamba, dan hak baha’im. Hak
Allah dibagi menjadi tiga, yang pertama murni hak Allah (beriman kepada
Allah), kedua tersusun atas hak Allah dan hak hambanya (infaq, sadaqoh,
wakaf, zakat), ketiga, hak Allah, hak Rasulnya , dan hak mukalaf
contohnya adzan.[18]
Realisasi
Tuntutan Mashlahah dan Mafsadah
Terkait dengan keterbatasan-keterbatasan manusia dalam
merealisasikan tujuan syara, selain khilaf terdapat hal-hal yang membuat
terabaikannya maslahah atau dilakukannya kerusakan, dan terangkum dalam
sebab-sebab keringanan. Sebab keringanan menurut Izzudin terbagi menjadi tiga,
yaitu : pertama lupa merupakan sesuatu yang lumrah atas manusia yang
mengakibatkan dapat kehilangan terwujudnya maslahah. Kedua, masyaqat dibedakan
menjadi dua (1) Yang tidak dapat dipisahkan dari ibadah, seperti masyaqat-nya
wundhu, sholat subuh dimusim dingin, puasa dimusim kemarau. Masyaqat jenis
ini tidak mempunyai pengaruh terhadap gugurnya ibadah dan taat. (2) masyaqat
umumnya terpisah dari ibadah. Ketiga adilllah al-Ahkam. Izzudin
membedakan menjadi dua.[19]
E. Kesimpulan
Maqasid al Syariah
menurut Izzudin bin Abdussalam adalah suatu tujuan yang mengandung maslahah dan
menolak mafsadah. Adanya suatu aturan adalah untuk menarik kemaslahatan atau
untuk menolak suatu kerusakan. Setiap perintah mengandung maslahah, baik yang
datangnya dari perintah maupun larangan, baik didunia mau pun di akhirat.
Dalam mengkaji teori maqasid menurut
izzudinada dua kata kunci yang harus dianalisis yaitu mashlahah dan
mafsadah. Menurut Izzudinkata kunci Pertama mashlahah yang artinya
manfaat atau kemanfaatan. Mashlahah terdiri dari ladzat (kenikmatan) dan
afrakh (kesenangan) dan segala sesuatu yang menjadi wasilah dari
keduanya. Terlepas dari itu, mashlahah dibedakan menjadi dua, yaitu
haqiqi (sesungguhnya) dan majazi (semu). Haqiqi dibagi menjadi dua yaitu
ladzat (kenikmatan) dan afrakh (kesenangan). Masing-masing dari keduanya
digolongkan lagi menjadi dua, yaitu duniawi dan ukhrawi. Sedangkan Majazi
adalah setiap perantara yang mendatangkan keduanya. Dalam ruang lingkum
Maqasid, Izzudin membagi menjadi hak Allah, hak Rasul, dan hak manusia.
Daftar Pustaka
Dahlan, Abd.
Rahman, “Ushul Fiqh”, Jakarta: Amzah, 2011.
Johari, “Konsep Maslahah Izzudin Ibn Abdi Salam (Telaah Kitab
Qawa’id al-Ahkam Limashalih al-Anam)”, Jurnal, Institut Keislaman Hasyim As’ari (IKAHA)
Tebuireng Jombang, 2013.
Khusairi, Ahmad, “evolusi
Ushul Fiqh (Konsep dan Pengembangan Metodologi Hukum Islam), Yogyakarta:
Pustaka Ilmu, 2013.
Thahir, A. Halil, “Ijtihad
Maqasidi (rekonstruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas Maslahah)”,
Yogyakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang, 2015.
Harahap, Zul Anwar Ajim, “KonsepMaqasid al-Syariah
Sebagai Dasar Penetapan dan Penerapannya Dalam Hukum Islam Menurut Izzudin bin
‘Abd al-Ssalam (W. 660 H)”, Jurnal, Tazkir, 2014.
*) Makalah Prarevisi
[1] Ahmad Khusairi, “evolusi Ushul Fiqh (Konsep dan
Pengembangan Metodologi Hukum Islam), (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2013),
hal. 85.
[3]Johari, “Konsep Maslahah Izzudin Ibn Abdi Salam (Telaah Kitab Qawa’id al-Ahkam
Limashalih al-Anam)”, Jurnal, Institut
Keislaman Hasyim As’ari (IKAHA) Tebuireng Jombang (2013), hal. 70.
[6] Zul Anwar Ajim Harahap, “KonsepMaqasid al-Syariah Sebagai Dasar Penetapan
dan Penerapannya Dalam Hukum Islam Menurut Izzudin bin ‘Abd al-Ssalam (W. 660 H)”, Jurnal, Tazkir, (2014), hal. 177.
[8]A. Halil Thahir, “Ijtihad Maqasidi (rekonstruksi Hukum
Islam Berbasis Interkoneksitas Maslahah)”, (Yogyakarta: PT. LKiS Printing
Cemerlang, 2015), hal. 15-16.
Komentar
Posting Komentar